Anda di halaman 1dari 11

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL


BEDAH DI RUANG WIJAYA KUSUMA RSUD WATES

Disusun Oleh:
MULYADI M. ABDULLAH
213203099

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XVIII


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2022/2023
KONSEP DASAR TETANUS

A. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan bakteri Clostridium
tetani. Bakteri Clostridium tetani dapat dicegah melalui pemberian vaksin.
Tertia et al., 2019 menyatakan bahwa tetanus merupakan penyakit serius
yang dapat mengancam nyawa seseorang dan menjadi masalah kesehatan
dunia terutama di negara berkembang dengan angka kejadian 1.000.000
pada setiap tahunnya di dunia. Di Indonesia, kejadian berkisar 0.2/100.000
populasi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh racun yang diproduksi bakteri
basil aneorob gram positif, Clostridium tetani yang dapat dicegah dengan
pemberian vaksinasi. C.tetani terdapat dilingkungan bebas, debu, benda
berkarat, ataupun peralatan operasi yang tidak steril. Berdasarkan data dari
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), mengatakan bahwa
angka kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibandingkan saat
pertama kali penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan angka kematian
telah menurun 99%.
B. Etiologi tetanus
Jaya dan Ricky, (2018) mengatakan bahwa tetanus dapat
disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
berspora, yang dapat dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, atau juga
bisa pada manusia dan pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja
binatang tersebut. Apabila spora menginfeksi luka seseorang, bersamaan
dengan daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita
tersebut, kemudian mengeluarkan racun yang bernama tetanospasmin.
Prawira et al., (2019) mengatakan bahwa penyebab kasus tetanus
meningkat dimasyarakat yaitu :
1. Lingkungan dengan sanitasi buruk sehingga menyebabkan bakteri
clostridium tetani akan mudah berkembang biak, dan pada umumnya
penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal
dilingkungan yang kotor.
2. Kebersihan tempat dan alat persalinan yang kurang dijaga sehingga
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tetanus pada bayi maupun ibu
yang sedang melakukan persalinan.
3. Kurangnya kesadaran masyarakat dengan tingkat ekonomi kelas
menengah kebawah tentang pengetahuan penyakit tetanus dan
pentingnya imunisasi tetanus serta perawatan luka yang kurang baik.
C. Patofisiologi tetanus
Jaya dan Ricky, (2018) mengatakan bahwa clostridium tetani
menciptakan dua jenis racun diantaranya tetanolysin dan tetanospasmine.
Tetanolysin adalah suatu hemolisin dan bersifat oksigen labile (mudah
diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmine adalah suatu
neuroracun yang bersifat heat labile (tidak tahan panas). Tetanolysin
adalah suatu racun yang dikode oleh plasmid. Tetanolysin secara serologis
sama dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolisin yang
dihasilkan oleh clostridium perfringens dan listeria monocytogenes.
Kepentingan klinis dari tetanolysin tidak diketahui karena sifatnya yang
mudah dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol.
Tetanospasmin merupakan racun yang berperan dalam manifestasi
klinis dari tetanus. Apabila racun terikat dengan saraf maka racun tidak
dapat dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen
ataupun limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf
motorik. Tetanospasmin mempunyai dua subunit dan tiga domain, subunit
A (light chain) dan subunit B (heavy chain). Begitu racun disekresikan,
maka protease endogen akan memecah tetanospasmin mejadi dua subunit.
Reseptor untuk tetanospasmin adalah gangliosida pada neuron motoris.
Domain pengikat karbohidrat (carbohydrate- binding domain) pada ujung
karboksi-terminal subunit B berikatan dengan reseptor asam sialat yang
spesifik dan glikoprotein pada permukaan sel saraf motorik. Racun akan
dimetabolisme secara internal oleh vesikel endosom.
Asidifikasi endosom akan menghasilkan perubahan konformasi
ujung-N subunit B, yang kemudian memasukkan subunit B kedalam
membran endosom, sehingga memungkinkan subunit A keluar menembus
membran endosom menuju ke sitosol. Racun mengalami transportasi
retrograde dari perifer ke saraf presinaptik, yang dimana tempat racun
tersebut bekerja. Subunit A merupakan suatu zinc-dependent
metalloprotease yang memecah vesicle associated membran protein-2,
VAMP-2 (atau synaptobrevin). Protein ini merupakan komponen utama
SNARE-complex yang berperan dalam endositosis dan pelepasan
neurotransmitter. Racun ini menghambat pelepasan neurotransmitter
penghambat, yaitu glisin dan asam butirat gamma-amino (GABA).
Hal ini menyebabkan penghambatan aktivitas neuron motorik
menjadi tidak terinhibisi dan memberikan gambaran kekakuan otot,
spasme dan paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinapsis, termasuk
neuromuscular junction (NMJ). Otot-otot yang memiliki jalur persarafan
(neuronal pathways) terpendek akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot
mastikasi. Jadi pada awal gejala timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia
(kesulitan menelan).
D. Kondisi klinis terkait
Astawa (2019) mengatakan bahwa kondisi klinis terkait akibat
toksin disebut tetanospasmin. Tetanospasmin akan menyebabkan
spasme, yang bekerja pada beberapa level susunan saraf pusat dengan
cara;
1. Toksin akan bekerja menghalangi transmisi neuromuskular
dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari terminal nerve.
2. Karakteristik spasme terjadi karena toksin menggangu fungsi
reflek sinap di spinal kord.
3. Kejang pada tetanus disebabkan pengikatan toksin oleh serebral
ganglioside.
4. Beberapa penderita akan mengalami gejala autonomi seperti
berkeringat, hipertensi, takikardi, sampai aritmia.
E. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi
rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lainnya
meliputi atelectasis, pneumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine,
infeksi traktus urinarius, ulkus decubitus, thrombosis vena, dan
tromboemboli (Jaya dan Ricky, 2018). Komplikasi yang bisa terjadi adalah
henti napas pada saat kejang-kejang terutama akibat rangsangan pada
waktu memasukkan pipa lambung, aspirasi sekret pada saat atau setelah
kejang, yang dapat menimbulkan aspirasi pneumoni, atelektasis, atau abses
baru. Pada jantung bisa terjadi takikardi dan aritmia olehkarena
rangsangan simpatis yang lama.
F. Manifestasi klinis
Prawira et al., (2020) mengatakan bahwa gejala awal tetanus
ditandai dengan trimus, kejang, panas, opistotonus, dan kekauan pada
leher. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh (Jaya dan Ricky, 2018) yang
mengatakan bahwa gejala awal tetanus ditandai dengan kekakuan otot
yang lebih dulu terjadi pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek.
Oleh karena itu, gejala yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk
dirumah sakit yaitu trimus, kaku leher, nyeri punggung, dan nyeri perut.
Gejala lain berupa hipertensi, takikardia, dan demam. Beberapa macam
gangguan kardiovaskular diantaranya disritmia, infark miokar, serta kolaps
sirkulasi yang sering menyebabkan nekrosis atau kematian. Tanda
overaktivitas.simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang
diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari
setelah onset spasme otot. Henti jantung mendadak umum terjadi dan
dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang
tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas
simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi.
Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest,
dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan fisik terdiri dari penimbangan berat badan,
pemeriksaan tanda-tanda vital, dan pemeriksaan lingkar lengan atas
(Yulivantina et al., 2021).
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan urin, pemeriksaan
kadar hemoglobin, pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan gigi,
pemeriksaan kolesterol, pemeriksaan asam urat, serta pemeriksaan
penyakit menular seperti hepatitis B dan infeksi menular seksual.
(Yulivantina et al., 2021).
H. Penatalaksanaan
Lam min dan C Lousie, (2019) mengatakan bahwa penanganan
pada luka yang baik seperti memberikan anti toksin, antibiotik, serta
penanganan suportif. Penatalaksanaan pada kasus tetanus terbagi menjadi
tiga sasaran, yaitu:
1. Membuang sumber tetanospasmin.
2. Menetralisasi racun yang tidak terikat, dan
3. Melakukan perawatan penunjang
 Secara umum, penderita tetanus ditetapkan pada area yang sedikit
atau minimal dari berbagai stimulus, gangguan obstruksi jalan
nafas harus ditangani, pemantauan kardiopulmoner, luka segera
dieksplorasi dan dilakukan debridemen.
 Untuk menetralisisasi racun pada tetanus maka perlu dilakukan
pemberian TIG (Tetanus Immuneglobuline) pada penderita tetanus
dengan dosis 3000 sampai 10.000, melalui intermuskuler,
kemudian pemberian dosis dibagi menjadi tiga dosis yang sama
lalu diinjeksikan ditempat yang berbeda. Pemberian TIG yang
diberikan lebih cepat pada penderita tetanus akan menjadi lebih
efektif.
 Bila TIG tidak tersedia maka diberikan ATS dengan dosis 100.000
sampai 200.000 unit. Hari pertama diberikan 50.000 unit
intramuskular dan 50.000 unit intravena. Hari ke-dua 60.000 unit
intramuskular dan hari ke-tiga 40.000 unit intramuskular.
 Untuk mengatasi kejang otot dan kekakuan otot, perlu diberikan
obat diazepam dengan dosis 0,1 sampai 0,3 mg/kgBB/kali dengan
interval 2 sampai 4 jam sesuai dengan gejala yang dialami oleh
pasien. Apabila belum terkontrol, bisa diberikan obat sedasi lain
seperti phenobarbital dan chlorpromazine.
 Untuk mengobati sumberi infeksi, dapat diberikan obat
metronidazole secara intravena dengan dosis inesial 15 mg/kg bb
dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kg bb/hari setiap 6 jam selama 7
sampai 10 hari. Apabila terjadi infeksi campuran dengan kuman
penghasil betalaktamase.
 Lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000 sampai
100.000 unit/kg bb/hari selama 7 sampai 10 hari. Apabila pasien
mengalami alergi penicillin, dapat diberikan alternativ seperti
eritromisin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin. Tetrasiklin
dengan dosis 50 mg/kg bb/hari.
I. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
2. Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder:
vaksinasi tidak adekuat.
3. Defisit perawatan diri b.d kelemahan d.d tidak mampu mandi/
mengenakan pakaian/ketoilet/berhias secara mandiri.
J. Rencana keperawatan
SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen Nyeri.
agen pencedera tindakan I.08238
fisik keperawatan selama 1. Monitor
3x24 jam, TTV
diharapkan nyeri 2. Identifikasi
klien dapat lokasih,
berkurang dengan karakteristik
kriteria hasil : , durasi,
Kontrol nyeri. frekuensi
L.08065 dan kualitas
1. Melaporkan dan
nyeri yang intensitas
terkontrol nyeri.
dari sedang 3. Identifikasi
menjadi respon nyeri
cukup non verbal
meningkat. 4. Identifikasi
2. Kemampuan factor yang
mengenali memperbera
penyebab t dan
nyeri dari memperinga
sedang n nyeri.
menjadi 5. Berikan
meningkat. tehnik non
3. Kemampuan farmakologi
menggunaka untuk
n tehnik non mengurangi
farmakologi rasa nyeri.
dari sedang 6. Ajarkan
menjadi tehnik non
meningkat. farmakologi
4. Keluhan untuk
nyeri mengurangi
menurun. rasa nyeri.
5. Penggunaan 7. Tingkatkan
analgesik istirahat.
menurun. 8. Kolaborasi
pemberian
analgesik
jika perlu.
2. Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan
b.d tindakan Infeksi. I.14539
ketidakadekuat keperawatan selama 1. Monitor
an pertahanan 3x24 jam, tanda dan
tubuh sekunder: diharapkan risiko gejala
vaksinasi tidak infeksi klien dapat infeksi local
adekuat. teratasi dengan dan
kriteria hasil : sistemik.
Tingkat Infeksi. 2. Batasi
L.14137 jumlah
1. Demam dari pengunjung.
sedang 3 3. Cuci tangan
menjadi sebelum dan
cukup sesudah
menurun 5 kontak
2. Nyeri dari dengan
sedang 3 pasien dan
menjadi lingkungan
cukup pasien.
menurun 5. 4. Pertahankan
3. Kadar sel Teknik
darah putih aseptik pada
dari sedang pasien
3 menjadi beresiko
membaik 5. tinggi.
5. Jelaskan
tanda dan
gejala
infeksi
6. Ajarkan cara
mencuci
tangan
dengan
benar.
7. Ajarkan cara
memeriksa
kondisi luka
atau luka
operasi.
8. Ajurkan
meningkatka
n asupan
nutrisi.
9. Anjurkan
meningkatka
n asupan
cairan.
10. Kolaborasi
pemberian
imunisasi,
jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, N. P. P. 2019. Tetanus generalisata dengan jaringan nekrrotik digiti III
pedis sinistra: sebuah laporan kasus. Tersedia
file:///C:/Users/MyBook11G/Downloads/8518-1-15192-1-10-
20140407.pdf. Diakses pada tanggal 11Maret Pukul 05:3.
Jaya, H. L dan R. Aditya. 2018. Pengelolaan pasien tetanus di intensive care unit.
Jurnal Anesthesia & Critical Care 36(3): 114-121.
Prawira, T. B. A. A., N. P. Witari, dan K. Tini. 2020. Factor-faktor yang
berhubungan dengan luaran klinis pasisen tetanus di RSUP Sanglah pada
bulan Januari 2018- Oktober 2019. Jurnal Intisari Sains Medis 11(3): 948-
954.
Tertia, C., I. K. Sumada., dan N. K. C. Wiratmi. 2019. Tetanus tipe general pada
usis tua tanpa vaksinasi: Laporan kasus dan tinjauan pustaka. Callosum
Neurology Journal 2(3): 110-118.
Yulivantina, E. V., Mufdlilah., dan H. F. Kurniawati. 2021. Pelkasanaan skrining
prakonsepsi pada calon pengantin perempuan. Jurnal Kesehatan Produksi
8(3): 47-53.

Anda mungkin juga menyukai