TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus genus Orthohepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan
hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.
1. Hepatitis B akut, ditandai dengan gejala klinis dan ikterik yang biasanya hilang setelah 1-
3 bulan, dan dapat sembuh secara spontan serta membentuk kekebalan terhadap penyakit
ini. Pada Hepatitis B akut, HbsAg muncul dan hilang dalam waktu 4-6 bulan.
2. Hepatitis B kronis, infeksi hepatitis yang ditandai dengan adanya HbsAg persisten selama
lebih dari 6 bulan.
Pada beberapa pasien dalam fase residual, ketika terjadi serokonversi dari HBeAg
positif menjadi anti-HBe, ternyata sirosis sudah terjadi. Ini disebabkan oleh fibrosis yang
terjadi setelah nekrosis pada kekambuhan yang berulang sebelum serokonversi tersebut.
Pada fase residual, replikasi virus hepatitis B (VHB) sudah mencapai titik minimal, dan
penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif
lebih tinggi daripada pasien yang HBeAg positif. Namun, risiko terjadinya karsinoma
hepatoseluler (KHS) mungkin meningkat setelah infeksi Hepatitis B menjadi tenang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Onata melaporkan bahwa dari 500 pasien
KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yang positif. Dari jumlah ini, 46 (87%)
memiliki anti-HBe positif dan 30% memiliki HBeAg positif. Diduga bahwa integrasi
genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses penting dalam karsinogenesis.
Oleh karena itu, terapi antivirus harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis,
tetapi juga secepat mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati
yang dapat berkembang menjadi KHS.
Diagnosis hepatitis B dapat ditegakkan dari gelaja, tanda, dan meningkatnya enzim
hepar di sirkulasi darah. HBsAg dan HBeAg disekresikan ke pembuluh darah saat virus
sedang bereplikasi. HBsAg adalah penanda pertama infeksi HBV akut yang muncul
beberapa minggu sebelum gejala. Sedangkan untuk HBcAg tidak terdeteksi secara rutin
di dalam serum tetapi anti-HBc dapat cepat terlihat dalam 1 hingga 2 minggu pertama
setelah timbulnya HBsAg mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
minggu sampai bulan. Karena variasi waktu antara munculnya HBsAg dan anti-HBs ,
terdapat masa tenggang yang disebut window period. Dalam masa tenggangnya tersebut
HBsAg dan anti-HBs tidak dapat di deteksi, anti-HBc yang akan menjadi penanda infeksi
HBV sedang berlangsung.
infeksi kronis
Anti-HBc
● Muncul 3 bulan setelah infeksi (marker infeksi
infection
HBV DNA
● HBV DNA positif menunjukkan infeksi aktif,
Anti-HBc IgM + - - -
Anti-HBc IgG + + + -
HBsAg + + - -
Anti-HBs - - + +
HBeAg + +/- - -
Hepatitis B kronik
Pengidap inaktif
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat kriteria,
antara lain:
Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien non sirosis
dengan HBeAg positif, pasien non sirosis dengan HBeAg negatif, dan pasien sirosis. Derajat
fibrosis memegang peranan penting dalam dimulainya terapi.
Gambar 4. Indikasi Terapi pada pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Positif non sirosis
Gambar 5. Indikasi Terapi pada pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Negatif non sirosis
Gambar 6. Indikasi Terapi pada pasien Sirosis Hepatitis B Kronis
Secara umum, indikasi terapi pada pasien sirosis adalah sebagai berikut:
1. Sirosis kompensata: terapi dapat dimulai apabila terdeteksi HBV DNA pada pasien
dengan kadar ALT meningkat, atau HBV DNA > 2 x 10 3 IU/mL pada pasien dengan
kadar ALT normal. Pasien dengan sirosis umumnya tidak memerlukan pemeriksaan
derajat fibrosis.
2. Sirosis dekompensata: terapi dapat dimulai terlepas dari kadar HBV DNA, status HBeAg,
atau kadar ALT untuk menurunkan risiko perburukan penyakit. Pemeriksaan derajat
fibrosis hati tidak diperlukan. Pemeriksaan HBV DNA tetap direkomendasikan untuk
dikerjakan namun tidak boleh menunda terapi. Terapi perlu diteruskan hingga seumur
hidup. Pertimbangkan transplantasi hati apabila tidak terjadi perbaikan.
1. Pasien muda yang telah memiliki indikasi terapi, tanpa penyakit penyerta, dan memiliki
biaya yang mencukupi.
2. Pada pasien yang diketahui terinfeksi HBV genotipe A atau B, karena penelitian yang ada
telah membuktikan bahwa terapi interferon akan memberikan efektivitas yang lebih baik
pada infeksi HBV dari genotipe tersebut.
3. Lamivudin
Dosis : 100 mg/hari PO
Dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada:
- Pasien naif dengan HBV DNA <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x
batas atas normal.
- Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA HBV <2 x
103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai HBV DNA <2x102 IU/mL.
Lamivudin tidak disarankan untuk diberikan pada pasien berikut:
5. Telbivudin (LdT)
Dosis : 600 mg/hari PO
Dapat digunakan pada:
- Pasien naif dengan HBV DNA <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x
batas atas normal.
- Telbivudin juga dapat diteruskan bila pada minggu ke-24 mencapai HBV DNA tak
terdeteksi.
Kontraindikasi: pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir.
Hepatitis B Hemokromatosis
Autoimmune cholangiopathy
Sirosis biasanya merupakan bentuk progresi dari penyakit hati kronis. Pada negara
berkembang seperti Indonesia, penyebab paling sering adalah infeksi virus hepatitis B dan
hepatitis C. Lain halnya pada negara maju, dengan penyebab paling sering yaitu alkoholisme,
HCV, dan nonalcoholic steatohepatitis (NASH). Sirosis kriptogenik didefinisikan sebagai sirosis
dengan etiologi yang tidak jelas. Etiologi lain dipaparkan pada Tabel 4.
2.2.3 Klasifikasi
Sirosis hepatis dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi, etiologi, dan klinis (fungsional):
2.2.4 Patogenesis
Proliferasi sel stellata hepar dan aktivasinya menjadi miofibroblas diinisiasi oleh
serangkaian perubahan yang mencakup peningkatan ekspresi platelet-derived growth factor
receptor β (PDGFR-β) pada sel stellata. Pada saat yang bersamaan, sel Kupffer dan limfosit
menghasilkan sitokin dan kemokin yang mengatur ekspresi gen yang berperan dalam
fibrogenesis pada sel stellata; gen-gen ini mencakup transforming growth factor β (TGF-β) dan
reseptornya, metalloproteinase 2 (MMP-2), dan inhibitor jaringan metalloproteinase 1 dan 2
(TIMP-1 dan -2). Seiring dengan perubahan sel stellata menjadi miofibroblas, sel stellata juga
melepaskan faktor kemotaktik dan vasoaktif, sitokin, serta faktor pertumbuhan. Miofibroblas
adalah sel kontraktil; kontraksinya distimulasi oleh endothelin-1 (ET-1).
Rangsangan aktivasi sel stellata dapat berasal dari: (1) inflamasi kronik, dengan
dihasilkannya sitokin inflamatorik seperti tumor necrosis factor (TNF), limfotoksin, dan
interleukin-1β (IL-1β), serta produk-produk peroksidasi lipid; (2) sitokin dan kemokin yang
diproduksi oleh sel Kupffer, sel endotel, hepatosit, dan sel epitel saluran empedu; (3) sebagai
respon dari disrupsi matriks ekstraseluler; dan (4) stimulasi direk sel stellata oleh toksin. Jika
cedera terus terjadi, maka penumpukan jaringan ikat dimulai. Deposisi skar biasanya terjadi di
celah Disse.
Area parenkim hati yang hilang karena cedera dalam waktu yang lama perlahan-lahan
berubah menjadi septa fibrosa padat melalui mekanisme kombinasi antara kolapsnya jaringan
penyokong retikulin dan sel stellata hepar yang teraktivasi. Kemudian, septa fibrosa ini
melingkari hepatosit regeneratif yang masih bertahan hidup pada stadium akhir penyakit hati
kronis, sehingga mengakibatkan scarring difus pada sirosis.
Sindroma Cruveilhier Bising vaskuler pada regio Shunting dari vena porta ke
Baumgarten epigastrium cabang-cabang vena
umbilicalis, dapat ditemukan
tanpa caput medusae
Hipogonadisme Biasanya terjadi pada sirosis Efek toksik direk oleh alkohol
alkoholik dan hemokromatosis atau besi
Foetor hepaticus Nafas berbau manis dan tajam Dismetilsulfida yang bersifat
volatil (mudah menguap),
biasanya terjadi pada shunting
portosistemik dan gagal hati
Tabel 6. Temuan pada pemeriksaan laboratorium yang sering ditemukan pada pasien sirosis
Keterangan:
SGOT, serum glutamic oxaloacetic transaminase (atau AST; aspartate aminotransferase)
SGPT, serum glutamic pyruvic transaminase (atau ALT; alanine aminotransferase)
ALP, alkaline phosphatase
GGT, gamma glutamyl transferase
PBC, primary biliary cirrhosis
PSC, primary sclerosing cholangitis
1. Ultrasonografi
USG secara luas tersedia, murah, dan memberikan informasi penting tentang
arsitektur hati. Nodularitas dan peningkatan ekogenisitas hepar sering ditemukan pada
sirosis, namun dapat juga ditemukan pada steatosis. Biasanya terdapat atrofi lobus dextra dan
hipertrofi lobus sinistra, terutama pada lobus caudatus. Pemeriksaan USG Doppler pada
diameter dan kecepatan aliran darah vena porta dan vena sentral bermanfaat sebagai uji
skrining untuk mendeteksi hipertensi porta dan menilai patensi pembuluh darah. Selain itu,
USG merupakan modalitas pencitraan yang pertama kali digunakan pada pasien suspek
HCC. Namun, USG memiliki sensitivitas dan spesifisitas deteksi HCC yang lebih rendah
daripada CT scan dan MRI. Oleh karena itu, jika ditemukan lesi noduler hepar pada
pemeriksaan USG, maka perlu dikonfirmasi lagi menggunakan CT scan helikal atau MRI.
3. FibroScan
Elastografi atau FibroScan dilakukan untuk memeriksa kekakuan hepar melalui
gelombang dari USG atau MRI. Tetapi pemeriksaan ini kurang akurat jika dilakukan pada
pasien obesitas, asites, atau pasien yang memiliki spatium intercostalis sempit. Hasil
elastografi dinilai menggunakan skor METAVIR, yang dipaparkan pada Tabel 7 di bawah
ini.
F4 Terdapat sirosis
4. Biopsi Hepar
Biopsi merupakan baku emas dalam mendiagnosis sirosis, dengan menilai grading
inflamasi dan staging (atau stadium) fibrosis, sehingga dapat menilai risiko progresivitas
penyakit. Biopsi dilakukan untuk mengonfirmasi sirosis pada pasien dengan fungsi hepar
yang masih terkompensasi, serta untuk mencari etiologi dari sirosis. Biopsi hepar tidak perlu
dilakukan jika sudah terdapat tanda dan gejala sirosis yang jelas, seperti asites, koagulopati,
dan hepar berbentuk noduler yang mengecil.
2.1.7 Komplikasi
Tabel 8. Komplikasi sirosis hepatis
Tipe 1 Osteoporosis
Tipe 2 Osteomalasia
Malnutrisi Trombositopenia
Prehepatik
Hepatik
Presinusoidal
Skistosomiasis
Sinusoidal
Hepatitis alkoholik
Postsinusoidal
Posthepatik
Budd-Chiari syndrome
Kardiomiopati restriktif
Perikarditis konstriktif