Anda di halaman 1dari 5

Kerangka Berpikir Penyusunan Kontra Memori PK Kedua

Terkait dengan Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dalam PK Kedua yang diajukan Pemohon PK
Kedua, Termohon PK Kedua (Farinda) berpendapat :

1. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah lex specialis dari UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
2. Pasal 77 ayat 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa “Pihak-pihak yang bersengketa
dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung”
3. Pasal 89 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa “Permohonan peninjauan
kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak”
4. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materil Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) hanya boleh diajukan sekali. Hal ini
tertuang dalam putusan No. 108/PUU-XIV/2016. Dengan demikian MK menegaskan bahwa
pengajuan PK dalam perkara selain perkara Pidana hanya dapat diajukan satu kali sehingga
norma yang diatur dalam Pasal 89 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2002 sudah konstitusional.
5. Pemohon PK Kedua salah dalam menafsirkan ketentuan yang diatur SEMA No. 7 Tahun
2014. SEMA No. 7 Tahun 2014 justru menegaskan bahwa PK hanya dapat diajukan 1 kali
termasuk dalam perkara Pidana. Oleh karena itu dalam praktik di lembaga peradilan, PK
Kedua selain perkara Pidana tidak dapat diterima dan tidak diteruskan ke Mahkamah Agung.
6. Putusan PK No 2407/PK/Pjk/2018 tidak bertentangan dengan putusan lainnya karena
perbedaan karakteristik perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Termohon PK Kedua
tidak melakukan dua jenis penyerahan dalam satu tahun pajak. Termohon PK Kedua hanya
melakukan penyerahan BKP yang terutang PPN sedangkan beberapa perusahaan yang
dijadikan dasar dalil adanya pertentangan putusan PK melakukan dua jenis penyerahan
yakni penyerahan BKP yang PPNnya dibebaskan dan penyerahan BKP yang terutang PPN.
7. Perusahaan-perusahaan yang putusan PKnya memenangkan Pemohon PK Kedua dijadikan
dasar dalil adanya pertentangan putusan PK fakta hukumnya tidaklah demikian karena atas
pengajuan PK oleh perusahaan-perusahaan tersebuh, Majelis Hakim PK Mahkamah Agung
juga mengabulkan permohonan PK perusahaan-perusahaan tersebut atas obyek sengketa
yang sama. Seharusnya Pemohon PK Kedua tidak hanya memilih jenis putusan yang
menguntungkan Pemohon PK Kedua tetapi menghilangkan fakta hokum bahwa ada putusan
PK yang justru memenangkan Perusahaan-perusahaan yang dijadikan contoh dalam
permohonan PK Kedua atas Putusan PK yang mengabulkan permohonan PK Farinda
Bersaudara.
8. Selain nama perusahaan yang disebut dalam permohonan PK Kedua, Termohon PK Kedua
juga menemukan putusan yang patut dipertimbangkan yakni Putusan PK atas pemohon PK
PT. Pangkatan Indonesia dan PT. PMM. Putusan PK atas dua perusahaan tersebut
menguatkan bahwa Putusan PK atas permohonan PK Farinda Bersaudara telah sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku.
9. Mahkamah Agung telah konsisten dan taat asas dalam memutus mengabulkan permohonan
PK Farinda Bersaudara untuk tahun pajak 2010 dan 2013 dan menolak Permohonan PK DJP
untuk tahun 2011 s.d 2012.
10. Selain dalil yuridis tersebut di atas, Termohon PK Kedua juga menolak alasan permohonan
PK Kedua Pemohon PK Kedua karena melanggar norma lex specialis derogate lex generalis.
Pasal 90 UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa “Hukum acara yang berlaku pada
pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.”. Ini menegaskan
bahwa UU Peradilan Pajak adalah lex specialis dari UU Mahkamah Agung sehingga hukum
acara pemeriksaan PK untuk kasus Perpajakan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam
UU Peradilan Pajak baik untuk PK Pertama ataupun permohonan PK selanjutnya.
11. Pasal 91 huruf e UU Peradilan Pajak mengatur bahwa “Apabila Permohonan Peninjauan
Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : e. terdapat
suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Berdasarkan putusan PK yang memenangkan Termohon PK
maupun memenangkan Wajib Pajak lainnya (diberikan contoh!) justru menguatkan fakta
hukum bahwa tidak terdapat alasan untuk mengajukan PK di atas PK (PK Kedua) karena
alasan pengajuan PK berdasarkan UU Peradilan Pajak tidak dapat dijadikan dalil atau alasan
pengajuan PK Kedua.
12. Berdasarkan alasan yuridis formil di atas dengan merujuk pada ketentuan UU Mahkamah
Agung, UU Peradilan Pajak, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
maka Pemohon PK Kedua tidak memiliki alasan yuridis formil untuk mengajukan PK Kedua
dan oleh karena itu seharusnya permohonan PK tersebut tidak diterima oleh Mahkamah
Agung RI
Terkait dengan Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali, Termohon PK Kedua (Farinda)
berpendapat :

1. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah lex specialis dari UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
2. Pasal 77 ayat 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa “Pihak-pihak yang bersengketa
dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung”
3. Pasal 89 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa “Permohonan peninjauan
kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak”
4. Pasal 90 UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa “Hukum acara yang berlaku pada
pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.”. Ini menegaskan
bahwa UU Peradilan Pajak adalah lex specialis dari UU Mahkamah Agung sehingga hukum
acara pemeriksaan PK untuk kasus Perpajakan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam
UU Peradilan Pajak baik untuk PK Pertama ataupun permohonan PK selanjutnya.
5. Pasal 69 huruf D UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA memang mengatur bahwa jangka
waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan yang bertentangan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Tetapi perlu
digaris bawahi bahwa ketentuan tersebut hanya mengatur acara pemeriksaan PK dan tidak
mengatur ketentuan acara pemeriksaan PK Kedua. Selain itu untuk PK TUN Pajak, sesuai
dengan prinsip lex specialis derogate lex generalis seharusnya mengikuti ketentuan yang
diatur dalam Pasal 90 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang dengan tegas mengatur bahwa
“Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini.”
6. Salah satu alasan PK Kedua yang diajukan oleh Pemohon PK Kedua adalah Pasal 91 huruf e
UU Peradilan Pajak mengatur bahwa “Apabila Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : e. terdapat suatu putusan yang nyata-
nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Atas
alasan tersebut UU Peradilan Pajak telah mengatur tata cara pemeriksaan (hukum acara)
seperti tersebut dalam Pasal 92 ayat 3 UU Peradilan Pajak yang berbunyi “Pengajuan
permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak putusan dikirim.”.
7. Karena jangka waktu pengajuan PK Kedua tidak diatur secara khusus maka harus merujuk ke
ketentuan yang mengatur jangka waktu pengajuan PK seperti yang diatur dalam UU
Peradilan Pajak. Dengan demikian jangka waktu pengajuan PK untuk kasus perpajakan
adalah sesuai dengan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 92 UU Peradilan Pajak yakni 3
(tiga) bulan sejak putusan dikirim.
8. Salinan Putusan PK Farinda dikirim tanggal 17 Januari 2019 sedangkan Permohonan PK
Kedua diajukan tanggal 15 Juli 2019. Hal ini berarti telah melebihi 3 (tiga) bulan sehingga
tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU Peradilan Pajak mengenai jangka waktu
pengajuan PK. Sehingga seharusnya permohonan PK Kedua Pemohon PK Kedua tidak dapat
diterima oleh Mahkamah Agung.

Terkait dengan Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali, Termohon PK Kedua (Farinda)
berpendapat :

1. Menguatkan pertimbangan hokum Majelis PK MA yang memenangkan Farinda


2. Menguatkan dalil tidak adanya pertengan putusan dengan PK yang diquote oleh Pemohon
PK Kedua karena atas Perusahaan yang diquote pun terdapat putusan PK yang sama dengan
Putusan PK atas Farinda Bersaudara. Bila mengikuti dalil yang dikemukakan oleh Pemohon
PK Kedua maka seharusnya Putusan PK yang diquote itulah yang harus diuji lagi karena
bertentangan dengan putusan lain atas nama Wajib Pajak yang sama.
3. Asas hukum Similia Similibus lebih tepat diterapkan ke Putusan PK atas nama WP yang
diquote oleh DJP karena terjadi putusan yang bertentangan atas WP yang sama dan di tahun
pajak yang sama. Sedangkan atas putusan PK yang memenangkan Farinda Bersaudara,
Majelis PK terbukti telah konsisten dengan putusannya dalam Putusan PK tahun pajak 2010
s.d 2013 yakni memenangkan Farinda Bersaudara dan tidak terdapat putusan yang
bertentangan di atara masa dan tahun pajak tersebut sehingga tidak tepat
mempertentangkan putusan PK atas WP2 yang diquote tersebut dengan putusan PK yang
memenangkan Farinda Bersaudara.
4. Menguatkan dalil Majelis PK Farinda yang memenangkan Farinda Bersaudara berdasarkan
Putusan Hak Uji Materi MA RI Nomor 70 P/HUM/2013.
5. Menguatkan dalil tentang perusahaan integrated terutama dalam bidang usaha Perkebunan
Kelapa Sawit Terintegrasi.
6. Menguatkan dalil tentang kata “penyerahan” dan “menghasilkan”
7. Menguatkan dalil bahwa koreksi atas PM Kebun melanggar prinsip equal treatment atau
perlakukan yang sama.
8. Memberikan ilustrasi perhitungan pengkreditan PM Kebun dihubungkan dengan harga
penjualan produk untuk memperkuat dalil equal treatment.

Anda mungkin juga menyukai