DOSEN PENGAJAR
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
197001102000122001
FAKULTAS TEKNIK
MANADO
2024
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
FAKULTAS TEKNIK
Alamat : Kampus UNSRAT Manado
TUGAS LAPANGAN TERBANG
Titik 1 2 3 4 5 6
CBR 25 29.2 26.4 28.2 24.5 25
Elevasi :……28……..m
Efektif Slope :……0.3………..%
CBR Subbase :……23………..%
Kapasitas Pesawat yang dilayani:
JENIS PESAWAT JUMLAH FORECAST ANNUAL DEPARTURE
AIRBUS A-340-300 4 1200, 3000, 6000, 15000, 25000 *)
B-737-900ER 3 1200, 3000, 6000, 15000, 25000 *)
McD DOUGLAS D9-30 2 1200, 3000, 6000, 15000, 25000 *)
1200, 3000, 6000, 15000, 25000 *)
1200, 3000, 6000, 15000, 25000 *)
Rigid Pavement:
Subbase Material : Batu Pecah, sirtu, Soil cement, Cement Treated*)
Mutu Beton : K 250, K 300, K 350, K 375 *) Mutu Baja : U-
24, U-32, U-39, U-48 *) Modulus of subgrade Reaction
(k): 50, 100, 200, 300, 400, 500 (pci) *)
Nama :…………………………………………
NIM :…………………………………………
NO TANGGAL KETERANGAN PARAF
Catatan: Tugas harus selesai sebelum Ujian Semester
Manado:......./...................-2024
Asisten Pembimbing Tugas: Koordinator:
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat, rahmat, serta kasih
karunia – nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan “Laporan Perencanaan Bandar
Udara” dengan baik. Penyusunan laporan ini merupakan syarat untuk mengikuti ujian semester
mata kuliah Perencanaan Bandar Udara
Dalam penyelesaian Tugas Laporan ini penulis mendapat bimbingan dari berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Ir. Lucia
I. R. Lefrandt ST, MT, IPM, ASEAN. Eng dan kepada Ir. Sisca V. Pandey, MT. IPU selaku dosen
pengajar pada Mata Kuliah Perencanaan Bandar Udara yang telah memberi pengetahuan selama
masa kuliah online ini.
Yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam penyelesaian laporan ini. Penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan atau penyusunan laporan ini masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari para pembaca.
a) Jarak Antara Garis Tengah Taxiway dengan Garis Tengah Runway ..................... 36
b) Jumlah Gate
Position ............................................................................................. 48
c) Jari-Jari Putar Pesawat (Turning
Radius) .............................................................. 50
d) Panjang
Apron .......................................................................................................
52
e) Lebar Apron dan Luas
Apron ................................................................................ 54
2. PERENCANAAN HANGGAR .................................................................................. 54 a)
Hangar ................................................................................................................... 54
d) Kerb ....................................................................................................................... 60
BAB I
PERENCANAAN GEOMETRIS AREAL PENDARATAN
A. ANALISA ANGIN
1) Pengertian Analisa Angin
Analisa angin adalah dasar dari perencanaan lapangan terbang sebagai pedoman
pokok. Pada umumnya, landasan pacu (Bahasa Inggris:Runway, R/W) dibuat sedapat
mungkin harus searah dengan arah angin yang dominan (Prevalling Wind), agar gerakan
pesawat pada saat lepas landas (take-off) dan saat mendarat (landing) dapat bergerak
bebas dan aman, sejauh komponen angin samping (Cross Wind) yang tegak lurus arah
bergeraknya pesawat. Maksimum cross wind yang diijinkan tidak hanya tergantung pada
ukuran pesawat, tapi juga pada konfigurasi sayap dan kondisi perkerasan landasan.
Persyaratan FAA (Federal Aviation Administration) untuk cross wind semua
lapangan terbang (kecuali utility) antara lain:
• Runway harus mengarah sedemikian sehingga pesawat take-off dan landing pada
95% dari waktu dan cross wind
• Cross wind tidak melebihi 13 knots (15 mph atau 24 km/jam), untuk utility cross
wind diperkecil menjadi 11,5 mph (13 mph atau 21 km/jam).
Berikut ini adalah klasifikasi besar cross wind yang diijinkan berdasarkan panjang
landasan pacu (Aeroplane Reference Field Length, ARFL) menurut ICAO.
• Cross wind 20 knots (37 km/jam), untuk ARFL lebih besar atau sama dengan 1500
m
• Cross wind 13 knots (24 km/jam), untuk ARFL antara 1200 m sampai 1499 m
• Cross wind 10 knots (19 km/jam), untuk ARFL lebih kecil dari 1200 m
Menurut ICAO dan FAA, penentuan arah runway harus dibuat berdasarkan arah
yang memberikan cakupan angin(wind coverage) sedemikian rupa sehingga pesawat
dapat take-off dan landing minimal 95% dari waktu komponen cross wind.
Dari data tabel frekuensi angin yang diberikan dapat dilakukan analisa angin untuk
setiap arah angin dan kecepatannya.
Untuk menentukan besar persentase angin dari masing-masing arah dan kecepatan angin,
maka hitung dulu jumlah keseluruhan frekuensi angin. Hasil perhitungan jumlah keseluruhan
frekuensi angin ditunjukkan pada tabel 1-2 di bawah ini.
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
Besar persentase frekuensi angin dari masing-masing arah dan kecepatan angin dihitung sebagai
besar frekuensi dari masing-masing arah dan kecepatan angin dibagi dengan jumlah keseluruhan
frekuensi angin. Atau secara matematis:
Berdasarkan syarat tersebut, akan ditentukan lebar jalur kontrol angin untuk masingmasing
tipe pesawat. Berikut di bawah ini adalah karakteristik untuk masing-masing tipe pesawat
yang dilayani dengan mengacu pada tabel “Aerodrome Reference Codes and Aeroplane
Characteristics” di halaman lampiran.
N
13,44
10,08
W
N
E
N
8,87
8,74
5,04
W
6,72
5,38
6,05
4,03
6,05
SW
SE
6,85
40.00 knots
E
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
N
13,44
10,08
W
N
E
N
8,87
8,74
5,04
W
E
N
6,72
5,38
6,05
4,03
6,05
SW
SE
6,85
40.00 knots
FEEONDLEE NOLFI SEROY
(210211010237)
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
DOS
N
13,44
10,08
W
N
E
N
8,87
8,74
5,04
W
6,72
5,38
6,05
4,03
6,05
SW
SE
6,85
40.00 knots
N
NW
DIAGRAM WIND ROSE (Arah N - S)
Cross Wind 20 knots SKALA 1 cm : 3
knots
N
13,44
10,08
W
N
E
N
8,87
8,74
5,04
W
6,72
5,38
6,05
4,03
6,05
SW
SE
6,85
40.00 knots
Dari hasil persentase cakupan angin untuk semua komponen cross wind dan arah
penentuan runway, maka arah runway ditentukan dimana memberikan nilai persentase
cakupan angin terbesar atau setidaknya 95%. (Catatan: Skala 1 cm : 3 knots)
5) Faktor Reduksi
Dari gambar wind rose diperoleh data sebagai berikut:
a = 11,9 cm = 35,7 k
b = 9,9 cm = 29,7 k
cos 𝑎 = 29,7/35,7
𝛽 = 2𝑎 = 40,08°
Luas Segitiga:
=
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
= 190.07 – 100.56 =
L = 89.51-24.47 =
89.54
Menghitung luas kecil yang di luar wind coverage. Luas dihitung dengan metode
pendekatan luas segitiga. Dari gambar wind rose, diperoleh data sebagai berikut: y =
2,43 cm = 0.81 k x = 22 k – 21,65 k
L= 89.54-0.142 = 89.398
1. Arah N-S
50.91+[3.55+3.70+3.09+2.07+3.45+4.03+6.91+6]+[2.43+1.27+0.58+1.06+2.88+0.46
+2.46+2.02]+[0.03+0.06+0.17+0.81+1.15+0.06+0.46+0.23]+[(0.07 x
0. 99)+0.06+(0.05 x 0.99)] = 99.9988
2. Arah NE-SW
50.91+[3.55+3.70+3.09+2.07+3.45+4.03+6.91+6]+[2.43+1.27+0.58+1.06+2.88+0.46
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
DOS
+2.46+2.02]+[0.03+0.06+0.17+0.81+1.15+0.06+0.46+0.23]+[0.07 + (0.06 x
0. 99)+(0.05 x 0.72)] = 99.9865
3. Arah E-W
50.91+[3.55+3.70+3.09+2.07+3.45+4.03+6.91+6]+[2.43+1.27+0.58+1.06+2.88+0.46
+2.46+2.02]+[0.03+0.06+0.17+0.81+1.15+0.06+0.46+0.23]+[(0.07 x 0.99) + (0.06 x
0. 72)+(0.05 x 0.99)] = 99.9827
4. Arah SE-NW
50.91+[3.55+3.70+3.09+2.07+3.45+4.03+6.91+6]+[2.43+1.27+0.58+1.06+2.88+0.46
+2.46+2.02]+[0.03+0.06+0.17+0.81+1.15+0.06+0.46+0.23]+[(0.07 x 0.72) + (0.06 x
0.99)+0.05] = 99.9801
Data prosentase diatas kemudian digunakan dalam menentukan arah RunWay, dengan
memperhitungkan tipe pesawat yang akan menggunakan Airport dan menganggap bahwa
komponen Cross Wind bertiup dalam dua arah. Dari hasil perhitungan konfigurasi runway
diperoleh persentasi angin yang paling maksimum adalah angin arah N–S = 99.9988%
B. DESAIN RUNWAY
1) Desain Panjang runway
Panjang runway (R/W) biasanya ditentukan berdasarkan pesawat rencana terbesar yang
akan beoperasi pada bandara (airport) yang bersangkutan. Dalam tugas ini diambil
pesawat rencana yaitu pesawat tipe B-737-900ER (BOEING) dengan karakteristik sebagai
berikut.
o ARFL = 2256
= 40 knot
Dari data karakteristik pesawat tipe B-737-900ER (BOEING) tersebut didapat panjang
runway standar (Lo) dari pesawat tersebut sepanjang ARFL = 2256 m. Namun panjang
runway yang didapat tersebut masih harus dikoreksi terhadap elevasi, temperatur, dan
kemiringan runway.
Diketahui data-data yang akan digunakan dalam perhitungan koreksi panjang runway sebagai
berikut:
Tabel 1-4
T1(°C) T2(°C)
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
DOS
21.5 31.5
30 20.5
22.5 21.2
23.4 23.5
21.2 24.1
31 22
Sumber : (data tugas)
𝐸
𝐿1 = 𝐿0(1 + 0.07 ) 300
Keterangan:
𝐿1 = Panjang runway terkoreksi
𝐿0 = ARFL
E = Elevasi
Jika diketahui elevasi bandara adalah 1000 m di atas muka air laut, maka nilai faktor koreksi
terhadap elevasi (C1) adalah:\
𝐿1 = 2256 (1 + 0.07 )
𝐿1 = 2270.739
Tabel 1-5
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
𝑇2 − 𝑇1
𝑇𝑟𝑒𝑓𝑓 = 𝑇1 +
3
𝐿2 = 2491.2731
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
DOS
Maka panjang runway direncanakan L = 2566 m. Dari perhitungan panjang landasan pacu
yang dibutuhkan oleh pesawat rencana BOEING 737-900ER adalah 2566 m
2) Lebar Runway
Menurut ICAO, lebar runway direncanakan berdasarkan kode angka huruf dari
pesawat-pesawat yang akan dilayani oleh lapangan terbang. Lebar runway paling kurang dua
kali landasan untuk keamanannya (safety area), tetapi FAA mensyaratkan lebar minimum
sebesar 150 m (500 ft). Lebar perkerasan struktural runway harus sesuai dengan jenis
pesawat. Dalam tugas ini diambil pesawat rencana yaitu pesawat tipe Boeing B-737-900ER
dengan kode angka dan huruf yaitu 3C.Untuk menentukan lebar runway, digunakan beberapa
tabel yang dikeluarkan oleh Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005 di
halaman beikut.
A B C D E F
1 18 m 18 m 23 m - - -
2 23 m 23 m 30 m - - -
3 30 m 30 m 30 m 45 m - -
4 - - 45 m 45 m 45 m 60 m
PERENCANAAN BANDAR UDARA
2022
Dr. LUCIA I. R. LEFRANDT, ST, MT
A I 3 2.5
B II 3 2.5
C III 6 2.5
D IV 7.5 2.5
E V 10.5 2.5
F VI 12 2.5
Sumber: (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005)
Berdasarkan tabel diatas, untuk kode angka dan huruf yaitu 3C, maka didapatkan data-
data lebar runway dan bahu runway desain sebagai berikut:
• Kode angka dan huruf = 3C
• Lebar perkerasan struktural = 30 m
6m 30.00 m 6m
42.00 m
3) Stopway
Jalur untuk berhenti (stopway) terletak di ujung landasan pacu (runway).Stopway memiliki
lebar sama dengan lebar runway.
Syarat kemiringan memanjang dan melintang stopway adalah seperti runway, kecuali:
a. Syarat 0,8% pada kedua ujung landasan tidak berlaku untuk stopway.
b. Jari-jari peralihan runway untuk stopway maksimum 0,3% per 30 m (minimum jarijari
kurva 10.000 m) untuk penggolongan pesawat III, IV, V dan VI.
c. Kekuatan / permukaan harus mampu memikul beban pesawat yang direncanakan dalam
keadaan take- off dibatalkan tanpa merusak struktur pesawat.
d. Harus mempunyai koefisien gesekan yang cukup, dalam keadaan basah. Kekasaran untuk
permukaan yang tidak diperkeras sama dengan kekasaran landasannya.
Untuk menentukan dimensi stopway, digunakan tabel 1-9 yang dikeluarkan oleh Peraturan Dirjen
Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005 di bawah ini.
• Blast Pad
Blast Pad adalah suatu daerah yang direncanakan untuk mencegah erosi pada
permukaan yang berbatasan dengan ujung landasan. Daerah ini selalu menerima
hembusan jet (jet blast) yang berulang-ulang. Daerah ini bisa dengan perkerasan atau
ditanami rumput. Pengalaman menunjukkan bahwa panjang blast padminimum untuk
pesawat-pesawat transport sebaiknya 60 m. Kecuali untuk pesawat berbadan lebar,
panjang minimum yang dibutuhkan oleh blast pad sebaiknya 120 m.
• Clearway
Clearwayadalah daerah berbentuk empat persegi panjang yang terletak diatas
tanah atau air dibawah pengawasan otoritas bandar udara disediakan dan dipilih untuk
keperluan initial climbing. Persyaratan menurut ICAO menyatakanbahwa panjang
clearway tidak melebihi setengahdari panjang TORA (Take- Off Run Available) dan bisa
di buat tergantung kebutuhan lokasi sedangkan lebar minimum adalah 150 m.
• Runway Strip
Runway Strip adalah daerah termasuk runway dan stopway (jika ada) yang
ditujukan untuk mengurangi kerusakan pesawat jika pesawat gagal berhenti dan sebagai
batas dimana pesawat tidak boleh terbang melewati daerah tersebut.
A. DESAIN TAXIWAY
1) Taxiway
Taxiway berfungsi sebagai jalan keluar masuk pesawat dari landasan pacu ke
bangunan terminal atau apron dan sebaliknya. Taxiway diatur sedemikian rupa sehingga
pesawat yang baru saja mendarat tidak mengganggu pesawat lain yang sedang taxi untuk
menuju landasan pacu.
Persyaratan taxiway adalah :
1. Harus sependek mungkin, langsung dan sederhana.
2. Dihindari perpotongan antara taxiway dengan runway dengan pertimbangan keamanan
penumpang dan kelancaran pengoperasian pesawat.
3. Diusahakan dalam taxiway lalu lintas satu arah
Jenis-Jenis Taxiway
Untuk Jenis-Jenis taxiway dibagi menjadi beberapa bagian :
a. Take off taxiway , adalah taxiway yang digunakan untuk keperluan pesawat terbang lepas
landas.
b. Exit taxiway, adalah taxiway untuk keperluan pesawat terbang exit, meninggalkan runway
setelah selesai melakukan pendaratan. Exit taxiway terletak diantara ujung-ujung runway
(tidak pada ujung-ujungnya).
c. Parallel taxiway , adalah taxiway yang terletakk sejajar dengan runway yang digunakan
untuk keperluan take off maupun exit.
Agar pesawat tidak terlalu lama menunggu pada waktu menggunakan landasan,
maka pada bandar udara yang resmi perlu di lengkapi dengan taxiway kecepatan tinggi.
Namun apabila lalu lintas pesawat pada jam sibuk kurang dari 26 gerakan /jam mendarat
dan lepas landas dapat dipakai exit taxiway yang bersudut siku-siku sudah memadai.
Karena kecepatan pesawat saat di taxiway tidak sebesar saat di landasan pacu, maka
persyaratan mengenai kemiringan memanjang, kurva vertikal dan jarak pandang tidak
seketat pada landasan. Oleh sebab itu, lebar taxiway masih tetap bergantung dari ukuran
lebar pesawat.
2) Lebar Taxiway
Lebar taxiway dan lebar total taxiway termasuk bahu taxiway sesuai dengan yang di
isyaratkan ICAO untuk taxiway dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tebel 1-10 Jarak bebas minimum dari sisi terluar roda utama dengan perkerasan Taxiway
Keterangan/Kode Pesawat A B C D E
Jarak bebas minimum dari 1,5 m 2,25 m 4,5 m 4,5 m 4,5 m
sisi terluar roda utama (5ft) (7,5ft) (15ft) (15ft) (15ft)
dengan perkerasan 3m
Taxiway (10ft)
Sumber: Merancang, Merencana Lapangan Terbang (Ir. H. Basuki, Hal 192)
Maka berdasarkan Pesawat B – 737 – 900ER (BOEING), dengan mempunyai Kode Angka –
Huruf = 3C , didapatkan :
- Lebar Taxiway = 18 m
- Lebar total Taxiway dan Shoulder = 25 m
- Taxiway strip width = 52 m
- Lebar area yang diratakan untuk trip taxiway = 25 m
- Jarak Bebas Minimum dari sisi terluar roda utama dengan tepi taxi way (jarak minimm dari
sisi terluar roda utama dengan perkerasan taxiway ) = 4,5 m
Selain tabel diatas , Untuk menentukan lebar taxiway, dengan pesawat rencana yaitu
pesawat tipe Boeing B-737-900ER dengan kode angka dan huruf yaitu 3C. digunakan
beberapa tabel yang dikeluarkan oleh Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP
77/VI/2005 di halaman berikut.
Code Penggoloangan Lebar Taxiway (m) Jarak bebas minimum dari sisi
Letter Pesawat terluar roda utama dengan tepi
taxiway (m)
A I 7.5 1.5
B II 10.5 2.25
C III 15𝑎 3𝑎
18𝑏 4.5𝑏
D IV 18𝑐 4.5
23𝑏
E V 25 4.5
F VI 30 4.5
Sumber : (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005)
Keterangan:
A I 25
B II 25
C III 25
D IV 38
E V 44
F VI 60
Sumber : (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005
Berdasarkan tabel diatas, untuk kode angka dan huruf yaitu 3C, maka didapatkan datadata
lebar taxiway dan bahu taxiway desain sebagai berikut:
A I 2
B II 2
C III 1.5
D IV 1.5
E V 1.5
F VI 1.5
Sumber : (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005
A I 1.5
B II 2
C III 3
D IV 3
E V 3
F VI 3
Sumber : (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005
Berdasarkan tabel diatas, untuk kode angka dan huruf yaitu 3C, maka didapatkan data-data
kemiringan taxiwawy dan jarak pandang taxiway desain sebagai berikut:
• Kode angka dan huruf = 3C
• Kemiringan memanjang taxiway = 1.5%
• Perubahan kemiringan memanjang = 1% per 30 m
• Kemiringan melintang taxiway = 1.5%
• Jarak pandang taxiway =3m
3) Jari-Jari Taxiway
Ada dua cara dalam menghitung jari-jari taxiway, yaitu cara analitis (dengan menggunakan rumus)
dan melalui tabel buku “Merancang dan Merencana Lapangan
Terbang” oleh Ir. H. Basuki. Namun dalam hal ini akan digunakan cara analitis, yaitu
dengan menggunakan rumus.
Rumus untuk menghitung jari-jari taxiway adalah sebagai berikut:
𝑉 0.388𝑊2
𝑅= 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅 =
125𝑓 𝑇2 − 𝑠
Keterangan:
V = Kecepatan pesawat saat memasuki taxiway f = Koefisien gesekan
antara ban pesawat dengan permukaan perkerasan s = Jarak antara titik
tengah roda pendaratan utama dengan tepi perkerasan = ½ wheel track+ FK
(ambil 2.5)
T = Lebar taxiway
W = Wheel base (jarak roda depan dengan roda pendaratan utama)
Dalam menghitung jari-jari taxiway diambil pesawat rencana yaitu pesawat tipe
Boeing B-737-900ER, dimana data-data karakteristik pesawat yang akan digunakan sebagai
parameter perhitungan adalah lebar wheel track dan lebar wheel base. Parameter-parameter
yang akan digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut.
• Lebar wheel track = 5.72 m (karakteristik pesawat)
• Lebar wheel base = 17.17 m (karakteristik pesawat)
• Lebar taxiway = 18.00 m (ditentukan sebelumnya)
• s = (5.72 / 2) + 2.50 = 5.36 m
Dengan demikian, jari-jari taxiway adalah:
0.388𝑊2 0.388(17.17 𝑚)2
𝑅= == 31.425 𝑚
𝑇 18 𝑚
2−𝑠 2 − 5.36 𝑚
Dalam perencanaan, digunakan jari-jari taxiway sebesar 32 m.
Kurva Taxiway
Taxiway Desaign Speed (km/h) Radius of Curve (m)
20 24
30 54
40 96
50 150
60 216
70 294
80 384
90 486
100 600
Sumber : (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005
Tabel 1-19 Jarak antara Garis Tengah Taxiway dan Garis Tengah Taxiway
Jarak Antara Garis Tengah Taxiway dan Garis Tengah Runway
Fungsi exit taxiway atau turn off, adalah menekan sekecil mungkin waktu penggunaan
landasan oleh pesawat yang mendarat. Exit taxiway dapat ditempatkan dengan membuat
sudut siku-siku terhadap landasan atau kalau terpaksa sudut yang lain yang juga bisa. Exit
taxiway yang mempunyai sudut 30° disebut “Kecepatan Tinggi“ atau “Cepat keluar“ sebagai
tanda bahwa taxiway tersebut direncanakan penggunaannya bagi pesawat yang harus cepat
keluar.
Dari Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005 dijelaskan bahwa lokasi jalan
keluar pesawat berada pada jarak 450 – 650 m dari ambang landasan.
Jika bandar udara beroperasi selama 12 jam setiap hari, maka jumlah lalu lintas pergerakan
pesawat per jam dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Gambar 1-2 High-Speed Exit Taxiway (ICAO Annex 14 hal. 3-24 [tidak skala])
Untuk menentukan bentuk dari high-speed exit taxiway berdasarkan kode pesawat,
digunakan tabel 1-22 yang dikeluarkan oleh Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP
77/VI/2005
A/I 65 275 30
B / II 65 275 30
C / III 93 550 30
D / IV 93 550 30
E/V 93 550 30
F / VI 93 550 30
Sumber : (Peraturan Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005
Lokasi Exit Taxi Way
Untuk menentukan lokasi Exit Taxiway yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Kecepatan waktu Touchdown (menyentuh landasan)
2. Kecepatan awal sampai titik A Jarak dari treshold sampai ke Touchdown Jarak dari Touchdown
sampai titik A.
dimana,
𝑆12 − 𝑆22
𝐷=
2𝑎
Keterangan :
D = Jarak dari lokasi touch down ke titik A (titik awal kurva exit taxiway)
S1 = Kecepatan touch down
A = Perlambatan
Jarak Touchdown = 300 m untuk pesawat grup B dan sedangkan untuk pesawat grup C
dan D adalah 450 m
Dalam menghitung jarak dari threshold ke lokasi exit runway, diambil pesawat
rencana yaitu pesawat tipe Boeing B-737-900ER, dengan parameter-parameter yang akan
digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut.
• Kode angka dan huruf = 3C
• Jarak touch down (Dt) = 450 m
• Kecepatan touch down (S1) = 259 km/jam = 71.94 m/s
• Kecepatan awal ketika meninggalkan landasan (S2) = 93 km/jam = 25.83 m/s
• Jari-jari belokan = 550 m
• Sudut perpotongan = 30°
Jika perlambatan pesawat (a) diambil sama dengan 1.5 m/s 2, maka jarak dari lokasi touch
down ke titik A adalah:
Jarak yang didapat ini merupakan hasil perhitungan berdasarkan kondisi muka air laut standar,
sehingga jarak ini harus dikoreksi terhadap elevasi dan temperatur.
Keterangan:
L1 = Panjang setelah dikoreksi terhadap elevasi
Jika diketahui elevasi bandara adalah 1000 m di atas muka air laut, maka nilai faktor
koreksi terhadap elevasi (C1) adalah:
28 𝑚
𝐿1 = 1952.88 𝑚 [1.00 + 3% ( )] = 1958.34 𝑚
300 𝑚
̅𝑇̅𝑒𝑓𝑓̅̅̅̅ − 15℃
𝐿2 = 𝐿1 [1.00 + 1% ( )]
5.6℃
Dengan demikian, jarak dari threshold ke lokasi exit runway setelah dikoreksi, dalam
perencanaan, digunakan jarak = 1992 m
B. DESAIN HOLDING BAY
1) Holding bay
Pada lapangan terbang yang mempunyai lalu lintas padat perlu dibangun holding
bay. Dengan disediakannya holding bay maka pesawat dari apron dapat menuju ke
landasan dengan cepat dan memungkinkan sebuah pesawat lain untuk menyalip masuk
ujung landasan tanpa harus menunggu pesawat didepannya yang sedang menyelesaikan
persiapan teknis.
Keuntungan-keuntungan holding bay antara lain:
i.Keberangkatan pesawat tertentu yang harus ditunda karena sesuatu hal, padahal
pesawat tersebut sudah masuk taxiway menjelang sampai ujung landasan tidak
menyebabkan tertundanya pesawat lain yang ada dibelakangnya. Pesawat
dibelakangnya bisa melewati pesawat didepannya di holding bay. Penundaan pesawat
depan misalnya untuk penambahan payload yang sangat penting pada saat sebelum
lepas landas, penggantian peralatan rusak yang diketahui sesaat sebelum tinggal
landas.
ii.Pemeriksaan altimeter (alat pengukur tinggi) sebelum terbang dan memprogram alat
bantu navigasi udara apabila tidak bisa dilakukan pada saat berada di apron. iii.Pemanasan
mesin sebleum lepas landas
Untuk menentukan dimensi holding bay, digunakan tabel 1-10 yang dikeluarkan oleh Peraturan
Dirjen Perhubungan Udara SKEP 77/VI/2005 di bawah ini.
Tabel 1-22 Dimensi Holding Bay
Uraian Code Letter / Penggolongan Pesawat
A/1 B / II C / III D/ E/ F/
IV V VI
jarak ruang bebas pesawat yang 4.5-5.25 4.5-5.25 7.5- 7.5 7.5 7.5
parkir dengan pesawat yang bergerak 12
di taxiway (m)
Berdasarkan tabel diatas, untuk kode angka dan huruf yaitu 3C, maka didapatkan data-data
dimensi holding bay yang dapat dilihat pada tabel tersebut (di kolom C
/ III).
Gambar 1-4 Penampang Holding Bay
C. PERENCANAAN FILLET
1) Fillet
Fillet merupakan perluasan sebelah dalam pada intersection pada dua atau lebih
trafficways misalnya pada runway, taxiway, dan apron. Persyaratan ICAO radius fillet
tidak boleh lebih kecil dari lebar taxiway.
Sedangkan FAA mensyaratkan bahwa radius fillet antara runway dan taxiway dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel 1-23 Radius Fillet
Sumber: (Khana S.K and Aurora, 1979. ”Airport and Planning”, hal 146).
Untuk perencanaan jari – jari fillet dapat berpedoman pada tabel dibawah ini sesuai dengan
penggolongan pesawat yang direncanakan, denga Kode Pesawat Rencana C
Jarak lurus minimum setelah belokan sehingga pesawat dapat berhenti penuh sebelum
melalui persimpangan dengan pesawat lain adalah :
Tabel 1-25. Jarak lurus minimum setelah belokan taxiway
Berdasarka Kode Pesawat Rencana C, maka jarak lurus minimum setelah belokan
taxiway sebesar 75m
BAB II
Apron ialah suatu areal parkir pesawat untuk memuat dan menurunkan barang.Apron
juga merupakan tempat naik dan turunnya penumpang pesawat.
Perencanaan apron dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Karakteristik pesawat yang terdiri dari:
• Panjang pesawat
• Lebar sayap (wingspan) pesawat.
b. Jari-jari putar (turning radius) pesawat:
c. Jarak keamanan antar pesawat
d. Volume penerbangan
e. Kapasitas rencana lapangan terbang
Keterangan:
G̅ = Jumlah gate position
3 30
( 2) × ( 60) 1 . 𝑇1
𝐺1̅= 𝑉 == 0.9375~1 𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑜𝑛
𝜇 0.8
4 20
( 2) × ( 60) 2 . 𝑇2
𝐺̅2 = 𝑉 == 0.83~1 𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑜𝑛
𝜇 0.8
2 30
( 2) × ( 60) 3 . 𝑇3
𝐺̅3 = 𝑉 == 1.25~2 𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑜𝑛
𝜇 0.8
Dengan demikian, jumlah total gate position untuk semua jenis pesawat yang dilayani adalah:
𝑟 𝑚
Jari-jari putar (turning radius) untuk pesawat tipe Airbus A-340-300 adalah:
𝑟 𝑚
Jari-jari putar (turning radius) untuk pesawat tipe McD DOUGLAS D9-30
adalah:
𝑟 𝑚
𝑃 = 𝐺. 𝑊 + (𝐺 − 1)𝑐 + 2𝑃𝑏
Keterangan:
P = Panjang apron
Untuk nilai wing tip clearance berdasarkan kode / kelas pesawat dapat dilihat pada
tabel 2-1 berikut:
Tabel 2-1 Wing tip clearance
Code Letter Air Craft Wing Span Clearance
𝑃1 = 119.99 𝑚
b. Pesawat Tipe AIRBUS A-340-300
𝑃2 = 187.7 𝑚
c. Pesawat Tipe McD DOUGLAS D9-30
𝑃3 = 137.1 𝑚
Panjang apron total
P total = P1+P2+P3 = 119.99+187.7 +137.1 = 444.79 ≈ 445 m
e) Lebar Apron dan Luas Apron
Lebar apron dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑙 = 2𝑃𝑏 + 3𝑐
Keterangan:
L = Lebar apron
Pb = Panjang badan pesawat
c = Wing tip clearance
𝐿 = 𝑝 × 𝑙 = 445 × 98 = 43610 𝑚2
2. PERENCANAAN HANGGAR
a) Hangar
Hangar direncanakan untuk 2 pesawat. Dalam hal ini direncanakan berdasarkan
ukuran pesawat rencana, yaitu pesawat tipe Boeing B-737-900ER, dengan:
• Kode angka dan huruf = 3C
• Lebar sayap (wingspan) = 35.79 m
Maka:
Jika ruang gerak dan peralatan reparasi diambil sebesar 400 m 2, maka luas total
hanggar adalah:
Hasil yang didapat dengan rumus diatas kemudian dibulatkan ke atas. Jika
bandar udara beroperasi selama 12 jam setiap hari, maka hasil perhitungan jumlah
pergerakan pesawat pada jam sibuk untuk masing-masing pesawat dapat dilihat
pada tabel 2-2.
Selanjutnya dihitung jumlah penumpang pada jam sibuk untuk masing-masing tipe
pesawat.
Sehingga, jumlah keseluruhan penumpang pada jam sibuk adalah total dari
jumlah penumpang untuk masing-masing tipe pesawat. Jadi:
Jumlah keseluruhan penumpang = 945 orang + 4130 orang + 344 orang
= 5419 orang
Keterangan:
A = Luas aula keberangkatan (m2) a = Jumlah
penumpang berangkat pada waktu sibuk b = Jumlah
penumpang transfer f = Jumlah pengantar per
penumpang
Maka, luas aula keberangkatan adalah:
𝐴 = 0.75{ 5419 (1 + 2) + 1084} + 10% = 13005.85 𝑚2
Keterangan:
A = Luas area check-in (m2) a = Jumlah penumpang
berangkat pada waktu sibuk b = Jumlah penumpang
transfer
𝐴 = 0.9𝐶 + 10%
Keterangan:
A = Luas baggage claim area (m2)
𝐴 = (0.9)(2168) + 10%=1951.3 𝑚2
i) Fasilitas Umum
Berdasrkan SKEP/77/VI/2005 hal. 52, di asumsikan bahwa 20% dari penumpang
waktu sibuk menggunakan fasilitas toilet. Kebutuhan ruang toilet per orang adalah 1 m2.
Fasilitas toilet di tempatkan di ruang tunggu, aula keberangkatan dan aula kedatangan.
Maka luas toilet dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
• Luas Toilet di Ruang Tunggu dan Aula Keberangkatan
𝐴 = 0.2(𝑐 + 𝑏) + 10%
• Luas Toilet di Aula Kedatangan
𝐴 = 0.2𝑐 + 10%
Keterangan :
• Ruang perkantoran
• Tempat penerimaan bagasi
• Tempat untuk memproses keberangkatan penumpang
• Ruang kedatangan penumpang
• Loket informasi
• Ruang telekomunikasi
• Ruang petugas keamanan
Batasan dari kedua cara ini adalah karakteristik sifat kendaraan sulit untuk
menentukan tingkat estimasi kendaran dan lain-lain. Rata-rata luas ruang parkir
untuk 1 mobil adalah dengan ukuran lebar 2.60 m dan panjang 5.50 m.
Maka jumlah orang yang berada di terminal pada jam sibuk adalah:
Jumlah orang = Jumlah penumpang + Jumlah pengantar
= 5419 orang + 10838 orang
= 16257 orang
Jika ruas ruang gerak sirkulasi dari pada mobil sama dengan luas area parkir
mobil yaitu 89947 m2, maka luas total area parkir yang direncanakan adalah:
Luas total area parkir = Luas area parkir + Luas ruang gerak sirkulasi
= 154983.4 m2 +154983.4m2 =
309966.8 m2
c) Pola Parkir
Dalam perencanaan pelantaran parkir, dipilih dahulu pola parkir yang akan
digunakan dalam perencanaan, dimana terdapat banyak pola parkir yang ada. Pola
parkir kendaraan akan mempengaruhi besarnya kebutuhan tempat parkir. Dilihat
dari kedudukannya, pola parkir kendaraan terdiri dari pola sejajar dan pola
menyudut. Dalam perencanaan, akan dibuat pola parkir digunakan pola parkir
bersudut 90° seperti pada gambar di bawah ini.
BAB III
Berdasarkan gambar 3-1 diatas, perkerasan fleksibel terdiri atas 4 lapisan, yaitu:
a. Tanah Dasar (Sub Grade).
Tanah dasar pada perencanaan tebal perkerasan akan menentukan kualitas
konstruksi perkerasan sehingga sifat-sifat tanah dasar menentukan kekuatan
dan keawetan konstruksi landasan pacu. Untuk menentukan daya dukung
tanah dasar dengan cara CBR (California Bearing Ratio), MR (Resilient
Modulus), dan K (Modulus Reaksi Tanah Dasar).
b. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course).
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari konstruksi
perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar (sub grade) dan
lapisan pondasi atas (base course). Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993),
fungsi lapisan pondasi bawah adalah sebagai berikut.
• Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan menyebarkan beban
roda ke tanah dasar.
• Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisanlapisan
selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
• Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi atas.
c. Lapisan Pondasi Atas (Base Course).
Lapisan pondasi atas adalah bagian dari perkerasan landasan pacu yang
terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan. Fungsi
pondasi atas adalah sebagai berikut:
• Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan
beban lapisan dibawahnya.
• Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
• Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
d. Lapisan Permukaan (Surface Course).
Lapisan permukaan adalah lapisan yang terletak paling atas. Fungsinya adalah
sebagai berikut:
• Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai stabilitas yang
tinggi untuk menahan roda selama masa pelayanan.
• Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke lapisan
dibawahnya.
• Lapisan aus, lapisan yang menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga
mudah menjadi aus.
• Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga lapisan bawah yang
memikul daya dukung lebih kecil akan menerima beban yang kecil juga.
Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air,
disamping itu bahan aspal sendiri memberikan tegangan tarik, yang berarti
mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban terhadap beban roda lalu lintas.
Semakin besar kemampuan tanah dasar untuk memikul beban, maka tebal
lapisan perkerasan yang dibutuhkan semakin kecil. Karena keseluruhan struktur
perkerasan didukung sepenuhnya oleh tanah dasar, maka identifikasi dan evaluasi
terhadap struktur tanah dasar adalah sangat penting bagi perencanaan tebal
perkerasan.
Data-Data Perhitungan
Diketahui data-data yang akan digunakan dalam perencanaan perkerasan fleksibel
sebagai berikut:
• CBR Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base) = 18%
• Data CBR Tanah Dasar (Sub Grade) di 6 titik seperti tabel di bawah ini:
𝑥̅ = = 26.383
1 25 -1.383 1.914
2 29.2 2.817 7.934
3 26.4 0.017 0.000
4 28.2 1.817 3.300
5 24.5 -1.883 3.547
6 25 -1.383 1.914
Jumlah 18.608
Sumber : (Analisis Pribadi)
)̅ 2 ∑(𝑥𝑖 − 𝑥
√
𝑆𝑑 = 𝑛−1
𝑆𝑑
Maka, didapatkan nilai CBR tanah dasar (sub grade) antara 24.45% dan
28.31%.Dengan demikian diambil nilai CBR tanah dasar rencana sebesar
25%.
Tabel 3-4. Data Annual Departure dan MTOW Pesawat yang Dilayani
No. Tipe Pesawat Annual MTOW (kg)
Departure (kali)
1 Airbus A-340-300 15000 260000
2 B-737-900ER (BOEING) 6000 85130
3 McD DOUGLAS D9-30 3000 48988
Sumber : (Data Tugas Lapangan Terbang)
Data-data diatas kemudian diplot ke dalam grafik seperti pada gambar 3-3 di
halaman berikut:
Gambar 3-2. Kurva Perencanaan Perkerasan Fleksibel untuk
Daerah Kritis Pesawat Airbus A-340-300
Data-data diatas kemudian diplot ke dalam grafik seperti pada gambar 3-2 di
halaman berikut:
Gambar 3-3. Kurva Perencanaan Perkerasan Fleksibel untuk Daerah
Kritis Pesawat Boeing B-737-900 ER
Sumber : (Aerodrome Design Manual Part 3, Figure 4-36)
Data-data diatas kemudian diplot ke dalam grafik seperti pada gambar 3-4 di
halaman berikut ini:
Gambar 3-4. Kurva Perencanaan Perkerasan Fleksibel untuk
Daerah Kritis Pesawat McD DOUGLAS D9-30
Sumber : (Aerodrome Design Manual Part 3, Figure 4-36)
Berdasarkan grafik diatas, maka didapatkan tebal perkerasan sementara untuk pesawat
tipe McD DOUGLAS D9-30 setebal 11.5” atau 29.21 cm.
Hasil perhitungan tebal perkerasan sementara untuk masing-masing tipe
pesawat ditunjukkan pada tabel 3-5 di bawah ini.
Karena tebal total perkerasan sementara terbesar yang diperoleh adalah 29”
atau 73.66 cm, maka yang dipakai sebgai pesawat rencana untuk menentukan tebal
perkerasan rencana adalah pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling
besar yaitu pesawat tipe Airbus A-340-300, dengan tipe roda pendaratan yaitu Dual
Tandem Wheel Gear (DTWG).
Menghitung Ekivalen Annual Departure terhadap Pesawat Rencana
Menentukan ketebalan fleksibel metode FAA ini diperlukan data nilai CBR
dari tanah dasar (sub grade) dan nilai CBR pondasi bawah (sub base), berat total
atau berat lepas landas pesawat rencana dan jumlah annual departure dari pesawat
rencana beserta pesawat-pesawat yang sudah dikonversikan. Analisa annual
departure dari pesawat rencana menggunakan rumus konversi pesawat rencana
sebagai berikut:
𝑊2
𝑙𝑜𝑔𝑅1 = (𝑙𝑜𝑔𝑅2) ( )
𝑊1
Keterangan:
R1 = Equivalent annual departure dari pesawat rencana
R2 = Annual departure campuran yang dinyatakan dalam roda pendaratan
pesawat rencana
W1 = Beban roda dari pesawat rencana
a. Menghitung Nilai R2
Karena pesawat rencana adalah pesawat tipe Airbus A-340-300, dengan tipe
roda pendaratan yaitu Dual Tandem Wheel Gear (DTWG), maka nilai Annual
Departure dari masing-masing tipe pesawat akan dikonversi ke tipe roda pendaratan
Dual Tandem Wheel Gear (DTWG). Hasil perhitungan annual departure campuran
yang dinyatakan dalam roda pendaratan pesawat rencana untuk masing-masing tipe
pesawat ditunjukkan pada tabel 3-7 di bawah ini.
Tabel 3-7. Hasil Perhitungan Annual Deperture Campuran yang Dinyatakan dalam
Roda Pendaratan Pesawat Rencana
Jumlah MTOW Tipe Roda Tebal Perkerasan Sementara
No. Tipe Pesawat Roda Pendaratan
(buah) (lbs) (in) (cm)
1 Airbus A-340-300 8 260000 DTWG 29 73.66
2 B-737-900ER (BOEING 4 85130 DWG 13.5 34.29
3 McD DOUGLAS D9-30 4 48988 DWG 11.5 29.21
Sumber : (Analisis Pribadi
b. Menghitung Nilai W2
Hasil perhitungan beban roda pendaratan utama untuk masing-masing tipe pesawat
ditunjukkan pada tabel 3-8 di halaman berikut.
Tabel 3-8. Hasil Perhitungan Beban Roda Pendaratan Utama untuk Masing-Masing Tipe
Pesawat
No. Tipe Pesawat MTOW (kg) W2 (kg)
Berdasarkan tabel diatas, maka beban roda dari pesawat rencana (W2) yaitu
pesawat tipe Boeing B-737-900ER adalah sama dengan 20218 kg.
c. Menghitung Nilai W1
(Beban roda dari pesawat rencana)
Hasil perhitungan beban roda pendaratan utama untuk masing-masing tipe pesawat
ditunjukkan pada tabel 3-9 di halaman berikut.
Tabel 3-9. Hasil Perhitungan Beban Roda Pendaratan Utama untuk Masing-Masing
Tipe Pesawat
No. Tipe Pesawat MTOW (kg) W1 (kg)
𝑊2
log 𝑅1 = (log 𝑅2) ( )
𝑊1
𝑊2
2
(log 𝑅 )( )
𝑅1 = 10 𝑊
1
Tabel 3-10. Hasil Perhitungan Equivalent Annual Departure terhadap Pesawat Rencana
Dengan demikian, Equivalent Annual Departure yang akan digunakan dalam menghitung tebal
perkerasan adalah 15177.
Berdasarkan data-data diatas, maka akan dihitung tebal dari masing-masing lapisan perkerasan.
Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut.
Berdasarkan grafik diatas, untuk nilai equivalent annual departure sama dengan 15186,
maka tebal perkerasan total setebal 29.5” atau 74.93 cm.
Berdasarkan grafik diatas, maka didapatkan tebal perkerasan sementara untuk pesawat tipe
Airbus A-340-300 setebal 29” atau 73.66 cm.
Tebal perkerasan yang didapat ini merupakan tebal total dari tebal surface course
dan base course. Dengan demikian, tebal sub base course adalah tebal perkerasan
total dikurangi dengan tebal perkerasan yang didapat ini. Jadi:
= 29” – 5”
= 24” = 60.96 cm
Selanjutnya tebal base course ini diperiksa terhadap tebal minimum base course dengan
menggunakan grafik tebal minimum base course untuk:
Data-data diatas kemudian diplot ke dalam grafik seperti pada gambar 3-7 di
halaman berikutnya. Berdasarkan grafik tersebut, maka didapatkan tebal minimum
base course setebal 25” atau 63.5 cm. Selisih dari tebal base coarse adalah 25” –
24” = 1”. Namun karena selisih ini lebih besar dari tebal sub base course, maka
selisih ini akan ditambahkan pada tebal perkerasan total, sehingga tebal
perkerasan total adalah:
=29.5” + 1”
=30.5” = 77.47 cm
e. Tebal Perkerasan untuk Daerah Non Kritis
FAA mensyaratkan bahwa perubahan tebal perkerasan untuk:
• Daerah non kritis = Base course dan sub base course dikali 0.9
• Daerah transisi = Base course dan sub base course dikali 0.7
Namun untuk daerah transisi hanya berlaku pada base coarse saja, karena sub base
dilalui oleh drainase melintang landasan lapangan.
Gambar 3-7. Grafik Tebal Minimum Base Course
Sumber : (Aerodrome Design Manual Part 3, Figure 4-38)
Berikut di bawah ini adalah tabel perbandingan antara tebal perkerasan rencana
sebelum memperhitungkan tebal minimum base course dan setelah
memperhitungkan tebal minimum base course.
Hasil perhitungan tebal perkerasan rencana untuk daerah kritis, daerah non kritis, dan daerah
transisi ditunjukkan pada tabel 3-7 di bawah ini.
Tabel 3-7. Tebal Lapisan Perkerasan Rencana untuk Daerah Kritis, Daerah Non Kritis, dan
Daerah Transisi
Tebal Lapisan
Lapisan Perkerasan
Daerah Kritis Daerah Non Kritis Daerah Transisi
(in) (cm) (in) (cm) (in) (cm)
Surface Course 5.00 12.70 4.00 10.16 4.00 10.16
Base Course 24.00 60.96 21.60 54.86 16.80 42.67
Sub Base Course 0.50 1.27 0.45 1.14 0.50 1.27
Tebal Perkerasan Total 29.50 74.93 26.05 66.17 21.30 54.10
Sumber : (Analisis Pribadi)
Daerah Kritis, Daerah Non Kritis, dan Daerah Transisi (kelipatan 1 cm)
Lapisan Perkerasan Tebal Lapisan (cm)
Untuk gambar sketsa tebal perkerasan fleksibel dapat dilihat pada gambar 3-8 di halaman
berikut.
Gambar 3-8. Sketsa Tebal Lapisan Perkerasan Fleksibel (No Scale)
Ada dua metode yang dibuat oleh PCA untuk merencanakan perkerasan rigid. Metode
Pertama didasarkan kepada “Faktor Keamanan”, dan metode kedua didasarkan pada
“Konsep Kelelahan” (fatigue concept). Kedua metode itu juga untuk elevasi kapasitas
structural ketebalan perkerasan kaku yang telah ditentukan. Flexural Stress yang
digunakan dalam prosedur perencanaan PCA adalah tegangan yang terjadi di dalam plat
beton, dengan menggangap bahwa beban pesawat terjadi pada suatu jarak dari tepi
bebas Plat Beton.
PCA menerangkan bahwa apabila join plat beton dilengkapi dengan besi-besi
pemindahan beban , kondisi pada setiap titik didalam perkerasan kaku hampir sama
seperti halnya tegangan yang terjadi pada satu titik di tengah plat yang luas. Kurva
rencana untuk berbagai tipe pesawat telah dibuat oleh PCA dan karena dasar pemikiran
analisannya sama, bisa digantikan oleh kurva-kurva dari FAA.
Dalam Metode yang dibuat oleh PCA untuk menghitung tebal perkerasan untuk apron,
yaitu metode yang didasarkan pada factor keamanan dan metode yang didasarkan
konsep kelelahan (Fatique Concept).
Dalam tugas ini akan dihitung tebal perkerasan berdasarkan factor keamanan.
Namun dalam perencanaan tugas ini hanya dipakai metode pertama yaitu didasarkan pada
faktor keamanan. Metode ini mempunyai rumus sebagai berikut :
MR90 = Modulus of
Repture beton 90 hari. Working
Stress = Tegangan Kerja
FK = Faktor Keamanan
Untuk menentukan Working Stress dibutuhkan ramalan lalu lintas yang akan datang,
yakni menyangkut jenis pesawat, MTOW-nya dan roda-roda pendaratan yang sepadan.
Dalam tugas ini dianjurkan untuk menggunakan angka keamanan 2 (lihat buku “Merancang,
Merencana Lapangan Terbang” hal 363).
Dalam menentukan perkerasan rigid, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
• Tentukan harga k Subgrade atau bila tersedia subbase, harga k Subbase.
• Hitung lalu lintas pesawat di masa yang akan datang dan pembebanannya sehingga bisa dipilih
angka keamanan yang sesuai.
• Tentukan working stress bagi tiap-tiap jenis pesawat, yaitu membagi Modulus of Rapture beton
umur 90 hari dengan angka keamanan yang telah ditentukan.
• Hitung tebal perkerasan dengan memasukkan harga-harga parameter diatas ke dalam grafik-
grafik (terlampir) yang sesuai dengan tipe roda pendaratan.
• Ulangi langkah-langkah diatas untuk jenis-jenis pesawat yang berbeda.
• Pilih tebal perkerasan untuk kondisi yang paling kritis.
𝑀𝑅28 = 𝑘 × √𝑓′
Nilai MR pada umur beton 90 hari dihitung berdasarkan nilai MR28, yaitu:
Maka:
Keterangan:
Maka
718.541 𝑝𝑠𝑖
𝑊𝑜𝑟𝑘𝑖𝑛𝑔 𝑆𝑡𝑟𝑒𝑠𝑠 = = 359.273 𝑝𝑠𝑖
2.0
3.2.3. Perhitungan Tebal Perkerasan Kaku Sementara
Diketahui data-data yang akan digunakan dalam perhitungan tebal perkerasan sementara
sebagai berikut:
Tabel 3-10. Data Annual Departure dan MTOW Pesawat yang Dilayani
No. Tipe Pesawat Annual MTOW (kg)
Departure (kali)
1 Airbus A-340-300 15000 260000
2 B-737-900ER (BOEING) 6000 85130
3 McD DOUGLAS D9-30 3000 48988
Sumber : (Data Tugas Lapangan Terbang)
Data diatas kemudian diplot / dimasukkan pada kurva perencanaan tebal perkerasan
kaku. Grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari sumbu
tegangan kerja ijin (allowable flexural strength), ditentukan secara horizontal ke kurva
kurva berat lepas landas kotor (MTOW), kemudian diteruskan secara vertikal ke kurva
Sub Grade Modulus (k), dan akhirnya diteruskan secara horizontal ke sumbu tebal
perkerasan sehingga tebal perkerasan kaku didapat. a. Pesawat Tipe Airbus A-340-300
Diketahui data-data sebagai berikut:
• Konfigurasi roda pendaratan = Dual Tandem Wheel Gear (DTWG)
• Maximum Take-Off Weight (MTOW) = 260000 kg
• Tegangan kerja ijin = 359.273 psi
Data-data diatas kemudian diplot ke dalam grafik seperti pada gambar 3-9 di halaman
berikut:
Gambar 3-9. Kurva Perencanaan Perkerasan Kaku Pesawat Airbus A-340-300
Sumber : (Aerodrome Design Manual Part 3, Figure 4-48)
Berdasarkan grafik diatas, maka didapatkan tebal perkerasan sementara untuk pesawat tipe
Airbus A-340-300 setebal 26.2” atau 66.54 cm.
Data-data diatas kemudian diplot ke dalam grafik seperti pada gambar 3-10 di halaman
berikut:
Gambar 3-10. Kurva Perencanaan Perkerasan Kaku Pesawat Boeing B-737-900 ER
Sumber : (Aerodrome Design Manual Part 3, Figure 4-47)
Berdasarkan grafik diatas, maka didapatkan tebal perkerasan sementara untuk pesawat tipe Boeing
B-737-900 ER setebal 20.1” atau 51.05 cm.
Berdasarkan grafik diatas, maka didapatkan tebal perkerasan sementara untuk pesawat tipe McD
DOUGLAS D9-30 setebal 14.3” atau 36.32 cm.
Hasil perhitungan tebal perkerasan sementara untuk masing-masing tipe pesawat ditunjukkan
pada tabel 3-11 di bawah ini.
Tabel 3-11. Hasil Perhitungan Tabel Perkerasan Sementara
No. Tipe Pesawat Jumlah Annual MTOW Tipe Roda Tebal Perkerasan
Pesawat Departure (kg) Pendaratan Sementara
(unit) (kali)
in cm
1 Airbus A-340-300 4 15000 260000 Dual Tandem
Wheel Gear 26.2 66.54
2 B-737-900ER 3 6000 85130 Dual Wheel Gear
(BOEING) 20.1 50.05
3 McD DOUGLAS 2 3000 48988 Dual Wheel Gear
D9-30 14.3 36.32
Sumber : (Analisis Pribadi)
Karena tebal total perkerasan sementara terbesar diberikan oleh pesawat tipe Airbus
A-340-300, yaitu 26.2” atau 66.54 cm, maka tebal tersebut dipakai sebagai tebal
perkerasan kaku rencana. Namun, untuk memudahkan perencanaan, maka tebal
perkerasan kaku dibulatkan menjadi 67 cm.
Untuk gambar sketsa tebal perkerasan kaku dapat dilihat pada gambar 3-13 di halaman
berikutnya.
Gambar 3-13. Sketsa Tebal Lapisan Perkerasan Kaku (no scale)
Keterangan:
As = Luas penampang melintang tulangan setiap panjang atau lebar atau
panjang plat (cm2) L = Panjang atau lebar plat (cm) H = Tebal plat, tebal
perkerasan kaku yang paling kritis (cm) fs = Tegangan tarik baja (kg/cm2)
Diketahui data-data yang digunakan dalam perencanaan penulangan pada perkerasan kaku
(apron) sebagai berikut:
Maka, luas tulangan yang diperlukan adalah:
𝟎. 𝟔𝟒𝑳√𝑳 × 𝑯
𝑨𝒔 =
𝒇𝒔
𝑨𝒔 . 𝟑𝟎 𝒄𝒎𝟐
𝟑𝟐𝟎𝟎
Luas tulangan minimum adalah 0.05% dari luas penampang melintang plat, atau dengan
kata lain:
𝐴𝑠 𝑚𝑖𝑛 = 0.05%𝐻𝐿
𝐴𝑠 ≥ 𝐴𝑠 𝑚𝑖𝑛 18.30
Direncanakan menggunakan tulangan berdiameter ϕ12 mm, dimana luas penampang satu
tulangan berdiameter ϕ12 mm adalah:
𝐴𝑠 18.30 𝑐𝑚2
𝑛=𝐴 ϕ = 1.131 𝑐𝑚2 = 16.18 𝑏𝑢𝑎ℎ
𝐴𝑠 𝑎𝑑𝑎 ≥ 𝐴𝑠
Jadi, tulangan berdiameter ϕ12 mm ini dapat dipasangkan pada perkerasan kaku yang
direncanakan untuk apron dan mampu menahan beban yang ada.
PERENCANAAN JOINT DAN SUSUNANNYA
Sumber: Horonjeff R./McKelvey, F.X. Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara hal.
123
Sumber: Horonjeff R./McKelvey, F.X. Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara hal.
123
b. Construction Joint Arah Melintang
Sambungan melintang diperlukan pada akhir pengecoran setiap harinya atau
apabila pengecoran diperhitungkan akan berhenti selama 1/2 jam atau lebih,
misalnya karena hujan akan turun sehingga operasi pengecoran dihentikan. Untuk
itu di titik pemberhentian ini harus dibuat construction joint melintang. Apabila
Sumber: Horonjeff R./McKelvey, F.X. Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara hal.
123
Sumber: Horonjeff R./McKelvey, F.X. Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara hal.
123
Sumber: Horonjeff R./McKelvey, F.X. Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara hal.
123
4.2. JARAK ANTAR JOINT
Dalam sebuah perencanaan maupun dalam pengerjaaannya, lebih mudah kita membuat
plat beton bujur sangkar daripada empat persegi panjang lainnya bila tidak digunakan
penulangan. Pada plat beton memanjang sempit, ada kecenderungan beton retak akibat
lalu lintas membentuk plat-plat yang lebih kecil hampir bujur sangkar. FAA
memberikan daftar jarak joint maksimum untuk bermacam-macam tebal plat beton,
seperti pada tabel 4-1 dibawah ini:
Karena diketahui tebal plat beton rencana adalah 67.00 cm (26.37”), maka digunakan jarak
joint maksimum baik untuk melintang dan memanjang sebesar 25 ft (7.6 m).
4.3. JARAK SEALANT
Sealant dipakai untuk mencegah menembusnya air dan benda asing ke dalam joint.
Dalam perencanaan ini dipakai joint sealant siap pasang yang sudah diproduksi dari
pabrik. Berikut ini tabel untuk lebar dan dalam joint untuk sealant yang dituangkan:
Terbang, hal. 82 Untuk jarak joint sebesar 25 ft, maka digunakan lebar
joint 3/8” dan dalam joint 1/2”.
4.4. TULANGAN SAMBUNGAN
Penulangan segi arah dikenal ada dua jenis yaitu tulangan sambungan melintang (dowel)
dan sambungan memanjang (tie bar).
4.4.1. Dowel
Besi ini dipasang pada joint, berfungsi sebagai pemindah beban melintas sambungan,
misalnya pada expansion joint melintang, dan construction joint melintang tertentu.
Juga berfungsi mengatasi penurunan vertikal relatif pada plat beton ujung. Ukuran
dowel harus proporsional dengan beban yang harus dilayani oleh perkerasan. Panjang
dan jarak dowel harus sedemikian hingga tegangan yang dilimpahkan kepada beton
tidak menyebabkan keruntuhan plat beton itu.
FAA memberikan daftar ukuran dowel dan jaraknya untuk berbagai tebal plat beton,
seperti pada tabel 4-3 di bawah ini.
Karena diketahui tebal plat beton rencana adalah 67.00 cm (26.37”), maka digunakan
dowel berdiameter 2” (30 mm) dengan panjang 24” (61 cm) dan jarak antar dowel
18” (46 cm).
Tie bar harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: mempunyai ukuran lebih kecil,
letaknya tegak lurus dengan sumbu jalan, dan harus berupa besi ulir.
Tabel 4-4. Lebar Joint dan Lebar Seal (Untuk Sealant Tinggal Pasang)
70 3/4 1 1/2
Sumber: F. Jansen, 2007. Pelengkap Kuliah Lapangan Terbang, hal. 82
Gambar 5-1. Ukuran dan Bentuk Angka, Serta Luas Tiap Angka untuk Nomor Landasan
30 meter dan lebar 1,7 meter serta dengan banyaknya strip 12 buah
Ditempatkan simetris kiri dan kanan dari sumbu landasan dengan panjang 45
meter dan lebar 9 meter serta mempunyai jarak 300 meter dari threshold ke ujung
garis. Jarak antara marka 23 meter dan diberi warna putih
Ditempatkan sepanjang tepi runway dengan lebar 0,3 meter untuk landasan yang
lebarnya lebih dari 30 meter dan diberi warna putih.
Terdiri dari garis menerus dengan lebar 0,15 meter pada perpotongan dengan ujung
runway. garis tersebut berakhir di tepi runway sedangkan perpotongan dengan bagian
lain dari runway, garis sumbu taxiway tersebut diteruskan sampai garis tengah
runway. Garis tersebut diberi warna kuning.
Terdiri dari garis menerus dengan lebar 0,15 meter dipasang pada kedua sisi taxiway dan
diberi warna kuning.
1992
1992
LAYOUT
--- SKALA 1:100
POTONGAN MELINTANG
---
RUNWAY
SKALA 1 : 20
3.5 18 3.5
POTONGAN MELINTANG
---
TAXIWAY
SKALA 1 : 20