Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus genus Orthohepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan
hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.

Perjalanan penyakit Hepatitis B akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu:

1. Hepatitis B akut, ditandai dengan gejala klinis dan ikterik yang biasanya hilang setelah 1-
3 bulan, dan dapat sembuh secara spontan serta membentuk kekebalan terhadap penyakit
ini. Pada Hepatitis B akut, HbsAg muncul dan hilang dalam waktu 4-6 bulan.
2. Hepatitis B kronis, infeksi hepatitis yang ditandai dengan adanya HbsAg persisten selama
lebih dari 6 bulan.

2.1.1 Hepatitis B kronik


Hepatitis B kronik adalah kondisi di mana virus hepatitis B (VHB) tetap ada dalam tubuh
selama lebih dari 6 bulan. Masalah ini terutama signifikan di Asia, di mana sekitar 75% dari
total 300 juta individu yang positif HBsAg (antigen permukaan hepatitis B) mengalami
infeksi kronis. Mayoritas pasien hepatitis B kronik di Asia terinfeksi pada masa perinatal.
Meskipun banyak pasien ini tidak mengalami gejala, seiring berjalannya waktu, mereka
dapat mengalami penyakit hati kronik.
Sebanyak 90% individu yang terinfeksi sejak lahir akan tetap HBsAg positif sepanjang
hidupnya, sementara hanya 5% individu dewasa yang mengalami infeksi akan mengalami
persistensi infeksi. Respons imun tubuh dan konsentrasi partikel VHB memainkan peran
penting dalam menentukan tingkat keparahan hepatitis. Semakin kuat respons imun tubuh
terhadap virus, semakin besar kerusakan pada jaringan hati. Sebaliknya, jika tubuh toleran
terhadap virus, kerusakan hati mungkin tidak terjadi.
Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase
immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi.
a. Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar
alanin aminotransferase (ALT) yang normal dimana sistem imun tubuh toleran
terhadap VHB tetapi tidak terjadi perdangan hati yang berarti.
b. Fase immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini
ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB.
c. Fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT
normal, dan kerusakan hati minimal.
d. Fase reaktivasi, ditandai dengan DNA VHB kembali mencapai >2000 IU/ml dan
inflamasi hati kembali terjadi

Pada beberapa pasien dalam fase residual, ketika terjadi serokonversi dari HBeAg
positif menjadi anti-HBe, ternyata sirosis sudah terjadi. Ini disebabkan oleh fibrosis yang
terjadi setelah nekrosis pada kekambuhan yang berulang sebelum serokonversi tersebut.
Pada fase residual, replikasi virus hepatitis B (VHB) sudah mencapai titik minimal, dan
penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif
lebih tinggi daripada pasien yang HBeAg positif. Namun, risiko terjadinya karsinoma
hepatoseluler (KHS) mungkin meningkat setelah infeksi Hepatitis B menjadi tenang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Onata melaporkan bahwa dari 500 pasien
KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yang positif. Dari jumlah ini, 46 (87%)
memiliki anti-HBe positif dan 30% memiliki HBeAg positif. Diduga bahwa integrasi
genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses penting dalam karsinogenesis.
Oleh karena itu, terapi antivirus harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis,
tetapi juga secepat mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati
yang dapat berkembang menjadi KHS.

2.1.2 Marker Serologis Hepatitis B

Diagnosis hepatitis B dapat ditegakkan dari gelaja, tanda, dan meningkatnya enzim
hepar di sirkulasi darah. HBsAg dan HBeAg disekresikan ke pembuluh darah saat virus
sedang bereplikasi. HBsAg adalah penanda pertama infeksi HBV akut yang muncul
beberapa minggu sebelum gejala. Sedangkan untuk HBcAg tidak terdeteksi secara rutin
di dalam serum tetapi anti-HBc dapat cepat terlihat dalam 1 hingga 2 minggu pertama
setelah timbulnya HBsAg mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
minggu sampai bulan. Karena variasi waktu antara munculnya HBsAg dan anti-HBs ,
terdapat masa tenggang yang disebut window period. Dalam masa tenggangnya tersebut
HBsAg dan anti-HBs tidak dapat di deteksi, anti-HBc yang akan menjadi penanda infeksi
HBV sedang berlangsung.

Tabel 1. Jenis-jenis marker serologis hepatitis B

Marker Interpretasi klinis

HBsAg (hepatitis B surface antigen)


● Jika positif, pasien dianggap terinfeksi

hepatitis B. Pengulangan tes setelah 6 bulan


untuk menentukan infeksi telah sembuh atau
kronik. HBsAg positif setelah 6 bulan tetap
terdeteksi dalam darah selama lebih dari enam
bulan berarti telah menjadi kronis

Anti-HBs (hepatitis B surface


● Imunitas terhadap infeksi virus hepatitis B
antibody)

IgM Anti-HBc (hepatitis B core


● Diobservasi saat infeksi akut (dapat
antibody)
digunakan untuk membedakan infeksi akut
dan kronik HBV)

● Dapat menjadi positif pada eksaserbasi berat

infeksi kronis

Anti-HBc
● Muncul 3 bulan setelah infeksi (marker infeksi

yang paling konstan)

● Total anti-HBc mengindikasikan resolved

infection

HBeAg (hepatitis B envelope


● HBeAg positif berhubungan dengan tingkat
antigen)
infeksi yang tinggi dan pada karier kronik
dengan peningkatan resiko sirosis. Tes ini
dapat digunakan untuk mengamati
perkembangan hepatitis B kronik.

Anti-HBe (hepatitis B envelope


● Mengindikasikan berkurangnya replikasi HBV
antibody)

HBV DNA
● HBV DNA positif menunjukkan infeksi aktif,

bergantung pada viral load (jumlah virus).


Tes ini dapat digunakan untuk mengetahui
prognosis dan keberhasilan terapi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit dan Marker Serologis Hepatitis B


Tabel 2. Interpretasi marker serologis pemeriksaan hepatitis B

Infeksi akut Infeksi kronis Post-infeksi Vaksinasi

Anti-HBc IgM + - - -

Anti-HBc IgG + + + -

HBsAg + + - -

Anti-HBs - - + +
HBeAg + +/- - -

Anti-HBe - +/- +/- -

HBV DNA Tinggi/rendah Rendah/tinggi - -

Tabel 3. Kriteria diagnosis infeksi HBV

Kriteria diagnosis infeksi HBV

Hepatitis B kronik

1. HBsAg seropositif > 6 bulan


2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-20.000 IU/mL
ditemukan pada HBeAg negatif)
3. Peningkatan ALT yang persisten maupun intermiten
4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat nekroinflamasi sedang
sampai berat

Pengidap inaktif

1. HBsAg seropositif > 6 bulan


2. HBeAg (-), anti-HBe (-)
3. ALT serum dalam batas normal
4. HBV DNA < 2.000 – 20.000 IU/mL
5. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi yang dominan

Resolved hepatitis infection

1. Riwayat infeksi hepatitis B, atau adanya anti-HBc dalam darah


2. HBsAg (-)
3. HBV DNA serum yang tidak terdeteksi
4. ALT serum dalam batas normal
Penyebab penyakit hati lain harus dievaluasi, termasuk diantaranya kemungkinan ko-
infeksi dengan VHC dan/atau HIV. Penyakit komorbid lain seperti penyakit hati metabolik,
autoimun, serta alkoholik dengan atau tanpa steatosis/steatohepatitis juga perlu dievaluasi.
Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan oleh nilai DNA VHB, ALT serum dan
gambaran histologis hati.

2.1.3 Indikasi Terapi Hepatitis B Kronis

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari empat kriteria,
antara lain:

1. Nilai DNA VHB serum


2. Status HbeAg
3. Nilai ALT
4. Gambaran histologis hati.

Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien non sirosis
dengan HBeAg positif, pasien non sirosis dengan HBeAg negatif, dan pasien sirosis. Derajat
fibrosis memegang peranan penting dalam dimulainya terapi.
Gambar 4. Indikasi Terapi pada pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Positif non sirosis
Gambar 5. Indikasi Terapi pada pasien Hepatitis B Kronik HbeAg Negatif non sirosis
Gambar 6. Indikasi Terapi pada pasien Sirosis Hepatitis B Kronis

Secara umum, indikasi terapi pada pasien sirosis adalah sebagai berikut:

1. Sirosis kompensata: terapi dapat dimulai apabila terdeteksi HBV DNA pada pasien
dengan kadar ALT meningkat, atau HBV DNA > 2 x 10 3 IU/mL pada pasien dengan
kadar ALT normal. Pasien dengan sirosis umumnya tidak memerlukan pemeriksaan
derajat fibrosis.
2. Sirosis dekompensata: terapi dapat dimulai terlepas dari kadar HBV DNA, status HBeAg,
atau kadar ALT untuk menurunkan risiko perburukan penyakit. Pemeriksaan derajat
fibrosis hati tidak diperlukan. Pemeriksaan HBV DNA tetap direkomendasikan untuk
dikerjakan namun tidak boleh menunda terapi. Terapi perlu diteruskan hingga seumur
hidup. Pertimbangkan transplantasi hati apabila tidak terjadi perbaikan.

2.1.4 Manajemen Terapi Hepatitis B Kronis


Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu (1) golongan interferon
(interferon konvensional, pegylated interferon α-2a dan α-2b), dan (2) golongan analog
nukelos(t)ida (lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir).

Interferon Analog Nukleos(t)ida

Durasi Terapi Dibatasi (maksimal 48 Seringkali harus jangka


Minggu) panjang (seumur hidup)

Cara Pemberian Injeksi Subkutan Oral 1 kali perhari

Dapat digunakan pada Tidak Ya


sirosis dekompensata

Efek Samping Banyak Minimal

Kemampuan menekan DNA Sedikit lebih rendah Sedikit lebih tinggi,


VHB dalam 1 tahun pemakaian lebih dari 1 tahun
akan meningkatkan angka
ini lebih jauh

2.1.4.1 Golongan Interferon


Interferon memiliki beberapa keuntungan, yaitu waktu pengobatan yang relatif
singkat, respon pengobatan yang baik dan cepat, serta tidak adanya resistensi terhadap obat.
Namun, interferon memiliki kekurangan, meliputi efek samping yang berat, pemberiannya
harus melalui suntikan, dan tidak dapat digunakan pada pasien dengan sirosis dekompensata.
Terapi interferon boleh digunakan pada pasien dengan karakteristik:

1. Pasien muda yang telah memiliki indikasi terapi, tanpa penyakit penyerta, dan memiliki
biaya yang mencukupi.
2. Pada pasien yang diketahui terinfeksi HBV genotipe A atau B, karena penelitian yang ada
telah membuktikan bahwa terapi interferon akan memberikan efektivitas yang lebih baik
pada infeksi HBV dari genotipe tersebut.

Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik:


a. Pasien sirosis dekompensata
b. Pasien dengan gangguan psikiatri
c. Pasien yang sedang hamil
d. Pasien dengan penyakit autoimun aktif

2.1.4.2 Golongan Nukleos(t)ida


1. Entecavir (ETV)
Dosis:
- 0.5 mg/hari PO untuk pasien naif
- 1 mg/hari PO untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin
Dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut:
- Pasien hepatitis B naif
- Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis
Entecavir tidak disarankan untuk diberikan pada pasien berikut:
- Pasien hepatitis B yang resisten terhadap entecavir.

2. Tenofovir disoproxil fumarate (TDF)


Dosis : 300 mg/hari PO
Dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut:
- Pasien hepatitis B naif
- Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis
Tenovovir tidak disarankan untuk diberikan pada pasien berikut:
- Pasien hepatitis B dengan gangguan ginjal

3. Lamivudin
Dosis : 100 mg/hari PO
Dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada:
- Pasien naif dengan HBV DNA <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x
batas atas normal.
- Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA HBV <2 x
103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai HBV DNA <2x102 IU/mL.
Lamivudin tidak disarankan untuk diberikan pada pasien berikut:

- Pasien resisten terhadap lamviduin, telbivudin, atau entecavir.

4. Adefovir dipivocil (ADV)


Dosis : 10 mg/hari PO
Dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut:
- Pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, dengan HBV DNA rendah, dan ALT
tinggi.
- Pasien dengan riwayat gagal terapi dengan pemberian analog nukleosida.

Adefovir tidak disarankan ada pasien:

- Hepatitis B kronik dengan gangguan ginjal.


- Pasien hepatitis B yang resisten terhadap adefovir.
- Pasien dalam pengobatan adefovir yang tidak menunjukkan respon pada minggu ke-
24 🡪 ganti strategi terapi dengan menambahkan atau mengganti ke analog
nukleos(t)ida lain.

5. Telbivudin (LdT)
Dosis : 600 mg/hari PO
Dapat digunakan pada:
- Pasien naif dengan HBV DNA <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x
batas atas normal.
- Telbivudin juga dapat diteruskan bila pada minggu ke-24 mencapai HBV DNA tak
terdeteksi.
Kontraindikasi: pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir.

2.2 Sirosis Hepatis


2.2.1 Definisi
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses fibrosis hati difus yang terjadi secara
bertahap, ditandai dengan distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
2.2.2 Etiologi
Tabel 4. Etiologi sirosis hepatis

Alkoholisme (alcoholic fatty liver disease) Sirosis kardiak

Hepatitis viral kronik Penyakit hepar metabolik yang diturunkan

Hepatitis B Hemokromatosis

Hepatitis C Penyakit Wilson

Hepatitis autoimun Defisiensi antitripsin alpha-1

Nonalcoholic steatohepatitis Cystic fibrosis

Sirosis bilier Sirosis kriptogenik

Primary biliary cirrhosis

Primary sclerosing cholangitis

Autoimmune cholangiopathy

Sirosis biasanya merupakan bentuk progresi dari penyakit hati kronis. Pada negara
berkembang seperti Indonesia, penyebab paling sering adalah infeksi virus hepatitis B dan
hepatitis C. Lain halnya pada negara maju, dengan penyebab paling sering yaitu alkoholisme,
HCV, dan nonalcoholic steatohepatitis (NASH). Sirosis kriptogenik didefinisikan sebagai sirosis
dengan etiologi yang tidak jelas. Etiologi lain dipaparkan pada Tabel 4.

2.2.3 Klasifikasi
Sirosis hepatis dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi, etiologi, dan klinis (fungsional):

1) Klasifikasi berdasarkan morfologi


a. Sirosis mikronoduler: nodul uniform dengan diameter < 3 mm. Disebabkan oleh
alkohol, hemakromatosis, obstruksi aliran vena hepatika, obstruksi bilier kronis,
jejunoileal bypass, dan Indian childhood cirrhosis.
b. Sirosis makronoduler: nodul ireguler dengan diameter > 3 mm. Disebabkan oleh
hepatitis B, hepatitis C, defisiensi alpha-1 antitrypsin, kolangitis bilier primer.
c. Sirosis campuran: campuran antara mikronodul dan makronodul
2) Klasifikasi berdasarkan etiologi
a. Viral: hepatitis B, C, dan D
b. Toksin: alkohol, obat-obatan
c. Autoimun: hepatitis autoimun
d. Kolestasis: primary biliary cholangitis, primary sclerosing cholangitis
e. Vaskuler: Budd-Chiari syndrome, sindroma obstruksi sinusoid, sirosis kardiak
f. Metabolik: hemokromatosis, NASH, Wilson disease, defisiensi alpha-1 antitrypsin,
sirosis kriptogenik
3) Klasifikasi berdasarkan klinis/fungsional
1) Sirosis hepatis kompensata (fase laten)
2) Sirosis hepatis dekompensata (fase aktif): disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoseluler dan hipertensi porta

2.2.4 Patogenesis
Proliferasi sel stellata hepar dan aktivasinya menjadi miofibroblas diinisiasi oleh
serangkaian perubahan yang mencakup peningkatan ekspresi platelet-derived growth factor
receptor β (PDGFR-β) pada sel stellata. Pada saat yang bersamaan, sel Kupffer dan limfosit
menghasilkan sitokin dan kemokin yang mengatur ekspresi gen yang berperan dalam
fibrogenesis pada sel stellata; gen-gen ini mencakup transforming growth factor β (TGF-β) dan
reseptornya, metalloproteinase 2 (MMP-2), dan inhibitor jaringan metalloproteinase 1 dan 2
(TIMP-1 dan -2). Seiring dengan perubahan sel stellata menjadi miofibroblas, sel stellata juga
melepaskan faktor kemotaktik dan vasoaktif, sitokin, serta faktor pertumbuhan. Miofibroblas
adalah sel kontraktil; kontraksinya distimulasi oleh endothelin-1 (ET-1).
Rangsangan aktivasi sel stellata dapat berasal dari: (1) inflamasi kronik, dengan
dihasilkannya sitokin inflamatorik seperti tumor necrosis factor (TNF), limfotoksin, dan
interleukin-1β (IL-1β), serta produk-produk peroksidasi lipid; (2) sitokin dan kemokin yang
diproduksi oleh sel Kupffer, sel endotel, hepatosit, dan sel epitel saluran empedu; (3) sebagai
respon dari disrupsi matriks ekstraseluler; dan (4) stimulasi direk sel stellata oleh toksin. Jika
cedera terus terjadi, maka penumpukan jaringan ikat dimulai. Deposisi skar biasanya terjadi di
celah Disse.
Area parenkim hati yang hilang karena cedera dalam waktu yang lama perlahan-lahan
berubah menjadi septa fibrosa padat melalui mekanisme kombinasi antara kolapsnya jaringan
penyokong retikulin dan sel stellata hepar yang teraktivasi. Kemudian, septa fibrosa ini
melingkari hepatosit regeneratif yang masih bertahan hidup pada stadium akhir penyakit hati
kronis, sehingga mengakibatkan scarring difus pada sirosis.

Gambar 7. Aktivasi sel stellata dan fibrosis hati


2.2.5 Manifestasi Klinis
Perjalanan sirosis hepatis lambat, asimtomatis, dan seringkali tidak dicurigakan sampai
munculnya komplikasi penyakit hati. Diagnosis sirosis hepatis asimtomatis biasanya ditegakkan
secara insidental ketika tes pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau penemuan radiologi,
sehingga selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati pada pasien. Sebagian
besar penderita yang datang ke dokter sudah dalam stadium dekompensata, disertai adanya
komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis.
Tabel 2 memaparkan tanda-tanda klinis sirosis hati dan penyebabnya.

Tabel 5. Tanda klinis sirosis hepatis dan penyebabnya

Tanda Deskripsi Penyebab

Ikterus Warna kekuningan pada kulit, Gangguan fungsi ekskresi


sklera, dan mukosa hepatosit. Terjadi jika kadar
bilirubin serum >2 mg/dL

Spider angiomata/ Pembuluh darah kecil yang Peningkatan kadar estradiol


spider naevi tersebar radier dari arteriol karena penurunan degradasi
sentral, biasanya terdapat pada estradiol oleh hepar
lengan atas, wajah, dan thoraks

Nodul hepar Hepar teraba keras dengan Fibrosis, regenerasi ireguler


permukaan ireguler pada palpasi

Splenomegali Pembesaran limpa pada palpasi Hipertensi porta, kongesti lien


atau ultrasonografi

Asites Cairan pada rongga abdomen Hipertensi porta


(cavitas peritonealis), secara
klinis terdeteksi jika volume
≥1.5 L

Caput medusae Vena dinding abdomen terlihat Hipertensi porta, membukanya


prominen, tersebar radier dari vena umbilicalis karena
umbilicus shunting dari vena porta
hepatis

Sindroma Cruveilhier Bising vaskuler pada regio Shunting dari vena porta ke
Baumgarten epigastrium cabang-cabang vena
umbilicalis, dapat ditemukan
tanpa caput medusae

Palmar eritema Eritema pada telapak tangan, Peningkatan kadar estradiol


dengan bagian sentral palma karena penurunan degradasi
pucat estradiol oleh hepar

Kuku putih Garis putih horizontal Hipoalbuminemia


(Muehrcke’s lines) dan/atau
bagian proksimal kuku warna
putih (Terry’s nails)
Osteoartropati Osteoartropati proliferatif pada Hipoksemia karena right-to-
hipertrofi/clubbing tulang-tulang panjang yang left shunting, hipertensi porto-
finger terasa nyeri pulmoner

Dupuytren’s Fibrosis dan kontraksi fascia Peningkatan stres oksidatif,


contracture palmaris peningkatan hypoxanthine (jika
terdapat paparan alkohol atau
diabetes)

Ginekomastia, rambut Proliferasi jaringan kelenjar Peningkatan perubahan


badan pola pria payudara pria yang bersifat jinak androstenedion menjadi estron
rontok dan estradiol, penurunan
degradasi estradiol oleh hepar

Hipogonadisme Biasanya terjadi pada sirosis Efek toksik direk oleh alkohol
alkoholik dan hemokromatosis atau besi

Flapping tremor Gerakan mengepak tangan Ensefalopati hepatikum,


(asterixis) dalam posisi dorsifleksi, tidak disinhibisi neuron motorik
sinkron antara kanan dan kiri

Foetor hepaticus Nafas berbau manis dan tajam Dismetilsulfida yang bersifat
volatil (mudah menguap),
biasanya terjadi pada shunting
portosistemik dan gagal hati

Anoreksia, fatigue, Terjadi pada >50% pasien Metabolisme katabolik oleh


penurunan berat sirosis hepar, sekunder karena
badan, atrofi otot anoreksia

Diabetes tipe 2 Terjadi pada 15-30% pasien Gangguan penggunaan glukosa


sirosis dan/atau penurunan degradasi
insulin oleh hepar
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik ditemukan pada sirosis hepatis dipaparkan
pada Tabel 6.

Tabel 6. Temuan pada pemeriksaan laboratorium yang sering ditemukan pada pasien sirosis

Pemeriksaan laboratorium Deskripsi Penyebab

SGOT dan SGPT Biasanya normal atau Kebocoran dari hepatosit


meningkat sedang yang rusak; rasio SGOT –
SGPT biasanya di atas 1,
terlebih pada sirosis
alkoholik

ALP Meningkat <3 kali, kecuali Kolestasis


pada PBC dan PSC

GGT Lebih spesifik terhadap Kolestasis


hepar daripada ALP, kadar
tinggi pada alkoholik aktif

Bilirubin Meningkat setelah GGT dan Kolestasis, penurunan fungsi


ALP, penting untuk prediksi ekskresi oleh hepatosit dan
derajat mortalitas ginjal (diperparah oleh
peradangan sistemik)

Albumin Menurun pada sirosis Penurunan produksi oleh


stadium lanjut hepar, sekuestrasi ke asites
dan interstisial (semakin
parah pada peradangan
sistemik), DD: malnutrisi,
protein losing enteropathy

Prothrombin time Menurun pada sirosis Penurunan produksi faktor


stadium lanjut koagulasi V dan VII oleh
hepar (walaupun produksi
thrombin tetap
dipertahankan), DD:
defisiensi vitamin K

Globulin imun Meningkat (biasanya IgG) Shunting darah vena porta


yang membawa antigen
intestinal ke jaringan limfe,
sehingga menstimulasi sel
plasma untuk menghasilkan
antibodi

Ketidakseimbangan natrium Hiponatremia Gangguan ekskresi cairan


melalui ginjal karena
peningkatan aktivitas
hormon antidiuretik (efek
reseptor vasopresin 2)

Anemia Makro-, normo-, atau Defisiensi folat,


mikrositik hipersplenisme, toksisitas
direk (alkohol), perdarahan
gastrointestinal (karena
varises esofageal)

Trombosit dan leukosit Trombositopenia, Hipersplenisme,


leukopenia disfibrinogenemia,
penurunan produksi
trombopoietin oleh hepar

Keterangan:
SGOT, serum glutamic oxaloacetic transaminase (atau AST; aspartate aminotransferase)
SGPT, serum glutamic pyruvic transaminase (atau ALT; alanine aminotransferase)
ALP, alkaline phosphatase
GGT, gamma glutamyl transferase
PBC, primary biliary cirrhosis
PSC, primary sclerosing cholangitis

Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebab sirosis hati:

a. Serologi virus hepatitis


- Hepatitis B: HBsAg, HBeAg, Anti HBC, HBV-DNA
- Hepatitis C: Anti HCV, HCV-RNA
b. Autoantibodi: ANA, ASM, Anti-LKM 🡪 hepatitis autoimun
c. Saturasi transferin dan feritin 🡪 hemokromatosis
d. Ceruloplasmin dan copper 🡪 penyakit Wilson
e. Alpha 1-antitrypsin
f. AMA 🡪 sirosis bilier primer
g. Antibodi ANCA 🡪 kolangitis sklerosis primer

2.2.6.2 Pemeriksaan Radiologi


Peran utama modalitas radiologi adalah mendeteksi dan mengevaluasi komplikasi
dari sirosis, seperti asites, hepatocellular carcinoma (HCC), dan trombosis vena porta
hepatis.

1. Ultrasonografi

USG secara luas tersedia, murah, dan memberikan informasi penting tentang
arsitektur hati. Nodularitas dan peningkatan ekogenisitas hepar sering ditemukan pada
sirosis, namun dapat juga ditemukan pada steatosis. Biasanya terdapat atrofi lobus dextra dan
hipertrofi lobus sinistra, terutama pada lobus caudatus. Pemeriksaan USG Doppler pada
diameter dan kecepatan aliran darah vena porta dan vena sentral bermanfaat sebagai uji
skrining untuk mendeteksi hipertensi porta dan menilai patensi pembuluh darah. Selain itu,
USG merupakan modalitas pencitraan yang pertama kali digunakan pada pasien suspek
HCC. Namun, USG memiliki sensitivitas dan spesifisitas deteksi HCC yang lebih rendah
daripada CT scan dan MRI. Oleh karena itu, jika ditemukan lesi noduler hepar pada
pemeriksaan USG, maka perlu dikonfirmasi lagi menggunakan CT scan helikal atau MRI.

2. CT scan dan MRI


CT scan dan MRI konvensional tidak bermanfaat untuk menentukan derajat keparahan
sirosis. Namun, CT scan helikal dan MRI dengan kontras merupakan pilihan modalitas utama
jika HCC dan lesi vaskuler dicurigai.

3. FibroScan
Elastografi atau FibroScan dilakukan untuk memeriksa kekakuan hepar melalui
gelombang dari USG atau MRI. Tetapi pemeriksaan ini kurang akurat jika dilakukan pada
pasien obesitas, asites, atau pasien yang memiliki spatium intercostalis sempit. Hasil
elastografi dinilai menggunakan skor METAVIR, yang dipaparkan pada Tabel 7 di bawah
ini.

Tabel 7. Sistem skoring Metavir untuk menilai derajat fibrosis hati

Skor Metavir Stadium Fibrosis

F0 Tidak terdapat fibrosis yang


terdeteksi

F1 Terdapat fibrosis dengan


ekspansi zona portal

F2 Terdapat fibrosis dengan


ekspansi zona portal dan
sedikit bridging (septa)

F3 Terdapat fibrosis dengan


ekspansi zona portal, marked
bridging (septa lebih banyak),
beberapa nodul

F4 Terdapat sirosis

4. Biopsi Hepar
Biopsi merupakan baku emas dalam mendiagnosis sirosis, dengan menilai grading
inflamasi dan staging (atau stadium) fibrosis, sehingga dapat menilai risiko progresivitas
penyakit. Biopsi dilakukan untuk mengonfirmasi sirosis pada pasien dengan fungsi hepar
yang masih terkompensasi, serta untuk mencari etiologi dari sirosis. Biopsi hepar tidak perlu
dilakukan jika sudah terdapat tanda dan gejala sirosis yang jelas, seperti asites, koagulopati,
dan hepar berbentuk noduler yang mengecil.

2.1.7 Komplikasi
Tabel 8. Komplikasi sirosis hepatis

Komplikasi sirosis hepatis

Hipertensi porta Koagulopati

Varises gastroesofageal Defisiensi faktor pembekuan

Gastropati hipertensi portal Fibrinolisis

Splenomegali, hipersplenisme Trombositopenia

Asites Penyakit tulang

Hepatorenal syndrome Osteopenia

Tipe 1 Osteoporosis

Tipe 2 Osteomalasia

Ensefalopati hepatik Kelainan hematologi

Hepatopulmonary syndrome Anemia

Hipertensi portopulmonary Hemolisis

Malnutrisi Trombositopenia

Karsinoma Sel Hati Neutropenia


2.1.7.1 Hipertensi Porta
Hipertensi porta adalah peningkatan gradien tekanan vena hepatik (hepatic venous
pressure gradient; HVPG) lebih dari 5 mmHg. Hipertensi porta merupakan penyebab utama
komplikasi mayor dari sirosis, yaitu perdarahan variseal dan asites.
Hipertensi porta disebabkan oleh (1) peningkatan resistensi intrahepatik terhadap
aliran darah porta karena adanya sirosis dan nodul regeneratif, dan (2) peningkatan aliran
darah splanikus sekunder karena vasodilatasi pembuluh darah splanikus. Berbagai etiologi
hipertensi porta tersusun pada Tabel 9 sebagai berikut.
Tabel 9. Klasifikasi hipertensi porta berdasarkan etiologi

Klasifikasi hipertensi porta

Prehepatik

Trombosis vena porta

Trombosis vena splenica

Splenomegali masif (Banti’s syndrome)

Hepatik

Presinusoidal

Skistosomiasis

Fibrosis hepar kongenital

Sinusoidal

Sirosis (etiologi paling sering; 95%)

Hepatitis alkoholik

Postsinusoidal

Obstruksi sinusoid hepar (sindroma venooklusif)

Posthepatik
Budd-Chiari syndrome

Inferior vena caval webs

Penyebab dari jantung

Kardiomiopati restriktif

Perikarditis konstriktif

Gagal jantung kongestif yang parah

Anda mungkin juga menyukai