Anda di halaman 1dari 7

Jalan Menuju Bintang

Ikadek siman Ariputra

“Mimpi laksana Bintang di angkasa nan gelap”

Di sebuah desa kecil nan damai, tinggalah dua sahabat, Dika dan
Adi. Mereka sama-sama bermimpi besar untuk menjadi penulis
terkenal. Setiap hari, mereka berdua menyusun cerita di bawah
pohon rindang di tepi sungai. Gemericik suara air dengan hembusan
angin menyejukan hati mereka tatkala menggores tinta di atas
secarik kertas putih. Dika dan Adi selalu kukuh dengan impian
mereka. Meraka senatiasa memperluas jalan yang akan mereka
tapaki tatkala menuju impian mereka. Supaya dikala mereka
menyusuri jalan itu tiada hambatan yang menghambat langkah
mereka.

Burung – burung terbang mengitari mereka. Asri nan damai


atmosfer di tempat mereka menyusun setiap cerita yang akan
membawa mereka ke tepi impian mereka. Tak pernah terpintas
sedikitpun rasa untuk menyerah dikala semua tak terasa indah. Ini
adalah sebuah kisah sahabat yang sempurna. Rasa senang
berkecamuk di benak mereka ketika cerita yang mereka susun
nampak menarik untuk di terbitkan. Satu lembar sempurna penuh
dengan makna tampak jelas di atas beberapa kertas yang telah
berbentuk bola yang menandakan cerita itu telah gagal untuk di
buat. Tak pernah merasa lelah, tak pernah merasa perih ketika
kegagalan datang menghampiri. Laksana pohon yang tinggi selalu
kukuh ketika di terjang oleh badai petir dan angin kencang
sekalipun. Begitulah jika di umpamakan kesetiaan dan perjuangan
dua sahabat itu. Selalu bersama dalam menggapai cita. Karena
diantara mereka terikat janji setia. Suatu hari, Dika mengatakan
pada Adi, "Adi, kita harus memperjuangkan mimpi kita dengan
sungguh-sungguh. Seperti burung yang terbang tinggi mencapai
langit biru."

Adi tersenyum, "Ya, kita akan menjadi penulis hebat suatu hari
nanti. Seperti matahari yang menerangi dunia dengan cerita-cerita
kita." Begitulah sedikit dialoh mereka. Ditengah gemericik air sungai
mereka berdua melimpahkan segala inspirasi di atas secarik kertas,
menepis setiap omongan yang inggin menggagalkan langkah mereka
dalam menggapai cita.Setiap saat waktu berdetak. Penanggalan
berganti setiap itu pula jutaan kata menepis hati mereka. Bukalah
pujaan namun hinaan keluar dari mulut orang-orang Jahanam.

Yang mereka lihat adalah kegagalan. Sering terlintas di benak


mereka akankah, mimpi ini terlalu tinggi??. Begitulah segelintir kata
yang sering membanjiri pikiran mereka. Kini Dika dan Adi terus
semangat menyusun cerita. Tak peduli jutaan kertas telah
menggambarkan kegagalan mereka, dan terus menulis hingga
tersusun beberapa cerita yang utuh. Hingga mucul sebuah ide untuk
mencoba menerbitkan cerita nya. “Bagaimana jika kita terbitkan
cerita ini?” Tanya Adi sembari melihat sehelai demi sehelai cerita
mereka. “Boleh itu….” Dika tersenyum tanda setuju.
Dika dan Adi mencoba untuk mengirim naskah mereka ke berbagai
penerbit. Namun, ketika mereka berdua mengirimkan cerita mereka
ke berbagai penerbit, mereka seringkali mendapat penolakan. Dika
merasa putus asa, "Adi, mungkin mimpi kita terlalu besar. Seperti
kapal yang terombang-ambing di tengah badai." Adi mengusap
punggung Dika, "Jangan menyerah, Dika. Kita harus kuat seperti
pohon yang teguh berdiri di hadapan angin kencang."

Rangkulan tangan Adi di punggung Dika membangkitkan kembali


semangat yang hampir padam. Laksana lilin yang tertiup angin,
Cahayanya bergoyang goyang namun belum terpadamkan sebuah
tangan dengan cepat membetengi cahaya itu. Walaupun banyak
penerbit menolak naskah mereka. Namun Adi dan Dika tak patah
arang, mereka mencoba untuk membuat cerita lagi. Cerita yang
lebih menarik dan lebih menginspirasi. “Udahlah… jangan sok jadi
penulis” Begitulah cibiran orang-orang kepada dua sahabat itu. Yang
mungkin bisa mematahkan harapan yang telah mereka tanam.
Separuh harapan yang mereka nanti dan sebutir cita yang mereka
impikan. Tak ada satu kata yang dapat melukai harapan mereka.
Harapan sudah kukuh seperti tembok cina yang telah berdiri dari
ratusan tahun silam.

Suatu hari, mereka mendengar kabar tentang sebuah kompetisi


menulis yang diadakan di kota besar. Mereka memutuskan untuk
ikut serta meskipun dengan hati yang ragu. "Adi, ini kesempatan
terakhir kita. Kita harus berjuang sekuat tenaga," ujar Dika.“Tapi aku
takut kesempatan ini menghianati kita, Dika” ujar Adi ragu. Namun
Dika terus meyakinkan Adi bahwa kita bisa melaluinya.
“Mimpi harus dikejar dengan usaha lebih”

Adi dan Dika berangkat menyusuri jalan dengan mengendarai


sepeda milik mereka. Setiap gayuhan tak terasa penat, namun
sedikit peluh membasahi pipi. Dengan penuh harapan Dika tampak
tersenyum, Adi masih tampak ragu yang menggayuh sepda di
belakang Dika. Meninggalakan Desa menuju kota membawa secuil
harapan, menuju bintang. Begitulah kisah perjuangan mereka. Tak
terasa telah sampailah dua sahabat itu di tempat kompetisi. Riuh
gemuruh peserta menandakan ramainya orang yang memiliki
harapan yang sama seperti Adi dan Dika.

Mereka tampak begitu pintar, rapi, dan berkacamata tampak seperti


orang yang berilmu. Dibandingkan dengan Adi dan Dika yang berasal
dari Desa dan bukan siapa-siapa. Ayah dan Ibu meraka hanyalah
petani yang mengadu nasib dengan secangkul tanah yang mereka
olah dengan tanaman yang dapat di jual dan di konsumsi untuk
keluarga. Disini mereka bertemu dengan pesaing-pesaing yang
sangat tangguh. Dika merasa kecil di antara mereka, "Diaka, apa
yang kita lakukan di sini? Seperti semut di tengah kawanan gajah."
Tatkala Adi menyaksikan pesaing-pesaing yang tempak gagah
berkompotisi Dika tersenyum, "Kita mungkin kecil, tetapi kita
memiliki semangat yang besar. Seperti api kecil yang mampu
membakar hutan nan lebat."
“Gagal tak bermakna kalah”

Ketika pengumuman pemenang, Dika dan Adi tidak mendengar


nama mereka disebut. Mereka merasa kecewa, namun Adi berkata,
"Ini bukan akhir dari segalanya. Kita harus bangkit seperti phoenix
dari abu kegagalan." Meskipun kalah dalam kompetisi, Dika dan Adi
tidak menyerah. Mereka kembali ke desa mereka dan terus menulis
cerita-cerita baru. Setiap kali mereka merasa lelah, mereka
mengingatkan diri mereka sendiri, "Mimpi kita seperti bintang di
langit yang tak pernah pudar. Kita harus terus menggapainya."

Di tempat yang sama, di bawah pohon itu lagi mereka menuangkan


asas dalam secarik kertas. Dahan-dahan pohon merunduk meneduhi
dua sahabat yang tampak sibuk itu. Burung-burung berkicau
menyanyi merdu mendayu, melantunkan tembang-tembang indah
syair yang Adi dan Dika goreskan di atas kertas itu. Detik demi detik
berlalu, penanggalan silih berganti kini bulan telah berganti tahun
pun menjelma. Dika dan Adi tumbuh dewasa. Sentuhan desa lama
tak tampak lagi. Pohon yang biasanya meneduhi merak kini telah
tinggal bekas potongan. Sungai telah mengering, ilalang tumbuh
gersang tak elok seperti dulu lagi. Kenangan semasa kecil mereka
sirna menyembah bumi. Tiada satu pun yang tersisa, hanya sebekas
kertas kusam di balik ilalang gersang membangkitkan kembali
perjuangan yang pernah kandas.
Dan akhirnya, setelah bertahun-tahun berjuang, Dika dan Adi
berhasil menerbitkan buku pertama mereka. Mereka mengadakan
acara peluncuran buku di desa mereka, di tempat yang sama namun
telah tampak berbeda. Zaman telah merubahnya, tahun telah
menggantinya.

“Tiada yang tidak mungkin, jika sudah berusaha”

Prolog….

Di bekas potongan batang Pohon, tempat yang mungkin tak lagi


memberikan sensasi yang sama. Naum disinilah saksi bisu
perjuangan mereka. Dika dan Adi terduduk menatap langit malam
yang dipenuhi bintang. "Kita telah mencapai mimpi kita, Adi," kata
Dika dengan suara penuh rasa syukur. Adi tersenyum, "Ya, Dika.
Bersama-sama, kita telah menggapai bintang-bintang di langit."
Begitulah akhir dari kisah dua sahabat yang bersama- sama
menggapai mimpi mereka. Tiada yang mustahil jika kita telah
bersungguh-sungguh menggapinya. Semangat dan doa adalah
kuncinya.

Selesai-
Tentang penulis.

Saya Ikadek Siman Ariputra. Siswa SMK N 1 Tampaksiring. Saya lahir


tangga 14 Maret 2006, kini saya berusia 18 tahun. Hobi saya adalah
membaca dan menulis, cita-cita saya adalah menjadi Sastrawan.
Cerpen ini saya lukiskan untuk membangkitkan semangat para
pembaca. Bahwa Tiada yang tidak mangkin jika kita sudah berjuang
untuk manggapai mimpi.

Anda mungkin juga menyukai