Anda di halaman 1dari 11

UNIVERSITAS PANCASILA

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER


HUKUM PAJAK

Analisis dan Pendapat Atas Mahkamah Agung RI No: 73/P/HUM/2013


“Tentang Uji Materil Terhadap pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang diputus pada tanggal 30 Juni
2014”

Disusun Oleh

Nama : Dimas Gerianto


No Mahasiswa : 5218221037
Semester : 2 (2019/2020)
Dosen : L.Y. Hari Sih Advianto, SST., S.H., M.M., M.H.

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT PENILAIAN


DALAM MATA KULIAH HUKUM PAJAK
JAKARTA
2020
PENDAHULUAN

Seiring perkembangan waktu, dan banyaknya pemeriksaan yang dilakukan otoritas


pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) , semakin banyak pula pengajuan
keberatan akibat tidak terjadinya kesamaan pendapat pada saat pemeriksaan antara Wajib
Pajak (WP) dengan Pemeriksa Pajak.
Sesuai dengan Pasal 25 UU KUP, WP yang tidak setuju dengan hasil pemeriksaan
pajak, dalam waktu 3 bulan sejak diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat
mengajukan keberatan atas hasil SKP tersebut kepada Kantor Wilayah DJP (Kanwil)
dimana WP tersebut terdaftar. WP tidak perlu membayar jumlah yang tidak disetujui dalam
Berita Acara Hasil Pemeriksaan (BAHP) yang dituangkan dalam SKP tersebut. DJP, melalui
Kanwil, wajib menyelesaikan permohonan keberatan WP 1 tahun sejak permohonan
diterima lengkap, dan atas hasil penelitian keberatan, berupa Surat Keputusan Keberatan
(SKK), apabila WP masih tidak menyetujui dapat diajukan Banding ke Pengadilan Pajak
dalam waktu 3 bulan sejak SKK diterima.Pengadilan Pajak, wajib menyelesaikan
permohonan banding WP, 1 tahun sejak permohonan banding diterima. Mahkamah Agung,
melalui Putusan Nomor 73 P/HUM/2013 tentang Uji Materiil Terhadap Pasal-Pasal dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang diputus pada tanggal 30 Juni 2014 dan dikirimkan
kepada para pihak pada tanggal 1 Juli 2015 yang menyatakan mengabulkan permohonan
keberatan hak uji materiil dari Pemohon Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE -74/PJ/2015 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 Tentang Uji Materiil Terhadap Pasal –
Pasal Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, salah satunya adalah menganulir Pasal 37 PP
74 Tahun 2011,
Melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/Hum/2013
tentang Uji Materil Terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, salah
satunya adalah menganulir Pasal 37 PP 74 Tahun 2011, dimana dalam Pasal 37 disebutkan
bahwa keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan
gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
selain : (1) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau
tata cara penerbitan; (2) Surat keputusan pembetulan; (3) Surat keputusan keberatan yang
penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara pernerbitan; (4) Surat keputusan
pengurangan sanksi administrasi; (5) Surat keputusan penghapusan sanksi administrasi; (6)
surat keputusan pengurangan ketetapan pajak; (7) Surat keputusan pembatan ketetapan
pajak; (8) Surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, telah diajukan
materil dan dinyatakan tidak sah serta tidak berlaku umum dalam Putusan MA. Dengan
putusan tersebut, atas SKP yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata
cara penerbitan yang sebelumnya tidak dapat diajukan Gugatan Pajak, dapat langsung
diajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak tanpa melalui Peninjauan Kembali.
Dengan putusan Mahkamah Agung tersebut bertujuan memberikan pedoman terkait
implikasi terhadap ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan serta memberikan
keseragaman dan wujudnya kepastian hukum dalam pelaksanaan perpajakan di Indonesia,
sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.

PERMASALAHAN DALAM LEGAL OPINION

Bagaimana analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan


kebijakan terkait Putusan Nomor 73 P/HUM/2013 tentang Uji Materiil Terhadap Pasal-Pasal
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, jika ditinjau dari penilaian ketepatan
jenis peraturan perundang-undangannya ?

BAHAN-BAHAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PERMASALAHAN

Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan, dasar kajian (analisis dan
kesimpulan). Berdasarkan jenis dan bentuknya, data terbagi menjadi dua yaitu : Metode
penulisan karya ilmiah yang digunakan termasuk dalam kategori atau jenis penelitian hukum
normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau
penelitian hukum yang menggunkan data sekunder. Didalam data sekunder dapat terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Adapun di dalam
data sekunder terdapat dari sumber-sumber data yang terdokumentasi berbentuk bahan
hukum, di antaranya:

1. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
antara lain seperti, Peraturan Perundang-Undangan, Yurisprudensi, Traktat, dsb.

2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya “dengan


bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan buku
primer” antara lain, berupa buku-buku literatur, dokumen, dokumen resmi, hasil
peneitian yang berwujud laporan, makalah, bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui
media elektronik berupa internet yang berkaitan dengan permasalahan penulisan karya
ilmiah dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya.
3. Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan primer dan bahan sekunder, yaitu meliputi buku pedoman ilmiah, kamus,
bibliografi, dsb.

DASAR HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PERMASALAHAN

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 .
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak
Uji Materiil.
5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/Hum/2013 Tentang Uji
Materiil Terhadap Pasal-Pasal Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

URAIAN FAKTA DAN KRONOLOGIS KEJADIAN

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 14 November 2013


yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada Tanggal 20 November 2013 dan
diregister dengan Nomor 73 P/HUM/2013 telah mengajukan permohonan keberatan hak uji
materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4
dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18
ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2)
huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3),
ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43
ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3);
ANALISIS DAN PENDAPAT PUTUSAN Nomor 73 P/HUM/2013

Hak uji materil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu:
Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ;
Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21;
Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) ; Pasal 48
ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3);
Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37, sebagai berikut:

 Pasal 1 angka 4 dan 5;


istilah verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal
1 angka 4 dengan ketentuan UU KUP. Istilah verifikasi muncul justru pada aturan
pelaksana UU KUP, yaitu PP No. 74 Tahun 2011 (Pasal 1 angka 4). Berdasarkan PP
No 74 Tahun 2011 Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan dan PMK No. 146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikas. Tujuan
dilakukannya verifikasi adalah untuk menerbitkan NPWP secara jabatan,
menghapuskan NPWP secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak,
mengukuhkan PKP secara jabatan, mengukuhkan PKP berdasarkan permohonan
Wajib Pajak, mencabut pengukuhan PKP secara jabatan atau berdasarkan
permohonan PKP dan/atau menerbitkan Surat Ketetapan Pajak. KADIN kemudian
mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam PP No. 74 Tahun 2011
tersebut karena menurut KADIN beberapa pasal tersebut dapat menyebabkan kontra
produktif bagi dunia usaha karena bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi dan karena tidak sesuai dengan asas-asas
keadilan dan kepastian hukum yang menjadi pilar atau filosofi undang-undang
perpajakan di Indonesia, sehingga bisa menggangu perekonomian dan penerimaan
pajak itu sendiri. Putusan MA No. 73 P/HUM/2013 menyatakan bahwa keberatan
KADIN karena diberikannya kewenangan baru kepada Dirjen Pajak untuk melakukan
verifikasi. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dan kemungkinan
penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan ketidakadilan dan kerugian bagi
pengusaha yang mencari keadilan Adanya ketidakpastian hukum dalam
penyelesaian permohonan keberatan pajak karena PP No. 74 Tahun 2011 telah
memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menerbitkan kembali putusan
keberatan yang oleh pengadilan pajak sudah dinyatakan cacat hukum dan dibatalkan
dengan batas waktu 12 bulan sejak putusan pengadilan terkait. Hal ini seolah-olah
Wajib Pajak seperti melakukan kembali proses pengajuan keberatan yang baru. Hal
ini dirasakan Wajib Pajak menghabiskan tenaga dan biaya. Hak Wajib
Pajak/Pengusaha untuk memperoleh imbalan bunga apabila putusan banding
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak ditunda apabila Dirjen Pajak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung sehingga Putusan MA No. 73 P/HUM/2013 mencabut Pasal 1
angka 4 demi keadilan dan kepastian hukum. dan sedangkan, Pasal 1 angka 5
Istilah verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 1
angka 5 dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2);
Mengatur Kewenangan Dirjen Pajak membatalkan SKP hasil pemeriksaan/verifikasi
yang dilakukan tanpa melalui prosedur penyampaian SPHP atau SPHV dan/atau
pembahasan hasil akhir pemeriksaan atau pembahasan hasil akhir verifikasi. Istilah
verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 13
ayat(1) dengan ketentuan UU KUP. Selanjutnya, Pasal 13 ayat (2) mengatur
masalah setelah SKP dibatalkan, proses pemeriksaan atau verifikasi dilanjutkan
dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan tersebut. Istilah verifikasi
tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 13 ayat (2)
dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3);
Mengatur tentang Dirjen Pajak yang dapat menerbitkan SKPKB apabila terdapat
pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan hasil verifikasi terhadap
keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP. Istilah
verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 14
ayat(1) dengan ketentuan UU KUP. Selanjutnya, Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (3)
menyatakan bahwa Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKB berdasarkan hasil
pemeriksaan atau hasil verifikasi terhadap Putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Istilah verifikasi tidak ditemukan
dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 14 ayat(3) dengan ketentuan UU
KUP.
 Pasal 15;
mengatur terkait Penerbitan SKPKBT berdasarkan hasil verifikasi atas data baru
berupa hasil klarifikasi/konfirmasi faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2) huruf a, yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
Sedangkan proses verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi
antara Pasal 15 ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 18 ayat (1) Huruf a;
mengatur ketentuan Dirjen Pajak yang dapat menerbitkan SKPLB berdasarkan hasil
verifikasi terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP terdapat kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Ketentuan verifikasi tidak
ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 18 ayat(1) huruf a ini
dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 19;
mengatur ketentuan mengenai pengecualian pembahasan akhir hasil verifikasi.
Ketentuan verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara
Pasal 19 ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2);
mengatur terkait laporan hasil verifikasi. Istilah verifikasi tidak ditemukan dalam UU
KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 20 ayat(1) ini dengan ketentuan UU KUP.
Selanjutnya, Pasal 20 ayat (2) Pasal 20 ayat(1) mengatur terkait laporan hasil
verifikasi. Istilah verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi
antara Pasal 20 ayat(1) ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 21;
mengatur terkait pengaturan lebih lanjut tata cara verifikasi dengan Peraturan
Menteri Keuangan. Sedangkan verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada
inkonsistensi antara Pasal 21 ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 30 ayat (2) huruf c;
 mengatur Permohonan pembatalan SKP dari hasil pemeriksaan/verifikasi yang
dilaksanakan tanpa penyampaian SPHP atau SPHV atau pembahasan akhir hasil
pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi yang telah diajukan keberatan.
Sedangkan verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara
Pasal 30 ayat (2) huruf c ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 35 ayat (1) huruf d;
mengatur Kewenangan Dirjen Pajak untuk membatalkan SKP dari hasil
pemeriksaan/verifikasi yang dilaksanakan tanpa penyampaian SPHP atau SPHV
atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi.
Pengaturan verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara
Pasal 35 ayat (1) huruf d ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3);
mengatur Gugatan hasil verifikasi. Pengaturan verifikasi tidak ditemukan dalam UU
KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 38 ayat (2) dan ayat(3) ini dengan ketentuan
UU KUP.
 Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10); Pasal 48 ayat(3)
mengatur Batas akhir pelunasan SKP apabila Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah
pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil, Pasal 48 ayat (4)
mengatur Batas akhir pelunasan SKP apabila Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah
pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau
pembahasan akhir hasil verifikasi bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di
daerah, Pasal 48 ayat (7) mengatur jangka waktu penyampaian surat teguran terkait
verifikasi. Pengaturan verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada
inkonsistensi antara Pasal 48 ayat(7) ini dengan ketentuan UU KUP, Pasal 48 ayat
(8) mengatur jangka waktu penyampaian surat teguran terkait verifikasi. Pengaturan
verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 48
ayat(8) ini dengan ketentuan UU KUP, Pasal 48 ayat (9) mengatur jangka waktu
penyampaian surat teguran terkait verifikasi. Pengaturan verifikasi tidak ditemukan
dalam UU KUP jadi ada inkonsistensi antara Pasal 48 ayat(9) ini dengan ketentuan
UU KUP, Pasal 48 ayat (10) mengatur penangguhan penagihan pajak terkait
verifikasi. Pengaturan verifikasi tidak ditemukan dalam UU KUP jadi ada
inkonsistensi antara Pasal 48 ayat(10) ini dengan ketentuan UU KUP.
 Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3);
mengatur jangka waktu penyelesaikan keberatan oleh Dirjen Pajak apabila badan
peradilan pajak mengabulkan gugatan Wajib Pajak atas surat dari Direktur Jenderal
Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang. Adanya
ketidakpastian hukum dalam penyelesaian permohonan keberatan pajak telah
memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menerbitkan kembali putusan
keberatan yang oleh pengadilan pajak sudah dinyatakan cacat hukum dan dibatalkan
dengan batas waktu 12 bulan sejak putusan pengadilan terkait. Hal ini seolah-olah
Wajib Pajak seperti melakukan kembali proses pengajuan keberatan yang baru. Hal
ini dirasakan Wajib Pajak menghabiskan tenaga dan biaya. Selanjutnya, Pasal 41
ayat (3) mengatur jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan. Adanya
ketidakpastian hukum dalam penyelesaian permohonan keberatan pajak karena PP
No 74 tahun 2011 telah memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
menerbitkan kembali putusan keberatan yang oleh pengadilan pajak sudah
dinyatakan cacat hukum dan dibatalkan dengan batas waktu 12 bulan sejak putusan
pengadilan terkait . Hal ini seolah-olah Wajib Pajak seperti melakukan kembali
proses pengajuan keberatan yang baru. Hal ini dirasakan Wajib Pajak menghabiskan
tenaga dan biaya.

 Pasal 43 ayat (6) huruf c;


mengatur pemberian imbalan bunga apabila putusan banding diajukan Peninjauan
Kembali. Hak Wajib Pajak/Pengusaha untuk memperoleh imbalan bunga apabila
putusan banding menyebabkan kelebihan pembayaran pajak oleh PP No. 74 Tahun
2011 ditunda apabila Dirjen Pajak menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
 Pasal 29 ayat (3);
Pasal 29 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang mengatur
bahwa Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar. Selain itu, ketentuan Pasal 36 ayat(2) UU KUP mengatur bahwa
ketentuan pelaksanaan dari Pasal 36 dimaksud diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Berarti tidak diatur dalam produk hukum berupa
Peraturan Pemerintah. Pasal 29 ayat (3) huruf a yang pada intinya menyatakan
bahwa Wajib Pajak tidak dapat mengajukan keberatan terhadap Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang diterbitkan berdasarkan Pasal 13A UU KUP,
telah diajukan uji materiil dan dinyatakan tidak sah serta tidak berlaku umum dengan
Putusan MA No. 73 P/HUM/2013.
 Pasal 37;
mengatur Gugatan. Akibat pembatalan Pasal 37 sesuai Putusan MA No. 73
P/HUM/2013 tersebut, maka keputusan atau ketetapan di bawah ini tidak dapat
diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak: Surat ketetapan pajak yang penerbitannya
telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan; Surat Keputusan
Pembetulan; Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan
prosedur atau tata cara penerbitan; Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi; Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak; Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Terkait
Penghitungan Jangka Waktu Penyelesaian Keberatan atas Pelaksanaan Putusan
Gugatan Menteri Keuangan telah menyisipkan ayat (4a) dalam Pasal 17 Peraturan
Menteri Keuangan nomor 202/PMK.03/2015 sebagai perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan
Penyelesaian Keberatan yang pada intinya dalam hal Wajib Pajak mengajukan
gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari Dirjen Pajak yang menyatakan bahwa
keberatan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (4) UU KUP, jangka waktu 12 bulan penyelesaian keberatan
tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Dirjen Pajak yang diajukan
gugatan tersebut sampai dengan putusan gugatan pengadilan pajak yang diterima
oleh Dirjen Pajak.

PENDAPAT
Menurut penulis, bahwa kegiatan verifikasi melanggar Undang-Undang Perpajakan
Nomor 16 Tahun 2009 dan produk atas kegiatan tersebut (SKP) tidak lagi memiliki
dasar hukum untuk dinyatakan sebagai produk yang sah secara hukum. Dengan
demikian, koreksi yang dilakukan Terbanding tersebut dengan melalui kegiatan
verifikasi pada dasarnya merupakan kegiatan yang tidak berlandaskan hukum dan
produk yang dihasilkan, tentu merupakan hal yang tidak tepat /atau keliru dan
semestinya harus batal demi hukum. Selanjutnya menurut penulis, upaya tindak
lanjut Putusan Mahkamah Agung Nomor 73 P/HUM/2013 tersebut, bahwa Menteri
Keuangan telah mengubah Peraturan Menteri Keuangan NO. 9/PMK. 03/2013
tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 202/PMK. 03/2015, khususnya perubahan terhadap
ketentuan dalam Pasal 17 dengan menyisipkan satu ayat yaitu ayat (4a). bahwa
dengan telah disisipkannya ayat 4a dalam Pasal 17 tersebut pada huruf b di atas,
dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak
dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang
KUP, jangka waktu 12 (dua belas) bulan penyelesaian keberatan tertangguh,
terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak yang diajukan
gugatan tersebut sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh
Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya, Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil diatur bahwa dalam hal 90 hari setelah
putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata
pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai