Anda di halaman 1dari 3

Berita 1 :

Kota Probolinggo memiliki struktur penggunaan lahan yang menonjolkan perbedaan antara
lahan tidak terbangun dan terbangun. Mayoritas lahan tidak terbangun digunakan untuk sawah,
tambak, RTH, dan hutan mangrove, sementara sebagian besar lahan terbangun tersebar secara merata
di setiap kecamatan. Namun, Kecamatan Mayangan dan Kanigaran menonjol karena memiliki luas
lahan terbangun yang lebih besar daripada lahan tidak terbangun, dengan kegiatan terpusat di sektor
sekunder.
Secara spasial, aktivitas cenderung terpusat di pusat kota, terutama di Kecamatan Mayangan dan
Kanigaran, yang memiliki kepadatan penduduk dan bangunan tinggi. Di sisi lain, Kecamatan
Kademangan, Kedopok, dan Wonoasih memiliki kepadatan yang relatif rendah dengan dominasi
sektor primer, terutama pertanian.
Pola penggunaan lahan ini menciptakan struktur ruang yang cenderung monocentric, dengan
satu pusat pelayanan. Namun, terdapat perbedaan karakteristik perumahan antara wilayah utara dan
selatan. Wilayah utara cenderung memiliki perumahan dengan kepadatan tinggi dan karakteristik
kekotaan, sedangkan wilayah selatan memiliki perumahan dengan karakteristik perdesaan yang
terkonsentrasi dalam kawasan yang dikelilingi oleh pertanian atau berkembang secara linier di
sepanjang jalan utama.
Dalam konteks pasal 2 ayat (2) yang mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan tanah, informasi tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana pemerintah
setempat dapat mengatur penggunaan lahan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik wilayah
tersebut.

Berita 2 :
Sebuah kelompok pengacara menemukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) fiktif saat menangani
sengketa lahan di Jakarta. Mereka melaporkan temuan ini ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada
23 November 2023. DPT tersebut terkait dengan sengketa kepemilikan lahan antara klien mereka,
Meifilia, dengan dua kakak beradik bernama Tan Eng Hong (TEH) dan Tan Eng Siong (TES).
Identitas TEH dan TES dipertanyakan karena tidak ditemukan keterangan Nomor Induk
Kependudukan (NIK) dan keberadaan mereka sulit dipastikan.
Dalam proses hukum sebelumnya, TEH dan TES memenangkan sengketa meskipun tidak
pernah hadir di pengadilan. Meifilia melakukan berbagai upaya hukum, termasuk Peninjauan Kembali
(PK), namun tanah dan asetnya masih disita. Identitas TEH dan TES juga dianggap fiktif karena tidak
ada data pendukung tentang kewarganegaraan mereka, bahkan pelayanan surat keterangan waris di
kecamatan tidak menemukan mereka. Kuasa hukum mengirim surat kepada berbagai instansi terkait
untuk memperjelas status kewarganegaraan TEH dan TES.
Tanah yang disengketakan memiliki status Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah habis masa
penggunaannya pada tahun 1980. Meskipun gedung di atas tanah tersebut dimiliki dan ditempati oleh
Meifilia sejak 1973, gedung dan asetnya disita oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun
2021. Upaya untuk memperjuangkan keberatan telah dilakukan dengan mengirimkan surat pengaduan
ke berbagai instansi terkait.
Pasal 1 ayat 2 UUPA menegaskan tentang tentang menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dengan "tanah". Pentingnya pengaturan hubungan antara
individu dengan tanah. Dalam kasus ini, ketegasan hukum mengenai kepemilikan tanah dan
penggunaan identitas yang sah sangat penting untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum. Upaya-
upaya seperti penelusuran keabsahan identitas dan pengiriman surat kepada berbagai instansi terkait
menunjukkan upaya untuk mengklarifikasi status kepemilikan tanah serta memastikan bahwa
hubungan hukum antara individu dan tanah diatur secara jelas sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.

Berita 3
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi
Tjahjanto, mengumumkan penyelesaian empat kasus tindak pidana pertanahan yang dilakukan oleh
kelompok mafia tanah di Jawa Timur. Total kerugian yang berhasil diselamatkan mencapai Rp 792,4
miliar, dengan menyita lebih dari 1.018 hektare tanah. Penegak hukum menetapkan 15 tersangka
dalam kasus ini. Keberhasilan ini diatribusikan kepada sinergi Satgas Anti Mafia Tanah dari
kepolisian, TNI, Pemprov Jatim, dan Kejaksaan. Modus operandi kelompok mafia tanah, termasuk
pemalsuan sertifikat dan penempatan patok tanah, berhasil diminimalkan dengan penerapan PTSL
(Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dan pendataan elektronik bidang tanah. Dalam acara
tersebut, Menteri Hadi Tjahjanto memberikan penghargaan kepada unsur Satgas Anti Mafia Tanah
yang terlibat.
Penyelesaian kasus tindak pidana pertanahan oleh Satgas Anti Mafia Tanah di Jawa Timur,
yang melibatkan koordinasi antara kepolisian, TNI, Pemprov Jatim, dan Kejaksaan, menunjukkan
implementasi Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur tentang menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai "tanah" Melalui langkah-langkah ini, diharapkan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah
dapat ditegakkan, sejalan dengan prinsip hukum agraria yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai