SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
Disusun Oleh
Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan, dasar kajian (analisis dan
kesimpulan). Berdasarkan jenis dan bentuknya, data terbagi menjadi dua yaitu : Metode
penulisan karya ilmiah yang digunakan termasuk dalam kategori atau jenis penelitian hukum
normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau
penelitian hukum yang menggunkan data sekunder. Didalam data sekunder dapat terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Adapun di dalam
data sekunder terdapat dari sumber-sumber data yang terdokumentasi berbentuk bahan
hukum, di antaranya:
1. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
antara lain seperti, Peraturan Perundang-Undangan, Yurisprudensi, Traktat, dsb.
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 .
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak
Uji Materiil.
5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/Hum/2013 Tentang Uji
Materiil Terhadap Pasal-Pasal Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
Hak uji materil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu:
Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ;
Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21;
Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) ; Pasal 48
ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3);
Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37, sebagai berikut:
PENDAPAT
Menurut penulis, bahwa kegiatan verifikasi melanggar Undang-Undang Perpajakan
Nomor 16 Tahun 2009 dan produk atas kegiatan tersebut (SKP) tidak lagi memiliki
dasar hukum untuk dinyatakan sebagai produk yang sah secara hukum. Dengan
demikian, koreksi yang dilakukan Terbanding tersebut dengan melalui kegiatan
verifikasi pada dasarnya merupakan kegiatan yang tidak berlandaskan hukum dan
produk yang dihasilkan, tentu merupakan hal yang tidak tepat /atau keliru dan
semestinya harus batal demi hukum. Selanjutnya menurut penulis, upaya tindak
lanjut Putusan Mahkamah Agung Nomor 73 P/HUM/2013 tersebut, bahwa Menteri
Keuangan telah mengubah Peraturan Menteri Keuangan NO. 9/PMK. 03/2013
tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 202/PMK. 03/2015, khususnya perubahan terhadap
ketentuan dalam Pasal 17 dengan menyisipkan satu ayat yaitu ayat (4a). bahwa
dengan telah disisipkannya ayat 4a dalam Pasal 17 tersebut pada huruf b di atas,
dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak
dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang
KUP, jangka waktu 12 (dua belas) bulan penyelesaian keberatan tertangguh,
terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak yang diajukan
gugatan tersebut sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh
Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya, Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil diatur bahwa dalam hal 90 hari setelah
putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata
pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan perundang-undangan yang berlaku.