Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Analisis Putusan Arbitrase Karaha Bodas Vs Pertamina”

Disusun oleh:
Nama : Nada Salsabilla

Npm : 19810271

Kelas : 6B Non RegBjm

Prodi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
(UNISKA)
MUHAMMADARSYAD AL – BANJARY
BANJARMASIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Posisi Kasus
Pada tanggal 28 November 1994 PERTAMINA, PLN dan Karaha Bodas Company

L.L.C. melakukan perjanjian dalam 2 (dua) buah kontrak, yaitu Joint Operation Contract

(JOC) dan Energy Sales Contract (ESC). Joint Operation Contract (selanjutnya disingkat

JOC) merupakan kontrak kerjasama operasi antara PERTAMINA dengan Karaha Bodas

Company L.L.C. (selanjutnya disebut KBC) dalam pengoperasian dan pengembangan

energi geothermal guna menghasilkan tenaga listrik. Sedangkan Energy Sales Contract

(disingkat ESC) merupakan kontrak antara PERTAMINA dengan PLN, bahwa

PERTAMINA sebagai pihak penyedia tenaga listrik, sedangkan PLN sebagai pihak yang

membeli listrik yang dihasilkan dari proyek JOC tersebut.

Adanya penangguhan pelaksanaan Proyek Karaha bodas oleh Pemerintah RI

berdasarkan Keppres, maka dalam hal ini pihak PERTAMINA tidak didapatkan

meneruskan pelaksanaan proyek karena akan melanggar Keppres No.5 Tahun 1998.

Mulai sejak itulah timbul sengketa antara KBC selaku kontraktor yang merasa dirugikan

dengan penangguhan proyek tersebut dengan pihak PERTAMINA dan PT. PLN yang

dinilai KBC telah wanprestasi dalam kontrak JOC dan ESC. Sesuai ketentuan dalam

kontrak JOC dan ESC yang memuat Arbitrase Calusula yaitu bilamana pelaksanaan

kontrak tersebut timbul sengketa maka akan diselesaikan oleh “Tribunal Arbitrase”

berdasar ketentuan pada “UNCITRAL Arbitration Rules” dan para pihak memilih hukum

Indonesia untuk menyelesaikan sengketa dalam forum arbitrase tersebut.


Dalam melakukan kedua kontrak PERTAMINA dan PLN menjalankan kewenangan

dari Negara sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun

1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara, guna mewakili pemerintah

dalam mengusahakan dan mengelola sumber daya bagi kepentingan umum. Sedangkan

KBC merupakan konsorsium dengan penggabungan modal asing dan dalam negeri, yang

berkantor di New York, USA dan Jakarta Selatan, Indonesia. Saham konsorsium KBC

dimiliki oleh Caithness Energy, L.L.C. (40,5%), FPL Group Inc. (40,5%), Japan Tomen

Power (9%) dan mitra lokal PT Sumarah Daya Sakti (10%). Meskipun dibuat atas

kesepakatan bersama, namun kenyataan menunjukkan pelaksanaan kedua kontrak tidak

berjalan mulus.

Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia. International

Monetary Fund (IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau

kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah

pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan. Pada

tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan

Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75

proyek ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997

dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa

proyek yang tertunda termasuk Proyek Karaha dilanjutkan 79 kembali.

Pada tanggal 10 Januari 1998, Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan.

Keputusan ini membatalkan kepres sebelumnya dan mengkomfirmasi penundaan Proyek

Karaha. Pertamina telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan


kembali proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh

Pertamina, pihak KBC telah menyatakan berlakunya klausula “ force majeure” dan telah

menghentikan pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC

telah memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu

klaim kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC. Akhirnya, KBC pada tanggal 30 April

1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa (Swiss) sesuai dengan tempat

yang dipilih oleh para pihak dalam JOC.

B. Putusan Arbitrase Jenawa

Secara rinci amar putusan Arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000 adalah

sebagai berikut :

1. PERTAMINA dan PLN telah melanggar perjanjian ESC dan PERTAMINA telah

melanggar kontrak JOC

2. PERTAMINA dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi

hukuman dalam bentuk pembayaran ganti rugi sebesar US$ 111.100.000 untuk

biayabiaya yang diderita kepada KBC termasuk bunga sebesar 4% pertahun,

terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas

3. PERTAMINA dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi

hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US$ 150.000.000 untuk laba yang

seharusnya diperoleh kepada KBC termasuk bunga sebesar 4% setahun, terhitung

tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas

4. PERTAMINA dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi

pembayaran ganti rugi sebesar US$ 66.654,92 kepada KBC untuk biaya dan
ongkos yang dikeluarkan sehubungan dengan yang dikeluarkan sehubungan

dengan fase kedua dan terakhir dari arbitrase ini termasuk bunga sebesar 4%

pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas;

5. Masing-masing pihak harus menanggung ongkos pembiayaan penasihat hukum

dan para asisten mereka

6. Tuntutan lainnya dari para pihak dinyatakan dibantah atau dihapuskan.

C. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

1. Amar Putusan tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengadili sengketa antara Perusahaan pertambangan

minyak dan gas bumi Negara (Pertamina) dengan Kahara bodas company L.L.C, telah

memberikan keputusan dalam pokok perkara pembatalan putusan arbitrase di Jenewa

pada tanggal 18 Desember 2000. Keputusan ini secara singkat menentukan sebagai

berikut :

MENGADILI

Dalam Eksepsi

 Menolak Seluruh Eksepsi Penggugat

Dalam Provisi

 Mengabulkan gugatan provisional dari Penggugat untuk seluruhnya

 Memerintahkan kepada tergugat atau siapapun yang dapat hak daripadanya

untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan


arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, yang

bersumber pada:

Perjanjian kerja sama (JOINT OPERATION CONTRACT = JOC) dan Kontrak jual

beli energy (ENERGY SALES CONTRACT = ESC), dua-duanya tanggal 28

November 1994, dengan kekuatan tergugat dikenakam uang paksa US$ 500.000.00

(lima ratus ribu US Dollar) setiap harinya perintah ini dilanggar, jumlah mana harus

dibayar seketika dan sekaligus kepada Penggugat.

Dalam Pokok Perkara

1. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum putusan Arbitrase

yang di tetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan

sela (Preliminary Award) yang di tetapkan di Jenewa tanggal 30 Desember

1999, dengan segala akibat hukumnnya;

2. Menghukum kepada tergugat dan turut tergugat untuk taat dan patuh pada

putusan tersebut;

3. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada

banding, verzet atau kasasi;

4. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.

539.000,- (lima ratus tiga puluh Sembilan ribu rupiah).

2. Amar Putusan tingkat Mahkamag Agung Menimbang, bahwa terhadap alasan-

alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:


Mengenai alasan-alasan ke I s/d V :

 Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex juris

tidak melakukan kekeliruan atau kekhilafan yang nyata karena “country of

origin”, harus diartikan sebagai negara di mana Putusan Arbitrase itu Hal. 34

dari 35 hal. Put. No. 444 PK/Pdt/2007 dijatuhkan, i.c. Swiss. Lagi pula tentang

acara atau tata cara pembatalan

 Putusan Arbitrase, tunduk pada hukum acara dari negara dimana Putusan

Arbitrase itu dijatuhkan, berbeda dengan hukum substantif yang digunakan

Arbiter, pihak-pihak dapat memilih hukum negara mana yang akan

digunakan ; Bahwa Bukti PPK-1 dan PPK-2 tidak dapat diartikan lebih,

apabila Pengadilan Swiss tidak memeriksa pokok perkaranya, maka dengan

sendirinya Pengadilan Indonesia berwenang ;

 Bahwa bukti baru yang lainnya tidak memenuhi syarat dalam salah satu alasan

permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67

a s/d f Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 ;

 Bahwa Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, hanya mengatur tentang banding

(bukan kasasi) terhadap putusan Pengadilan Negeri yang mengadili

permohonan pembatalan putusan arbitrase yang merupakan upaya hukum

terakhir, sehingga permohonan Peninjauan Kembali ini sesungguhnya telah

menyalahi Pasal 72, ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ;

 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan

peninjauan kembali yang diajukan oleh PERUSAHAAN PERTAMBANGAN


MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA), tersebut harus

ditolak ;

 Menimbang, bahwa karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka

biaya perkara dalam tingkat peninjauan kembali ini harus dibebankan kepada

Pemohon Peninjauan Kembali ;

 Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan

UndangUndang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah

dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 serta peraturan

perundangundangan lain yang bersangkutan ;

MENGADILI

 Menolak permohonan peninjauan kembali dari : PERUSAHAAN

PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA),

tersebut;

 Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara

dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta

lima ratus ribu rupiah) ;

D. Analisis Pembatalan Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Mengenai Kasus Karaha


Bodas Vs Pertamina

Terhadap tindakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, perlu

dipahami bahwa antara pembatalan putusan dengan penolakan eksekusi adalah dua hal

yang berbeda. Mengutip Suleman Batubara dan Orinton Purba dalam bukunya yang
berjudul Arbitrase Internasional terdapat perbedaan antara pembatalan dan penolakan

putusan arbitrase menurut Hikmahanto Juwana, antara lain :

1. Upaya hukum pembatalan diistilahkan dengan annulment/set aside, sedangkan

upaya hukum penolakan diistilahkan dengan refusal.

2. Pengaturan, syarat-syarat, alasan-alasan antara upaya hukum pembatalan dan

penolakan adalah berbeda satu sama lain. Pengaturan dan syarat serta alasan

upaya hukum pembatalan diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan suatu

negara, sedangkan upaya hukum penolakan diatur dalam suatu perjanjian

internasional yang kemudian ditransformasikan ke dalam undang-undang nasional

suatu negara.

3. Akibat hukum dari diterimanya upaya hukum pembatalan berbeda dengan upaya

hukum penolakan. Dikabulkannya upaya hukum pembatalan mengakibatkan

putusan 171 Tanjungpura Law Journal arbitrase tersebut dinafikan (dianggap

tidak pernah ada putusan arbitrase), sedangkan akibat hukum dikabulkannya

upaya hukum penolakan adalah tidak berarti dinafikannya keputusan arbitrase

tersebut. Jadi, apabila suatu putusan arbitrase ditolak oleh lembaga pengadilan

suatu negara, pihak yang ditolak (menang) tersebut masih dapat mengajukannya

kembali ke negara tempat di mana aset dari pihak yang dikalahkan berada

4. Dikabulkannya upaya hukum pembatalan mengharuskan para pihak untuk

mengulang kembali proses arbitrase (re-arbitrate), sedangkan apabila upaya

hukum penolakan dikabulkan tidak mengharuskan para pihak untuk mengulang

kembali proses berarbitrase.


5. Dikabulkannya upaya hukum pembatalan tidak serta merta memberikan

kewenangan bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut.

6. Alasan dari upaya hukum pembatalan lebih mengacu kepada substansi sengketa,

sedangkan alasan upaya hukum penolakan tidak demikian. Dengan kata lain,

alasan dari suatu penolakan lebih mengacu kepada prosedural bukan substansial.

7. Penolakan keputusan arbitrase lebih didasarkan pada tidak adanya yurisdiksi

dari pengadilan di mana arbitrase tersebut dimohonkan untuk diakui dan

dilaksanakan, sedangkan upaya hukum pembatalan tidaklah demikian.

Tindakan pembatalan putusan arbitrase a quo oleh Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah tindakan yang keliru, putusan pembatalan

tersebut menjadi preseden yang buruk, menimbulkan kesan negatif terhadap

pandangan berarbitrase dan penanaman modal asing di Indonesia. Terhadap kasus

ini, Majelis Hakim Mahkamah Agung yang dalam putusan Peninjauan Kembali

untuk tetap pada sikapnya menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase a quo adalah

putusan yang tepat dan menjadi preseden yang baik. Putusan Mahkamah Agung

mencerminkan masih adanya kepastian hukum dalam berarbitrase dan penanaman

modal asing di Indonesia, mengingat bahwa kepastian hukum dalam pelaksanaan

putusan arbitrase adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap kemauan untuk

melakukan perjanjian arbitrase dengan pihak Indonesia, maupun penanaman

modal asing di Indonesia.


Alasan Hukum :

Menurut saya dalam kasus ini sudah tepat karena,

1. Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para pihak untuk

mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif.

2. Walaupun keputusan badan arbitrase internasional sudah ditetapkan, tetapi

Pertamina telah menolak untuk membayar kewajiban legalnya. Dalam merespon

ini KBC melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk melaksanakan

Putusan Arbitrase Jenewa di Pengadilan beberapa negara dimana aset dan barang

Pertamina berada. 3. Seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase

Indonesia, dalam hal ini UU Nomor 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk

disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional,

termasuk UNCITRAL Model Law.

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam menyelesaikan perkara yang timbul dari n.pada kontrak, maka ada baiknya

penyelesaian dilaksanakan dengan berdasarkan perjanjian sebagai landasan yuridis disamping

peraturan perundang-undangan yang ada. Penyelesaian perkara juga dibutuhkan sikap kooperatif,

mentaati kesepakatan yang telah dibuat, serta asas-asas dalam pilihan penyelesaian sengketa

sebagaimana telah diperjanjikan. Demikian suatu proses penyelesaian sengketa terkait

penanaman modal asing, sangat mempengaruhi keinginan pemilik modal untuk menanamkan

modalnya di suatu negara. Sebagaimana suatu kontrak yang telah dibuat adalah mengikat dan
wajib dilaksanakan, dalam hal apabila terjadi sengketa maka diupayakan penyelesaian yang

dengan tata cara yang paling efektif dan tidak berkepanjangan.

1. Kasus perseturuan antara PERTAMINA dengan Karaha Bodas Company merupakan

sengketa yang cukup memberikan perhatian besar dan berdampak politis, sengketa ini

bukan sengketa bisnis biasa, karena sudah melibatkan institusi kepemerintahan. Dalam

hal ini PERTAMINA tidak bisa tinggal diam, karena dampak keputusan Arbitrase

Internasional yang dicantumkan pada “preliminary Award” (30 September 1999) dan

“Final Award” (18 Desember 2000), sangat merugikan perusahaan karena harus

membayar ganti rugi sebesar US$ 261 juta berikut bunga 4% pertahun.

2. Penundaan eksekusi dikarenakan adanya gugatan PERTAMINA di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, dimana akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pusat mengeluarkan

putusannya No.86/PDT.G./2002./PN.JKT.PST tanggal 27 Agustus yang mengabulkan

gugtan PERTAMINA, dengan menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum

terhadap Putusan Arbitrase yang ditetapkan di Jenwa, Swiss tanggal 18 Desember 2000

berikut Putusan Sela (preliminary award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30

September 1999. Putusan ini memerintahkan kepada Tergugat (KBC) atau siapapun yang

mendapat hak dari padanya untuk tidak melakukan tindakn apapun, termasuk pelaksanaan

putusan Arbitrase Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 yang bersumber pada

perjanjian JOC dan ESC tanggal 28 November 1994 dengan ketetuan tergugat dikenakan

uang paksa sebesar US$ 500.000 setiap harinya jika ketentuan tersebut dilanggar.

3. Pengajuan memori kasasi ke Mahkamah Agung RI oleh KBC berbuah hasil, yaitu dengan

dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung No.01/Banding/ Wasit.Int.2002 tanggal 4

Maret 2004, yang mengabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.


86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal 27 Agustus 2002. Dalam provisi dan Pokok

Perkara, dinyatakan bahwa Pengdilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk

memeriksa dan (PERTAMINA) untuk membayar biaya perkata dalam kedua tingkat

peradilan, yang dalam tingkat bnding ini ditetapkan sebesar Rp.500.000 (lima ratus ribu

rupiah).

4. Pada dasarnya sebuah putusan Arbitrase Internasional yang sudah diputus diluar negeri

bila di bawa ke Indonesia tentu ada 2 (dua) kemungkinannya yaitu putusan Arbitrase

Internasional minta untuk dilaksanakan atau putusan Arbitrase Internasional diminta

untuk dibatalkan, bila kita cermati bahwa keputusan Arbitrase bersifat final and binding

dn begitu juga yang tercantum pada peraturan UNCITRAL, tentu segala persoalan sudah

jelas dan pasti. Mengingat putusan Arbritrase Internasional belum memberikan rasa

keadilan bagi PERTAMINA, karena belum sepenuhnya majelis Arbitrase Jenewa

memperhtikan fakta-fakta yang diberikan PERTAMINA.


DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Y. 2003 Arbrase.Jakarta: Sinar Grafika. Jakarta

Hukum Perdata.Putusan Arbitrase Internasional Digugat Pembatalannya dalam kasus


PERTAMINA vs Karaha Bodas Company. 2005 Varia Peradilan No. 233.

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 01/Banding/Wasit. Int/2002, Tanggal 8 Maret 2004,


halaman 3.

http://www.kompas.com/, print, tgl.08/11/04, tentang “novum PERTAMINA pada kasus


KBC, ditolak, berita tgl.06/06/03. Halaman 1.

Muhammad Syaifuddin. 2016. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif


Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV MANDAR MAJU, hlm. 91

Anita D.A Kolopaking. 2013. Asas Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak
Melalui Arbitrase, Bandung: PT Alumni,

Putusan Arbitrase Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 antara Karaha Bodas
Company VS. PERTAMINA dan PLN.

http://www.bisnis.com.tgl print : 31/12/04. Tentang : “Jalur Pengadilan tak kunjung


selesai, PERTAMINA andalkan G-toG tuntaskan KBC”, berita tgl. 10/12/03. Halaman 3.

Kasus Karaha Bodas, Berita tgl.19/01/04, halaman 1-2.

Anda mungkin juga menyukai