Anda di halaman 1dari 4

Nama : Sebastian Sitohang

Npm : 2010601102

MATA KULIAH : Hukum Peradilan Pajak JURUSAN :

Hukum PENGAMPU : Sholihul Hakim, S.H., M.H.

KELAS/RUANG : 02/Laboratorium

Hukum HARI/TANGGAL : Selasa, 11 April 2023 WAKTU : 08:00 s/d 09:15

Jawaban :

1. Sengketa pajak adalah perselisihan yang terjadi antara wajib pajak dengan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) terkait dengan masalah perpajakan. Beberapa sebab timbulnya
sengketa pajak adalah sebagai berikut:

1.Penafsiran Peraturan Perpajakan Sengketa pajak dapat timbul karena perbedaan


penafsiran antara wajib pajak dengan DJP terhadap suatu ketentuan peraturan perpajakan.
Hal ini bisa terjadi karena setiap ketentuan perpajakan mempunyai interpretasi yang
berbeda-beda tergantung pada sudut pandang dan pemahaman masing-masing pihak.

Contoh sengketa terkini: PT X melaporkan kegiatan usahanya sebagai usaha dagang


sedangkan DJP mengklasifikasikannya sebagai usaha jasa. Sengketa tersebut terjadi karena
perbedaan interpretasi terhadap jenis usaha yang dilakukan oleh PT X.

Dasar hukum: Pasal 12A ayat (1) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2.Ketentuan Penentuan Besarnya Pajak


Sengketa pajak juga dapat terjadi karena perbedaan pendapat antara wajib pajak dan DJP
dalam menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Hal ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan dalam penafsiran terhadap ketentuan yang ada dalam
peraturan perpajakan.

Contoh sengketa terkini: PT Y menolak besaran pajak yang ditetapkan oleh DJP dengan
alasan bahwa DJP telah melakukan kesalahan dalam menghitung besaran pajak yang
seharusnya dibayar oleh PT Y.

Dasar hukum: Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009.

3.Pemeriksaan Pajak Sengketa pajak juga bisa terjadi karena hasil pemeriksaan pajak yang
dilakukan oleh DJP tidak sesuai dengan harapan atau keinginan wajib pajak. Hal ini bisa
terjadi karena perbedaan dalam interpretasi, kebijakan, atau tafsir terhadap ketentuan
perpajakan yang berlaku. Contoh sengketa terkini: PT Z tidak setuju dengan hasil
pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP karena menurut PT Z, DJP telah menghitung
besaran pajak yang seharusnya dibayar dengan tidak benar.

Dasar hukum: Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2. Upaya Administrasi (UA) dalam sengketa pajak tidak hanya terbatas pada Banding, namun
juga meliputi Surat Keberatan (SK). Namun, yang menjadi fokus pertanyaan adalah Banding,
sehingga akan diuraikan mengenai syarat, tenggang waktu, dan hak-hak wajib pajak selaku
pemohon banding.

Syarat-syarat Pengajuan Banding Syarat utama pengajuan Banding adalah pemohon banding
harus merupakan wajib pajak yang terkena sanksi administrasi pajak atau memiliki
keberatan atas hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP. Selain itu, pemohon
banding harus mengajukan Banding dalam waktu yang ditentukan dan membayar uang
jaminan yang telah ditentukan.

Tenggang Waktu Pengajuan Banding Wajib pajak dapat mengajukan Banding dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Terutang (SKPT) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang menjadi dasar sengketa. Apabila wajib pajak
mengajukan Surat Keberatan terlebih dahulu, maka tenggang waktu pengajuan Banding
dihitung sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan atas Surat Keberatan tersebut.

Hak-hak Pemohon Banding Pemohon banding memiliki hak untuk mendapatkan putusan
Banding yang berisi keputusan terkait sengketa pajak tersebut. Selain itu, pemohon banding
juga berhak memperoleh informasi yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan Banding,
termasuk hak untuk memberikan keterangan dan bukti dalam persidangan Banding.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Banding dalam sengketa pajak


adalah:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Banding
atas Sengketa Pajak. Terakhir, terdapat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-27/PJ/2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Banding atas Sengketa Pajak
yang merupakan peraturan terbaru dan menggantikan peraturan sebelumnya yaitu PER-
12/PJ/2017.

3. Pernyataan bahwa terdapat dua jenis gugatan berdasarkan jangka waktu pengajuannya
dalam UU Pengadilan Pajak, jenis gugatan tersebut adalah:

1.gugatan dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Terutang
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang menjadi dasar sengketa (Pasal 25 Ayat (1) UU
Pengadilan Pajak).
2.Gugatan dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterbitkannya keputusan Banding (Pasal 26
Ayat (1) UU Pengadilan Pajak).
Kedua jenis gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Pajak dan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dalam UU Pengadilan Pajak.

Apabila penggugat meninggal dunia terkait gugatannya, maka gugatan tersebut masih dapat
dipertahankan oleh ahli waris penggugat atau penggugat yang ditunjuk oleh ahli waris
dengan mengajukan permohonan penerusan persidangan ke Pengadilan Pajak dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal meninggalnya penggugat (Pasal 46 Ayat (1) UU Pengadilan
Pajak).

Namun, apabila penggugat meninggal dunia sebelum gugatan diajukan, maka gugatan
tersebut dianggap tidak ada artinya dan tidak dapat dipertahankan oleh ahli waris penggugat
atau penggugat yang ditunjuk oleh ahli waris (Pasal 46 Ayat (2) UU Pengadilan Pajak).

kesimpulannya meskipun penggugat meninggal dunia, namun gugatan yang telah diajukan
tetap dapat dipertahankan oleh ahli waris atau penggugat yang ditunjuk oleh ahli waris.
Namun, apabila penggugat meninggal dunia sebelum gugatan diajukan, maka gugatan
tersebut tidak dapat dipertahankan oleh ahli waris atau penggugat yang ditunjuk oleh ahli
waris. Hal ini juga menunjukkan pentingnya untuk segera mengajukan gugatan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan dalam UU Pengadilan Pajak.

4. Pengertian penyidik dalam tindak pidana pajak tidak sama dengan penyidik pada umumnya.
Penyidik dalam tindak pidana pajak adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang telah
ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pajak.
Sedangkan penyidik pada umumnya adalah pegawai negara yang bertugas dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana umum.

Wewenang penyidik dalam tindak pidana pajak juga berbeda dengan penyidik pada
umumnya. Penyidik dalam tindak pidana pajak memiliki wewenang untuk melakukan
pemeriksaan dan penyitaan atas bukti-bukti yang diperlukan dalam rangka penyidikan tindak
pidana pajak. Sementara itu, penyidik pada umumnya memiliki wewenang untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana umum dan meminta keterangan dari saksi, tersangka,
atau ahli.

Terkait dengan penggeledahan, dasar dan prosedurnya juga berbeda antara penyidikan
tindak pidana pajak dan penyidikan tindak pidana umum. Penggeledahan dalam tindak
pidana pajak diatur dalam Pasal 36A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009. Sedangkan penggeledahan dalam tindak pidana umum
diatur dalam Pasal 100 KUHAP.

Dalam penggeledahan tindak pidana pajak, penyidik harus memiliki Surat Kuasa Khusus dari
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan dalam penggeledahan tindak
pidana umum, penyidik harus memiliki Surat Perintah Penggeledahan dari penyidik yang
lebih tinggi atau dari hakim. Selain itu, dalam penggeledahan tindak pidana pajak, penyidik
hanya boleh menggeledah tempat-tempat yang berkaitan dengan perpajakan. Sementara
itu, dalam penggeledahan tindak pidana umum, penyidik dapat menggeledah seluruh
tempat yang dicurigai terkait dengan tindak pidana yang sedang diselidiki.
Sumber hukum: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.

Anda mungkin juga menyukai