Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Konsep Perawatan Post Operasi Kasus Kebidanan

DOSEN PEMBIMBING :
RINA, SST, M.Tr.Keb

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3 (TIGA)

1. Eti Marlinda (P01740123013)

1. Fharisya Anabila (P01740123014)

2. Giberta Yoanda (P01740123015)

3. Gitta Adila (P01740123016)

4. Inda Apriyati (P01740123018)

5. Jenika Anggina (P01740123019)

POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEBIDANAN
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Konsep
Perawatan Post Operasi Kasus Kebidanan” ini tepat pada waktunya.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Bengkulu, 14 Maret 2024

` Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pemenuhan Kebutuhan Dasar..........................................................4
2.2 Pemantaun TTV post operasi...........................................................5
2.3 Pemantauan Intake Serta Output Cairan..........................................6
2.4 Konsep Nyeri Post Operasi dan Teknik Relaksasi...........................7
2.5 Mobilisasi Post Operasi....................................................................20
2.6 Penatalaksanaan Nyeri.....................................................................22
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................24
3.2 Saran.................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Post operasi merupakan masa setelah dilakukan pembedahan yang
dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai
evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat, 2008). Keluhan yang sering timbul
akibat dari tindakan operasi yaitu nyeri (Muttaqin, 2008). Perawatan post
operasi adalah perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan setelah
tindakan operasi sebagai tindak lanjut. Sedangkan luka operasi adalah luka
yang disebabkan karena tindakan operasi. Data World Health Organization
(WHO) tahun 2013 diketahui bahwa Infeksi Luka Operasi terjadi pada 2%
hingga 5% dari27 juta pasien di dunia yang dilakukan pembedahan dan
merupakan 25% dari jumlah infeksi akibat fasilitas pelayanan kesehatan yang
tidak steril. Berdasarkan data WHO menunjukan bahwa selama lebih dari satu
abad, perawatan operasi telah menjadi komponen penting dari perawatan
kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta tindakan
operasi dilakukan di seluruh dunia baik operasi kecil maupun operasi besar
(Hasri, 2012).

Prevalensi berdasarkan data Depkes RI (2013), prevalensi kejadian


infeksi pada pasien post operasi di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,6% infeksi
akibat fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak steril.Kejadian infeksi luka
post operasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Faktor pasien
(status nutrisi yang buruk, diabetes militus, obesitas, infeksi bersama di bagian
tubuh yang lain, lama rawat inap pra operasi,dll). Sedangkan faktor operasi
(lama operasi dan tehnik operasi) Lake at al, (2013). Dan menurut Abdul Bari,
(2010) faktor yang dapat mempengaruhi infeksi luka operasi yaitu faktor

1
ekstrinsik (seperti dokter, perawat, bidan, bangsal/lingkungan yang kurang
bersih, peralatan dan material medis yang kurang terjaga kebersihannya),
faktor keperawatan (lamanya hari perawatan dan menurunnya standar
keperawatan). Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien
tergantung dari tingkat infeksi, patogenitas mikroorganisme dan kerentanan.
Dengan proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebab dan
meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan
kebidanan yang diberikan oleh bidan dalam pelayanan kesehatan.
Keperawatan post operasi merupakan periode akhir dari keperawatan
perioperative. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada upaya
untuk menstabilkan kondisi pasien pada keadaan keseimbangan fisiologis
pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang
cermat dan intervensi cepat dan akurat dapat membantu pasien kembali pada
fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman (Majid et al, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut, diperoleh beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar post operasi kasus kebidanan?
b. Bagaimana pemantauan TTV pada post operasi?
c. Bagaimana intake dan output cairan pada post operasi kebidanan?
d. Bagaimanakah konsep nyeri post operasi dan teknik relaksasinya?
e. Bagaimanakah mobilisasi post operasi kasus kebidanan?
f. Bagaimanakah penatalaksanaan dari nyeri?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Menjelaskan pemenuhan kebutuhan dasar pada post operasi kasus
kebidanan.

2
b. Menjelaskan terkait pemantaun TTV post operasi.
c. Bagaimana intake dan output cairan pada post operasi kebidanan.
d. Menjelaskan terkait konsep nyeri post operasi dan teknik relaksasinya.
e. Menjelaskan terkait mobilisasi post operasi kasus kebidanan.
f. Menjelaskan terkait penatalaksanaan dari nyeri.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemenuhan Kebutuhan Dasar


Pemenuhan Kebutuhan Dasar dalam Perawatan Pasca Operasi Kasus
Kebidanan. Perawatan pasca operasi pada kasus kebidanan memerlukan
pendekatan yang holistik untuk memastikan pemulihan optimal pasien. Salah
satu aspek yang krusial adalah pemenuhan kebutuhan dasar pasien, termasuk
kebutuhan akan nutrisi, istirahat, kebersihan, dan dukungan emosional. Dalam
konteks ini, pemenuhan kebutuhan dasar bertujuan untuk mendukung proses
penyembuhan, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien
pasca operasi. Berikut ini adalah rincian serinci mungkin tentang pemenuhan
kebutuhan dasar dalam perawatan pasca operasi kebidanan:
a. Kebutuhan Nutrisi yang Terpenuhi: Nutrisi yang memadai sangat penting
dalam mendukung pemulihan pasien pasca operasi kebidanan. Perencanaan
diet harus memperhitungkan kebutuhan kalori, protein, vitamin, dan
mineral pasien. Selain itu, pemberian cairan intravena atau nutrisi enteral
mungkin diperlukan untuk pasien yang tidak dapat mengonsumsi makanan
secara oral.
b. Istirahat dan Perawatan Luka: Pasien membutuhkan istirahat yang cukup
untuk memulihkan tubuh mereka setelah operasi kebidanan. Perawatan
luka yang tepat juga penting untuk mencegah infeksi dan mempercepat
proses penyembuhan. Ini meliputi penggantian perban, perawatan luka, dan
pemantauan tanda-tanda infeksi.
c. Kebersihan dan Sanitasi: Lingkungan perawatan pasca operasi harus bersih
dan steril untuk mencegah infeksi nosokomial. Petugas kesehatan harus
memastikan kebersihan tangan yang baik sebelum dan setelah menangani
pasien serta menjaga kebersihan ruangan dan peralatan medis.

4
d. Manajemen Nyeri yang Efektif: Pasien pasca operasi kebidanan sering
mengalami nyeri yang signifikan. Manajemen nyeri yang efektif
melibatkan pemberian analgesik sesuai dengan kebutuhan pasien, baik
secara oral maupun intravena, serta teknik non-farmakologis seperti terapi
fisik atau relaksasi.
e. Dukungan Emosional dan Psikososial: Pasien dan keluarganya
memerlukan dukungan emosional dan psikososial selama masa pemulihan.
Ini dapat dilakukan melalui pendekatan yang empatik dan penuh perhatian
dari petugas kesehatan, serta penyediaan informasi yang jelas dan akurat
tentang proses pemulihan.
f. Edukasi Pasien dan Keluarga: Penting untuk memberikan edukasi kepada
pasien dan keluarganya tentang kondisi pasien, prosedur operasi yang
dilakukan, serta langkah-langkah yang perlu diambil selama masa
pemulihan. Edukasi ini dapat membantu pasien dan keluarganya
memahami apa yang diharapkan dan bagaimana mereka dapat
berkontribusi pada proses pemulihan.
Dengan memperhatikan semua aspek ini secara cermat dan komprehensif,
perawatan pasca operasi kebidanan dapat memastikan bahwa kebutuhan
dasar pasien terpenuhi dengan baik, sehingga mendukung proses
penyembuhan yang optimal dan mengoptimalkan hasil klinis pasien.
2.2 Pemantauan TTV Post Operasi
Konsep pemantauan Tanda-Tanda Vital (TTV) pasca operasi berfokus pada
pengumpulan dan analisis data hasil pengukuran fungsi vital kardiovaskuler,
pernapasan, dan suhu tubuh. Tujuan dari pemantauan ini adalah untuk
memantau kondisi pasien secara objektif dan merespons perubahan kondisi
melalui intervensi medis dan keperawatan.
Ada empat komponen TTV utama yang perlu dipantau secara rutin:
a. Tekanan Darah: Normalnya adalah 120/80 mmHg. Tekanan darah
memberikan informasi tentang sistol, diastol, dan jumlah detak jantung per

5
menit. Selain itu, pengukuran ini juga dapat mengetahui ritme dan kekuatan
detak jantung.
b. Denyut Nadi: Denyut nadi memberikan informasi tentang kondisi jantung
dan sirkulasi darah.
c. Laju Pernapasan: Laju pernapasan memberikan informasi tentang fungsi
pernapasan.
d. Suhu Tubuh: Suhu tubuh dapat memberikan informasi tentang adanya
infeksi atau kondisi lain yang mempengaruhi termoregulasi tubuh.
Pemantauan TTV ini sangat penting karena perubahan dalam salah satu atau
lebih dari komponen TTV dapat menunjukkan adanya masalah kesehatan
yang serius dan memerlukan tindakan medis segera.

2.3 Pemantauan Intake dan Output Post Operasi


Perhitungan kebutuhan cairan pasca pembedahan juga harus selalu didasarkan
pada kebutuhan basal ditambah kebutuhan pengganti. Kebutuhan basal adalah
kebutuhan normal perhari, sedangkan kebutuhan pengganti adalah sejumlah
cairan yang hilang akibat demam tinggi, polyuria, drainase lambung, muntah,
diare atau perdarahan (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Tanpa adanya
masukan melalui oral, maka defisit cairan dapat terjadi melalui produksi urin,
sekresi gastrointestinal, keringat dan IWL (Insensible Water Loss) dari kulit
(Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia,
2009). Dalam keadaan setelah pembedahan, untuk memenuhi kebutuhan
cairan seseorang yang hilang maka rata-rata kebutuhan cairan adalah 30-40
mL/kgBB dalam 24 jam (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Kebutuhan normal
rumatan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.1 Estimasi Kebutuhan Cairan Rumatan

Berat Badan Jumlah Cairan

0-10 kg pertama 4 ml/kg/jam

6
10-20 kg berikutnya Tambahkan 2 ml/kg/jam

Untuk setiap kg diatas 20 kg Tambahkan 1 ml/kg/jam

Intake cairan tubuh adalah asupan cairan yang masuk ketubuh yang
berasal dari minuman, makanan dan cairan seperti infus atau yang lainnya,
selama 24 jam tubuh manusia membutuhkan asupan cairan antara 1800 ml –
2500 ml (Fauziah & Irdawati, 2016). Input cairan juga bisa berasal dari cairan
selama perawatan, cairan dari injeksi intravena, produk darah, obat intravena,
dan nutrisi (Schneider, Thorpe, Dellbridge, Matalanis, & Bellomo, 2013).
Output cairan tubuh adalah cairan yang keluar dari tubuh seperti
cairan urine atau hilangnya air akibat diserap oleh cairan cerna, dan volume
dari feses (Schneider et al., 2013). Pada kondisi normal pengeluaran cairan
tubuh melalui kulit sebanyak 350 ml – 450 ml/hari, pengeluran cairan dari
paru – paru sebnyak 400 ml/hari, dan cairan yang hilang akibat penyerapan
saluran cerna sebanyak 100 – 200 ml/hari (Fauziah & Irdawati, 2016). Output
cairan yang hilang dari cairan urine sebanyak 1200 ml –1500 ml/hari, output
cairan yang hilang melalui kulit sebanyak 300 ml – 500 ml/hari, output cairan
yang hilang melalui kulit atau Insisible Water Loss (IWL) sebanyak 600 ml –
800 ml/hari sedangkan cairan yang hilang melaui pengeluaran feses sebanyak
100 ml/hari (Irianto, 2014).
2.4 Konsep Nyeri Post Operasi dan Teknik Relaksasi
a. Pengertian
Nyeri merupaakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,
bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam
hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty,
2015)Nyeri akut merupakan keadaan dimana individu mengalami dan
mengeluhkan ketidaknyamanan yang hebat dan sensasi yang tidak

7
menyenangkan selama satu detik hingga kurang dari 6 bula (Carpenito,
2013).Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun
potensial (Smeltzer et al., 2012)Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul
secara mendadak dan cepar menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan
ditandai adanya peningkatan tegangan otot (Hidayat, 2014)Nyeri adalah
suatu rasa yang tidak nyaman, baik secara ringan maupun berat karena
terjadinya kerusakan jaringan (Pain International Association for the Study
of & (IASP), 2011). Nyeri dapat didefnisikan sebagai sesuatu yang sukar
dipahami dan fenomena yang kompleks meskipun universal, tetapi masih
merupakan misteri. Nyeri adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh
manusia yang menunjukkan adanya pengalaman masalah. Nyeri
merupakan keyakinan individu dan bagaimana respon individu tersebut
terhadap sakit yang dialaminya (Taylor, 2011).

b. Fisiologi Nyeri
Menurut Mubarak dan Chayatin (2012) proses fisiologis terkait nyeri
disebut nosisepsi. Proses tersebut terdiri atas empat fase yaitu:
1) Transduksi
Pada fase transduksi, stimulus atau rangsangan yang membahayakan
(misalnya, bahan kimia, suhu, listrik atau mekanis) memicu pelepasan
mediator biokimia (misal, prostaglandin, bradikini, histamin, substansi
P) yang mensensitisasinosiseptor.
2) Tranmisi
Fase transmisi nyeri sendiri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian
pertama, nyeri merambat dari serabut saraf perifer ke medula spinalis.
Dua jenis nosiseptor yang terlibat dalam proses tersebut adalah serabut
C yang mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut
A-Delta yang mentransmisikan nyeri tajam dan terlokalisasi. Bagian

8
kedua adalah transmisi nyeri dari medula spinalis menuju batang otak
dan talamus melalui jaras spinotalamikus (STt), merupakan suatu sistem
diskriminatif yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi
stimulus ke talamus. Selanjutnya, pada bagian ketiga, sinyal tersebut
diteruskan ke korteks sensorik somatik tempat nyeri dipersepsikan.
Impuls yang ditransmisikan melalui STt mengaktifkan respon otonomi
dan limbik.
3) Modulasi
Fase ini disebut juga “sistem desenden”. Pada fase ini, neuron di batang
otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke medula spinalis. Serabut
desenden tersebut melepaskan substansi seperti opioid, serotonin, dan
norepinefrin yang akan menghambat impuls asenden yang
membahayakan di bagian dorsal medula spinalis.
4) Persepsi
Pada fase ini, individu mulai menyadari adaya nyeri. Tampaknya
persepsi nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga
memungkinkan munculnya berbagai strategi perilaku-kognitif untuk
mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri.

c. Teori Nyeri
1) Teori Spesifitas (Specivity Theory)
Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang
secara khusus mentransmisi nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima
rangsangan nyeri dan mentransmisikan melalui ujung dorsal dan
substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya dihantarkan pada
daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respon nyeri. Teori ini tidak
menjelaskan bagaimana faktor-faktor multidimensional dapat terjadi
(Zakiyah, 2015).
2) Teori Pola (Pattern Theory)

9
Teori ini menelaskan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang
dapat menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang
menghantarkan rangsang dengan lambat. Kedua serabut ini bersinapsis
dan meneruskan rangsang ke otak mengenai jumlah, tingkat, tipe input
sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori
(Zakiyah, 2015).
3) Teori Gerbang Kendali (The Gate Control Theory)
Menurut Melzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri
terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau
memperlambat transmisi nyeri. Selain itu juga, mejelaskan bahwa di
dalam tubuh manusia terdapat dua macam transmiter impuls nyeri, yaitu
reseptor yang berdiameter kecil dan besar. Menurut Joyce dan Hawks,
reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan C) berfungsi untuk
mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras. Reseptor ini biasanya
berupa ujung saraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit
dan pada struktur lebih dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organ-
organ interna. Transmitter yang berdiameter besar (serabut beta A)
memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi
sebagai inhibitor, yaitu metransmisikan sensasi lain seperti getaran,
sentuhan, senasasi hangat dan dingin, serta terhadap tekanan halus.Saat
terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangan
ke dalam cornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior, di
medula spinalis terjadi reaksi antara dua serabut berdiameter besar dan
kecil yang disebut “substansia gelatinosa (SG)”.SG merupakan area
terjadinya perubahan dan modifikasi yang memengaruhi apakah sensasi
nyeri yang diterima mesula spinalis akan diteruskan ke otak atau
dihambat. Sebelum impuls nyeri diteruskan ke otak, serabut besar dan
kecil berinteraksi di area SG. Apabila tidak terdapat stimulus atau
impuls yang adekuat dari seabut besar, maka impuls nyeri dari serabut

10
kecil akan dihantarkan ke sel T (sel pemicu atau trigger sel). Kemudian
dibawa ke otak dan menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan oleh
tubuh. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak dinamakan
pintu gerbang terbuka. Sebaliknya apabila terdapat impuls yang
ditransmisikan oleh serabut berdiameter besar karena adanya stimulasi
kulit, sentuhan, getaran, sensasi hangat atau dingin, serta sentuhan halus,
akan menghambat ipmlus dari serabut beridamter kecil sehinggan
sensasi yang diabawa serabut krcil akan berkurang atau bahkan tidak
dihantarkan ke otak oleh SG sehingga tubuh tidak merasakan sensasi
nyeri, kondisi ini disebut dengan pintu gerbang tertutup (Zakiyah,
2015).

a. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri meruapakn respon fisiologis dan perilaku yang
terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Reaksi terhadap nyeri menurut
(Potter et al., 2013) meliputi beberapa respon antara lain:
1) Respon fisiologis
Nyeri dengan tingkat yang ringan hingga sedang dan nyeri yang
superfisial akan menimbulkan reaksi “flight or fight”, yang meruakan
sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem
saraf otonom menghasilkan respon fisiologis dan sistem saraf
parasimpatis akan menghasilkan suatu aksi.
2) Respon perilaku
Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan
nyeri meliputi menggertakan gigi, memgang bagian tubuh yang terasa
nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai.
Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah atau sering
memanggil petugas. Namun kurangnya ekspresi tidak selalu berarti
bahwa klien tidak mengalami nyeri.

11
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1) Usia
Menurut (Potter et al., 2013) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap
nyeri. Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang
sederhana dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak dalam
memahami dan mendeskripsikan nyeri. Perawat dapat menunjukkan
serangkaian gambar yang melukiskan deskripsi wajah yang berbeda,
seperti tersenyum, mengerutkan dahi atau menangis. Anak-anak dapat
menunjukkan gambar yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan
mereka.
2) Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri (Kozier et al., 2018).Nilai-nilai budaya perawat
dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain.
Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari
ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang
berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa
berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku
berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
3) Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset

12
tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas
dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres
praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang
relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi
pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri
dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi
nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri
adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas
(Potter et al., 2013).
4) Pengalaman Masa Lalu
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa
menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih
sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda
sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti
terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan
nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Cara seseorang berespon
terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang
kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap
dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis
dan persisten. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari
pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk
waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika
nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih
sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu
mentoleransi nyeri dengan baik (Potter et al., 2013).
5) Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan
atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut

13
benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah
merupakan efek positif.Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat
meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali
makin banyak petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan
intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang
diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri
hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien
yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek
apapun. Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi
peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Potter et
al., 2013).
6) Keluarga Dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan
nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport,membantu
atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin
akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua
merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi
nyeri (Potter et al., 2013).
7) Pola Koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah
sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terusmenerus klien
kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan
termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek
nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber
koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti
berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan
sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien
(Potter et al., 2013).

14
c. Jenis-Jenis Nyeri
Secara umum nyeri dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu nyeri akut
dan kronik, dengan penjelasan sebagai berikut :
1) Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik
hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan
bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama
terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun
sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi
kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu
nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala &
Suryamiharja, 2007).
2) Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan
dengan penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati
karena biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Strong J, Unruh AM,
2001). Nyeri kronik ini juga sering di definisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan
merupakan merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk
membedakan nyeri akut dan nyeri kronis (Potter et al., 2013).
Berdasarkan (Andarmoyo, 2013) nyeri dapat dibedakan berdasarkan
lokasinya yaitu sebagai berikut:
1) Nyeri Perifer

15
Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :
 Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan pada
kulit dan mukosa.
 Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
 Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari
penyebab nyeri.
2) Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak
dan talamus.
3) Nyeri Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini
timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.
d. Teknik Relaksasi
Manajeman nyeri merupakan prosedur penatalaksanaan untuk
penanganan nyeri, terdapat dua manajeman dalam penanganan nyeri yaitu
secara farmakologi maupun non farmakologi. Tindakan farmakologis
biasanya diberikan dengan pemberian analgetik untuk menghilangkan rasa
nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam bahkan
sampai berhari-hari (Smeltzer & Bare, 2001). Analgetik dibagi menjadi 3
golongan yaitu non opioid (aseminofen dan NSAIDs), opioid (jenis
narkotik), dan koanalgesik atau adjuvants (Novita, 2019). Sedangkan untuk
terapi non farmakologis digunakan sebagai pendamping obat untuk
mempersingkat episode nyeri yang berlangsung relatife singat, dapat
dilakukan dengan cara relaksasi, teknik pernafasaan nafas dalam, distraksi,
hipnoterapi, hypnobrithing, terapi musick, massage, akupuntur, terapi
kompres panas dingin. atau TENS (Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation), dan berbagai macam teknik relaksasi yang sudah ada antara
lain relaksasi otot, relaksasi meditasi, yoga atau relaksasi hipnosa.

16
Dari berbagai macam bentuk relaksasi diatas belum ada pengkajian
tentang teknik relaksasi genggam jari. Teknik relaksasi genggam jari
merupakan upaya tindakan non farmakologi dalam manajeman nyeri teknik
ini bisa dilakukan secara mandiri dan mudah dilakukan oleh siapapun.
Tekink genggam jari merupakan kombinasi antara relaksasi nafas dalam
dan genggam jari-jari tangan mengunakan waktu yang relative singkat.
Sensasi yang dirasakan ketika melakukan teknik ini memberikan perasaan
nyaman, lebih rileks sehingga mampu membebaskan mental dan fisik dari
ketegangan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri
(Hasaini, 2019). Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa terapi
relaksasi genggam jari memberikan respon positif sehingga jaringan otot
lebih rileks, sirkulasi darah dan getah bening menjadi lancar, sehingga
mampu menghilangkan asam laktat dalam serat otot yang mampu
mengurangi kelelahan dan stress.
Kemudian terdapat juga teknik relaksasi nafas dalam. Teknik
relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan kebidanan, yang
dalam hal ini bidan mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan
nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat
menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi bernafas dalam juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Teknik
relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan
aktivitas simpatik dalam system saraf otonom (Fitriani, 2013). Pasien dapat
memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama
yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan
lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus) (Potter et al.,
2013).

17
Apabila nyeri pada pasien post operasi tidak segera ditangani akan
mengakibatkan pasien gelisah, imobilisasi, stress, dan ketegangan yang
akan menimbulkan respon psikis dan fisik (Primadina, 2019).
Pada pasien post operasi SC disarankan menunggu hingga 8 minggu
untuk memulai olahraga. Sebaiknya sebelum memutuskan untuk
berolahraga, ibu melakukan konsultasi dulu dengan dokter atau instruktur
yoga tentang gerakan yang aman untuk Anda. Yoga pasca persalinan
adalah latihan yoga intensitas rendah yang dimodifikasi. Banyak perubahan
yang terjadi pada tubuh Anda setelah melahirkan. Jenis yoga ini dirancang
untuk membantu pemulihan tubuh Anda. Yoga pascapersalinan
menawarkan manfaat paling besar selama tiga bulan pertama setelah
melahirkan.Berikut ini salah satu gerakan olahraga setelah operasi caesar,
di antaranya:
Yoga

Wanita dapat memulai yoga dua hingga tiga bulan setelah persalinan
caesar. Sebelum melakukan yoga atau latihan lainnya, pastikan
berkonsultasi dengan dokter tentang kesehatan dan keamanannya. Hal ini
dapat membantu Anda mengukur kemampuan tubuh untuk melakukan stres
fisik, peregangan, dan tarikan otot. Ada beberapa pose yoga yang
direkomendasikan, termasuk berikut ini:

1) Chaturanga Dandasana atau Pose Papan


Pose in harus dilakukan setelah 3 bulan hanya untuk menghindari
tekanan perut ekstra dan untuk mencegah terjadinya diastasis rekti-
kondisi yang membuat perut terlihat buncit. Pose papan adalah gerakan
yoga yang memfokuskan pada otot perut bagian atas. Caranya dengan
memulai posisi push-up, kemudian turunkan lengan dan meletakkan
siku di bawah bahu. Pastikan kaki tetap lurus ke belakang dan bokong

18
menekan ke atas. Kemudian tahan posisi ini selama 10-15 detik. Anda
bisa mengulanginya antara 5-10 kali.
2) Bhujangasana atau Pose Kobra
Postur kobra adalah asana yoga dengan gerakan membungkuk ke
belakang untuk memperkuat tulang belakang, otot pantat, dada, perut,
bahu, dan paru-paru, serta membantu meningkatkan sirkulasi darah dan
melepaskan stres. Pose ini sangat bermanfaat untuk mengurangi lemak
perut juga. Ini secara bertahap dapat mengencangkan otot-otot di area
bahu, perut, dan dada, mengurangi kekakuan punggung bagian bawah,
dan juga memperkuat lengan dan bahu.Cara melakukannya mulai
dengan berbaring telungkup dan meletakkan tangan di bawah bahu.
Pastikan siku dekat dengan tulang rusuk. Kemudian tarik napas dan
tekan telapak tangan ke lantai ketika mengangkat dada dari lantai.
Selanjutnya tekuk siku sedikit dan peluk ke samping. Buang napas dan
kembali untuk memulai.
3) Pranayama
Pranayama adalah teknik pernapasan sederhana yang bisa membantu
mengurangi lemak di perut setelah operasi caesar dengan memberikan
tekanan yang tepat pada area perut. Pose ini juga meningkatkan
konsentrasi selain membantu tidur dan mengurangi stres.Pose
pranayama cukup sederhana, Anda cukup duduk dengan punggung
tegak, misalnya dalam pose berkaki silang, atau pose teratai. Ini agar
napas menjadi halus dan rata dan tidak tegang bahkan setelah menahan
napas.
Pastikan untuk menjaga tubuh Anda dan tahu kapan harus berhenti.
Melakukan terlalu keras dan terlalu cepat bisa berbahaya.Kelas yoga
pascapersalinan harus melibatkan pose yang dimodifikasi. Hindari
memaksakan diri secara berlebihan, terutama pada beberapa minggu dan
bulan pertama setelah melahirkan.

19
2.5 Mobilisasi Post Operasi
a. Pengertian
Mobilisasi post operasi merupakan suar pergerakan, posisi atan adanya
kegiatan yang dilakukan pasien setelah beberapa jam post/pasca operasi.
b. Tujuan Mobilisasi
1) Mempertahankan fungsi tubuh
2) Memperlancar peredaran darah
3) Membantu pernafasan menjadi lebih baik
4) Memperlancar BAR dan BAK
5) Mempercepat proses penutupan jahitan operasi
6) Mengembalikan aktivitas tertentu, sehingga pasien dapat kembali
normal dan atau dapat memenshi kebutuhan gerak harian.
c. Manfaat Mobilisasi
1) Pasien menjadi lebih cepat sehat dan kuat serta membantu memeprcepat
organ-organ tubu bekerja seperti semula.
2) Mencegah terjadinya penyumbatan pembuluh darah.
d. Rentang Gerak Dalam Mobilisasi
1) Pasif
Untuk menjaga kelenturan otot- otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2) Aktif
Untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
3) Fungsional
Untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang
diperlukan.
e. Indikasi Mobilisasi Dini Setelah Operasi

20
1) Patah tulang anggota gerak bawah yang telah dianjurkan untuk latihan
mobilisasi
2) Post pengobatan kompresi lumbal,
3) Pasien pasca serangan stroke dengan kerusakan mobilitas fisik
4) Pasien post operasi yang memerlukan latihan mobilisasi, seperti
kolostomi atau laparostomi.
f. Kontraindikasi Mobilisasi Dini Setelah Operasi
Pada kasus tertentu istirahat di tempat tidur diperlukan dalam periode tidak.
terlalu lama seperti pada pada kasus infark Miokard akut, Disritmia
jantung, atau syuk sepsis, kontraindikasi lain dapat di temakan pada
kelemahan umum dengan tingkat energi yang kurang.
g. Kerugian Tidak Dilakukan Mobilisasi
1) Penyembuhan luka menjadi lama
2) Menambah rasa sakit
3) Badan menjadi pegal dan kaku
4) Kulit menjadi lecet dan luka
5) Memperlama perawatan dirumah sakit.
h. Tahap-Tahap Mobilisasi Dini Setelah Operasi
1) Setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien harus tirah baring dahulu.
Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan,
tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki,
mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan
menggeser kaki.
2) Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan
kekanan mencegah penyumbatan pebuluh darah.
3) Setelah 24 jam pasien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk
duduk.
4) Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan pasien belajar berjalan.

21
2.6 Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri atau tindakan untuk mengurangi nyeri yaitu terdiri dari
penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi.
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Penanganan nyeri yang di alami oleh individu dapat melalui intervensi
farmakologis, dilakukan oleh kolaborasi dengan dokter atau pemberi
perawat utama lainnya pada pasien, Obat-obat yang biasanya digunakan
adalah antiinflamsi nonsteroid. Obat-obatan ini dapat menurunkan nyeri
dan menghambat produksi prostatglandin dari jaringan-jaringan yang
mengalami trauma dan inflamasi yang menghambat reseptor nyeri untuk
menjadi sensitive terhadap stimulus penyakit sebelumnya (Smeltzer dan
Bare, 2002).
b. Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi terdiri dari intervensi perilaku kognitif
yang meliputi tindakan distraksi, tehnik relaksasi (terapi musik, nafas
dalam), imajinasi terbimbing, hypnosis dan sentuhan terapeutik (massage)
(Tamsuri, 2007).
Menurut Nursing Intervention and Classification/NIC (2013) peran perawat
dalam penatalaksanaan nyeri adalah:
a. Mengkaji nyeri seperti lokasi, karakteristik, durasi nyeri, frekuensi nyeri,
kualitas nyeri, intensitas nyeri dan faktor penyebab nyeri ).
b. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c. Menanyakan pengetahuan pasien tentang nyeri.
d. Mengkaji pengaruh nyeri yang dialami pasien pada tidur, selera makan,
aktivitas, perasaan, hubungan, peran pada pekerjaan dan pola
tanggungjawab.
e. Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.

22
f. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
g. Melakukan penanganan non-farmakologi seperti relaksasi, terapi musik,
guided imagery, terapi akupresur, terapi aktivitas dan massage.
h. Mengajarkan prinsip dari manajemen nyeri.
i. Menggunakan teknik pengontrolan nyeri/antisipasi sebelum nyeri berubah
menjadi berat.
j. Melakukan penanganan farmakologi yaitu pemberian

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Setelah operasi, pemenuhan kebutuhan dasar pasien seperti makan, minum,
dan tidur menjadi sangat penting. Nutrisi yang baik dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan dan memperkuat sistem imun. Hidrasi
yang cukup juga penting untuk menjaga fungsi tubuh yang optimal dan
membantu dalam proses penyembuhan.
b. Pemantauan tanda-tanda vital (TTV) seperti suhu tubuh, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah sangat penting untuk mengevaluasi kondisi
pasien dan mendeteksi dini adanya komplikasi. Pemantauan intake dan
output cairan juga penting untuk memastikan keseimbangan cairan dan
elektrolit serta fungsi ginjal yang normal.
c. Nyeri pasca operasi adalah hal yang umum dan dapat diatasi dengan
penggunaan analgesik dan teknik relaksasi. Teknik relaksasi seperti
pernapasan dalam, meditasi, dan terapi musik dapat membantu mengurangi
persepsi nyeri dan meningkatkan kenyamanan pasien.
d. Mobilisasi dini sangat penting pasca operasi untuk mencegah komplikasi
seperti trombosis vena dalam dan pneumonia. Mobilisasi dapat berupa
berjalan-jalan ringan atau melakukan latihan ringan di tempat tidur dengan
bantuan perawat atau fisioterapis.
e. Manajemen nyeri yang efektif melibatkan pendekatan multidisiplin yang
mencakup penggunaan obat-obatan, terapi fisik, dan teknik relaksasi. Tim
medis harus bekerja sama dengan pasien untuk menciptakan rencana
manajemen nyeri yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan individu
pasien.

24
3.2 Saran
a. Komunikasi yang Baik: Pastikan bahwa pasien memahami prosedur yang
telah dilakukan dan apa yang diharapkan selama masa pemulihan. Jelaskan
tentang pentingnya mengikuti instruksi medis dan rencana perawatan yang
telah ditentukan.
b. Pantau Kondisi Pasien: Monitor tanda-tanda vital pasien, tingkat nyeri, dan
kemajuan pemulihan secara rutin. Jika ada masalah atau komplikasi, segera
hubungi profesional medis yang bertanggung jawab.
c. Pengelolaan Nyeri yang Efektif: Nyeri pasca operasi harus ditangani
dengan efektif untuk memastikan kenyamanan pasien dan memfasilitasi
pemulihan. Ini bisa melibatkan penggunaan obat-obatan, teknik relaksasi,
atau terapi lainnya.
d. Nutrisi yang Baik: Nutrisi yang baik sangat penting untuk pemulihan.
Pasien harus makan makanan seimbang dan minum banyak cairan untuk
mendukung proses penyembuhan.
e. Mobilisasi Dini: Jika memungkinkan, pasien harus didorong untuk mulai
bergerak sesegera mungkin setelah operasi. Ini bisa berarti berjalan-jalan
ringan atau melakukan latihan sederhana di tempat tidur.
f. Dukungan Emosional: Dukungan emosional dari keluarga dan teman-
teman bisa sangat membantu selama masa pemulihan. Juga, jangan ragu
untuk mencari bantuan profesional jika pasien merasa cemas atau depresi.
g. Pemeriksaan Rutin: Jadwalkan dan ikuti janji temu pemeriksaan rutin
dengan dokter untuk memastikan bahwa proses penyembuhan berjalan
sesuai rencana.

25
DAFTAR PUSTAKA

Hasri, E, T. (2012). Praktik keselamatan pasien bedah di rumah sakit daerah. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan.Vol 15/n0 42/Des/2012.

Fauziah, I. A., & Irdawati, I. (2016). Upaya Mempertahankan Balance Cairan Dengan
Memberikan Cairan Sesuai Kebutuhan Pada Klien Dhf Di Rsud Pandan Arang
Boyolali. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses pada tanggal 18
Oktober 2017 dari, http://eprints.ums.ac.id/44561/1/JUDUL%20ISNA.pdf.

Schneider, A. G., Thorpe, C., Dellbridge, K., Matalanis, G., & Bellomo, R. (2013).
Electronic bed weighing vs daily fluid balance changes after cardiac surgery.
Journal of Critical Care, 28(6), 1113.e1-1113.e5. Diakses pada tanggal 30
Oktober 2017 dari, http://www.jccjournal.org/article/S0883-
9441%2813%2900254-2/pdf

Irianto, Koes. 2014. Gizi Seimbang Dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung :Alfabeta

Tetty, S. (2015) Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.

Ana Zakiyah. 2015. Nyeri “Konsep dan Penatalaksanaan dalam Praktik Keperawatan
Anak. Jakarta : Salemba Medika.

Berman, Snyder, Kozier, Erb. 2018. Buku Ajar Praktik keperawatan Klinis Kozier &
Erb. Edisi 5 Jakarta : EGC

Andarmoyo, S. (2013). Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta:Ar-Ruzz

Primadani, A. F., & Safitri, D. N. P. (2021). Proses Penyembuhan Luka Kaki


Diabetik Dengan Perawatan Luka Metode Moist Wound Healing. Ners Muda,
2(1), 9. https://doi.org/10.26714/nm.v2i1.6255.

Anda mungkin juga menyukai