Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS

NAMA : ADE SELVIANA


NIM : N202201008

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
TETANUS
A. Konsep Medis
1. Defenisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan spasme otot
yang periodik dan berat. Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah
Kesehatan masyarakat di negara berkembang karena akses program imunisasi
yang buruk (Jaya & Ricky, 2018).
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani,
dengan gejala utama spasme otot tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani (Leman
& Tumbelaka, 2016). Menurut Harum, spora Clostridium tetani biasanya masuk
ke dalam tubuh melalui luka pada kulit disebabkan terpotong, tertusuk, luka
bakar, gigi berlubang, atau infeksi pada tali pusat yang biasa dikenal sebagai
tetanus neonatorum. Saat terinfeksi, toksin ini akan dibawa menuju terminal
syaraf sehingga menurunkan fungsi sel saraf motorik yang bertanggung jawab
mengaktifkan otot secara sadar. Gambaran klinis tetanus diawali dengan kejang
otot di sekitar luka, lemah, cemas, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala,
kemudian kaku pada rahang, perut dan punggung yang mengeras serta kesukaran
untuk menelan (Maelandri, M.A.S & Rida, E. 2021).
2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani. Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia
dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora
ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Jika spora menginfeksi
luka seseorang, bersamaan dengan daging atau bakteri lain, ia akan memasuki
tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin
(Jaya & Ricky, 2018)
3. Manifestasi Klinis
Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus (Kliegman et
al., 2011 dalam Simanjuntak, 2013):
1. Grade I (ringan)
Trismus ringan, spastisitas general, tidak ada distress pernapasan, tidak
ada spasme dan disfagia.
2. Grade II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
3. Grade III A (berat)
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,apneic spell,
disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
4. Grade III B (sangat berat)
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia bergantian
dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menjadi
persisten
4. Patofisiologi
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen
labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin merupakan
suatu neurotoksin yang bersifat heat labile (tidak tahan panas). Tetanolysin
merupakan suatu toksin yang dikode oleh plasmid. Toksin ini secara serologis
mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolisin yang
dihasilkan oleh clostridium perfringens dan listeria monocytogenes.
Kepentingan klinis dari toksin ini tidak diketahui karena sifatnya yang mudah
dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol (Jaya & Ricky, 2018)
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis dari
tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat dieliminasi.
Penyebaran tetanospasmindapat melalui hematogen ataupun limfogen yang
kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motoric (Jaya & Ricky, 2018)
Toksin ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan
subunit B (heavy chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen
akan memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah
gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat (carbohydrate-
binding domain) pada ujung karboksi-terminal subunit B berikatan dengan
reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf
motorik. Toksin akan diinternalisasi oleh vesikel endosome (Jaya & Ricky,
2018)
Asidifikasi endosom akan menyebabkan perubahan konformasi ujung N-
terminal subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam membran
endosom, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus membran
endosome menuju ke sitosol. Toksin mengalami retrograde axonal transport dari
perifer kemudian menuju saraf presinaps, tempat toksin tersebut bekerja.
Subunit A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang memecah
vesicleassociated membrane protein-2, VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein
ini merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam
endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibitorik, yaitu glisin dan gamma-amino butyric acid
(GABA) (Jaya & Ricky, 2018).
Hal ini menyebabkan aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi dan
memberikan gambaran kekakuan otot, spasme dan paralisis spastik. Proses ini
terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular junction (NMJ). Otototot yang
memiliki jaras persarafan (neuronal pathways) terpendek akan terkena lebih
dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal gejala dapat timbul
trismus (kaku rahang) dan disfagia (Jaya & Ricky, 2018).
5. Pathway Tetanus
6. Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas
sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator.2
Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya.26
Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang
spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal
ginjal akut.
Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang
didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah
pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan
komplikasi akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus
diotopsi.
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom
karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini
meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan
bradikardi. Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala
tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala
spasme otot dan disfungsi otonom
7. Pencegahan Tetanus
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan
pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam
memberikan proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting,
mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan (Simanjuntak, 2013):
A. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu
pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT
pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas
pada militer selama perang dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia,
adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia
dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri
sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai
DaPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12
Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin
pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu,
setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan
belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali
dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera pada saat
WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang
bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama.
Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat
pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan
interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan
fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.
Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan
seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis
DPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan
pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan
dilahirkan.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum
sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi
serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat,
penting diperhatikan adalah jangan membungkus punting tali
pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat,
mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6
jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS
profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Dosis untuk anak < 7 tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk
anak ≥ 7 tahun: 250 IU IM dosis tunggal

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian Umum
a. Keluhan Utama
Keluhan yang dialami saat masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji perkembangan Kesehatan pasien dari awal masuk rumah sakit hingga
saat pengkajian
c. Riwayat penyakit dahulu
Anamnesa pada pengkajian pasien apakah klien pernah dirawat dirumah sakit
atau pernah mengalami operasi
d. Riwayat keluarga
Dapatkan data tentang hubungan kekeluargaan dan hubungan darah apakah
klien beresiko terhadap penyakit yang bersifat genetic atau familiar
Pengkajian Khusus
a. Kaji Riwayat dan faktor pencetus
b. Kaji manifestasi kejang atau aktivitas kejang
c. Respon keluarga
Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernapasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot
pernafasan
b. Sistem kardiovaskular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu
tubuhawalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C
c. Sistem neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satuatau beberapa saraf otak
d. Sistem perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output
tidakada/oliguria)
e. Sistem pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus
f. Sistem integument dan musculoskeletal : nyeri kesemutan pada tempat
luka,berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus,
spasme otot mukadengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus,
otot kaku dan kesulitan menelan
2. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan termogulasi berhubungan dengan proses penyakit
2) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
3) Nyeri akut
3. Intervensi
Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Regulasi temperature
termogulasi Tindakan keperawatan 1. Monitor TTV
berhubungan selama proses 2. Monitor suhu tiap 2 jam
dengan proses keperawatan diharapkan 3. Monitor tanda tanda
penyakit status termogulasi hipotermia dan hipertermia
efektif dengan kriteria 4. Tingkatkan intake cairan dan
hasil : nutrisi
1. Temperatur stabil 5. Selimuti pasien untuk
2. Tidak ada kejang mencegah hilangnya
3. Tidak ada perubahan kehangatan tubuh
warna kuli 6. Berikan antipiuretik, jika
perlu
2 Bersihan jalan Setelah dilakukan Airway management
napas tidak Tindakan keperawatan 1. Posisikan pasien untuk
efektif selama proses memaksimalkan ventilasi
berhubungan keperawatan diharapkan 2. Lakukan fisioterapi dada,
dengan bersihan jalan napas jika perlu
obstruksi jalan efektif dengan kriteria 3. Keluarkan secret dengan
napas hasil : batuk efektif
1. Suara napas bersih 4. Auskultasi suara napas, catat
2. Tidak ada sputum catat adanya suara napas
3. Tidak ada dispnea tambahan
4. Menunjukan jalan 5. Berikan bronkodialtor jika
nafas paten perlu’
6. Monitor respirasi dan status
oksigen
7. Kolaborasi pemberian
nebulizer
8. Bantu dan ajarkan kepada
pasien mengenai teknik
napas dalam
3 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
berhubungan Tindakan keperawatan 1. Identfikasi nyeri PQRST
dengan agen selama proses 2. Monitor tanda tanda vital
cedera fisik keperawatan diharapkan 3. Berikan tindakan
nyeri berkurang dengan kenyamanan
kriteria hasil : 4. Ajarkan teknik relaksasi
1. Klien mengatakan nafas dalam untuk
nyeri berkurang menurunkan nyeri
5. Berikan analgetic sesuai
indikasi
4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Potter & Perry,
2010). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan
pasien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan,
strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti &
Muryanti, 2017)
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien,
perawat dan anggota tim kesehatan lainnya (Padila, 2012). Menurut Setiadi
(2012) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan Keperawatan, Tahap evaluasi
adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien
dengan tujuan yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Dinarti, & Muryanti, Y. (2017). Bahan Ajar Keperawatan: Dokumentasi


Keperawatan.
Jaya, H.L. & Ricky, A. 2018. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit.
Anesthesia & Critical Care. Vol. 36 No.3.
Maelandri, M.A.S & Rida, E. 2021. Optimalisasi Waktu Inkubasi Dan Konsentrasi
Pepsin Pada Aktivitas Produksi Serum Anti Tetanus. Jurnal Sosial Dan
Sains. Vol. 1 No. 11
Rahmanto, dkk. 2017. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Pada Kematian
Pasien Tetanus Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Simanjuntak, P. 2013. Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak. Jurnal Medula
Vol. 1 No.4

Anda mungkin juga menyukai