Anda di halaman 1dari 67

Sistem Hukum & Peradilan di

Indonesia; Teori dan Praktik Moh.


Mujibur Rohman
Visit to download the full and correct content document:
https://ebookmass.com/product/sistem-hukum-teori-dan-praktik-moh-mujibur-rohman/
SISTEM HUKUM & PERADILAN
DI INDONESIA
(Teori dan Praktik)

Penulis:
Wisnu Agung Nugroho, SH
Citranu, M.H
Dr. Mia Amalia, SH., MH
Ika Fitrianita, S.Pd., M.H
Elias Hence Thesia, S.H., M.H
Moh. Mujibur Rohman, M.H
Asti Dwiyanti, S.H., M.H
Dr. Erman Rahim, S.Pd., S.H., M.H
Hidayati Fitri, S.Ag.,M.Hum
Opniel Harsana BP, SH., M.Hum

Penerbit:
SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA
(Teori dan Praktik)

Penulis :
Wisnu Agung Nugroho, SH
Citranu, M.H
Dr. Mia Amalia, SH., MH
Ika Fitrianita, S.Pd., M.H
Elias Hence Thesia, S.H., M.H
Moh. Mujibur Rohman, M.H
Asti Dwiyanti, S.H., M.H
Dr. Erman Rahim, S.Pd., S.H., M.H
Hidayati Fitri, S.Ag.,M.Hum
Opniel Harsana BP, SH., M.Hum

ISBN: 978-623-8483-87-7

Editor:
Moh. Mujibur Rohman, S.H., M.H
Penyunting:
Efitra
Desain sampul dan Tata Letak:
Yayan Agusdi

Penerbit:
PT. Sonpedia Publishing Indonesia
Redaksi:
Jl. Kenali Jaya No 166 Kota Jambi 36129 Tel +6282177858344
Email: sonpediapublishing@gmail.com
Website: www.buku.sonpedia.com

Anggota IKAPI: 006/JBI/2023

Cetakan Pertama, Januari 2024

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara Apapun
tanpa ijin dari penerbit
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas karunia-Nya yang telah memberi kesempatan bagi


penulis, hingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan buku
SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA (Teori dan
Praktik). Tidak lupa kami ucapkan bagi semua pihak yang telah
membantu dalam penerbitan buku ini.

Membahas tentang peradilan di Indonesia sesungguhnya kita


membahas tentang pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di
dalam Pasal 24 UUD 1945 juncto Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian
maka pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Mahkamah
Agung; Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan Militer,
Peradilan Tata Usaha Negara; dan Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan Komisi Yudisial adalah Badan yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikatakan dalam Psal 24
Ayat (3) UUD 1945. Dalam salah satu lingkungan badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung dapat dibentuk
Pengadilan Khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu. Pengadilan khusus yang
dimaksud adalah Pengadilan Anak; Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi; Pengadilan Hak Asasi Manusia; Pengadilan Hubungan
Industrial; Pengadilan iv | Peradilan di Indonesia Niaga; dan
Pengadilan Perikanan. Ke enam pengadilan khusus ini berada dalam
lingkungan Peradilan Umum. Adapun pengadilan khusus di

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA ii


lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Pajak.
Sedangkan Mahkamah Syar’iyah berada dalam lingkungan
Peradilan Agama. Peradilan di Indonesia akan terus mengalami
perkembangan seiring dengan kebutuhan masyarakat terhadap
supremasi hukum yang berkeadilan.

Selain itu penulis juga sadar bahwa karya ini merupakan hasil dari
proses panjang rihlah keilmuan dan pengembaraan spiritual serta
pendewasaan intelektual yang penulis alami. Penulis yakin buku ini
jauh dari kata sempurna, sehingga masih banyak kesalahan serta
kekurangan. Sebagaimana pepatah mengatakan “tidak ada gading
yang tidak retak”.

Yogyakarta, Januari 2024


Tim Penulis

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA iii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. ii


DAFTAR ISI ........................................................................................ iv
BAGIAN I RULE OF LAW PENGERTIAN DAN KONSEP HUKUM ............... 1
A. PENGERTIAN RULE OF LAW ........................................................... 1
B. UNSUR RULE OF LAW .................................................................... 2
C. KONSEP HUKUM ............................................................................ 4
D. PENERAPAN RULE OF LAW DI INDONESIA .................................... 5
BAGIAN II SISTEM DAN SUMBER HUKUM.......................................... 10
A. PENGERTIAN SISTEM HUKUM ..................................................... 10
B. SISTEM HUKUM DI DUNIA ........................................................... 14
C. SISTEM HUKUM DI INDONESIA.................................................... 16
D. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ................................................... 18
E. KLASIFIKASI SUMBER HUKUM ..................................................... 19
BAGIAN III ETIKA DAN HUKUM ......................................................... 23
A. PENDAHULUAN............................................................................ 23
B. METODE PENULISAN ................................................................... 27
C. PENGERTIAN ETIKA DAN HUKUM................................................ 28
D. UNSUR ETIKA DAN HUKUM ......................................................... 33
E. PERBEDAAN ANTARA HUKUM DAN ETIKA .................................. 35
F. IMPLIKASI ETIKA DAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN ................... 41
G. HUBUNGAN ETIKA DAN HUKUM ................................................. 42
H. KONSEP ETIKA DAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ....... 44
I. IMPLIKASI ETIKA DAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN ................... 45

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA iv


BAGIAN 1V SUBJEK DAN OBJEK HUKUM ........................................... 53
A. SUBJEK HUKUM .............................................................................. 53
B. OBJEK HUKUM ............................................................................. 56
C. HUKUM BENDA............................................................................ 60
BAGIAN V PENGERTIAN, TUJUAN DAN ASAS PERADILAN
DI INDONESIA .................................................................................. 62
A. PENGERTIAN PERADILAN............................................................. 62
B. TUJUAN PERADILAN DI INDONESIA ............................................. 65
C. ASAS PERADILAN DI INDONESIA .................................................. 67
BAGIAN VI KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN SUSUNAN BADAN
PERADILAN DI INDONESIA ................................................................ 70
A. KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN BENTUK TATA PERADILAN DI
INDONESIA .................................................................................. 70
B. SUSUNAN BADAN PERADILAN SECARA UMUM DI INDONESIA ... 79
BAGIAN VII PERADILAN UMUM DI INDONESIA .................................. 91
A. SEJARAH PERADILAN ................................................................... 91
B. SISTEM PERADILAN ...................................................................... 93
C. PENGERTIAN PERADILAN UMUM ................................................ 94
D. KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN ......................................... 96
E. KOMPETENSI RELATIF PENGADILAN............................................ 99
BAGIAN VIII PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA ........ 105
A. MAKNA PENTING PERADILAN TATA USAHA NEGARA ............... 105
B. SEJARAH PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA .. 112
C. TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA ... 119
D. DASAR-DASAR HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA ...... 125
BAGIAN IX MEKANISME BERPERKARA PADA ................................... 133

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA v


PENGADILAN AGAMA .................................................................... 133
A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN (PERDATA) AGAMA 133
B. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA .......................... 135
C. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA ...................... 137
D. TAHAPAN PENDAFTARAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA . 139
E. TAHAPAN PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA .. 143
BAGIAN X ARBITRASE DAN SENGKETA BISNIS ................................. 148
A. ARBITRASE ................................................................................. 148
B. JENIS ARBITRASE ........................................................................ 149
C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE .............................. 151
D. SENGKETA BISNIS....................................................................... 154
E. MODEL PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI PENGANDILAN ... 158
F. PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI PENGADILAN NIAGA ....... 160
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 169
TENTANG PENULIS ......................................................................... 181

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA vi


BAGIAN I
RULE OF LAW;
PENGERTIAN DAN KONSEP HUKUM

A. PENGERTIAN RULE OF LAW

Rule of Law merupakan doktrin mengenai supremasi hukum


yang muncul pada abad ke-19. Doktrin ini muncul seiring dengan
berkembangnya paham terkait perkembangan negara demokrasi
dan negara konstitusi. Rule of Law merupakan konsep negara
hukum yang memiliki pengertian bahwa hukum memiliki
kedudukan yang paling tinggi dalam penyelenggaraan suatu
negara hukum. Lebih lanjut lagi, Rule of Law bukanlah sekedar
kumpulan dari hukum melainkan sebuah kerangka komprehensif
yang memastikan keadilan dan kesetaraan masyarakat dalam
penegakkan hukum.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) mengkategorikan
Rule of Law menjadi 2 (dua) yaitu pengertian secara formal (in
the formal senses) dan pengertian secara materiil (ideological
senses). Dalam pengertiannya secara formal, rule of law memiliki
pengertian sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi,
contohnya yaitu negara. Sementara dalam pengertiannya secara
hakiki, Rule of Law terkait dengan penegakkan karena erat
kaitannya dengan indicator hukum yang baik dan yang buruk
(just and unjust law) sehingga keadilan hukum haruslah
dirasakan oleh semua unsur masyarakat.

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 1


B. UNSUR RULE OF LAW

Terdapat tiga unsur dalam rule of law, yaitu


1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Supremasi hukum mengandung pengertian bahwa hukum
memegang kekuasaan tertinggi, dan bahwa pelaksanaan di
suatu negara diatur oleh hukum.
2. Persamaan di Mata Hukum (Equality Before Law)
Rule of Law memberlakukan bahwa system hukum
memperlakukan semua manusia sama dan tanpa ada
diskriminasi. Sistem hukum yang diterapkan haruslah
mengandung asas bahwa tidak ada individu yang
diperlakukan semena-mena.
3. Proses Hukum Adil dan Tidak Memihak (Due Process of Law)
Keadilan haruslah bersifat tidak memihak. Peradilan yang
independent sangatlah penting untuk menjaga rule of law.
Dalam penegakkan hukum, hakim dan pejabat peradilan
harus bebas dari intervensi, keberpihakan, dan dapat
menerapkan hukum tanpa prasangka.
Konsep Dicey mengatakan bahwa pada intinya the Rule of Law
mengandung tiga unsur penting yaitu
1. Supremacy of Law
Unsur Supremacy of Law memiliki arti bahwa hukum
memiliki kedudukan tertinggi, bukan kekuasaan. Hal ini juga

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 2


memiliki arti bahwa tidak ada kekuasaan yang sewenang-
wenang (arbitrary power).
2. Equality Before the Law
Unsur Equality Before the Law memiliki arti bahwa semua
warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan
hukum. Semua lapisan Masyarakat apabila melakukan tort
(perbuatan melanggar hukum: Surechtmatige daad; delict)
maka akan diadili menurut aturan Common Law dan di
pengadilan biasa
3. Constitution Based on Human Rights
Unsur Constitution Based on Human Rights memiliki arti
adanya suatu Undang-Undang Dasar yang biasa disebut
sebagai konstitusi. Konstitusi bukan merupakan sumber hak-
hak asasi manusia melainkan indikator-indikator dari hak-hak
asasi manusia yang tertuang dalam sebuah konstitusi, dan
secara harfiah dapat dikatakan bahwa apa yang telah
ditanamkan ke dalam konstitusi itu harus dilindungi
keberadaannya.
Menilik pada unsur yang terdapat dalam Rule of Law, maka
dapat dikatakan bahwa tujuan dari Rule of Law adalah:
1. Menciptakan kepastian hukum: Dalam sebuah negara yang
menganut rule of law, setiap orang dijamin mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum. Hal ini
bertujuan untuk menegakkan hukum secara adil dan
transparan sehingga dapat mencegah pemerintah dan pelayan
public serta apparat hukum dalam penyalahgunaan kekuasaan

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 3


2. Memastikan masyarakat mendapat perlakuan hukum yang
adil dan setara
3. Melindungi kebebasan individu dalam mendapatkan hak
4. Menciptakan lingkungan yang stabil dan dapat diandalkan
untuk menghindari konflik
5. Mendorong kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap
hukum

C. KONSEP HUKUM

Konsep Rule of law menekankan pada supremasi hukum,


keadilan, dan juga egalitarianisme. Rule of law mendorong
terwujudnya perlakuan hukum yang adil untuk warga negara
dan segala lapisan masyarakat.
Friedrich Julius Stal menyatakan bahwa negara hukum secara
formal harus memiliki:
a. Hak asasi manusia
b. Pembagian kekuasaan
c. Pemerintahan harus berdasarkan peraturan (Wetmathigheid
van bestuur)
d. Peradilan tata usaha dalam perselisihan
Friedman memandang Rule of Law secara formil dan secara
materil. Secara formil, rule of law dirumuskan: “…dimaksudkan
sebagai kekuasaan public yang terorganisasi, yang berarti bahwa
setiap system-sistem kaidah yang didasarkan pada hierarki
perintah merupakan rule of law”. Secara material rule of law

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 4


dirumuskan: “… dalam arti material atau ideologi mencakup
ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan yang kurang baik,
hukum yang buruk antara lain mencakup:
1. Ketaatan dari segenap warga Masyarakat terhadap kaidah-
kaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan-badan
legislative, eksekutif, yudikatif.
2. Kaidah-kaidah hukum secara selaras dengan hak asasi manusia
3. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi
sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi
manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat
manusia
4. Terdapatnya cara-cara yang jelas dan proses mendapatkan
keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari
penguasa.
Adanya badan yudikatif yang bebas dan Merdeka yang akan
memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-
wenang dari badan pemerintah dan legistalif.”

D. PENERAPAN RULE OF LAW DI INDONESIA

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 menunjukkan bahwa


Pemerintah Indonesia diatur dalam Undang-Undang dasar yang
menjamin bangsa dan negara Indonesia hidup Sejahtera. Selain
itu dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan
Negara disebutkan bahwa pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi, tidak bersifat absolutisme. Dalam Pembukaan UUD

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 5


1945 alinea 4, dalam Batang Tubuh, Pasal 3, Pasal 4 Ayat (1),
juga dalam penjelasan, yaitu pada kalimat:
1. Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka
2. Pemerintahan berdasar atas system konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).
Unsur Rechstaat maupun unsur-unsur Rule of Law telah
terpenuhi oleh negara Indonesia, namun demikian ada ciri khas
tersendiri sebagai negara hukum dengan unsur utama, seperti
yangtelah dirumuskan oleh Azhary bahwa ciri tersebut yaitu:
1. Sumber hukumnya yaitu Pancasila
2. Berkedaulatan rakyat
3. Sistem konstitusi
4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi
setiap warga negara
5. Kekuasaan kehakiman yang independent dan bebas dari
pengaruh kekuasaan lain
6. Pembentuk Undang-undang adalah presiden bersama-sama
dengan DPR
7. Dianutnya sistem MPR
Pasal 1 ayat 1, pasal 27 ayat 1, dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945
merupakan Undang-undang yang menunjukkan bahwa negara
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum
(rechstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat).
Undang-Undang tersebut mengindikasikan pemenuhan rule of
law, yaitu:

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 6


1. Adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan
konstitusi
2. Dianutnya prinsip pembatasan dan pemisahan kekuasaan
3. Adanya jaminan hak asasi manusia
4. Adanya peradilan bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan warga negara di hadapan hukum, dan menjamin
keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Penerapan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dari
peran lembaga negara dan kedudukan serta kekuatan hukum di
Indonesia merupakan perwujudan dari Rule of Law di Indonesia,
dan juga penerapan sistem hukum Pancasila di Indonesia. Rule
Of Law dalam penerapannya di Indonesia tercantum dalam
pasal UUD 1945, yaitu:
1. Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 Ayat 3)
2. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang Merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan (Pasal 24 Ayat 1)
3. Segala warga Negara memiliki kedudukan yang sama di dalan
hukum dan pemerintahan, dan wajib menjujung hukum dan
pemerintahan tersebut (Pasal 27 Ayat 1)
4. Hak asasi manusia, pengakuan, jaminan, perlinsungan, dan
kepastian hukum yang adil diatur oleh Undang-undang (Pasal
28D Ayat 1)

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 7


5. Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan
serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
(Pasal 28D Ayat2)
Rule of Law dalam penerapannya di Indonesia memiliki
tantangan terutama untuk memastikan keefektifan penerapan,
antara lain:
1. Ketergantungan Pada Politik
Dalam penerapan Rule of Law, ketergantungan pada politik
menjadi tantangan tersendiri. Adanya ketergantungan pada
politik menyebabkan munculnya keberpihakan pada
kepentingan politik atau pribadi.
2. Ketidakpastian Hukum
Peraturan yang ambigu dalam arti dan penerapannya dapat
menjadi tantangan dan menjadi pencetus ketidakpastian
hukum.
3. Kurangnya Akses Keadilan
Akses terhadap system peradilan yang adil dan terjangkau
masih menjadi masalah di Indonesia, contohnya daerah yang
masih terpencil atau di kalangan masyarakat yang kurang
mampu.
4. Tindakan Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi tantangan dan
juga hambatan dalam penerapan Rule of Law di Indonesia.
Kasus tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang dari
pihak yang berkuasa menjadi contoh dari tindakan
penyalahgunaan kekuasaan.

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 8


Prinsip Rule of Law menjadi pedoman dalam menjalankan
pemerintahan, memastikan perlindungan hukum bagi rakyat,
dan mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 9


BAGIAN II
SISTEM DAN SUMBER HUKUM

A. PENGERTIAN SISTEM HUKUM


Istilah “sistem" berasal dari bahasa Yunani, yakni "systema," yang
merujuk pada suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa
bagian, atau dapat dijelaskan sebagai hubungan yang teratur
antara unit atau komponen yang berfungsi (Herman and Manan,
2012).
Bellefroid mengungkapkan bahwa sistem hukum dapat dianggap
sebagai serangkaian peraturan hukum yang disusun secara teratur
sesuai dengan prinsip-prinsipnya (Tutik, 2006).
Menurut Scholten, sistem hukum dapat dipahami sebagai suatu
kesatuan di dalamnya, di mana tidak ada peraturan hukum yang
saling bertentangan dengan peraturan hukum lainnya dalam
sistem tersebut (Harjono, 2009).
Menurut J.H. Merryman, sistem hukum atau legal system dapat
diinterpretasikan sebagai suatu rangkaian operasional yang
melibatkan institusi, prosedur, dan aturan hukum (Ulfah, 2022).
Lawrence M. Friedman mengkategorikan pemahaman sistem
hukum ke dalam tiga aspek, yaitu aspek struktural, aspek
substansi, dan aspek budaya hukum. (Nursadi, 2015).
1. Aspek structural, menguraikan bagian-bagian sistem hukum
yang beroperasi dalam suatu kerangka kelembagaan,
termasuk lembaga-lembaga legislatif, peradilan, dan entitas

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 10


lain yang memiliki peran sebagai pelaksana dan penegak
hukum.
2. Aspek substansi mencakup output konkret yang dihasilkan
oleh sistem hukum yakni berupa norma hukum individual (in
concerto) dan norma hukum umum (in abstraco). Norma
hukum individual disebut karena berlaku khusus untuk pihak
atau individu tertentu, sementara norma umum bersifat
abstrak karena berlaku untuk semua orang.
3. Aspek komponen budaya hukum, merupakan pandangan dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat serta tindakan yang
memengaruhi penggunaan pengadilan sebagai sarana
penyelesaian konflik. Implementasi akan atas nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat ini dikenal sebagai budaya hukum,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan nilai sosial yang
terkait dengan hukum, beserta tingkah laku yang
memengaruhi sistem hukum.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa sistem hukum adalah
suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling
berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan
tersebut (Mertokusumo, 2010).
Satjipto Raharjo, sistem hukum terdiri dari instrument-instrumen
yang meliputi struktur hukum, kategori hukum dan konsep
hukum.
Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Sistem hukum adalah suatu
kesatuan sistem yang terstruktur, terdiri dari berbagai instrumen
yang memiliki fungsi masing-masing, dan saling berhubungan

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 11


dalam suatu proses keseluruhan untuk mencapai tujuan hukum
(Ishaq, 2022). Adapun instrumen tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
1. Masyarakat hukum adalah entitas hukum, termasuk individu
dan kelompok, dimana penerapan hukum terjadi.
2. Budaya hukum, meliputi pemikiran-pemikiran manusia dalam
upayanya mengatur kehidupan sehari-hari.
3. Filsafat hukum, merupakan formulasi nilai-nilai yang berkaitan
dengan cara menata kehidupan manusia.
4. Ilmu hukum, berfungsi sebagai penghubung antara teori dan
pelaksanaan praktek hukum, serta sebagai alat untuk
mengembangkan teori, rancangan, dan konsep hukum.
5. Konsep hukum adalah representasi kebijaksanaan hukum yang
dirumuskan oleh suatu masyarakat hukum.
6. Pembentukan hukum mencakup proses hukum yang
melibatkan lembaga, aparat, dan sarana dalam pembuatan
peraturan hukum.
7. Bentuk hukum adalah hasil dari proses pembentukan hukum.
8. Penerapan hukum adalah langkah setelah pembentukan
hukum, melibatkan lembaga, aparatur, sarana, dan prosedur
tertentu dalam menjalankan hukum.
9. Evaluasi hukum adalah proses penilaian kecocokan antara
hasil penerapan hukum dengan ketentuan undang-undang
atau tujuan hukum yang telah dirumuskan sebelumnya
(Rasjidi and Putra, 1993).

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 12


Menurut Lon Fuller, sistem hukum dijelaskan melalui delapan
prinsip, sebagaimana diuraikan dibawah ini: (Remaja, 2014)
1. Sistem hukum terbentuk oleh aturan-aturan yang tidak
didasarkan pada keputusan yang keliru untuk situasi tertentu.
2. Ketentuan hukum atau peraturan diumumkan kepada
masyarakat umum.
3. Prinsip tidak berlaku surut dijunjung tinggi, karena hal ini
dapat merusak integritas sistem hukum.
4. Ketentuan hukum dibuat harus mudah dimengerti oleh
masyarakat.
5. Ketentuan hukum harus harmonis dan tidak saling
bertentangan
6. Ketentuan hukum harus mudah dilaksanakan atau tidak
menuntut melebihi kapasitas penerpannya.
7. Ketentuan hukum sebaiknya tidak sering mengalami
perubahan.
8. Pentingnya keselarasan antara ketentuan hukum dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jonathan H. Turner, dalam bukunya "Patterns of Social
Organization," mengidentifikasi elemen-elemen yang ada dalam
setiap sistem hukum (Nursadi, 2015):
1. Sekumpulan norma atau aturan perilaku yang dapat
diidentifikasi.
2. Prosedur pelaksanaan berbagai norma tersebut.
3. Proses penyelesaian konflik yang berlandaskan pada norma
atau aturan hukum yang berlaku.

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 13


4. Metode pembentukan atau perubahan hukum.

B. SISTEM HUKUM DI DUNIA


1. Sistem Hukum Civil Law (Eropa Continental), merupakan
hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental.
Sistem ini bersumber dan merupakan warisan hukum Romawi
atau Civil law yang terkodifikasi di dalam Corpus Juris Civilis
yang dikeluarkan pada masa pemerintahan kaisar Justinianus
(Codex Justinianus) (Rahardjo, 2000). Corpus Juris Civilis
adalah suatu kompilasi aturan hukum yang mencakup
kodifikasi hukum yang berasal dari keputusan raja-raja
sebelumnya, dengan penyesuaian kondisi sosial dan ekonomi
pada zamannya (Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi,
2023). Menurut sistem ini Hukum yang baik dan ideal harus
berbentuk undang-undang tertulis (Aulia and Al-Fatih, 2017).
2. Sistem Hukum Common Law (Anglo Saxon), merupakan
suatu sistem hukum yang mulai berkembang sejak abad ke-16
di Inggris. Sistem Anglo Saxon, tidak dikenal adanya sumber
hukum baku dan tertulis seperti yang umumnya terdapat
dalam sistem hukum civil law. Istilah lain dari system ini
adalah "Anglo Amerika" atau Common Law. Sistem hukum ini
berasal dari Inggris dan kemudian menyebar ke Amerika
Serikat serta negara-negara bekas jajahannya. Istilah "Anglo
Saxon" berasal dari bangsa Angel-Sakson, sebuah kelompok
etnis yang pada suatu waktu menyerang dan menjajah Inggris
sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Hertog Normandia,

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 14


William. Pada sistem common law, kebiasaan masyarakat
menjadi sumber hukum utama yang bertransformasi menjadi
keputusan pengadilan sehingga dikenal dengan hukum tidak
tertulis (unwritten law) (Emei Dwinanarhati and Firman
Firdausi, 2023). Sistem Hukum Common Law tidak lahir dari
proses legislasi akan tetapi pengembangannya melalui
yurisprudensi atau keputusan pengadilan sebelumnya
(Bogdan, 2019).
3. Sistem hukum Islam, bersumber dari kitab suci agama Islam
dan ajaran sunah Nabi Muhammad, yaitu Al-Quran dan Al-
Hadits. Hukum Islam, menurut ajaran sunah, bersifat statis
dan tidak dapat diubah sebagaimana yang terjadi dalam
sistem Eropa Kontinental dan Anglo Saxon. Perubahan dalam
hukum Islam dapat terjadi melalui metode penafsiran
berdasarkan keilmuan dalam tradisi hukum Islam. Metode
tersebut yakni fikih, ushul fikih, ulumul hadis, dan melibatkan
metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh ulama dan ahli
fikih (Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023).
4. Sistem Hukum Sosialis, merupakan warisan dari Uni Soviet
yang berhaluan komunis yang dipengaruhi pemikiran hukum
Marxisme dan Leninisme. Sistem ini memiliki ciri khas utama
mementingkan kepentingan kolektif dengan prinsip sosialis,
dari pada kepentingan individu. Negara memiliki peran
sentral sebagai regulator, dan berkuasa secara absolute atas
masyarakat. Pada masa Uni Soviet hukum dijadikan sebagai
alat kediktatoran (Bogdan, 2019).

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 15


5. Sistem Hukum Sub-Sahara atau African Law System,
merupakan suatu sistem hukum yang berpusat pada nilai-nilai
komunitas. Semua hal yang terkait dengan solidaritas sosial
suatu komunitas menjadi aturan hukum yang disepakati
bersama untuk dijalankan, dihormati, dan ditaati oleh
anggota komunitas tersebut. Pada sistem hukum Sub-Sahara,
semua warga negara terikat oleh norma-norma
komunitasnya. Nilai-nilai dan tradisi lokal memiliki dampak
signifikan dalam membentuk dan mengatur hukum di wilayah
Sub-Sahara. Sistem hukum Sub-Sahara memperkuat
keterikatan individu dengan komunitasnya melalui norma-
norma yang diakui dan ditaati bersama (Emei Dwinanarhati
and Firman Firdausi, 2023).
6. Sistem Hukum Asia Timur Jauh (Far East Law System),
memiliki karakteristik yang menekankan pentingnya harmoni
dan keteraturan sosial. Sistem hukum ini secara konsisten
berusaha untuk memperkuat keseimbangan dan keteraturan
sosial, sambil menghindari timbulnya konflik terbuka.
Pendekatan ini berusaha untuk memelihara harmoni sosial
dan mencegah terjadinya perpecahan di dalam masyarakat
(Emei Dwinanarhati and Firman Firdausi, 2023).

C. SISTEM HUKUM DI INDONESIA


Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental,
dikarenakan Indonesia dulunya dijajah oleh Belanda sehingga
sebagai konsekuensi dari berlakunya asas konkordansi, maka

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 16


hukum yang berlaku di Belanda juga berlaku di Indonesia. Pada
awal kemerdekaan Indonesia tetap mempertahakan hukum
warisan Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan UUD NRI
1945 dan Pancasila serta masih relevan dengan kondisi
masyarakat Indonesia (Gozali, 2020). Sistem hukum Indonesia
berlandasan pada Pancasila sebagai norma dasar negara.
Pancasila menempati posisi sebagai grundnorm (norma dasar)
atau staatfundamentalnorm (norma fundamental negara) dalam
hierarki norma hukum di Indonesia. Kedudukan Pancasila
sebagai dasar filosofis negara, yang diakui dalam pembukaan
UUD 1945, bersifat yuridis konstitusional (Eleanora, 2012). Pada
dasarnya sistem hukum di Indonesia merupakan seperangkat
peraturan yang bersifat formil dan terhubung secara sistematis
antara satu sama lain baik yang terkodifikasi maupun yang
tersebar dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sistem
hukum di Indonesia memiliki karakteristik adanya pembagian
hukum publik dan hukum privat layaknya sistem hukum eropa
kontinental.
Pada kehidupan sosial di Indonesia juga mengenal istilah sistem
hukum adat. C. Snouck Hurgronje, pada tahun 1893, pertama
kali memperkenalkan hukum adat, dalam bukunya yang
berjudul "De Atjehers," Snouck Hurgronje menggunakan istilah
"hukum adat" atau adat recht dalam bahasa Belanda untuk
merujuk pada suatu sistem pengendalian sosial yang eksis dalam
masyarakat Indonesia. Sumber utamanya berasal dari peraturan
hukum yang tidak tertulis yang tumbuh, berkembang, dan dijaga

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 17


oleh kesadaran hukum masyarakat. Hukum adat memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dan bersifat elastis karena bersifat
tidak tertulis dan dinamis. Otoritas utama dalam penegakan
hukum adat adalah pemimpin adat, yang menduduki posisi yang
sangat dihormati dan berpengaruh besar dalam lingkungan
masyarakat adat untuk memastikan kelangsungan hidup yang
sejahtera (Mustaghfirin, 2011). Hukum adat yang bersifat
tradisional memiliki karakteristik yang berakar pada kehendak
nenek moyang. Sebagai hasilnya, dalam mengukur suatu
perbuatan, selalu merujuk kepada nilai-nilai yang dianggap suci
menurut kehendak nenek moyang. Prinsip pokok dari hukum
adat adalah menjunjung tinggi kepatutan dan menciptakan
harmoni dalam kehidupan bersama di masyarakat (Hamdi,
2022).

D. PENGERTIAN SUMBER HUKUM


Istilah "sumber hukum" disebut dalam bahasa Inggris, sebagai
"source of law". Pengertian dari sumber hukum lebih cenderung
merujuk pada pemahaman mengenai tempat asal usul nilai atau
norma hukum tertentu (Asshiddiqie, 2006).
Sumber hukum diartikan sebagai "asal mulanya hukum,"
mencakup segala sesuatu yang menjadi cikal bakal aturan-aturan
hukum dan memiliki kekuatan mengikat. "Segala sesuatu" dapat
diinterpretasikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya hukum, dari mana hukum ditemukan, atau asal-usul isi
norma hukum (Tofik, 2022). Sumber hukum merujuk pada

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 18


segala hal yang menjadi penyebab terbentuknya ketentuan
hukum yang memiliki kekuatan memaksa. Apabila norma yang
terkandung di dalam ketentuan hukum tersebut dilanggar, maka
akan mengakibatkan konsekuensi hukum nyata yakni sanksi tegas
(Kansil and Kansil, 2002).

E. KLASIFIKASI SUMBER HUKUM


Sumber hukum terbagi dua yakni materil dan formil:
1. Sumber hukum materil merujuk pada kesadaran kolektif
masyarakat, dan pemahaman hukum yang ada dalam
masyarakat tentang apa yang seharusnya, dengan melibatkan
perasaan hukum (keyakinan hukum) dari individu dan
pandangan umum (opini publik). Faktor inilah yang
mempengaruhi dalam pembentukan substansi hukum itu
sendiri (Herman and Manan, 2012). Pemahaman Sumber
hukum materil menurut Van Apeldoorn meliputi (Herman
and Manan, 2012):
a. Sumber hukum dalam pemahaman dan kajian sejarah
adalah menjadikan sejarah sebagai identitas dan
karakteristik hukum melalui peraturan perundang-
undangan yang berlaku dimasa lampau dan menjadikan
sejarah hukum sebagai komponen dalam membentuk
suatu peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
sejarah suatu bangsa.
b. Sumber hukum menurut kajian sosiologis, menyerap dan
mengambil instrumen sosiologis yang sebagai inti sari dasar

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 19


dalam menentukan subtansi dari peraturan perundang-
undangan, sehingga peraturan tersebut dapat diterima
dengan baik di masyarakat.
c. Sumber hukum dalam pemahaman kajian filosifis adalah
hakikat nilai dari hukum yang dapat menjadikan isi hukum
merupakan hukum yang baik dan menjadikan hukum
memiliki kekuatan mengikat sehingga setiap orang taat
hukum. (Herman and Manan, 2012)
2. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang
dapat diidentifikasi dari bentuknya. Karakteristik bentuk ini
menjadikan hukum bersifat umum, mudah dikenali, dan
dipatuhi. Pada tahap ini, suatu peraturan memperoleh status
sebagai peraturan hukum dan diakui oleh pihak yang
berwenang sebagai panduan kehidupan (Rahmawati and
Supratiningsih, 2020). Adapun sumber hukum formal adalah:
undang-undang, jurisprudensi, traktat, kebiasaan dan doktrin
(Hamdi, 2022).
a. Undang-Undang
Undang-undang terbagi dalam arti formil dan materil.
Undang-undang dalam arti formil adalah undang-undang
yang berlaku di negara yang dibuat sesuai dengan prosedur
undang-undang oleh lembaga berwenang dalam hal
legislasi seperti DPR dan Pemerintah yang memiliki sifat
mengikat secara umum, sedangkan undang-undang dalam
arti materil adalah seluruh peraturan perundang-undangan
yang subtansinya berlaku secara umum namun tidak dibuat

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 20


oleh oleh lembaga yang memiliki kewenangan legislasi
seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun
peraturan menteri. (Herman and Manan, 2012)
b. Jurisprudensi
Jurisprudensi merupakan keputusan hakim yang terdahulu
yang sampai dengan sekarang diikuti di dalam praktek
peradilan. Jurisprudensi awalnya merupakan keputusan
yang dibuat oleh hakim dilatarbelakangi adanya
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan asas
pengadilan tidak boleh menolak perkara yang masuk ke
pengadilan dengan alasan tidak ada hukumnya, sehingga
hakim harus melakukan interpretasi dan menggali nilai-
nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk dapat
menyelesaikan permasalahan hukum dan menghasilkan
keputusan yang adil dan baik di dalam suatu perkara.
Putusan hakim terdahulu inilah yang kemudian dijadikan
dasar pertimbangan dan diikuti oleh hakim di masa
sekarang sebagai hukum yang berlaku dan selanjutnya
disebut dengan Jurisprudensi (Subagiyo, Andayani and
Retnowati, 2017).
c. Traktat
Traktat merupakan perjanjian yang disepakati oleh dua
negara atau lebih. Proses perjanjian internasional pada
prakteknya melalui tiga fase, yaitu fase pertama
perundingan (negotiation), fase kedua penandatanganan
(signature), dan fase ketiga pengesahan (ratification). Akan

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 21


tetapi, ada pula yang hanya melaksanakan dua fase, yaitu
perundingan (negotiation) dan langsung dilakukan
penandatanganan (signature) (Prakoso, 2018)
d. Kebiasaan
Kebiasaan merupakan tindakan yang secara berulang
dilakukan dalam masyarakat terkait dengan suatu hal
tertentu. Jika suatu kebiasaan diterima oleh masyarakat
dan dilaksanakan secara berulang karena dianggap sebagai
sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan pelanggaran
terhadap kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran
terhadap norma hukum yang berlaku dalam masyarakat,
maka akan muncul suatu kebiasaan hukum dan dijadikan
sebagai hukum oleh masyarakat (Solikin, 2014).
e. Doktrin
Doktrin merujuk pada pandangan atau pendapat yang
dinyatakan oleh para sarjana hukum terkemuka yang
memiliki pengaruh besar terhadap keputusan hakim.
Seringkali, dalam proses pengambilan keputusan, hakim
akan merujuk pada pendapat tertentu dari para sarjana
hukum sebagai dasar pertimbangannya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa hakim memperoleh hukumnya
dari doktrin tersebut. doktrin seperti ini dianggap sebagai
sumber hukum formil (Rahmawati and Supratiningsih,
2020).

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 22


BAGIAN III
ETIKA DAN HUKUM

A. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara yang menempatkan hukum sebagai


kekuasaan tertinggi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah
memberikan sertifikasi kepada setiap warga negaranya untuk
mendapatkan keyakinan, tuntutan, dan keamanan yang sah yang
bertumpu pada kebenaran dan keadilan. Hukum mengarahkan
segala hubungan antara manusia dan masyarakat serta
perkumpulan atau jaringan serta masyarakat dan otoritas publik.
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberadaan kebudayaan manusia yang bertujuan agar di mata
masyarakat pada umumnya terdapat seperangkat hukum yang
menyeluruh, di mata masyarakat terdapat norma-norma yang
sah. Penetapan keyakinan, permintaan dan asuransi yang sah
tentunya memerlukan upaya yang besar untuk dilakukan secara
hati-hati sebagai bentuk tanggung jawab negara atas
keberhasilan dan bantuan pemerintah terhadap setiap individu
Indonesia. Hukum berusaha menjaga dan mengarahkan
keselarasan antara kepentingan atau keinginan individu yang
sombong dengan kepentingan yang wajar agar tidak terjadi
pertikaian. Oleh karena itu, pada dasarnya hukum harus tegas
dan adil agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 23


Etika merupakan asal mula apakah sikap atau perilaku seseorang
beruntung atau tidak. Sementara itu, etika adalah cara
berperilaku seseorang yang beruntung atau tidak. Etika adalah
pemikiran, standar tentang tujuan kegiatan atau perilaku
manusia yang baik. Etika pada umumnya memberikan model
yang asli, sedangkan etika pada umumnya memberikan penilaian
terhadap pelaksanaan model yang diberikan oleh etika. Dengan
demikian, individu yang bermoral adalah individu yang
memberikan gambaran tentang cara berperilaku yang baik,
sedangkan individu yang beretika adalah individu yang
menyempurnakan cara berperilaku yang terpuji. (Supirman
Rahman dan Nurul Qamar : 2014 : 4)
Etika dan etika mencakup bagian-bagian kehidupan manusia dari
sudut pandang yang luas, terutama dalam pergaulan cerdas
dengan individu-individu dalam iklim sosialnya, baik dalam
hubungan pekerjaan dan/atau hubungan profesional. Seperti
halnya pihak yang dirugikan dengan hakim, advokat dengan
kliennya, pemeriksa dengan tergugat, dan pejabat hukum
dengan administrasi notarisnya.
Salah satu cara pandang yang ditonjolkan oleh etika dan etika
berkenaan dengan cara berperilaku individu adalah dalam
bidang pekerjaan berbakat yang disebut dengan panggilan.
Karena pemanggilan merupakan suatu tugas mengenai
keterampilan hipotetis dan terspesialisasi, yang bergantung pada
kepercayaan, maka ketergantungan dan asumsi bagi individu
yang membutuhkan bantuan sangat besar untuk melaksanakan

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 24


pengaturan ekuitas, sehingga diharapkan para pembawa
panggilan mempunyai kemampuan yang sangat besar. hal-hal
penting tertentu dalam menyelesaikan dan melaksanakan
kewajiban dan kewajibannya. kemampuan profesional, sehingga
mereka benar-benar bekerja secara profesional di bidangnya.
Panggilan yang bekerja di bidang hukum yang terkenal di zaman
komputerisasi adalah hakim, pemeriksa, pendukung, akuntan
publik dan berbagai komponen organisasi yang disahkan oleh
undang-undang. Spesialis ahli yang sah adalah otoritas umum di
bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, tujuan utama dari
pemanggilan ini adalah untuk memberikan bantuan publik
kepada daerah tanpa adanya pemisahan berdasarkan ketentuan
hukum yang material. Ahli yang sah dalam melaksanakan
kemampuannya dilengkapi dengan rambu-rambu yang
berwawasan luas, yaitu rambu-rambu yang sah (hukum hukum)
yang berwawasan luas, dan rambu-rambu akhlak dan akhlak
yang ahli (ahli seperangkat asas), sehingga kewajiban yang cakap
dalam menyelesaikan panggilannya termasuk sah. tanggung
jawab dan kewajiban moral. (Supirman Rahman dan Nurul
Qamar: 2014: 5)
Dengan tujuan untuk memahami tegaknya hukum dan
ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tugas
dan kemampuan tuntutan hukum sebagai suatu panggilan yang
bebas, merdeka, dan sadar sangat penting, dekat dengan
lembaga eksekutif hukum dan pelaksana hukum. Melalui
pemerintahan yang sah, kepentingan individu yang mencari

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 25


keadilan, termasuk upaya untuk melibatkan individu agar
memahami hak-hak istimewa mereka di bawah pengawasan
hukum, dapat dipahami. Dalam kajian ilmu hukum dikemukakan
bahwa selain norma-norma yang sah, terdapat juga norma-
norma lain yang membantu menunjang landasan permohonan
di mata masyarakat, yang disebut dengan standar moral. Standar
moral dari pertemuan para ahli yang berbeda direncanakan
sebagai seperangkat prinsip para ahli. Seperangkat aturan adalah
sekumpulan standar moral yang dihubungkan dengan suatu
panggilan dan dikumpulkan secara metodis. (Soerjono Soekanto,
2006: 183-184)
Hukum sebagai pedoman kegiatan masyarakat secara positif
memerlukan kualitas moral dan kualitas yang mendalam untuk
mengarahkan aktivitas hukum (Menon: 2020: 21). Untuk situasi
ini, hukum dikembangkan sebagai penyebaran etika. Sejalan
dengan itu, hukum tidak hanya diartikan secara harafiah saja
yang hanya disusun menjadi bagian-bagian dari norma-norma
yang sah dan formal. Hukum harus diuraikan secara lebih luas,
khususnya dengan memahami hukum tidak tertulis dan tugas
kebajikan sebagai pedoman hukum. Dengan cara ini, aktivitas
hukum dalam ruang persahabatan juga dipengaruhi oleh
berfungsinya hukum tidak tertulis serta moral dan kebajikan.
Etika lahir dari pemikiran-pemikiran lokal yang diwujudkan
dalam kegiatan-kegiatan besar di daerah itu sendiri. Faktanya,
masyarakat umum yang pada umumnya hidup dengan
memperhatikan standar moral dapat mempengaruhi hasil positif

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 26


dalam penilaian yang sah; Dengan cara ini, setiap masyarakat
umum akan berusaha menjaga kehormatannya dalam menilai
apakah sesuatu itu benar atau salah.

B. METODE PENULISAN

Pemeriksaan semacam ini merupakan standarisasi eksplorasi yang


sah. Pembakuan pemeriksaan yang sah merupakan suatu
rangkaian upaya untuk mendapatkan hakikat sehatnya dengan
membedakan relevansi suatu standar, yang mencakup
pentingnya standar yang sah dengan standar administratif, dan
kesesuaian antara kegiatan yang sah dengan standar atau standar
yang sah. Eksplorasi ini terletak untuk menganalisis hubungan
antara standar hukum dan standar moral; bahwa standar-standar
yang sah dan standar-standar moral harus tetap tidak dapat
dipisahkan selamanya dalam mengakui kesetaraan di mata
publik. (Marzuki : 2017:12).
Jika individu memiliki keyakinan yang tulus tentang apa yang
mereka anggap benar secara moral dan etika; mereka akan
menyetujui apa yang secara sah benar dalam hal apa pun. Jadi,
jika warga setuju dengan standar kualitas dan standar moral
yang mendalam; sebagian besar penduduk negara ini ditakdirkan
untuk menjadi orang yang 'teguh hukum'. mematuhi peraturan
umum serta pengaturan etika dan kualitas yang mendalam.
Sebenarnya dalam mengatur pemeriksaan yuridis; terdapat
konsentrasi pada etika ahli yang halal (Qamar dan Salle: 2019:

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 27


18). Tinjauan tersebut menunjukkan bahwa semua praktik yang
sah harus terus mencerminkan keaslian, etika, dan kemampuan.
Tidak hanya itu, Aristoteles berpendapat bahwa etika adalah
sesuatu yang memiliki kuantitas dan kualitas, bukan sekedar
gagasan yang sah (L. D. Johnson dan Koenig: 2020: 42);
Mengingat cara berperilaku yang bermoral dianggap sebagai
informasi bahwa kegiatan yang dilakukan terfokus pada
kemaslahatan semua orang untuk memberikan bantuan
pemerintah kepada manusia.
Etika dinamis telah terbukti berdampak pada peningkatan
konsentrasi di bidang hukum; baik pada tingkat fundamental
maupun praktik. Terlepas dari kenyataan bahwa hukum dan
etika memiliki keterkaitan antara keduanya; Meskipun demikian,
aktivitas substansial yang sah dapat dipandang sebagai aktivitas
eksploitatif, dan ada juga aktivitas moral yang dianggap
melanggar hukum. Seringkali hukum dianggap sebagai suatu
kerangka yang dirancang untuk mengisolasi bagian-bagian etika
dan kualitas yang mendalam untuk menjaga kepastian
pengaturan dalam suatu pedoman yang sah. salam.

C. PENGERTIAN ETIKA DAN HUKUM

Etika berasal dari kata Etica yang mengandung arti cara berpikir
moral dan arah hidup yang benar dilihat dari sudut pandang
sosial, moral dan ketat atau dapat juga diartikan sebagai Ethos
yang berarti kecenderungan, watak. Sementara menurut KBBI,

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 28


etika adalah bagian dari apa yang besar dan buruk, dalam
kaitannya dengan keistimewaan dan komitmen moral.
(Asshiddiqie J: 2017:56)
Menurut Hamzah Ya'kub Etika adalah ilmu yang meneliti apa
yang besar dan apa yang buruk serta menunjukkan perbuatan
manusia sejauh yang bisa diwaspadai oleh jiwa kita. Jadi etika
mempertanyakan apa yang dilakukan orang atau mengeksplorasi
aktivitas manusia. (Anleu S.R : 2020 : 120)
Sedangkan menurut referensi Kata Besar Bahasa Indonesia, Etika
adalah ilmu yang mempelajari apa yang besar dan apa yang
buruk serta tentang hak-hak moral dan komitmen (akhlak). Etika
bersifat umum dan masuk akal. Kemampuan etika untuk
memperoleh arahan dasar yang berlawanan dengan moralitas
yang berbeda. Diperlukan arahan mendasar dengan alasan kita
dihadapkan pada pluralisme moral. Dengan cara ini, standar
moral juga merupakan etika. Jadi etika juga merupakan etika.
Apapun yang tidak tahu malu dianggap tidak jujur. (Arjona CS:
2019; 12)
Dari pengertian tersebut, etika pada hakikatnya selalu
memusatkan perhatian atau memikirkan cara berperilaku
manusia (hebat dan buruk). Etika dan etika pada dasarnya
mempunyai arti yang sama, namun kontras antara etika dan
moral sangatlah tidak tepat. Karena pada hakikatnya pentingnya
etika lebih luas dibandingkan dengan etika. Etika membahas apa
yang mungkin atau tidak dapat dilakukan seseorang, sementara
etika mencoba mencari tahu mengapa dan berdasarkan premis

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 29


apa seseorang harus hidup sebagaimana ditunjukkan oleh
standar-standar yang ditetapkan oleh pelajaran moral. Oleh
karena itu, objek kajian etika adalah kualitas mendalam manusia.
Bagian dari penalaran yang mencirikan apa yang baik bagi
manusia dan masyarakat dan menjabarkan gagasan tentang
komitmen, atau kewajiban, yang dimiliki individu terhadap
dirinya sendiri dan juga orang lain. Dalam budaya masa kini,
etika menentukan bagaimana orang, pakar, dan organisasi
memutuskan untuk berhubungan satu sama lain. (Asshiddiqie J:
2020:52)
Kata etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti karakter
penting dan dari bahasa Latin mores yang berarti adat istiadat.
Aristoteles mungkin adalah orang terpelajar paling awal yang
berkonsentrasi pada etika. Bagi tujuannya, etika adalah sesuatu
selain gagasan yang etis, ketat, atau sah. Ia menerima bahwa
komponen utama dalam cara berperilaku moral adalah
informasi bahwa aktivitas dilakukan untuk keuntungan jangka
panjang. Ia mengetahui apakah aktivitas yang dilakukan oleh
orang-orang atau perkumpulan benar-benar bermanfaat bagi
individu atau perkumpulan dan bagi masyarakat. Untuk
mengetahui apa yang benar-benar baik secara moral bagi
manusia dan masyarakat, kata Aristoteles, penting untuk
memiliki tiga keunggulan yaitu wawasan yang aktif,
pengendalian diri, keberanian, dan kesetaraan. (Bernard L
Tanya: 2011; 85)

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 30


Kebutuhan untuk mengontrol, mengarahkan, dan menerapkan
cara berperilaku moral di tingkat individu, perusahaan, dan
pemerintah sudah ada sejak lama. Misalnya, kemungkinan besar
kode hukum paling awal yang dibuat, Kode Hammurabi,
menjadikan Bayar sebagai pelanggaran di Babilonia selama
seribu delapan ratus tahun. Sebagian besar tatanan sosial
memiliki sorotan khusus dalam serangkaian prinsip mereka,
misalnya, pelarangan pembunuhan, kerusakan besar, dan
mengejar kehormatan dan ketenaran pribadi. Dalam budaya
masa kini, kerangka hukum dan keadilan publik terkait erat
dengan etika dalam menentukan dan menegakkan kebebasan
dan komitmen yang jelas. Mereka juga berusaha membendung
dan menolak penyimpangan dari standar-standar tersebut.
(Cairns H : 2019 : 53)
Sebagaimana dimaksud dalam rujukan Kata Besar Bahasa
Indonesia, hukum adalah suatu pedoman atau adat istiadat yang
secara formal dipandang membatasi, yang ditegaskan oleh para
ahli atau pemerintah. Seseorang yang mengabaikan hukum akan
diberikan persetujuan yang berat. Hukum ada gunanya
mengarahkan permintaan di depan umum dengan tenang dan
sopan. Pedoman yang sah adalah sekumpulan pedoman yang
berisi standar dan persetujuan yang ditetapkan untuk dimintakan
dalam sosialisasi antar masyarakat. Pedoman di sini bersifat
memaksa dan individu yang mengabaikannya akan
mendapatkan disiplin khusus. Bukan hanya itu, undang-undang
pun dibuat. Demikian pula dalam pedoman yang sah, pedoman

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 31


ini tidak hanya membatasi kumpulan individu yang sabar tetapi
juga berlaku untuk setiap individu yang termasuk dalam cakupan
pedoman ini atau tersebar luas. (Es M: 2004: 58)
Secara hipotetis atau rasional, etika dan hukum (dalam
metodologi non-positivis) adalah dua substansi yang berkaitan
erat, namun persyaratannya berbeda. Etika merupakan bidang
tempat ditemukannya hukum dan hukum itu sendiri merupakan
contoh dari hukum yang telah disahkan dan diformalkan. Dalam
cara berpikir yang sah, kita memandang tingkatan hukum yang
dimulai dari nilai, standar, standar dan hukum. Dalam
permulaan ini, etika berada pada tingkat standar dan standar,
oleh karena itu tempat etika jauh dari aturan yang diikuti semua
orang. Akibat yang ditimbulkan adalah pelanggaran moral secara
humanis mendapat penilaian yang sangat mirip atau jauh lebih
besar dibandingkan dengan pelanggaran hukum (law).
Etika dan hukum adalah dua gagasan yang sering dipertukarkan
satu sama lain. Meskipun demikian, kedua gagasan ini sangat
unik satu sama lain. Etika berhubungan dengan apa yang
dianggap positif atau negatif oleh masyarakat, sedangkan hukum
adalah seperangkat pedoman yang ditetapkan oleh negara dan
harus dipatuhi oleh seluruh warganya. Etika atau etika adalah
sekumpulan nilai, standar, atau aturan yang digunakan
masyarakat dalam menjalankan rutinitas sehari-hari. Etika
menyangkut harga diri yang dipandang sebagai suatu
keberuntungan atau ketidakberuntungan oleh masyarakat. Etika
juga memberikan arahan tentang cara terbaik untuk bertindak

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 32


secara tepat dan akurat, serta mengontrol hubungan antara
manusia dan masyarakat. Etika bersifat abstrak dan dapat
berubah dari satu negara ke negara lain, atau bahkan dari satu
masyarakat ke masyarakat lain. Etika dapat berubah seiring
dengan perubahan zaman dan perubahan cara hidup
masyarakat. (Kramer M.H: 2004:24)
Hukum merupakan sekumpulan pedoman atau keputusan yang
telah ditetapkan oleh negara dan harus ditaati oleh seluruh
penghuninya. Undang-undang dibuat oleh negara untuk
mengatur hubungan antar masyarakat atau pertemuan di depan
umum. Undang-undang juga memberikan persetujuan atau
sanksi kepada individu yang mengabaikan pedoman yang
ditetapkan. Hukum berkepala dingin dan tidak boleh terlihat
berdasarkan sudut pandang emosional seseorang. Hukum
tersebar luas dan berlaku sama bagi semua penduduk suatu
negara. Meskipun terdapat fakta bahwa undang-undang dapat
berubah dalam jangka panjang, perubahan dilakukan melalui
siklus peraturan yang dikelola secara ketat.

D. UNSUR ETIKA DAN HUKUM

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah etika


dan hukum. Kedua hal ini berkaitan erat namun memiliki
perbedaan yang sangat besar. Etika dapat diartikan sebagai
sekumpulan nilai atau aturan moral yang mengatur perilaku
manusia di mata publik. Sementara itu, hukum adalah

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 33


sekumpulan aturan atau standar yang ditetapkan oleh negara
dan mempunyai persetujuan atau hukuman jika diabaikan.
Berikutnya adalah klarifikasi poin demi poin mengenai sudut
pandang moral dan sah.
Komponen-komponen yang terkandung dalam Etika adalah
sebagai berikut:
1. Kebajikan: Etika memiliki komponen keutamaan yang
mengatur cara pandang dan aktivitas manusia dalam aktivitas
publik. Model menggabungkan keaslian, kewajaran, dan
kewajiban.
2. Standar: Standar adalah prinsip-prinsip standar mengenai
perilaku yang dipandang positif atau negatif yang berlaku di
mata publik.
3. Perspektif dan pertimbangan: Etika juga mencakup
pandangan dan pemikiran yang berkaitan dengan kebajikan.
Hal ini dapat memengaruhi aktivitas dan pilihan individu.
(Luban D:2008:82)
Dalam kaitannya dengan komponen hukum, hukum mempunyai
komponen yang tidak sama dengan etika karena bersifat formal
dan dibatasi oleh undang-undang. Berikut ini adalah komponen-
komponen halal yang dapat dibedakan:
1. Pedoman: Undang-undang disusun melalui pedoman yang
tidak seluruhnya ditetapkan oleh negara.
2. Sanksi: Pedoman yang sah mempunyai persetujuan dan
disiplin dengan asumsi bahwa pedoman tersebut

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 34


disalahgunakan, baik dalam bentuk denda atau hukuman
penjara.
3. Wewenang: Eksekusi hukum dilakukan oleh lembaga atau
badan yang disetujui, seperti polisi, kantor penyidik, dan
pengadilan. (Prasetyo T:2017:86)

E. PERBEDAAN ANTARA HUKUM DAN ETIKA

Kita sering belajar tentang etika dan hukum, namun tahukah


Anda apa yang penting di antara keduanya? Etika adalah
sekumpulan nilai, standar, dan standar moral yang digunakan
untuk mengevaluasi cara berperilaku seseorang. Sementara itu,
hukum adalah sekumpulan pedoman, resolusi, dan pilihan
pengadilan yang mengarahkan perilaku individu di mata publik.
Meski terdengar komparatif, namun etika dan hukum
sebenarnya memiliki standar yang berbeda-beda. Etika sering kali
bergantung pada penentuan pilihan berdasarkan kebajikan dan
standar. Sementara itu, hukum lebih berpusat pada pedoman
dan undang-undang yang dipaksakan oleh negara untuk
mengontrol perilaku individu di arena publik. Keduanya juga
memiliki sumber yang berbeda. Etika lebih bergantung pada
nilai-nilai dan keyakinan pribadi atau kolektif. Sementara itu,
undang-undang mempunyai premis yang lebih substansial,
dimulai dari standar-standar yang ditetapkan oleh organisasi-
organisasi negara. Meski berbeda secara fundamental, etika dan

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 35


hukum sama-sama penting dalam menjaga keharmonisan dan
kesetaraan di mata publik. (Prasetyo T : 2019 : 69)
Perbedaan utamanya adalah bahwa hukum dicirikan sebagai
seperangkat hukum secara keseluruhan yang terdiri dari aturan-
aturan dan standar-standar yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan pengambilan keputusan untuk mengatur kegiatan-
kegiatan masyarakat. Sementara itu, etika dicirikan sebagai
aturan moral yang ditetapkan, diusulkan, dan diikuti oleh
seseorang. Sebagai aturan umum, etika adalah cara berpikir etis
di mana seseorang mengambil keputusan moral tertentu dan
berpegang teguh pada keputusan tersebut, sedangkan hukum
adalah kerangka kerja yang terdiri dari aturan dan standar untuk
mengawasi masyarakat. Meskipun etika bergantung pada
altruisme hukum, etika sangat berbeda dalam pendirian, premis,
dan tujuannya. Oleh karena itu, untuk lebih memahami
perbedaannya, kami mendefinisikan istilah hukum dan etika.
(Qamar N dan Salle: 2019: 56)
Tidak ada definisi yang menyeluruh untuk istilah hukum, namun
istilah hukum sering kali dicirikan sebagai suatu kerangka kerja
yang menerapkan sekumpulan aturan dan peraturan untuk
mengontrol cara berperilaku sosial. Hukum juga dicirikan sebagai
pedoman yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif. Pedoman ini
menggambarkan bagaimana individu diharapkan bertindak
terhadap satu sama lain di depan umum. Itu adalah kebutuhan
untuk bertindak secara terbuka di mata publik. Meskipun, di

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 36


bawah kekuasaan, undang-undang ini diumumkan secara luas,
umumnya diakui dan biasanya disahkan.
Etika, sekali lagi, adalah bagian dari teori yang mengkaji nilai-
nilai atau karakteristik. Ini mencakup pemeriksaan ide-ide seperti
benar, salah, besar, kejahatan, kesetaraan dan kewajiban. Ia
mencoba untuk menggambarkan apa yang benar-benar hebat
bagi masyarakat dan pribadi. Hal ini juga terlihat untuk
menjabarkan sekumpulan kewajiban yang dimiliki seseorang
terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain. Etika berasal dari
kata Yunani ethos yang berarti muncul dari kecenderungan.
Kualitas-kualitas ini juga datang dari dalam etika dan moral
seseorang untuk menjaga kepercayaan dirinya. Etika berkaitan
dengan mengapa dan bagaimana seseorang harus bertindak. Hal
ini berasal dari hipotesis luas tentang baik dan buruk, yang
mengarah pada aturan perilaku. Prinsip-prinsip ini menetapkan
standar cara seseorang berperilaku terhadap masyarakat umum.
Mengingat hal tersebut, undang-undang pun memberikan
sejumlah aturan untuk menenangkan masyarakat. Meskipun
hukum adalah subordinat dari etika, hukum tidak fokus pada
memajukan pemikiran sosial, hukum hanya memajukan
penampilan masyarakat yang baik. (Pojanowski J : 2021 : 18)
Hukum membantu membentuk isu-isu pemerintahan, masalah
keuangan dan masyarakat dengan berbagai cara dan berfungsi
sebagai perantara sosial dalam hubungan antar individu. Etika,
dalam kaitannya dengan aktivitas dan pilihan, membantu
membentuk jiwa dan karakter seseorang. Ini terdiri dari

SISTEM HUKUM & PERADILAN DI INDONESIA 37


Another random document with
no related content on Scribd:
lot set apart for the purpose on the southern extremity of his
premises. This log schoolhouse stood about thirty years, and
beside Joshua Foulke, we had for teachers William Coggins,
Hannah Foulke, Benjamin Albertson, Hugh Foulke (my
brother), John Chamberlain, Christian Dull, Daniel Price, and
Samuel Jones. I have probably not named all or given them in
the order in which they came.[489]

Merion seems to have left no written records of [Sidenote: Merion]


educational activity. There is a possibility that
Marmaduke Pardo[490] may have been connected with a school
there, soon after his coming from Wales, but this is little better than a
conjecture.[491] In the loft of the present building (which, however,
does not date back so early as this study) there is a school room in
which are rude tables and benches. One of them bears the date,
1711, rudely cut with a jackknife. If, in the early eighteenth century,
the meeting house still sufficed for school, it is quite probable that
the same was true much earlier; at any rate, no search thus far has
revealed anything concerning an early schoolhouse. The Radnor
Monthly Meeting Minutes in 1791 state:
[Sidenote: School,
At Merion and Valley we have not discovered at least not
any progress in laying a foundation for schools according to plan
of yearly meeting]
in the way proposed by the yearly meeting.[492]

which would favor still further the idea that any school held there at
that time was perhaps in the meeting house.
The earliest mention made of Horsham Meeting [Sidenote:
is that in the Abington Minutes of 1777, stating: Horsham]

It is agreed that there be two overseers chosen for


Horsham Meeting, viz., John Michener and Thomas Iredell.
[493]
This was doubtless very near the time of its first establishment as
a preparative meeting. The earliest preparative minutes accessible
are those beginning 1757.[494] We may feel certain, however, that
there was a school before this time, for in the Gazette for 1753 there
appeared an advertisement which stated:

Any person well qualified for keeping a school and comes


well recommended by applying to John Lukens, surveyor,
Abraham Lukens, or Benjamin Cadwalader, living in Horsham
township, near the meeting house, may meet with proper
encouragement.[495]

This may have been the same stone house in [Sidenote:


which Isaac Comly of Byberry taught in 1799, we Assistance by
cannot say. In the records of the preparative donations]
meeting on the first page there is an account of
donations concerning schools, but the page is so badly mutilated
that no straight account can be made of it.[496] It will be recalled from
the account given of Abington schools that Horsham members were
also benefitted by Carter’s legacy and others.[497]
A committee appointed to investigate the conditions of schools in
Horsham Meeting reported (1779):
[Sidenote: Report
We, the committee appointed, report as on Horsham
follows: That upon inquiry we found that the schools, 1779]
schoolhouse on the meeting house land is [Sidenote: Four
wholly the property of Friends, and the schools
subscribers generally Friends; we also find that mentioned]
there has been a schoolhouse lately built on a
piece of land held in trust for that purpose between John
Parry’s and John Walton’s wholly by the Friends, and
generally Friends subscribers; there is also one other
schoolhouse near the Billet on a piece of land held in trust for
that purpose by Friends and others, and one other
schoolhouse near John Jarret’s upon sufferance; the two last
mentioned schools being made up by subscribers of different
societies; which, after being considered, the same Friends are
continued with John Parry, Samuel Shoemaker (mason), John
Conrad, and John Jarrett added to them as a committee, to
have the oversight of such schools as may be properly under
the notice of this meeting.[498]

And again in 1783 that, [Sidenote: Rules


drawn for the
conduct of
The committee on schools report they have schools]
several times visited the schools of Friends
belonging to this meeting since their appointment, and that
there appears an improvement in them, they having drawn up
an essay of rules for the government of said schools, which
were read and approved by this meeting....[499]

From 1782 onwards Horsham was a regularly constituted monthly


meeting.[500] Almost the first thing performed by this newly
constituted body was to order a report on schools which was brought
into the monthly meeting in 1784,[501] the text of which is reproduced
below.
[Sidenote: Report
We, the committee on schools, having met made to Horsham
and examined into the situation of such within monthly on
schools]
the compass of this meeting find them as
follows, viz.: that within the verge of Byberry [Sidenote: Four
meeting there is a school kept in a part of the schools named;
meeting house under the inspection of part of others, where the
houses belong to
the same committee, by Christopher Smith, a Friends]
member of our society, whose number of
scholars are about thirty at 10/ a scholar, per [Sidenote: No
funds established]
quarter, raised by subscription; also another
school taught a small distance from said meeting house by
Isaac Carver in his own house who formerly was a member
among us, to which some Friends send their children, and
within the compass of Horsham Particular Meeting there is a
school taught on the meeting land near the meeting house by
Byran Fitzpatrick, who is not a member, the number of
scholars about twenty-five at 10/ a scholar per quarter; there
is also one other schoolhouse built by Friends on a piece of
land given for a term of years for that purpose in which there
is no school kept at present. There are several other schools
within the compass of said meeting, the houses of which are
the property of Friends and others to which some Friends
send their children. There are no funds belonging to any of
the aforesaid schools, but there is a donation left to Horsham
Particular Meeting, which if it were not for some
circumstances attending it, might be of an advantage in
establishing schools within the limits of that meeting which we
think demands the attention of this meeting.
Signed on behalf of the committee by
Daniel Thomas.

After this there was no report for nearly two [Sidenote: Each
years, when the meeting, taking cognizance of the particular meeting
fact, urged all the preparatives to appoint individual to name its own
committee]
committees of their own to attend to school affairs.
In 1787 the committee of the monthly meeting [Sidenote: Three
made report that within the compass of the monthly schools in the
preparatives]
meeting there were three schools under the care of
the preparative meetings, in all of which the masters were members
of the society of Friends.[502]
The value of the organization of meetings for [Sidenote: Value
getting something accomplished can hardly be of the
overestimated. The directing power of the quarterly organization cited]
meeting must have often been the cause which
produced a conscious activity in the lower meetings. The quarterly
meetings were at all times feeling the educational pulse of their
constituents and making suggestions, requiring reports, etc., which
did not fail to keep up the local interest. The quarterly meeting at
Abington in 1792 made the following suggestions:

At a quarterly meeting held at Abington, November 8, 1792,


the subject of schools coming under consideration, it is
thought expedient that the meetings be earnestly requested to
take that matter into solid consideration and send up in their
reports next quarter how far the advice of the yearly meeting
has been complied with in that respect. The clerk is requested
to furnish each member with a copy of this minute extracted
from the minutes of the quarterly meeting.
Nathan Cleaver, Clerk.
The clerk is directed to furnish the preparatives with a copy
of the above minute, and they are desired to inform this
meeting of their situation in the above respects.[503]

The report of the monthly meeting in 1792 [Sidenote: The


indicates that that meeting’s concern for the poor educated;
education of the poor was comparable to others 1792]
mentioned; they state that all of the children
“partake of learning freely” and their and other Friends’ children “are
placed among Friends” as apprentices.
The earliest Quaker settlements in Warrington [Sidenote:
were in 1735,[504] and their first meetings for Warrington]
worship were held with the Friends at Newberry. [Sidenote: Youths’
Warrington Preparative Meeting was organized in meetings]
1745;[505] while the monthly meeting records date
to 1747.[506] For nearly thirty years there is no notice in the records
concerned with education, saving those which refer to the settling of
youths’ meetings. Those were very frequent.[507] The report on the
youths’ meetings in 1779 was as follows:

Some of the Friends appointed to attend the Youths’


Meeting report that four of them attended it and gave it as
their sense that it was a good meeting, and that if it should be
as well attended in the future, it might be of use.[508]

Three years later, 1782, it was considered [Sidenote:


necessary to leave off holding the youths’ Committees of
meetings, for what reasons it is not known, but on a men and women
named on
protest from some members it was concluded that schools]
it might be continued for at least another meeting.
[509] In 1778 the yearly meeting extract was received, in which the
establishment of schools was recommended; committees of both
men and women were at once named for the service and desired to
report.[510] In the year following, the report was made on the part of
Warrington Preparative Meeting:

Warrington Meeting informs us that they have made choice


of William Underwood, Peter Cleaver, Benjamin Walker, and
Joseph Elgar for trustees and overseers of a school, with
which this meeting concurs.[511]

The trustees thus appointed, it seems, were not so successful as


might have been desired, if we may judge by their report made in
1780.
[Sidenote: No
William Underwood, on behalf of the progress reported
committee appointed to have under their care 1780]
and labor to promote the education of the youth,
as well as a reformation with that respect to other deficiencies
in our society, informed this meeting that they have several
times met and conferred together on the occasion, but have
not proceeded any further in that service, neither have any
prospect at this time of proceeding therein, etc.[512]

The tone of the next report of 1782 is more encouraging.


The Friends appointed to the care of schools report they
have made some progress therein, some of them having
attended each of our preparative meetings and endeavored to
encourage Friends in setting up of schools agreeable to the
intention of the Yearly Meeting and find there is a willingness
in the minds of Friends to endeavor to have schools set up
amongst us agreeable thereto, as nearly as the
circumstances of the several Meetings will admit of. They are
continued and desired to assist where there may be
occasions and report to this Meeting in the third month next.
[513]

In 1784 it was reported that the committee had [Sidenote: School


attended at York and that there appeared to be a to be at York]
good prospect for a school to be established there
according to the desires expressed in the yearly meeting’s advices.
[514] It was also stated that some provision was made at each
particular meeting for the same, and it was expected a particular
report would be rendered thereof.[515] This report, however, did not
come into the monthly meeting as it appears.
The conditions at York seem to have been the most promising as
presented in a committee’s report of 1784 which is here submitted:
[Sidenote:
The committee appointed to promote the Schoolhouse at
establishment of schools report that they have York;
paid some attention to the service; most of them subscriptions
started]
attended a meeting at York, and find that
Friends there have a house nearly finished and have entered
into some subscriptions to encourage such a school, of which
it is agreed that the Quarterly Meeting be informed, as well as
of houses being built for that purpose at Newbury and
Warrington, and that the committee be released from the
service.[516]
The statements of the monthly meeting in the [Sidenote: Same
above report are corroborated by a later report of statement by
the Warrington and Fairfax Quarterly, which was quarterly meeting]
made a few months later, though it appears the
schoolhouse at Warrington was not yet completed.[517]
The progress that had been made by Westland Monthly
Meeting[518] is indicated by the following report of that date:

The minutes of the school committee for several seasons


past being read, and they have proposed a reappointment,
William Wilson, Matthew Heald, Jonas Cattell, William Dixon,
Joshua Dixon, and Eleazar Brown are appointed to have the
general care of schools and admission of Tutors. And it
appears requisite that a few Friends be appointed by each
Preparative Meeting to have the immediate oversight of the
school or schools within the limits of such meetings; said
committee to unite and confer together as they see occasion,
and the clerk is desired to notify each preparative meeting by
a copy of this Minute.[519]

A still later report of 1797 is no more definite than [Sidenote: Later


the former; this is very generally characteristic of reports still
the reports, and even at a late date when other indefinite]
meetings were making very definite ones, indicates
that a very unsatisfactory state existed in the schools of Westland.
Many other reports examined, which were sent in before the
committee, of the century, made no improvement in regard to
definiteness.

SUMMARY
The schools in the limits of Abington, Gwynedd, [Sidenote: The
Horsham, Warrington, and Westland meetings are meetings]
discussed in this chapter.
Probably the first schoolmaster at Abington, who [Sidenote:
was connected with a regularly established school, Abington]
was Jacob Taylor. Land for the meeting and school
uses was deeded by John Barnes in 1696, and a meeting house
built by 1700. Assistance was also afforded by a legacy granted by
William Carter for educating poor children. Such funds were in
charge of, and expended by, trustees appointed for that purpose.
Fox’s and Crisp’s Primers are mentioned for use in the schools.
Mention is made of a schoolhouse near [Sidenote:
Gwynedd in 1721, but no records of the school are Gwynedd]
discovered. Marmaduke Pardo, an experienced
teacher, came to Gwynedd from Wales, and being [Sidenote:
Morristown
well recommended as such, it is likely that he was schoolhouse
employed in school teaching; but nothing explicit to mentioned]
that effect is found. Late in the century Joseph [Sidenote: Three
Foulke states he attended school in Gwynedd. A regular schools]
schoolhouse at Morristown is mentioned in 1766.
Committees on schools and funds followed the procedure noticed in
other meetings. School land, schoolhouse funds, and a house for a
master were provided in Montgomery township in 1793. Another
school in the compass of Plymouth is mentioned, and another one,
“adjoining the meeting house at Plymouth.” Other temporary schools,
used under varying circumstances, are said to be maintained.
Merion and the Valley do not appear to have met the yearly
meeting’s requirements in any way.
No explicit mention is made of a school at [Sidenote:
Horsham in the early minutes, but the Horsham]
advertisement for a teacher in 1753 indicates they
were supplied with a school. A report of Horsham Preparative in
1729 mentions four schools, kept “nearly agreeable to direction.” In
1783 a list of rules was adopted for their government. Each
preparative meeting was directed in 1787 to have its own committee
on schools.
Judging from the minutes of their transactions, [Sidenote:
the schools of Warrington and Westland meetings Warrington
seem to have been organized and carried on in a Westland]
very desultory fashion. Those at York and [Sidenote:
Warrington were the best situated. There were Probably twelve
probably as many as twelve regularly established regularly
established
schools in the above meetings by the end of the schools]
century.
CHAPTER VII
SCHOOLS OF CHESTER COUNTY

The several monthly meetings, which are [Sidenote: The


discussed in this chapter, were, for the period of meetings
this study (before 1800) members of Chester (or considered]
Concord Quarterly) Meeting, until the
establishment of Western Quarterly Meeting in 1758,[520] when a
number of them were included in that quarter. In 1800 a new
Quarterly Meeting (Caln) was established from those formerly
constituting Western Quarterly.[521] The monthly meetings with which
we are to deal, the dates of their establishment, and the order of
their presentation here, are as follows: (1) Kennett, known as
Newark till 1760, 1686, or before; (2) New Garden, set off from
Kennett in 1718; (3) Goshen, set off from Chester, 1722; (4)
Bradford, 1737; (5) Uwchlan, set off from Goshen, 1763; (6) London
Grove, set off from New Garden, 1792.[522] Those just named were
situated within the limits of present Chester County.[523] The last
meeting to be considered in this chapter, (7) Sadsbury, established
in 1737, was situated in Lancaster County.[524]
In the records of Kennett (Newark) Meeting, the [Sidenote:
writer has been unable to find any early explicit Kennett]
reference to education. Among the early references
to children, are the minutes of 1715 in regard to [Sidenote: Early
care for children]
those of the widow Howard at the time of her
remarriage.[525] The meeting appointed a committee to look after the
affairs of her children to see that the will of the deceased father was
entirely complied with. Again in 1727 the meeting appointed a
committee to see that the provision for the orphan children be
fulfilled before allowing the widow to remarry.[526] These two cases
serve to point out that an early care and interest in the affairs of
children was manifested on the part of the meeting.
Local historians have very little to offer in the way [Sidenote: Local
of clews to the education of the Quakers in the last history credits
part of the seventeenth and early eighteenth Quakers with
furnishing the
century, though they all agree that the Quakers foundation of
furnished the foundations of education, and it was schools]
begun very early, even from the first establishment
in the various counties.[527] Some of the early schools have already
been discussed, in cases where it was possible to state the earliest
beginnings.[528]
In 1777 those who had attended the Western [Sidenote: Yearly
Quarterly Meeting reported they had received the recommendations
recommendations of the yearly meeting requiring received]
the monthly meetings to have particular charge of [Sidenote: School
the education of the children, with especial committee
reference to the employment of schoolmasters who appointed]
were Friends.[529] The same concern being
mentioned a month later, with emphasis on the school education, a
committee of six Friends was appointed to join with a committee of
the quarterly meeting to confer on the matter.[530] In 1779, their
action appears to be just a little more definite, but from the records it
is difficult to say whether it meant very much or not; the minutes at
that time stated:

John Way, John Marshall, James Bennett, Caleb Pierce,


David Greame, Samuel Nichols, and Thomas Carlton, Jr., are
appointed to unit together and endeavor to promote such
schools as (are) recommended.[531]

From that date (1779) to 1781, there appears no [Sidenote: Union


comment on the subject, save the usual periodic school of Kennett,
announcements that the Advices of the Yearly Bradford, and
New Garden]
Meeting “have been regularly received.” In 1781,
however,
Caleb Pierce on behalf of the committee on schools,
reports there is a school made up by some of the members of
this, Bradford, and New Garden monthly meetings; John
Parker and Caleb Pierce are appointed to join with the
Friends of those meetings in the oversight thereof, and report
to this meeting when necessary.[532]

In the seventh month thereafter, in the same [Sidenote: The


year, John Parker reported that the school which school
he and Caleb Pierce had been appointed to discontinued]
oversee was discontinued.[533] They were released [Sidenote: New
from their service in the care of schools. The committee has
former committee on that subject, appointed in more specific
duties]
1779, seems, however, from the minute of the tenth
month, 1781, to have been continued as a standing committee on
the subject.[534] The following extract implies that the committee of
1779 was replaced by another which, by the way, had more
specifically named duties. The implication of the minute is that there
were at least two schools, perhaps more.

The concern for the promotion of schools, under the


directions of Friends revived, Samuel Harlan, John Way,
Aaron Hollingsworth,—John Swain, Amos Harvey, Samuel
Pennock, and James Jackson are appointed to have the care
and oversight of schools, also promote the establishment of
schools where there is yet want of assistance, and report to
this meeting when necessary.[535]

In the same year it was also recommended to the preparative


meetings that each appoint a committee of their own to represent
them and act with the committee of the monthly meeting in the
concern of schools.[536] The intervening years, from 1783 to 1785,
offer nothing beyond the usual general reports concerning the
appointment of committees and the like. In 1785, the committee on
schools produced this report:
We have lately had a conference on the [Sidenote:
subject, and do find that there are several Several schools
schools in the compass of our monthly meeting, reported; some
according to
kept by Friends and under the care of this demand of yearly
committee, and may inform that they are kept to meeting]
a good degree of satisfaction, yet there are
some that employ teachers, not members of our society,
without the advice of the committee or the monthly meeting.
We, likewise, agree to lay before the monthly meeting the
reappointment of a committee for this service in future as the
members of this committee have been long on the
appointment and desire to be released, which we submit to
the meeting. Signed—John Way (and five others).[537]

The answer to the fifth query of the same year likewise informs us
that care has been taken in the education of the poor children, and
Friends’ children “are generally placed among Friends.”[538]
The request for the appointment of a new [Sidenote: New
committee on schools, made by the old committee, school committee
does not seem to have received consideration till appointed]
1788. In the meantime we must assume that the
old committee continued to serve, since occasional reports were
sent in. The men appointed on the new committee were: Jacob
Greave, Samuel Nichols, Amos Harvey, Samuel Harlan, Moses
Pennock, Robert Lambourn, Jr., Christopher Hollingsworth, John
Way, and William Phillips, Jr.[539] In 1790 the monthly meeting
ordered a special committee to recommend a deeper educational
concern to the particular meetings.[540]
The desired results, in the shape of a more perfected organization
and permanent foundation to be provided for schools, did not come
until about 1792 and thereafter. In that year, the committee reported
its past activity in respect to schools established, and made certain
valuable suggestions to guide future action, as the following extract
witnesses:
The committee, appointed at last meeting, [Sidenote: Ground
report: We, the committee appointed by the purchased]
monthly meeting at the request of Kennett
[Sidenote: Rules
Preparative Meeting, respecting the adopted for the
establishment of schools within the verge school]
thereof, agree to report, we have attended
thereto, and find they have purchased a piece of ground, with
the approbation of the committee of this meeting, of Abraham
Taylor, about two miles and a half westernly from Kennett
Meeting House, adjoining the public road, leading to
Nottingham, and obtained his conveyance to Jacob Pierce,
Samuel Pennock, Townsend Lambourn, Thomas Pierce,
William Parker, and David Pierce, trustees for the same,
meted and bounded as mentioned in the said conveyance
and recorded ... and as it appears to us necessary in order for
a fixed object whereon to lay a foundation for establishing a
fund agreeable to the Yearly Meeting, that the monthly
meeting should appoint some Friends as trustees to have the
care of the said school, and that it should have a name to be
distinguished by; we therefore propose it to be called by the
name “Number One,” within the verge of Kennett Preparative
Meeting. We have likewise agreed on some general rules to
be observed by the scholars of the said school. Signed by
Caleb Pierce, Wm. Lambourn, Caleb Kirk, and Jonathan
Greave. 12-24-1790.

The above report, being read, is agreed to be further considered at


our next meeting.[541] Unfortunately for the satisfaction of our
curiosity about the internal organization of the schools, the rules
which they state were drawn up were not incorporated in the minutes
of the monthly meeting. They were probably similar, however, to
those adopted by the Horsham School Committee at a slightly earlier
date.[542]
In consideration of the recommendations made in the above
report, the meeting assembled in the seventh month, appointed nine
of their members as trustees, to receive all donations for the purpose
of schools.[543] About a year thereafter, a report signed by Joshua
Pusey and John Jones was submitted by the monthly meeting to the
quarterly meeting, which was in substantial accord with all that had
already been done.[544] It may be well to summarize briefly their
recommendations.
1. We have considered the relative situation of [Sidenote:
the members in our compass. Summary of
committee’s
2. The affairs of education have not yet received report]
the attention they deserve.
3. We find several school houses have been erected, but
4. The demands made by the yearly meeting are not met,
therefore,
5. Friends must subscribe funds, either in monthly or preparative
meetings.
6. The funds must be available for application for meetings.
Friends are so scattered and few that they cannot support a school
alone and have been forced to patronize “mixed schools.”
7. Those laboring under difficulties should be taught gratis, or at
least, at low rates.
In 1795 the committee on schools produced a plan for
subscriptions to a permanent school fund,[545] which was referred to
the next meeting. A report was then made, but it was thought that
since all of the committee had not collaborated it should be, and
accordingly was, postponed for the time being.[546] In the fifth month
a report was made, but still some changes were thought to be
necessary.[547]
Not until the twelfth month (1785) was the report [Sidenote:
finally produced, which is given below. There has Question of a plan
been some reference made by local historians of for school funds
prior to 1795]
Chester County, stating that Kennett Monthly
Meeting had as early as 1787 provided a plan for subscription for the
provision of permanent funds.[548] The rule “number 5,” which is
quoted by them, is exactly the same rule as the fifth one which is
mentioned below. The writer has found no such reference to a plan
for funds at the earlier date (1787). It seems quite probable that the
statement made in Mr. Cope’s work is an oversight, perhaps an error
in setting up an eight in place of a nine. The entire list of nine rules is
given.
[Sidenote:
1. A plan for raising fund for the benefit of Scheme for funds
schools within the bounds of Kennett Monthly reported in 1795]
Meeting, whereby Friends may have an
opportunity of manifesting their benevolent intentions by
subscribing thereto.
1st. That each subscriber to this plan pay at the time of
subscription, or give his or her note to the treasurer or clerk of
the trustees, or their successors appointed by Kennett
Monthly Meeting, to have the care of this fund, for a sum of
money payable at any time, not exceeding three years after
date, with the interest of five per cent. per annum paid
annually for the same.
2d. The treasurer shall have a book for that purpose, and
keep fair entries of all money due and received; likewise of all
money expended and his receipts shall be a sufficient
discharge for any money paid to him for the use of schools.
3rd. Whenever the treasurer may receive any new
subscription or any money for the benefit of schools, he shall
report the same at the next meeting of the trustees of the said
schools.
4th. When the trustees receive any money for the use of
schools, they shall as soon as they can conveniently put the
same to interest upon good security; or they may purchase
land or ground rent therewith as shall appear best for the time
being.
5th. The trustees shall, as soon as they see occasion, apply
the interest arising from this fund to securing the schooling of
the children of such poor people, whether Friends or others,
as live within the verge of the aforesaid monthly meeting,
provided such children comply with their rules.
6th. We recommend it to each other as often as we find an
increase of property and openness of heart to add something
to our subscription whereby it is hoped the monthly meeting
may in time be enabled more fully to comply with the advice
of the Yearly Meeting in 1778, respecting schools.
7th. As a variety of circumstances may in future occur
which the human eye can not foresee, nor understanding
conceive, therefore the trustees shall from time to time
manage this fund as shall appear to them best, to promote
the welfare of the said schools and the poor thereunto
belonging; also if the interest may be to spare, they may
assist therewith in keeping the schoolhouse in repair and in
paying the salaries of schoolmasters or mistresses within the
verge of said meeting, provided the principal be not thereby
lessened.
8th. If at any time the trustees may not all judge alike how
they ought to proceed in such cases, they are to apply to the
aforesaid monthly meeting for assistance.
9th. The trustees shall from time to time be accountable to
the monthly meeting of Kennett for their management of this
fund, as directed in the minute of their appointment. Signed
by order of Kennett Monthly Meeting, held the 15th of the 12th
month, 1796.[549]

The condition of the schools in Kennett Monthly [Sidenote: State


Meeting was made known in 1798 in the report of schools in
presented by Robert Lambourn for the committee. 1798]

A digest of that report is as follows:

1. They have had the subject “under care.”


2. There are two schools “within their compass.”
3. The town’s schools are taught by Friends’ members.[550]
4. They are under the charge of the meeting’s committee.

The New Garden Meeting in 1773 made record [Sidenote: New


of having placed £4/11/9 in the hands of Jacob Garden]
Wright, to be applied at the further directions of the
meeting to the placing out of poor Friends’ children [Sidenote: Care
for the indigent]
or the relief of indigent Friends.[551] Between that
time and 1778, we learn no more of this educational philanthropic
interest. In that year the usual reminder sent out by the yearly
meeting came to them, calling attention to educational needs.[552] A
committee was appointed which stated in a report, 1779, “some care
is taken therein, and more appearing necessary, they are
continued.”[553] An extract of a few months later is as follows:
[Sidenote: Two
The committee respecting schools, having schools; another
the matter under care, two schools being under proposed]
their notice, and another proposed to be
established, they are continued and desired to report when
necessary, and the clerk to enter the substance of the case in
their report.[554]

Following the report of 1779, which showed there were two


schools in charge of the meeting, there is furnished no further
information until 1785. In the third month, 1785, a large committee of
thirteen members was appointed to take charge of the “weighty
affairs” recommended.[555] This committee produced a report in the
eighth month of the same year, which is gratifying in that it is more
substantial than many others brought in. It is given herewith.
[Sidenote: Report
The committee in the care of schools report of 1785]
that they have had several conferences
together since last meeting, and are of the mind that concern
for the right education of our youth rather increases among
Friends, and that a new school house has been lately built
near Jeremiah Barnard’s on a small piece of land conveyed
by him for that purpose, which account is satisfying to this
meeting. The committee is continued for further service and
desired to report as they may see occasion.[556]

In 1786, George Gawthrop and Thomas Richards were added to


the committee.[557] From the first to the fourth month of that year, the
committee reported they had visited one school,[558] but their report
indicates nothing performed, more than the visit. Four months later it
is reported they had attended to the subject of schools somewhat,
but that it still required much greater attention; and they were
advised to meet with the monthly meeting’s clerk that he might
prepare his report on schools for the quarterly meeting.[559]
Though that report and the one of the quarterly meeting really tell
us nothing, we are better rewarded in one produced just a year later,
which points plainly to some of the difficulties the early school
trustees had to face.
[Sidenote: Report
The committee in the care of schools of 1787]
reported as follows: the substance whereof the
clerk is directed to insert in our report of the quarterly
meeting.

The care of schools has been under our care [Sidenote:


and attention and on conferring together, we Mistresses
agree to report—under the present employed in
summer; some
circumstances of things amongst us, it is found schools not
most convenient to employ mistresses, as the according to
teachers in our schools most generally in the advice]
summer season, several of which are now
under the care of Friends to pretty good satisfaction, and we
hope the concern is in a reviving way amongst us, though
there are discouragements by some Friends encouraging or
promoting schools taught by persons not agreeable to the
advice of the society.[560]

Anda mungkin juga menyukai