Anda di halaman 1dari 5

SOAL 1

a. Berkaitan dengan Perubahan Ketentuan Fiktif Positif oleh Pasal 175 ayat (7) UU Cipta
Kerja, berikan pandangan/argumentasi saudara terkait dengan perubahan ini (kelebihan
dan/atau kekurangan), dengan menggunakan referensi terkait Positive Model or
Tacit/Silent Authorisation/Approval/Consent baik dalam tataran Teoritis maupun Praktik
pada Administrative Procedure Act/APA beberapa Negara Eropa seperti Perancis dan
Spanyol.

Perubahan Ketentuan Fiktif Positif dalam Pasal 175 ayat (7) UU Cipta Kerja mengenai waktu
penyelesaian permohonan dan penganggapan permohonan dikabulkan secara hukum memiliki
beberapa kelebihan dan kekurangan. Salah satu kelebihannya adalah perubahan tersebut memberikan
waktu yang lebih singkat bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk menetapkan dan/atau
melakukan keputusan atau tindakan terkait permohonan. Dengan batas waktu yang lebih pendek,
diharapkan proses administrasi pemerintahan dapat berjalan lebih efisien dan responsif terhadap
permohonan yang diajukan. Hal ini penting terutama dalam situasi di mana keputusan atau tindakan
pemerintah dapat memiliki dampak signifikan bagi pihak-pihak terkait.

Namun, penganggapan bahwa permohonan dikabulkan secara hukum tanpa melalui proses
pengadilan dapat memunculkan risiko penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sembrono oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Sistem fiktif positif dapat memberikan insentif bagi pemerintah
untuk tidak secara serius mempertimbangkan permohonan yang diajukan, karena mereka tahu bahwa
tidak ada risiko hukum atau konsekuensi jika mereka tidak mengambil keputusan atau tindakan yang
sesuai dalam batas waktu yang ditentukan.

Dalam konteks Teoritis dan Praktik pada Administrative Procedure Act/APA beberapa Negara
Eropa seperti Spanyol, terdapat konsep Tacit/Silent Authorisation/Approval/Consent. Konsep ini
menyatakan bahwa jika pemerintah tidak memberikan keputusan atau tindakan dalam batas waktu
yang ditentukan, maka permohonan dianggap disetujui secara diam-diam (tacitly approved). Namun, di
negara-negara Eropa seperti Spanyol, konsep ini biasanya hanya berlaku untuk permohonan tertentu
yang tidak memiliki implikasi yang signifikan atau ketika pemerintah tidak memberikan respons dalam
waktu yang wajar.

Perubahan Pasal 53 UU AP yang mengadopsi konsep ini dapat dianggap sebagai upaya untuk
mempercepat proses administratif dan memberikan perlindungan hukum bagi pemohon. Namun, perlu
diperhatikan bahwa implementasi konsep Tacit/Silent Authorisation/Approval/Consent haruslah hati-hati
dan mempertimbangkan kebutuhan untuk menjaga kualitas keputusan dan tindakan pemerintah yang
diambil. Pemerintah harus tetap menjalankan kewajiban untuk melakukan evaluasi dan pertimbangan
yang cermat sebelum mengambil keputusan atau tindakan, meskipun dalam batas waktu yang lebih
singkat. Dalam perubahan Pasal 53 UU AP, penting bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan
bahwa penyingkatan batas waktu tidak mengorbankan kualitas keputusan dan tindakan. Tidak hanya
itu, perlu ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk memastikan bahwa permohonan yang
dianggap dikabulkan secara hukum juga dapat dipertanggungjawabkan dan diaudit secara efektif.

b. Menurut pandangan saudara, perlukah Pemerintah membuat Peraturan Turunan dari UU


AP sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja ini yang mengatur Proses penetapan
Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat
Pemerintahan yang berwenang melalui sistem Elektronik? Jika perlu, hal-hal apa saja yang
perlu diatur dalam kaitan dengan penerbitan bukti Keputusan Fiktif Positif.

Menurut pandangan saya, penting bagi Pemerintah untuk membuat Peraturan Turunan dari
UU AP sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja yang mengatur proses penetapan keputusan
dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang
berwenang melalui sistem elektronik. Hal ini akan memberikan kerangka hukum yang jelas dan
memastikan bahwa penggunaan sistem elektronik dalam proses administratif berjalan dengan lancar
dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Dalam kaitan dengan penerbitan bukti keputusan fiktif positif, ada beberapa hal yang perlu
diatur dalam peraturan turunan tersebut. Pertama, peraturan tersebut harus memuat ketentuan
mengenai persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi dalam penggunaan sistem elektronik. Hal ini
termasuk tata cara pengajuan permohonan, pengiriman dokumen dan informasi yang relevan, serta
keamanan dan keabsahan data yang terkait dengan proses tersebut.

Kedua, peraturan turunan juga harus mengatur mengenai mekanisme verifikasi dan validasi
keputusan atau tindakan yang dihasilkan melalui sistem elektronik. Penting untuk memastikan bahwa
keputusan atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum melalui proses ini telah melewati
tahap-tahap yang benar, dan terdapat mekanisme untuk memeriksa keabsahannya. Hal ini dapat
meliputi audit internal dan eksternal, penggunaan tanda tangan digital atau metode otentikasi lainnya,
serta penggunaan sistem keamanan yang canggih untuk melindungi integritas data.

Ketiga, peraturan turunan harus mengatur mengenai tanggung jawab dan akuntabilitas Badan
atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang dalam penggunaan sistem elektronik. Ini termasuk
pengaturan mengenai sanksi atau konsekuensi hukum jika terjadi penyalahgunaan atau kelalaian
dalam penggunaan sistem tersebut. Juga, peraturan harus mengatur mekanisme untuk pemohon atau
pihak yang terkena dampak untuk mengajukan banding atau protes jika ada keputusan atau tindakan
yang diragukan melalui proses ini.

Terakhir, peraturan turunan harus mencakup pedoman atau panduan praktis mengenai
penggunaan sistem elektronik dalam administrasi pemerintahan. Ini akan membantu memastikan
pemahaman yang jelas bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang dalam
mengoperasikan sistem tersebut dan memastikan konsistensi dalam penggunaan serta penerapan
standar yang relevan. Dengan adanya peraturan turunan yang mencakup hal-hal tersebut, proses
penetapan keputusan dan/atau tindakan melalui sistem elektronik dapat dilakukan dengan lebih efisien,
transparan, dan akuntabel. Ini akan membantu meningkatkan kualitas layanan publik, mengurangi
birokrasi, serta memberikan kepastian hukum bagi pemohon dan pihak yang terkait dengan proses
administratif.

c. Menurut pandangan saudara, mengapa Pemerintah dalam UU Cipta Kerja perlu


memasukkan UU AP sebagai salah satu UU yang dilakukan perubahan dalam Klaster
Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan? Apakah hal ini sejalan dengan tujuan UU AP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU AP? Jelaskan.

Menurut saya, pemerintah memasukkan UU AP sebagai salah satu UU yang dilakukan


perubahan dalam Klaster Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dalam UU Cipta Kerja dengan
tujuan untuk mengintegrasikan dan menyempurnakan regulasi administrasi pemerintahan yang ada.
Salah satu tujuan UU AP yang diatur dalam Pasal 3 adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik
dan kepastian hukum bagi masyarakat. Dengan memasukkan UU AP dalam Klaster Pelaksanaan
Administrasi Pemerintahan dalam UU Cipta Kerja, pemerintah ingin memberikan landasan hukum yang
lebih komprehensif dan terintegrasi untuk memperbaiki proses administrasi pemerintahan, termasuk
dalam hal penetapan keputusan dan tindakan.

Perubahan yang terjadi dalam UU Cipta Kerja, khususnya dalam Pasal 53 UU AP, bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan responsivitas administrasi pemerintahan. Misalnya, penyingkatan
batas waktu untuk menetapkan keputusan atau tindakan menjadi paling lama 5 hari kerja dapat
mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, penggunaan sistem elektronik dalam proses
administrasi juga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengambilan
keputusan. Maka, perubahan dalam UU Cipta Kerja dengan memasukkan UU AP sebagai bagian dari
Klaster Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan sejalan dengan tujuan UU AP untuk meningkatkan
kualitas pelayanan publik dan kepastian hukum. Melalui perubahan tersebut, pemerintah berupaya
untuk memperbaiki dan menyempurnakan regulasi administrasi pemerintahan, mengakomodasi
perkembangan teknologi, dan mengoptimalkan penggunaan sistem elektronik dalam proses
administratif.

d. Menurut pandangan saudara, terhadap Pihak Ketiga yang keberatan/merasa dirugikan


terhadap Keputusan Fiktif Positif yang diterbitkan, apakah Pihak Ketiga dapat menggugat
Keputusan Fiktif Positif tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Jelaskan.

Menurut pandangan saya, Pihak Ketiga yang merasa dirugikan atau keberatan terhadap
Keputusan Fiktif Positif yang diterbitkan dapat menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN), terutama jika prosedur yang diatur dalam UU AP tidak diikuti atau ada
pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses administratif. Meskipun UU Cipta Kerja telah mengatur
bahwa permohonan yang tidak ditanggapi dalam batas waktu yang ditentukan secara otomatis
dianggap dikabulkan secara hukum, hal ini tidak meniadakan hak Pihak Ketiga untuk mengajukan
gugatan jika mereka merasa terdapat kekeliruan atau ketidakadilan dalam Keputusan Fiktif Positif
tersebut.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan lembaga peradilan yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara terkait sengketa administrasi pemerintahan,
termasuk dalam hal Keputusan Fiktif Positif. Pihak Ketiga dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan
menyampaikan argumen dan bukti yang mendukung posisinya bahwa keputusan yang dianggap
dikabulkan secara hukum tersebut tidak sesuai dengan hukum atau merugikan kepentingan mereka.
Namun, perlu diingat bahwa dalam mengajukan gugatan ke PTUN, Pihak Ketiga harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang, termasuk batas waktu pengajuan
gugatan yang ditentukan. Selain itu, Pihak Ketiga juga harus menyampaikan alasan yang jelas dan
bukti yang cukup untuk mendukung klaim mereka.

Proses persidangan di PTUN akan melibatkan pemeriksaan fakta dan hukum terkait
Keputusan Fiktif Positif yang diterbitkan. Pengadilan akan mempertimbangkan argumen dari kedua
belah pihak dan memutuskan apakah keputusan tersebut sah atau tidak. Jika PTUN menganggap
bahwa Keputusan Fiktif Positif tersebut tidak sesuai dengan hukum atau merugikan Pihak Ketiga,
mereka dapat membatalkan atau mengubah keputusan tersebut

REFERENSI

Fauzani, M. A. (2021). Desain Diskresi Dan Fiktif Positif Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Cipta
Kerja. Jurnal Literasi Hukum, 5(2).
Simanjuntak, E. (2017). Perkara Fiktif Positif Dan Permasalahan Hukumnya. Jurnal Hukum dan
Peradilan, 6(3), 379-398.

Irvansyah, A. R. (2022). Kedudukan Hukum Keputusan Fiktif Positif Sejak Pengundangan Undang-
Undang Cipta Kerja. JAPHTN-HAN, 1(2), 208-226.

Wicaksono, D. A., Hantoro, B. F., & Kurniawan, D. (2021). QUO VADIS PENGATURAN
KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENERIMAAN PERMOHONAN
FIKTIF POSITIF PASCA PENATAAN REGULASI DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA. Jurnal
Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 10(2), 323-337.

Gellhorn, W. (1986). The Administrative Procedure Act: The Beginnings. Virginia Law Review, 219-233.

McNollgast. (1999). The political origins of the Administrative Procedure Act. Journal of Law,
Economics, and Organization, 15(1), 180-217.

Heriyanto, B. (2019). Problematika Penyelesaian Perkara “Fiktif Positif” Di Pengadilan Tata Usaha
Negara. PALAR (Pakuan Law review), 5(1).

Fauzani, M. A. (2021). Desain Diskresi Dan Fiktif Positif Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Cipta
Kerja. Jurnal Literasi Hukum, 5(2).

Bimasakti, M. A. (2021). BEBERAPA KESALAHAN KONSEPTUAL PADA UU CIPTA KERJA MENURUT


ILMU HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SEVERAL CONCEPTUAL ERRORS IN THE JOB CREATION
LAW IN THE LIGHT OF THE SCIENCE OF ADMINISTRATIVE LAW.

Anda mungkin juga menyukai