Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 3 TUTORIAL ONLINE SESI 7

MATA KULIAH
HUKUM PAJAK DAN ACARA PERPAJAKAN (HKUM 4407)

Nama Tutor :

Refliana S.H, M.Kn

Di Susun oleh :

NAMA : DEA RATNA ASIH


NIM : 049165724
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ BOGOR
1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 133/PUU-XIII/2015 yang berkaitan pengujian
beberapa pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengadilan Pajak
dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beberapa ketentuan dalam aturan
Undang-Undang tersebut dianggap telah bertentangan dengan prinsip negara hukum dan
hak untuk mencari keadilaan. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi "Indonesia adalah
Negara Hukum", dimana menurut Aristoteles negara hukum adalah negara yang berdiri
di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya, Implementasi paling
riil dari prinsip negara hukum adalah hak untuk mencari keadilan bagi setiap warga
negara yang merasa mendapatkan ketidakadilan. Hal tersebut yang melandasi pemohon
untuk melakukan permohonan uji materil terhadap beberapa Undang-Undang Republik
Indonesia dimana menurut pemohon ketentuan Undang-Undang tersebut telah
menghalangi hak konstitusionalnya untuk mencari keadilan atas sengketa pajak yang
dialami Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 133/PUU-XIII/2015 didasari oleh
pertimbagan hukum Mahkamah Konstitusi yang memuat tentang kewenangan
Mahkamah dan kedudukan hukum atau legal standing pemohon. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi tersebut bertujuan untuk mengetahui bahwa permohonan yang
diajukan adalah termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi, menimbang bahwa
permohonan-pemohon adalah pengujian konstitusinalitas norma Undang-Undang,
Dengan demikian terhadap hal tersebut, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
permohonan tersebut. Berikutnya legal standing pemohon bertujuan untuk mengetahui
ada atau tidaknya hak atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dan
permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Dikarenakan terdapat
hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian, sehingga pemohon dianggap memiliki kedudukan hukum
(Legal Standing) untuk mengajukan permohonan. Karena pertimbangan tersebut di atas
maka permohonan untuk uji materil terhadap beberapa ketentuan Undang- Undang dapat
dipertimbangkan. Serupa dalam masalah tersebut pelamar merupakan Permohonan Uji
materi Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mana hal tersebut Melibatkan sanksi
administratif sebesar 50% dari pajak terutang yang dikenakan kepada wajib pajak. Dan
sebagaimana menurut analisis saya hingga Saat ini belum pemah ada permohonan uji
materil terhadap ketentuan Pengajuan permohonan Banding tidak bertahan kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan pengumpulan yang berlaku bagi Pemohon karena
diatur Pasal II angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Dan pernah terdapat permohonan uji materil soal ketentuan bertindak
Pengajuan Peninjauan Kembali yang hanya boleh satu kali dalam masalah yakni
Pemohon maaf Uji Materiil dalam Perkara Nomor 45/PUU-XIII/2015. Secara singkat
bisa dinyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-XIII/2015
menolak permohonan dari pihak pemohon (PT. Textra Amspin) sepenuhnya. Alasannya
menurut saya bisa dimengerti dan juga bersesuaian dengan ketentuan hukum sebab
pokok permohonan yang disampaikan oleh pemohon tak memiliki alasan kuat sesuai
dengan ketentuan hukum. Pasal-pasal yang digugat, berdasarkan uji materil, tak
bertentangan dengan pasal lainnya sehingga berdasarkan hukum semua permohonan
memang harus ditolak. Dalam pengadilan pajak tidak berlaku asas praduga tak bersalah
seperti pengadilan pada umumnya, elama belum ada putusan banding, akan tetap ada
penagihan dari jaksa dan pemohon harus tetap membayar pajak terutang. Oleh karena
itu, yang berlaku bukan presumption of innocence tapi adalah presumption justae causa
yaitu apa yang sudah diputuskan pemerintah itu mempunyai kekuatan hukum sepanjang
belum ada yang membatalkan atau yang menggantinya, ini yang berlaku.
Bahwa Dalam pokok permohonannya, Nizarman Aminuddin, sebagai likuidator PT.
Textra Amspin merasa dirugikan oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
Pengajuan Banding sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak;
ketentuan mengenai Penangguhan Pembayaran Pajak sebagaimana diatur dalam pasal II
angka 1 UU Tata Cara Perpajakan. Selain kedua hal tersebut Pemohon juga menggugat
ketentuan mengenai Pengajuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 89 ayat (1)
UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU MA serta Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali
hanya dapat diajukan satu kali. Pemohon keberatan atas pengenaan pajak terhadap PT.
Textra Amspin yang turut memperhitungkan aset pribadi Pemohon ke dalam aset
perusahaan. Pemohon telah mengajukan keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak namun
pengajuan tersebut ditolak. Atas penolakan tersebut, Pemohon melanjutkan upaya
hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan pajak hingga banding. Di tingkat
banding Pemohon dijatuhi putusan tidak dapat diterima dengan pertimbangan hukum
bahwa pada saat mengajukan banding Pemohon tidak menyampaikan bukti pembayaran
50% pajak terutang yang merupakan persyaratan banding ke Pengadilan Pajak
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak. Terhadap putusan
tersebut, Pemohon merasa dirugikan, karena ternyata proses hukum yang ditempuh tidak
menunda kewajiban pembayaran pajak dan pelaksanaan penagihan.

2. Pokok sengketa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pengujian


terhadap beberapa pasal dalam Undang Undang Republik Indonesia tentang Pengadilan
Pajak dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, beberapa ketentuan dalam
undang-undang tersebut menurut pemohon telah menghalangi hak konstitusionalnya
untuk mencari keadilan atas kasus sengketa pajak yang dialami.
 Ketentuan dalam Pasal 36 ayat 4 UU 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak
mengenai kewajiban pembayaran 50% pajak terutang bagi wajib pajak yang
mengajukan banding dianggap mendiskriminasi wajib pajak yang tidak mampu
membayar 50% sebelum mengajukan banding tersebut. Jika tidak ada ketentuan
dalam pasal 36 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
tersebut Pemohon tidak terhalangi hak konstitusionalnya untuk mencari keadilan
karena tidak dikenakan kewajiban membayar 50% pajak terhutang sebagai syarat
pengajuan permohonan banding ke pengadilan Pajak.
 Ketentuan Pengajuan Permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan yang berlaku bagi Pemohon karena diatur
dalam Pasal II angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tetap diberlakukannya ketentuan dalam Pasal 27 ayat (5) UU Nomor 6 Tahun
1982 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu "Pengajuan
Permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan terhadap pemohon. Hal itu. karena ada nya ketentuan
yang diatur dalam Pasal II angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang berbunyi "Terhadap semua hak dan kewajiban
perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum
diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000". Dimana
menurut pemohon walaupun sengketa pajak untuk tahun 2007, namun
perhitungannya baru diketahui pemohon pada tanggal 31 Desember 2008 dimana
UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP sudah diberlakukan, sehingga jika tidak
terdapat aturan dalam Pasal II angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 maka
kewajiban membayar pajak pemohon tertangguh sampai 1 bulan sejak tanggal
putusan banding.
Menurut pemohon Pasal II angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 yang bersifat
peralihan semestinya memuat aturan yang memudahkan bukannya merugikan
warga negara. Jika tidak ada ketentuan Pasal II angka 1 UU Nomor 28 Tahun
2007 pemohon tidak terhalangi hak konstitusionalnya karena terhadap pemohon
tidak dikenakan ketentuan pengajuan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan melaksanakan penagihan.
 Keinginan Pemohon untuk kembali melaksanakan hak konstitusionalnya untuk
mencari keadilan dengan mengajukan peninjauan kembali untuk kedua kalinya
terhalang oleh:
a) . Ketentuan pasal 66 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi
"permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali".
b) Ketentuan pasal 24 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat
dilakukan peninjauan kembali".
c) Ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
yang berbunyi, "permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam
pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada mahkamah agung
memlalui Pengadilan Pajak".
Jika tidak ada ketentuan tersebut diatas pemohon tidak terhalangi hak konstitusionalnya
karena pemohon bisa mengajukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

Sumber Referensi :
BMP HKUM4407
https://jdih.kemenkeu.go.id/in/dokumen/putusan/63ef6ca0-7283-44ce-ae68-
08d865ee0fc2
https://www.mkri.id/index.php?page=download.Putusan&id=2541
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/
4f8c6209e95a69e3e1dad4e9d4f2a5fa/zip/f2684c475d5c130359e8e0d7947a5b08
https://www.mkri.id/publiccontent persidangan/putusan 133 PUU-XIII_2015.pdf
Dasar Hukum -Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan kamubungkam dan Tata Cara
Perpajakan

Anda mungkin juga menyukai