Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KASUS KBC ( KARAHA BODAS COMPANY) TUGAS

KULAIH HUKUM INTERNASIONAL LENGKAP


Tugas hukum internasional tentang karaha bodas compeny .
Selasa, 05 Januari 2010
Kasus Karaha Bodas Company L.L.C Melawan P.T. Pertamina Dan P.T.
Pln
A. Para Pihak dalam Sengketa
1. Penggugat:
Karaha Bodas Company L.L.C (KBC)
Adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum
Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. T.B. Simatupang,
Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia.
2. Tergugat
a. Tergugat 1
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (P.T. Pertamina)
P.T. Pertamina adalah suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 8
Tahun 1971 Tentang Pertamina dan dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.
b. Tergugat 2
P.T. Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN)
P.T. PLN adalah suatu perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang No. 12 Tahun
1998 Tentangadalah perusahaan yang mengusahakan penyediaan listrik kepada masyarakat
umum di Indonesia.
B. Latar Belakang Sengketa
Pada tanggal 28 November 1994, disepakati dua kontrak sebagai bagian dari Proyek
Karaha. Kedua kontrak tersebut adalah:
1) Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/ JOC)
Kontrak ini menetapkan bahwa Pertamina bertanggung jawab untuk mengelola
pengoperasian geothermal di dalam proyek karaha tersebut dan KBC berperan sebagai
kontraktor. KBC diwajibkan untuk mengembangkan energy gheotermal di daerah proyek dan
membangun, memiliki dan mengoperasikan tenaga listrik.
2) Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ ESC)
Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik dari Pertamina yang
diproduksi, dipasok, dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun oleh KBC.
Sebagai kontarktor bagi Pertamina berdasarkan JOC, KBC, atas nama Pertamina dan
berdasarkan ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik berkapasitas sampai 400
Mw kepada PLN dari Proyek Karaha.
Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia.International
Monetary Fund (IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau
kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah pembayaran
proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan.
Pada tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75 proyek
ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997 dikeluarkan

Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda
termasuk Proyek Karaha dilanjutkan kembali. Pada tanggal 10 Januari 1998, Keputusan Presiden
No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan. Keputusan ini membatalkan kepres sebelumnya dan
mengkomfirmasi penundaan Proyek Karaha.
Pertaminan telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan kembali
proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina, pihak
KBC telah menyatakan berlakunya klausula force majeure dan telah menghentikan
pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC telah
memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim
kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC.
C. Jalannya Sengketa
KBC mengajukan klaim kepada arbitrase Jenewa Swiss sebagaimana yang disepakati oleh
para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaukan sengketa dalam JOC.
Pendirian KBC sebagai penggugat adahaf sebagai berikut:
- KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan ESC
dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan unit-unit
pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.
- KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung risiko
tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No. 5 Tahun 1998
bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.
Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang
termnasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian kompensasi
akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai alternative ganti
rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$
437.000.000. Secara alternatif diminta pembatalan kontrak dan kerugian secara alternative dan
pelaksanaan secara khusus.
Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar
Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC skurang lebih sebesar US$ 270.000.000
yang terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity
lost)sebesar US$ 111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$ 150.000.000. KBC
mengajukan permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di pengadilan beberapa negara
di mana aset-aset Pertamina berada, kecuali di Indonesia yaitu:
- Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern District Court
of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;
- KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada di
Singapura disita termasuk Petral;
- Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset Pertamina
dan Pemerintah Republik Indonesia yang besarnya hingga 1, 044 miliar dollar USA. Adapun
permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America dan Bank of New York
melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada Pemerintah RI sedangkan yang tetap
ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account di Bank of America sebesar US$ 296.000.000
untuk jaminan.
Upaya hukum yang dilakukan oleh Petrtamina adalah:
- Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa;

- Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di pengadilanpengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan putusan Pengadilan
Arbitrase Swiss;
- Mengajukan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Indonesia.
Pada tanggal 27 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memenangkan gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau
siapapun yang dapat hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk
pelaksanaan putusan pengadilan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Dsesmber
2000. Adapun putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Label: kasus arbitrase, kasus hukum perdata internasional, kasus karaha bodas melawan
pertamina, kasus pertamina
http://indonesialawstuffs.blogspot.com/2010/01/kasus-karaha-bodas-company-llc-melawan.html
Kasus Karaha Bodas Company (KBC) PENGADILAN SINGAPURA MEMENANGKAN
PERTAMINA
Pengadilan Banding Singapura memenangkan Pertamina pada kasus gugatan KBC atas aset
Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) di
Hongkong. Keputusan yang dikeluarkan pada 24 Agustus 2005 di Singapura ini, menguatkan
keputusan Hakim Choo Han Teck pada Maret 2005 yang menolak banding KBC. Pengadilan
Singapura juga menghukum KBC untuk menanggung biaya persidangan dan kerugian yang
ditimbulkannya. Kemenangan Pertamina ini merupakan bagian dari upaya hukum yang terus
menerus dilakukan Pertamina secara konsisten sejak 2000 terhadap keputusan Arbitrase
International yang sangat tidak adil dan merugikan Pertamina dan Pemerintah Indonesia.
Keputusan Pengadilan Banding tersebut, juga memberikan kesempatan kepada Petral maupun
Pertamina Energy Services Limited (PES) anak perusahaan Petral di Singapura, untuk
mendapatkan penggantian atas kerugian yang diderita sebagai konsekuensi mareva injunction
(penahanan aset) yang diajukan KBC dengan cara yang salah. Kerugian yang diderita
diperkirakan berjumlah besar akan dihitung dan dimintakan penggantian kepada pihak KBC.
Sebelumnya pada Maret 2005, Pengadilan Tinggi Singapura mencabut tidak hanya mareva
injunction, yang diperoleh KBC melalui upaya ex parte (in absentia), tetapi juga menolak seluruh
upaya hukum terhadap Petral maupun PES yang merupakan anak karena tidak menemukan
alasan untuk itu. Dalam kasus ini Petral dan PES diwakili oleh penasehat hukum Anjali Iyer
(Haq & Selvam solicitors) dan KBC diwakili oleh Alvin Yeo SC (Wong Partnership).
KBC merupakan perusahaan yang sekedar didirikan dan hanya diketahui beralamat pada kantor
Klynveld, Peat, Marwick, Goerdeler (KPMG) di Cayman Islands, dan yang tidak diketahui
pengurus, kantor atau asetnya memperoleh mareva injunction pada bulan Desember 2004 sebesar
US$36 juta terhadap Petral di Hongkong. Injunction (penahanan/larangan) tersebut juga berlaku
terhadap PES di Singapura.
KBC memiliki keputusan arbitrase melawan Pertamina sebesar US$261 juta sehubungan dengan
kontrak panas bumi yang ditandatangani pada masa kepemimpinan Presiden Suharto. Kontrak
tersebut ditangguhkan oleh Keputusan Presiden yang dikeluarkan atas permintaan International

Monetary Fund (IMF) sebagai persyaratan awal untuk advis dan bantuan IMF pada saat krisis
keuangan Asia pada tahun 1997/1998. Pertamina sedang melawan upaya pendaftaran keputusan
arbitrase yang diperoleh KBC.
Petral dan PES merupakan trading arm Pertamina yang melayani jasa penjualan dan pembelian
minyak mentah dan produk. Sebelumnya PES berhasil memperoleh peringkat ke-7 Fastest
Growing 50 perusahaan-perusahaan Singapura untuk tahun 2005. PES juga memiliki prestasi
yang mengesankan sebagai perusahaan trading di Singapura sehingga mendapatkan insentif
berupa keringanan pajak dari 22% menjadi 10% selama 5 tahun dan berlaku mulai Januari 2005.
Analisis Kasus Karaha Bodas
A.
Kerjasama
antara
Pertamina
dan
Karaha
Bodas
Company
Kerja sama pada abad mellenium ini sangat penting, dan telah menjadi kebutuhan setiap Negara
jika Negara tersebut ingin maju, salah satunya Indonesia, jika Negara ingin menuju menuju pada
Negara yang maju maka Indonesia harus berani untuk melakukan kerjasama untuk Negara.
Kerjasama itu tidak terbatas pada bidang tertentu saja, selain itu kerjasama dibidang energy
khususnya, pada energy geothermal atau panas bumi, Indonesia yang memiliki potensi
panasbumi
yang
besar
baru
dapat
mengembangkan
energy
tersebut.
Pengembangan energy panasbumi dimulai ssejak tahun 70-an didaerah kamojang yang pada saat
itu baru dibangun oleh pertamina, pertamina sebagai salah salah satu usaha milik Negara yang
mempunyai hak untuk mengembangkan energy geothermal terus berusaha untuk
mengembangkan
energy
tersebut
Pada tahun 1994, pertamina mengadakan kontrak kerjasama dengan pihak investor lisrik swasta
yaitu karaha bodas Co. LLC dibawah kontrak joint operation contrak (JOC) sedangkan PLN
sebagai pembeli nantinya dibawah kontrak Energy sales contrak (ESC) dengan karaha bodas
company.
Pertamina dan karaha bodas Co. LLC mengadakan pengembangan energy panasbumi di karaha
bodas-garut dan telaga bodas-tasikmalaya, dimaksudkan nantinya dapat menghasilkan energy
yang
ramah
lingkungan
dan
bersih.
B.

Kesepakatan

kerjasama

antara

pertamina

dan

karaha

bodas

company

Pada saat ini, perusahaan swasta yang beropasi di kebanyakan lapangan gheothermal dibawah
kontrak operasi gabungan dengan pertamina yang menalokasikan 4% dari pendapatan
operasional bersih ke pertamina dan tambahan 34% dari pendapatan operasi Netto ke
pemerintah. Berdasarkan keppres No 45 / 1991 menggariskan dua jalur alternative untuk
pengembangan
energy
geothermal
diindonesia.
Pertama pertamina atau kontraktor operasi gabungannya mengembangkan dan mengoperasikan
lapangan uap aja, penjualan uap ke PLN atau ke phak lain untuk membangkitkan listrik
Kedua memungkinkan pertamina atau kontraktornya membangkitkan listrik sebagaimana mereka
mengembangkan dan mengoperasikan lapangan uap, listrik yang dihasilkan di jual ke PLN atau
ke
konsumen
lain.
Dari
penetapan
ini
lahir
dua
perjanjian
yaitu
:
Kontrak
operasi
gabungan
(JOC)
Suatu JOC adalah perjanjian legal antara kontraktor dan pertamina yang mewakili pemerintah.
Pertamina bertanggung jawab untuk menajemen operasi dan kontraktor bertanggung jawab untuk

peroduksi energy geothermal dari daerah kontrak, konvensi energy menjadi listrik atau
mengirimkan geothermal atau listrik. JOC memungkinkan operasi untuk 42 tahun, termaksud
peroduksi selama 30tahun, kontrak kepemilikan-operasi selama 30 tahun. Dan listrik dijual pada
tingkat kontrak penjualan energy, yang normalnya dengan denominal dalam dolar dan menjadi
kewajiban PLN untuk membeli listrik pada dasar ambil atau bayar dalam jangka waktu 30 tahun
Kontrak
penjualan
energy
(ESC)
Satu ESC atau bagian integral dari JOC, adalah perjanjian antara kontraktor dan supplier dari uap
geothermal, pertamina sebagai penjual, dan PLN sebagaipembeli energy geothermal. Dibawah
kesepakatan ini, preode produksi untuk mengirimkan energy geothermal dari masing-masing
unit,
jangka
waktu
ESC
adalah
43
tahun
C.
Timbulnya
kasus
pertamina
dan
karaha
bodas
company
Kasus cukup menarik yang menyita perhatian masrakat internasional yaitu kasus antara
Pertamina Vs KBC, yang mana secara dasarnya gesekan kepentingan nyaris berbeda antara
keduanya, terlebih perusahaan karaha bodas merupakan perusahaan perseroan yang didirikan
berdasarkan aliran-aliran modal baik dari dalam maupun dari luar, dimana tujuan perusahaan ini
lebih mengutamakan profit oriented dan sisi lain perusahaan nasional atau pertamina lebih
mengutamakan kepentingan nasional, ini bagaikan api dalam sekam, setipa saat bisa terbakar
yang
merugikan
kedua
belah
pihak.
Dan proyek PLTP ini didukung dengan peraturan pemerintah No 24 Tahun 1994 yang
membolehkan investor asing melakukan investasi ditanah air dengan komposisi saham 90%.
Dengan adanya kehadiran investasi ke Indonesia otomatis harus tunduk pada semua sistem
hukum politik Negara tuan rumah, artinya perusahaan harus mematuhi aturan investasi di
Indonesia. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi perusahaan trannasional seperti karaha bodas
company yang mempunyai saham yang lebih besar atau utuh 100%, sehingga pengambilan
kebijakan dipengaruhi oleh pemegang saham terbesar, ini menimbulkan kepentingan Negara tuan
rumah
menjadi
nomor
dua.
Sayangnya sampai saat ini aturan hukum internasional yang berlaku umum untuk mengatur
aktivitas perusahaan transnasional belum dibuat, hal ini sudah pasti akan berpotensi muncul
konflik antara kedua subjek hukum ini, yaitu anata pertamin dan karaha bodas company.
D.

Latar

belakang

terjadinya

kasus

pertamina

dan

karah

bodas

company

karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi Internasional Monetery Fund (IMF), pada tanggal
20 September 1997, Presiden melalui Keppres No. 39/ 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian
Kembali Proyek Pemerintah, BUMN Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/ BUMN.
Keppres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi
pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997, melalui Kepres No. 47/1997 proyek diteruskan.
Namun, berdasarkan Keppres No. 5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali
ditangguhkan.
Pada tanggal 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No. 15/2002, berniat melanjutkan
proyek tersebut. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral No. 216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PTLP Karaha dari
ditangguhkan
menjadi
diteruskan.
Akhirnya, KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa

(Swiss) sesuai dengan tempat yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pengadilan arbitrase
Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar
ganti rugi kepada KBC. Kurang lebih US$ 270.000.000.dengan rincian, Pertamina harus
membayar denda yang dihitung dari nilai ganti rugi US$ 111,1 juta dan hilangnya kesempatan
mendapatkan keuntungan (opportunity lost) US$ 150 Juta, ditambah dengan bunga 4% pertahun
sejak
2001.
Pertamina dan PLN selanjutnya melanggar kewajiban kontrak mereka terhadap KBC. Walaupun
keputusan badan arbitrase internasional sudah ditetapkan, tetapi pertamina telah menolak untuk
membayar kewajiban legalnya. Dalam merespon ini KBC melakukan upaya hukum berupa
permohonan untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa di Pengadilan beberapa negara
dimana aset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia, yaitu:
- Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta US District Court for The Southern Distric of
Texas
untuk
melaksanakan
putusan
arbitrase
Jenewa;
- Pengadilan Hong Kong, memutuskan mengabulkan permohonan sita jaminan KBC terhadap
aset
dan
barang
milik
Pertamina
yang
berada
di
Singapura.
-Pengadilan Singapura, KBC meminta semua aset anak perusahaan pertamina yang berada di
Singapura,
termasuk
Petral.
-Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Hakim New York untuk menahan aset Pertamina
dan Pemerintah RI hingga1,044 miliar dolar USA. Permintaan tersebut ditolak, dan Hakim
menetapkan agar Bank Of America (BOA) dan Bank Of New York melepaskan kembali dana
sebesar US$ 350 Juta kepada pemerintah RI. Yang tetap ditahan adalah dana 15 rekening
adjudicated
account
di
BOA
sebesar
US$
296
Juta
untuk
jaminan.
Sehingga melakukan penolakan terhada keputusan badan arbitrase tersebut, yang diajukan pada
Arbitrase Jenewa (Swiss), karena Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk
membatalkan putusan arbitrase Jenewa berdasarkan dua alasan. Pertama, Pertamina dan KBC
telah menentukan seat arbitrase Jenewa dibuat di Swiss. Kedua, putusan Arbitrase Jenewa dibuat
di Swiss. Namun sayang, proses ini tidak diteruskan karena keengganan Pertamina membayar
uang deposit. Selain meminta pengadilan Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase, upaya
hukum lainnya yang dilakukan oleh Pertamina adalah meminta penolakan pelaksanaan putusan
arbitrase Jenewa di pengadilan-pengadilan yang oleh KBC diminta untuk melakukan eksekusi
serta melakukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa kepada Pengadilan
Indonesia (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) pada tanggal 14 maret 2002.
Namun tuntutan pertamina yang dilakukan pada tanggal 14 maret 2002 kepada pengadilan negeri
pusat Jakarta yang bertujuan untuk menghapus ganjaran arbitrase dan mencegah kegiatan
peradilan lain untuk melaksanakan keputusan tersebut bergerak maju, Sangat menyalahi
semangat serta surat persetujuan kontrak pertamina, seperti halnya aturan arbitrasi komosi PBB
untuk perdagangan internasiona ( aturan UNCITRAL), serta konvensi perserikatan bangsabangsa untuk pengakuan dan pelaksanaan ganjaran Arbitrase luar negeri ( konvensi new York ),
yang
telah
ditandatangani
oleh
Indonesia.
E.

Kondisi

dan

perkembangan

kasus

antara

pertamina

dan

KBC

Kondisi perseteruan antara pertamina Vs KBC semakin seru, apalagi pada tanggal 27 agustus
2007 majelis hakim yang diketua Henry Swantoro mengabulkan gugatan tertulis pertamina dan
memerintahkan KBC untuk tidak melakukan tindakan apa pun, termaksud eksekusii putusan
arbitrase dan menetapkan denda sebesar US$ 500 ribu perhari apabila KBC tidak mengindahkan
larangan
tersebut.
Tentu saja itu ditanyakan oleh rambun tjaja ( pengacara KBC di Indonesia). Berdasarkan
putusan arbitrase, bentuk pembatasn harusnya permohonan bukan gugatan, dan yang berhak
mengajukan
pembatalan
itu
adalah
arbitrase
ujarnya
Keluarnya putusan pengadilan negeri Jakarta pusat itu memang membuat perakara ini tambah
seru, sebab menurut pengadilan distrik texas, pertamina dianggap melecehkan pengadilan
(contemp of court). Dengan kata lain, pertamina dinilai menentang otoriatas pengadilan Amerika
Serikat. Pasalnya, sebelum pengadilan negeri Jakarta pusat mengabulkan gugatan privisi
pertamina. Pengadilan distrik Texas telah mengeluarkan suatu perintah penghentian sementara
pertamina
berpartisispasi
dalam
pengadilan
Jakarta.
Pertimbangan majelis hakim bahwa keputusan arbitrase internasional dianggap telah melampaui
kewenangan arbitrase sendiri. Majelis hakim juga menyatakan pengadilan negeri Jakarta
mempunyai wewenang megadili kasus gugatan pertamina untuk membatalkan hasil arbitrase
internasional. Karena pada butir ketiga keputusan tersebut , majelis hakim berpendapat bahwa
keputusan arbitrase sangat memungkinkan dengan menggunakan yuris diksi Indonesia sehingga
kasus KBC harus menggunakan hukum berlaku diindonesia(berdasarkan konvensi 1958 yaitu
new
York
convention.
Sehari setelah keputusan pengadilan negeri Jakarta pusat, dalam jumpa pers pihak KBC akan
mengajukan kasasi ke mahkamah agung berkaitan dengan kekalahan mereka dari pertamina di
pengadilan Jakarta pusat, karena menganggap kepusan tersebut tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan hukum dan pihak KBC juga menilai keputusan tersebut meremehkan dasar hukum
perdagangan internasional. Kata bishop selaku pemegang saham mayoritas karaha menyatakan
putusan tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya dalam perjanjian tentang konflik komersial
sehingga seolah tak ada lagi perlindungan bagi penanam modal diindonesia.
Karaha Bodas Case
Penyelesaian sengketa Pertamina Karaha Bodas melalui arbitrase internasional
Uraian singkat kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan
ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994.
Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta
KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian
kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga
panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek
kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun
1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan
KBC
tidak
dapat
dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai
dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18
Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti
rugi
kepada
KBC,
kurang
lebih
sebesar
US$
261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya.

Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan
putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang
deposit
sebagaimana
dipersyaratkan
oleh
Swiss
Federal
Supreme
Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan
Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina
berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan
pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase
Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan
Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa
penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan
eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan
Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan
Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan
pada ketentuan pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan
Arbitrase Internasional yang berbunyi : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan
yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan
ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri
Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase
internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain
pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter
yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak
diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.
Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak
dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu,
Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum
Indonesia, pada hal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak,
Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex
aequeo
et
bono
3.2
Komentar
atas
kasus
Pertamina
versus
Karaha
Bodas
Company
Berbeda dengan kasus gula sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya dimana pengadilan
Indonesia dengan percaya diri menyatakan bahwa terdapat pelanggaran terhadap causa yang
halal dan ketertiban umum, dalam kasus ini hal ketertiban umum tersebut tidak disinggungsinggung. Pada hal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi
kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat
melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang
Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta
yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar menimbangnya jelasjelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan
kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan
konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan dan
pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan

kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari wilayah hukum dan memasuki wilayah
pertimbangan
politik,
ekonomi
dan
lain-lain.
Memang dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan apabila pemakaian dari
hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi sendi azasi hukum nasional,
hakim dalam hal-hal pengecualian, dapat mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi
pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak tergelincir menjadi
kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh Sudargo Gautama diistilahkan dengan
chauvinisme yuridis . Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan
sebaliknya meng adopt bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan
kontekstual,
hal
ini
dapat
dikategorikan
sebagai
penyelundupan
hukum.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum
kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai
pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana,
dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan
nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang
sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan
mengabaikannya
.
Beberapa
hal
yang
menjadi
catatan
Hikmahanto
adalah
:
a.
Dasar
Kewenangan
Pengadilan
di
Indonesia
Hikmahanto membedakan antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase sebagai berikut
: Terhadap putusan arbitsrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta agar para pihak
mengulang proses arbitrase. Putusan arbitrase yang dibatalkan, akan menafikan (seolah tidak
pernah dibuat) putusan arbitrase tersebut. Dalam hal ini Pengadilan tidak berwenang untuk
memeriksa pokok perkara, tetapi hanya terbatas pada memeriksa keabsahan dari segi prosedur
pengambilan putusan arbitrase, seperti pemilihan para arbiter dan pemberlakuan hukum yang
dipilih. Dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan dianggap bertentangan dengan asas
kebebasan
berkontrak.
Sedangkan penolakan putusan arbitrase tidak berarti pengadilan menafikan putusan tersebut,
melainkan tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah
menolaknya. Apabila ternyata di negara lain masih ada asset dari pihak yang dikalahkan, pihak
yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut.
Menurut Hikmahanto, kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk mengadili kasus KBC
di Indonesia, harus dipertanyakan. Dalam proses arbitrase paling tidak ada tiga jenis hukum yang
berlaku, yaitu hukum material (substantive law), hukum acara yang mengikat (governing/ curial
law) dan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa (lex arbitri). Dari
ketiga jenis hukum tersebut tidak ada satu jenispun yang memberi kewenangan kepada
Pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara dimaksud. Dalam kasus Karaha Bodas Company
(KBC),
hukum
yang
digunakan
adalah
hukum
Switzerland
(Swiss).
b.
Upaya
hukum
yang
dilakukan
Pertamina
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya.
Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan
putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang
deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Hikmahanto
berpendapat upaya hukum melalui pengadilan Swiss lah yang benar. Pengadilan Swiss adalah
pengadilan yang berwenang untuk melakukan pembatalan Putusan arbitrase Jenewa berdasrkan
dua lalasan. Pertaman, Pertamina dan KBC telah menentukan seat arbitrase dalam JOC di

Jenewa,
dan
kedua
putusan
arbitrase
Jenewa
di
buat
di
Swiss.
Sebagai pihak yang kalah perlu dipertanyakan mengapa justru Pertamina yang melakukan
pendaftaran arbitrase Jenewa di Indonesia. Apabila dimaksudkan untuk melakukan pembatalan
agar memenuhi asas pendaftaran sesujai pasal 71 UU 30 tahun 1999, dan alasan tersebut dapat
diterima oleh majelis hakim, pendirian yang demikian tidak tepat. Kewenangan Pengadilan
Negeri di Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase hanyalah yang terbatas pada putusan
arbitrase yang dibuat di Indonesia. Terhadap putusan arbitrase asing, kewenangan yang ada
hanyalah
terbatas
dalam
konteks
pelaksanaan
(eksekusi)
suatu
putusan.
Belakangan, memang pendapat Hikmahanto tersebut di atas nampaknya sejalan dengan
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Edward Baldwin et al mencatat, pada akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut di atas, dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas dasar bahwa pengadilan
negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa perkara itu, dan juga tidak berwenang
untuk
memutuskan
klaim
KBC
.
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan
Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya,
maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya
hal tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh
mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Hal ini dalam konstruksi hukum dapat dianalogkan
dengan adagium umum pada hukum perdata dimana seorang bawahan tidak dapat dipersalahkan
dari akibat perbuatannya yang sekedar melaksanakan perintah yang menugaskannya. Hal ini juga
sejalan dengan pandangan hukum dalam Black Law yang menyatakan quicunque jussu judicis
allquid fecerit non videtur dolo malo fecisse, qula parere necesse est .
http://tugaskuliahterlengkap.blogspot.co.id/2015/03/analisis-kasus-kbc-karahabodas-company.html

Anda mungkin juga menyukai