Anda di halaman 1dari 151

EKOLOGI MIKROBA

ASTRI RINANTI

Jurusan Teknik Lingkungan


Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan
Universitas Trisakti
PENDAHULUAN

Bila kita melihat komunitas biotik di sekitar kita, kita akan lebih dahulu terkesan oleh tumbuh
dan hewan yang dapat kita lihat dengan mata bugil, yaitu tumbuhan dan hewan makroskopik
(Yunani : macros = besar). Kita lupa akan berjuta-juta jasad-jasad hidup yang sangat kecil yang
tidak kalah penting peranannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mikroba terdapat di segala
macam lingkungan sebagai bagian dari seluruh ekosistem alam. Sebagian dari mikroba itu
adalah produsen, sebagian konsumen pertama, sebagian lagi konsumen kedua dan ketiga, serta
ada pula yang berperan sebagai dekomposer. Kita dapat menemukan mikroba di daerah kutub,
di daerah tropik, dalam air, dalam tanah, dalam debu di udara, pada tumbuhan, tubuh hewan
dan manusia. Ada mikroba yang dapat hidup di stratosfer bila terangkat oleh arus udara. Ada
mikroba yang dapat hidup meskipun tidak ada oksigen, misalnya pada dasar lautan dan danau –
danau yang sangat dalam. Bahkan ada yang hidup dalam sumber air panas dengan temperatur
sedemikian tinggi hingga akan mematikan organisma yang lebih besar. Mikroba memegang
peranan penting sebagai penghubung jaring-jaring makanan dalam ekosistem darat, laut,
danau, sungai dan kolam. Mereka merupakan pengurai utama dari berbagai zat dan senyawa.

Pemisahan penyebaran mikroba dari penyebaran maikroorganisma tidak dapat dibenarkan,


sebab setiap ekosistem alam mengandung kedua-duanya. Tetapi penyebaran makroorganisma
sangat dipengaruhi oleh keadaan geografi, sedangkan penyebaran mikroba tidak. Misalnya,
ikan-ikan dalam kolam di daerah dingin berlainan dengan ikan-ikan yang kita tangkap dalam
kolam di daerah tropik, tetapi mikroba dalam kolam-kolam di kedua daerah tersebut banyak
menunjukkan persamaan. Untuk mudahnya, para ahli ekologi kadang-kadang mempelajari
penyebaran mikroba terpisah dari penyebaran organisma-organisma besar.

Untuk mengetahui pengaruh mikroba di dalam lingkungan kita perlu belajar mikrobiologi
lingkungan. Mikrobiologi lingkungan didasari oleh mikrobiologi dan ekologi. Istilah mikrobiologi
berasal dari kata Yunani “micro” yang berarti renik, “bio” yang berarti hidup dan “logos” yang
berarti ilmu, sehingga mikrobiologi berarti ilmu yang mempelajari mahluk renik. Kata ekologi
berasal dari kata “oikos” yang berarti rumah tangga dan kata “logos”, dengan demikian ekologi
berarti mempelajari lingkungan dan kehidupan, atau hubungan timbal balik antara biotik dan
abiotik. Ekologi pertama didefinisikan dan digunakan oleh seorang ahli biologi dari Jerman,
Ernest Haeckel pada tahun 1866. Ekologi merupakan konsep dasar untuk mempelajari
lingkungan dengan kehidupan mikroba atau hubungan timbal balik antara mikroba dan
lingkungannya. Ilmu yang mempelajari disebut “Microbial Ecology”. Istilah tersebut digunakan

1
secara umum sekitar tahun 1960 dan lebih dikenal dalam 30 tahun terakhir dengan adanya
perhatian terhadap kualitas lingkungan.

Dalam lingkungan, kehidupan dibedakan dalam beberapa tingkatan yang dikenal sebagai sistem
hirarki. Tingkatan terendah dimulai dari sel sebagai satuan terkecil, kemudian berturut-turut
diikuti oleh jaringan, organ, individu, spesies, populasi, komunitas dan ekosistem. Spesies
merupakan kelompok individu sejenis yang mampu berbiak silang dalam kelompok yang sama,
sedangkan populasi merupakan kumpulan berbagai spesies yang menghuni suatu daerah.
Beberapa populasi hidup bersama dalam berbagai daerah membentuk komunitas. Satu
komunitas bersama lingkungan fisik dan kimianya akan membentuk ekosistem.

Pemahaman akan prinsip ekologi sangat penting untuk memahami hubungan antara mikroba
dengan lingkungannya. Mikroba berperan sebagai katalis biologi antara komponen abiotik
dengan organisme hidup lain. Di dalam ekosistem terdapat hubungan timbal balik antara peran
mikroba dengan alga. Energi dari sinar matahari dibutuhkan untuk melangsungkan proses
fotosintesis. Eenergi sinar matahari (energi mekanik) akan diubah menjadi energi kimia, untuk
mengubah bahan anorganik di dalam klorofil alga menjadi bahan organik yang dibutuhkan oleh
mikroba.

Mikroba bekerja dalam proses penguraian bahan organik. Tanpa kerja mikroba, hewan dan
tanaman yang mati akan bertimbun dan memenuhi permukaan bumi, demikian juga bahan
inorganik ensensial seperti nitrogen dan fosfor yang dibutuhkan untuk kehidupan biologi akan
cepat menghilang. Bahan yang tidak terurai dalam lingkungan dapat menyebabkan gangguan
karena bahan yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan pada tanah, air dan udara.
Hilangnya materi esensial dan adanya zat toksik dapat pula menyebabkan gangguan terhadap
lingkungan.

Perubahan dalam lingkungan dapat terjadi karena rangsangan atau hambatan oleh proses
mikroba. Contohnya antara lain adanya pencemaran oleh pupuk amonia pada aliran air ke
tempat penampungan air minum. Amonia tersebut dapat diubah dengan proses oksidasi oleh
bakteri, menjadi senyawa nitrat. Pada konsentrasi tertentu senyawa nitrat akan bersifat toksik,
sehingga mengganggu komunitas, dan dapat menghancurkan atau merusak struktur lingkungan.

Di dalam mikrobiologi lingkungan kita akan mempelajari tentang mikroba tingkat rendah dan
mikroba tingkat tinggi, serta peran mikroba dalam lingkungan air, tanah maupun udara.
Mikroba tidak pernah hidup sebagai individu dalam kelompok individu yang terisolasi. Hidupnya
harus berinteraksi dengan sesamanya, dengan spesies lain, dengan lingkungan fisik maupun
kimia.

2
MENGENAL MIKROBA

Menurut kebanyakan ahli mikrobiologi, dunia mikroba meliputi 5 kelompok organisme yang
berbeda, yaitu virus, bakteri, mikrofungi, alga, dan protozoa. Kebanyakan bersel satu atau
uniselular. Ada yang mempunyai ciri-ciri sel tumbuhan, ada yang mempunyai ciri-ciri sel
binatang, dan ada pula yang mempunyai ciri-ciri keduanya. Secara kolektif, mikroba tersebut
disebut protista.
Ciri utama yang membedakan kelompok mikroba tertentu dari yang lain ialah organisasi
bahan selularnya. Perbedaan ini, menjadi dasar untuk membedakan protista menjadi dua
kelompok besar, yaitu prokariota dan eukariota. Yang termasuk protista prokariotik aedalah
bakteri dan sianobakteri, sedangkan alga, mikrofungi, dan protozoa termasuk protista eukariotik.
Dari segi struktur, sel prokariotik adalah sel hidup yang paling sederhana dan diduga merupakan
bentuk kehidupan yang pertama muncul di muka bumi ini. Secara singkat, perbedaan sel
prokariotik dan eukariotik adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Perbedaan sel prokariotik dan eukariotik
Unit Struktur Prokariot Eukariot

Organisme Bakteri, Blue Green Algae Kebanyakan alga, mikrofungi, protozoa


(sianobakteria)

Membran inti Tidak ada Ada

Jumlah 1 >1
kromosom

Mesosom Ada Tidak ada

Struktur Golgi Tidak ada Ada

Retikulum Tidak ada Ada


Endoplasma

Vakuola Tidak ada Ada


terbatasi
membran

3
Mitokondria Tidak ada Ada

Kloroplas Tidak ada Ada


Gerak
Tidak ada Tidak ada
Amuboid

Bentuk DNA sirkuler sirkuler, linier

Protein Terikat pada histon membentuk


Terikat pada protein like histon
pengikat DNA nukleosom

Sentromer - +

Letak
nukleoid Di dalam nukleus
kromosom

Tidak dibatasi oleh


Kromosom Terlokalisasi dalam inti
membran inti

Organel Sel - +

Organisasi sel sederhana kompleks

Reproduksi
jarang +
seksual

Objek atau kajian dalam biologi yang sangat luas atau beragam itu kini telah dikelompokkan
atau diklasifikasikan oleh para ahli Biologi menjadi 5 Kingdom (Animalia, Plantae, Fungi,
Protista, dan Monera). Selain kelima kingdom tersebut ada satu objek lain yang juga dikaji dalam
Biologi, yaitu Virus. Virus dipisahkan dari kelima kingdom karena tubuh virus tidak tersusun oleh
sel melainkan oleh asam nukleat yang diselubungi protein dan belum merupakan sel. Sedangkan
kelima kingdom tubuhnya sudah berupa sel (bagi organisme uniseluler) ataupun tersusun atas
banyak sel (bagi organisme multiseluler).

Kelima kingdom diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang khas dari masing- masing
organisme-organisme yang menyusunnya. Pengelompokkan ini sesuai dengan sistem klasifikasi
yang dikemukakan oleh Robert H. B. Whittaker pada tahun 1969. Perhatikan Tabel 1 berikut
mengenai Klasifikasi Makhluk Hidup menurut Whittaker.

Cara memperoleh
Kingdom Organisasi Ciri-ciri lain Cakupan
makanan

Prokariotik,
Sel tunggal Menyerap
perkembang- Bakteri dan alga hijau
Monera sederha- na, makanan, beberapa
biakannya biru (blue green algae)
terkadang ada yang
secara asek-
dalam melakukan
sual, motil dan

4
untaian fotosintesis bergerak
dengan flagel

Menyerap Eukariotik,
Sel tunggal
makanan, beberapa perkembang-
kompleks, Protozoa, alga bersel
ada yang biakannya
terkadang tunggal termasuk
Protista melakukan secara seksual
dalam ben- beberapa jenis jamur
fotosintesis atau dan aseksual,
tuk filamen, lendir
menyerap makan- mempunyai
koloni
an flagel dan cilia

Tidak
Kebanyakan mempunyai
multise- luler flagel, memiliki
dan Heterotrof, dengan spora yang ber-
Fungi berbentuk cara menyerap peran daalam Kapang dan jamur
filamen makanan perkem-
dengan sel- bangbiakan
sel kompleks seksual dan
aseksual

Eukariotik,
dengan jaring-
an yang
berkembang
Multiseluler Autotrof , dengan Lumut, paku –pakuan,
baik, terjadi
Plantae dengan sel- cara melakukan tumbuhan berbunga/
pergiliran
sel kompleks fotosintesis berbiji
keturunan,
dinding sel
mengandung
selulosa

Eukariotik
dengan jaringan
Multiseluler Heterotrof, dengan Semua kelompok hewan
yang telah
Animali dengan sel- cara mencerna mulai dari porifera
berkembang
sel kompleks makanan sampai dengan mamalia
baik, umumnya
bergerak aktif.

Tabel 1. Klasifikasi mahluk hidup menurut Robert H. B. Whittaker

Bahkan dalam perkembangan terakhir, dunia makhluk hidup diklasifikasikan menjadi 6 kingdom
(kerajaan) yaitu: Plantae, Animalium, Fungi, Protista, Archaebacteria, dan Eubacteria. Objek-
objek kajian tersebut selanjutnya semakin berkembang seiring dengan kemajuan IPTEK,
sehingga kajian masing-masing objek semakin kompleks atau rumit.

5
Sel merupakan satuan struktural yang fundamental dan fungsional bagi kehidupan. Bagi
mikroorganisme uniselular, sel itu bukan saja merupakan satuan struktural, tetapi adalah
organisme itu sendiri. Oleh karena itu, pada organisme bersel satu, istilah organisme dan sel
adalah sinonim. Sebaliknya, organisme multiselular merupakan sel-sel yang tersusun menjadi
satuan-satuan yang terpadu ke dalam sistem atau berbagai sistem yang bersama-sama
membentuk organisme hidup.
Semua tumbuhan dan hewan tersusun atas banyak sel. Tubuh manusia tersusun oleh
kira-kira 100 milyar sel. Dalam organisme yang tersusun oleh lebih dari satu sel tersebut, setiap
kelompok sel memiliki fungsi yang berbeda-beda. Seiring dengan berkembangnya bioteknologi,
sel organisme seringkali dianalogikan sebagai suatu pabrik kimia. Analogi ini didasarkan pada
fakta bahwa di dalam sel terjadi serangkaian proses kimia yang menyebabkan pertumbuhan,
perkembangan, dan perkembangbiakan seperti halnya pabrik kimia yang dirancang untuk
mengubah bahan mentah menjadi produk-produk tertentu. Dengan demikian, informasi
mengenai aspek fisiologi mikroba tentu dibutuhkan untuk mengeksploitasi aktivitas mikroba
tersebut untuk kepentingan manusia.
Meskipun biomassa bakteri tidak lebih dari sepersejuta gram, namun memiliki potensi
yang sangat mengagumkan. Sel bakteri terdiri atas ribuan tipe zat kimia yang berlainan yang
kebanyakan diantaranya bersifat sangat kompleks. Masing-masing sel menyerap bahan mentah
dari lingkungannya dan melakukan serangkaian reaksi kimia secara berturut-turut sedemikian
rupa hingga terbentuk suatu produk akhir. Serangkaian reaksi kimia yang dilakukan oleh sel
yang menghasilkan energi dan yang menggunakan energi untuk mensintesis komponen-
komponen sel disebut metabolisme. Reaksi kimiawi yang membebaskan energi melalui
perombakan nutrien disebut reaksi disimilasi atau peruraian, jadi merupakan kegiatan katabolik
sel. Sebaliknya, reaksi kimawi yang menggunakan energi untuk mensintesis dan keperluan sel
lainnya disebut reaksi asimilasi atau anabolik. Jadi reaksi disimilasi menghasilkan energi dan
reaksi asimilasi menggunakan energi. Semua reaksi kimia ini satu per satu dikoordinasikan
dengan serasi. Dalam hal ini, enzim sebagai biokatalisator memainkan peran yang penting pada
setiap tahap reaksi.

Baik sepanjang pertumbuhan maupun sepanjang masa istirahat, sel-sel vegetatif


memerlukan penambahan energi secara terus menerus. Energi tersebut tidak hanya untuk
membangun keadaan terorganisasi ini saja namun diperlukan pula untuk mempertahankan
keadaan hidup. Dengan demikian setiap makhluk hidup, tidak terkecuali mikroorganisme akan
melangsungkan metabolisme daiam hidupnya. Metabolisme adalah semua reaksi kimiawi yang
dilakukan oleh sel yang menghasilkan energi dan yang menggunakan energi untuk mensintesis
komponen-komponen sel serta kegiatan-kegiatan seluler seperti pergerakan,

6
Energi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme berasal dari senyawa-senyawa kimia, baik
organik maupun anorganik, dengan atau tanpa bantuan cahaya. Berkaitan dengan hal itu, maka
makalah ini akan membahas mengenai konversi atau perubahan energi yang berlangsung dalam
sel mikroorganisme, baik yang berasal dari bahan-bahan kimia anorganik (litotrof) yang
diperoleh secara anaerobik tanpa bantuan cahaya matahari serta energi yang diperoleh melalui
proses fotosintesis (fototrof) dari bahan-bahan organik (organofototrof) dan anorganik
(litofototrof).

II. KONVERSI ENERGI

2.1 KONVERSI ENERGI SECARA AUTOTROF


Sebagian bakteri yang biasanya bersifat aerobik dapat tumbuh secara anaerobik bila ada
nitrat, nitrit atau dinitrogen, misalnya Spirillum itersonii, sejenis bakteri akuatik yang sangat
bergantung pada oksigen kecuali bila kalium nitrat ditambahkan ke dalam medium. Proses
semacam ini disebut respirasi anaerobik. Karena semua proses perolehan energi secara
anerobik tersebut berlangsung tanpa bantuan sinar matahri maka fenomena ini disebut pula
konversi energi secara autotrof.
Dalam kasus semacam itu, pada hakekatnya nitrat, nitrit dan dinitrogen bertindak
sebagai akseptor hidrogen yang menggantikan oksigen sebagai penerima elektron terakhir
dalam rantai respirasi. Mikroorganisme yang menggunakan donor hidrogen anorganik disebut
kemolitotrof.
Lintasan-lintasan yang dipergunakan untuk disimilasi sumber-sumber karbon dan energi
adalah sama dengan yang dipergunakan dalam respirasi aerobik. Demikian pula angkutan
elektron berlangsung melalui rantai respirasi seperti pada sel-sel aerobik. Oksigen akan
digantikan oleh nitrat sebagai penerima terakhir elektron. Namun demikian pada beberapa
bakteri anaerobik tulen, senyawa-senyawa anorganik lainnya seperti karbondioksida atau ion-ion
seperti sulfat dapat berlaku sebagai penerima elektron terakhir.

2.2 KONVERSI ENERGI SECARA FOTOTROF


Beberapa kelompok bakteri tanah dan air mampu mengolah senyawa-senyawa dan ion-
ion anorganik seperti ion-ion amonium, nitrat, sulfida, tiosulfat, sulfat dan besi (II) , elemen
belerang maupun karbon monoksida sebagai donor hidrogen atau donor elektron. Pada
umumnya energi diperoleh melalui respirasi aerobik, yaitu pernafasan dengan oksigen sebagai
akseptor hidrogen terminal.
Bila kelompok organisme tersebut memperoleh energi dari bahan-bahan organik secara
aerobik dan prosesnya berlangsung dengan bantuan cahaya matahari maka organisme tersebut
disebut kelompok organofototrof, sedangkan bila tanpa bantuan cahaya matahari maka
disebut kelompok organotrof.

7
III. KONVERSI ENERGI DALAM SEL
3.1 KONVERSI ENERGI DALAM SEL SECARA LITOTROF
Bertitik tolak pada evolusi biokimia, telah diketahui bahwa mula-mula metabolisms
berlangsung anaerob. Dalam metabolisme tersebut, konversi energi dalam sel berlangsung
secara litotrof karena pada peristiwa itu, yang berfungsi sebagai akseptor hidrogen adalah
bahan-bahan anorganik seperti nitrat, sulfat, sulfur dan karbonat.
Bahan-bahan tersebut dapat direduksi oleh hidrogen substrat dan srebaliknya bakteri
dapat mengoksidasi substrat tersebut tanpa memerlukan molekul oksigen, seperti yang terjadi
pada proses fermentasi.
Bakteri yang tergolong dalam kelompok ini memiliki sistem transport elektron yang pada
umumnya mengandung sitokrom. Pada dasarnya, perolehan energi dengan cara fosforilasi
transport elektron dengan bahan-bahan anorganik tersebut di atas sebagai akseptor hidrogen
terminal adalah serupa dengan respirasi dengan oksigen sebagai akseptor hidrogen terminal.
Karena peristiwa ini berlangsung pada kondisi anaerob, maka disebut juga respirasi anaerob,
dan dapat dibedakan lagi menjadi respirasi nitrat, respirasi sulfat, respirasi sulfur, dan
respirasi karbonat, seperti tersaji pada Gambar 3.1.

3.1.1 Repirasi Nitrat


Nitrat dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk dua tujuan, yaitu:
a) Sebagai sumber nitrogen pada proses reduksi nitrat secara asimilasi untuk mensintesis
komponen-komponen sel yang mengandung nitrogen. Proses ini berlangsung pada kondisi
aerob dan anerob.
b) Sebagai akseptor hidrogen terminal pada proses reduksi nitrat secara disimilasi atau respirasi
nitrat. Proses ini berlangsung secara anerob maupun anaerob fakultatif.
Pada kedua peristiwa tersebut di atas, mula-mula nitrat akan direduksi menjadi nitrit
oleh enzim yang mengandung molibden, yaitu nitrat reduktase.

8
Gambar 3.1. Proses perolehan energi dari fosforilasi transport elektron pada kondisi aerob
(respirasi anerob) dan anerob (respirasi aerob)

Pada asimilasi nitrat, nitrat akan direduksi melalui nitrit menjadi amonium. Amonium
ini berguna untuk mensintesis asam-asam amino dan komponen-komponen lain dalam sel yang
mengandung nitrogen. Langkah pertama akan dikatalisis oleh nitrat reduktase B. Enzim ini
terdapat dalam sitoplasma dan memerlukan induksi kalau dalam media tumbuh hanya terdapat
nitrat sebagai satu-satunya sumber nitogen.
Selanjutnya nitrit akan direduksi menjadi amonium dengan dikatalisis oleh enzim nitrit
reduktase. Proses ini memerlukan elektron. Elektron-elektron tersebut disedi-akan melalui
NADPH2 oleh fungi dan bakteri atau melalui ferredoksin oleh tumbuh-tumbuhan dan bakteri.
Enzim nitrit reduktase ini sangat kompleks dan mengandung pusat hem-besi (sirohem) dan
pusat belerang besi. Reaksi yang dikatalisis oleh nitrit reduktase mirip dengan pengubahan-
pengubahan yang dikatalisis oleh nitrogenase dan oleh sulfit reduktase asalkan reduksi substrat
tersebut mengalami pengalihan 6 elektron tanpa pembebasan produk antara sebagai berikut:
Pembentukan amonium dari nitrat merupakan proses reduksi yang
menggunakan daya reduksi besar sebagai berikut:
8[H] + H+ + NO3- NH4+ + OH- + 2H2O

9
Oleh karena itu, jika dibandingkan pertumbuhan sel pada kondisi aerob yang menggunakan
nitrat dengan yang menggunakan amonium sebagai sumber nitrogen, maka untuk reduksi nitrat
ini diperlukan tambahan daya reduksi sehingga memerlukan substrat yang lebih banyak sebagai
donor hidrogen untuk dapat menghasilkan jumlah sel yang sama dengan jika digunakan
amonium sebagai sumber nitrogen.
Reaksi disimilasi atau respirasi nitrat secara aerobik maupun anaerobik fakultatif ton
diuraikan sebagai berikut:
a) Respirasi nitrat secara aerob
Beberapa bakteri aerob memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat melalui nitrit
menjadi gas nitrogen dioksida (N20) dan gas Nitrogen (N2), seperti tampak pada Gambar 3.2.
Reduksi nitrat tersebut dilakukan untuk memperoleh energi dengan menggunakan nitrat
sebagai akseptor hidrogen terminal. Proses ini secara umum disebut sebagai denitrifikasi,
dan bakteri yang mampu melakukannya disebut bakteri pendenitrifikasi. Proses denitrifikasi
ini hingga kini hanya dapat ditemukan pada bakteri aerob saja, dan tidak dapat dilakukan oleh
bakteri anaerob obligat.

Gambar 3.2. Respirasi nitrat: reduksi nitrat menjadi gas N2 melalui nitrit (proses dinitrifikasi)

b) Espirasi nitrat secara anaerobik fakultatif


Pada beberapa bakteri anaerob fakultatif seperti Enterobacter dan Escherichia coli, trat
dapat berfungsi sebagai akseptor hidrogen terminal untuk proses transpor yang lenghasilkan
energi. Jenis respirasi nitrat semacam ini berbeda dengan denitrifikasi arena karena poses
perlangsung hanya pada tahap pertama saja, yaitu reduksi nitrat nenjadi nitrit oleh enzim
nitrat reduktase A, dan tidak terbentuk gas N2 seperti lalnva pada proses denitrifikasi (Gambar
3.3).

Gambar 3.3. Respirasi nitrat: reduksi nitrat menjadi nitrit

10
Pada reaksi ini, nitrit akan tertimbun dalam media tumbuh untuk selanjutnya akan
direduksi menjadi amonium melalui alur asimilatorik reduksi nitrit, dan seterusnya akan diekresi.
Peristiwa ini disebut juga amonifikasi nitrat.
Reduksi nitrit menjadi amonium tidak memungkinkan perolehan energi. Yang terjadi
lebih merupakan proses peragian, dengan nitrit berfungsi sebagai akseptor elektron eksogen.
Banyak organisme yang memperoleh keuntungan dari reduksi nitrit ini, karena pada waktu
meragikan glukosa sebagian dari ekuivalen reduksinya diinkorporasi ke dalam reduksi nitrit.
Dengan demikian dapat membebaskan asetat lebih banyak.

3.1.2 Respirasi Sulfat


Kelompok bakteri preduksi sulfat, atau disebut juga disulfurikan atau bakteri
sulfidogen adalah bakteri yang pada kondisi anaerobik obligat dapat menggunakan sulfat
sebagai akseptor elektron terminal, dan mereduksi sulfat tersebut menjadi sulfida dengan
menggunakan asam-asam. organik, asam lemak, alkol dan H2 sebagai donor elektron. Proses ini
memungkinkan terjadinya tranpor elektron dimana sitokrom c mengambil bagian pada proses
ini. Dengan demikian energi diperoleh secara fosforilasi transport elektron.
Karena reduksi sulfat ini mirip dengan respirasi yang menggunakan oksigen sebagai
akseptor hidrogen, maka reduksi sulfat disebut juga respirasi sulfat atau reduksi sulfat
disimilatorik. Produk utama respirasi sulfat ini adalah hidrogen sulfida, seperti tersaji pada
Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Respirasi Sulfat: Reduksi sulfat menjadi Hidrogen Sulfida

Hampir semua bakteri, fungi dan tumbuh-tumbuhan hijau mampu tumbuh dengan sulfat
sebagai sumber belerang. Organisme ini memperoleh sulfida yang diperlukan untuk mensintesis
asam-asam amino yang mengandung belerang dengan cara reduksi sulfat secara asimilasi.
Langkah pertama pada proses reduksi sulfat disimilatorik serupa dengan reduksi sulfat
asimilatorik. Pada reduksi sulfat disimilatorik, sulfat yang diaktivasi langsung direduksi,
sedangkan reduksi sulfat asimiiatorik, reduksi sulfat baru terjadi pada langkah aktivasi kedua.
Secara ringkas proses respirasi sulfat yang terjadi melalui reduksi sulfat secara
asimilatorik maupun disimilatorik, disajikan pada Gambar 3.5. Pada bagan tersebut tampak
bahwa di dalam sel reduksi sulfat dimulai dengan aktivasi sulfat yang membu-tuhkan energi dari

11
ATP. Kemudian, oleh ATP sutfurilase atau sulfat adenililtrans-ferase sisa difosafta dari ATP
ditukar dengan sulfat, sebagai berikut:
ATP + SO42- adenosin 5-fosfosulfat + PPi
Selanjutnya, difosfat akan dipecah oleh difosfatase sehingga menghasilkan adenosisn 5-
fosfosulfat (APS) sebagai produk akhir dari aktivasi ini. Langkah-langkah selanjutnya dapat
berbeda-beda.
Untuk reduksi sulfat secara asimilatorik, APS difosforilasi oleh APS kinase dan ATP
menjadi fosfoadenosin fosfosulfat (PAPS). Setelah itu sulfat yang telah diaktivasi secara rangkap
ini akan direduksi menjadi sulfida, melalui pembentukan sulfit terlebih dahulu.
Pada reduksi sulfat secara disimilatorik, APS akan direduksi oleh APS reduktase menjadi
sulfit, dengan terlebih dahulu membentuk AMP. Reduksi sulfit ini menjadi sulfida pada berbagai
bakteri dapat dilakukan melalui jalur yang berbeda-beda. Pada Gambar 3.6 tampak ada dua jalur
(A dan B) yang berbeda untuk pembentukan sulfida dari reduksi sulfat disimilatorik. Pada jalur
(A), sulfit langsung direduksi dengan bantuan sulfit reduktase menjadi sulfida dalam 6 langkah
elektron, sedangkan jalur (B) sulfit direduksi dalam tiga langkah yang terjadi secara berurutan,
sehingga menghasilkan tiga produk intermediar bebas (tritionat dan tiosulfat). Elektron-elektron
untuk reduksi sulfit ini disediakan melalui sitokrom b atau c.
Fosforilasi transport elektron yang terjadi pada bakteri-bakteri pereduksi sulfat dapat
ditunjukkan oleh adanya sitokrom dan protein-protein belerang- besi di dalam dan pada
membran sitoplasma sehingga dapat diperoleh energi dalam jumlah besar. Dibadingkan dengan
sitokrom lain, sitokrom c mempunyai potensial redoks yang sangat besar (E0 = -205 mV) dan
terdapat pada sisi luar membran atau di dalam periplasma.

Gambar 3.5. Respirasi sulfat: bagan reduksi sulfat disimilatorik dan asimilatorik

Keterangan: APS = adenosisn -5-fosfosulfat; PAPS = fosfoadenosin-5-fosfosulfat; PAP =


fosfoadenosisn-5-fosfat. Enzim-enzim yang berperan: (1) APS-reduktase; (2) PAPS-reduktase;
(3) sulfit reduktase/bisulfit reduktase

3.1.3 Respirasi Sulfur

12
Telah diketemukan bahwa beberapa bakteri mampu tumbuh dengan memanfaatkan
elemen belerang sebagai akseptor hidrogen untuk melakukan transpor elektron secara anaerob
obligat maupun fakultatif. Pada proses ini belerang akan freduksi menjadi H2S. Peristiwa ini
dapat disebut sebagai respirasi belerang.
Bakteri yang dapat mereduksi elemen sulfur menjadi sulfida ini ternyata diketahui
tidak dapat mereduksi sulfat meniadi sulfida. Berikut ini adalah beberapa ciri telompok bakteri
pereduksi sulfur:
Dapat menggunakan nitrat sebagai akseptor elektron, sehingga dapat mereduksi NO3 menjadi
NH3
Dapat tumbuh secara organotrof melalui jalur fermentasi, misalnya dengan menggunakan pirufat
yang dengan reaksi fosforoklastik dapat diubah menjadi asetat, CO2 dan H2.
Bakteri Desulfosarcina, Desulfonema, Desulfococcus, Desulfobacterium dan
Desulfotomaculum dapat tumbuh secara litotrof dengan H2 sebagai donor elektron, sulfat
sebagai akseptor elektron dan CO2 sebagai sumber karbon. Bakteri Desulfovibrio dan
Desulfobacterdapat memfiksasi Ni
Tidak seperti spesies Desulfovibrio lainnya yang hanya mampu mereduksi sulfat dan
sulfit, bakteri Desulfuromonas acetoxidans mampu mereduksi belerang dan melakukan endo-
oksidasi substrat organik seperti asetat dan etanol karena mengandung sitokrom c7 dengan
potensial redoks yang rendah dan 4Fe-4S- protein.
Selain itu bakteri ini dapat hidup dalam asosiasi slntrof dengan bakteri-bakteri
belerang hijau fototrof, yang dengan bantuan cahaya dapat mengoksidasi H2S menjadi belerang
dan memfiksasi CO2 (Gambar 3.6). H2S akan berdifusi ke luar (ke sekelilingnya) dan berfungsi
sebagai donor hidrogen bagi sel-sel Chlorobium. Belerang yang diekskresi akan berdifusi
(mungkin dalam bentuk polisulfida) ke bagian tengah koloni. Belerang tersebut berfungsi
sebagai akseptor hidrogen dan akan direduksi kembali.

13
Gambar 3.6. Asosiasi sintrof antara bakteri pereduksi belerang (Desulfuromonas acetoxidans)
dengan bakteri belerang hijau fototrof (Chiorobiaceae)

3.1.4 Respirasi Karbonat


Bakteri-bakteri pembentuk metana atau bakteri metanogen yang telah diklasifikasikan
secara taksonomi diketahui berbentuk batang (Methanobacterium), bulat (Methanococcus),
sarcina (Methanosarcina) dan berbentuk spiral (Methanospirillum). Bakteri-bakteri tersebut
berbeda dibandingkan bakteri-bakteri lainnya dalam hal metabolisme dan komponen-komponen
selnya.
Bakteri metanogen tidak memiliki kerangka peptidoglikan yang khas. Methanococcus
hanya mempunyai selubung protein sedangkan Methanospirillum hanya memiliki sarung
polipeptida. Methanosarcina barkeri memiliki dinding sel yang tersusun oleh polisakarida yang
berasal dari asam-asam uronat, gula-gula netral dan gula-gula amino. Selain itu pertumbuhan
bakteri metanogen tidak terhambat oleh hadirnya penisilin.
Membran sitoplasmanya mengandung lemak, yang terdiri dari etergliserin dari
hidrokarbon isopranoid. Ribosomnya memiliki ukuran yang sangat mirip dengan ribosom
eubakteria (70s ribososm); tetapi berbeda dalam hal urutan basanya.
Bakteri-bakteri pembentuk metana selalu berada dalam sosialisasi yang sangat erat
dengan bakteri-bakteri penghasil hidrogen karena dalam kondisi mikro, hampir tidak dapat
dijumpai hidrogen bebas dalam bentuk gas. Hidrogen yang dapat dimanfaatkan oleh pembentuk
metana adalah hidrogen yang diekskresi dan terlarut dalam medium.
Telah diketahui bahwa tekanan parsial hidrogen yang tinggi akan menghambat
metabolisme dan pertumbuhan sejumlah bakteri penghasil hidrogen. Ini berarti bahwa tidak

14
hanya bakteri metanogen saja yang tergantung dari penghasil H2, tetapi sebaliknya penghasil H2
tergantung dari mitra pembentuk metana yang menggunakan hidrogen. Jadi asosiasi yang
terjadi bersifat simbiosis mutualistik.
Bakteri-bakteri metana mampu mengaktivasi hidrogen dan menghubungkan oksidasi
hidrogen dengan reduksi CO2. Karena bahan-sel dapat dibentuk dari CO2 sebagai satu-satunya
sumber karbon, maka cara hidupnya dapat disebut sebagai kemoototrof. Untuk memperoleh
energi, CO2 diolah sebagai akseptor sehingga metana dapat diproduksi. Atas dasar itulah, dapat
dibenarkan untuk menyebut pembentukan metana sebagai respirasi karbonat.
Beberapa bakteri pembentuk metana diketahui juga mampu mengubah
karbonmonoksida menjadi metana, dengan terlebih dahulu dihasilkan karbondioksida dan gas
hidrogen sebagai produk antara, sebagai berikut:
4 CO + 4 H2O 4 CO2 + 4 H2
CO2 + 4 H2 CH4 + 2 H2O
4 CO + 2 H2O CH4 + 3 CO2

Biokimia pembentukan metana dan perolehan energi berlangsung sebagai berikut:


Pada transformasi biokimia dari H2 dan CO2 menjadi metana atau dari asetat menjadi
metana dan CO2, beberapa koenzim dan gugus-gugus prostetik ikut berperan. Koenzim dan
gugus prostetik yang hanya ditemukan pada bakteri metanogen itu misalnya derivat
deazariboflavin F420, metanopterin, metanofuran, faktor tetrapirol-nikel F430 dan koenzim
M(merkaptoetanasulfonat). Struktur-struktur dasarnya tampak pada Gambar 3.7. Alur yang
mungkin ditempuh pada pembentukan metana dari asetat dari dari C02 disajikan sebagai
berikut:

Gambar 3.7. Koenzim dan gugus-gugus prostetik bakteri-bakteri metanogen

15
Keterangan: a) koenzim M; b) metil-koenzim M; c) F420 derivat dengan azariboflavin; d)
metanopterin; e) metanofuran; 0 faktor F430 sesudah diisolasi dari metilkoenzim M-
metil reduktase. Gugus reaktif senyawa d) dan f) tidak diberi tanda; Rc-e adalah
rantai samping yang berbeda-beda dan terdiri dari beberapa komponen

Enzim-enzim yang berperan pada masing-masing tahap reaksi belum banyak diketahui,
demikian pula mengenai regenerasi ATP. Secara termodinamika, hanya tahap terakhir dari
pembentukan metana yang diketahui memberikan kemungkinan bagi terbentuknya regenerasi
ATP. Percobaan pada Methanosarcina barken yang dapat membentuk metana dari metanol dan
H2 telah memberikan hasil yang cukup jelas. Pembubuhan kedua substrat pada suspensi bakteri
dapat mengakibatkan ekstrusi proton, pembentukan ATP dan produksi metana. Metanol secara
langsung dapat diubah menjadi metil koenzim M oleh Metiltransferase, dan pada saat itulah
metana dibebaskan.
Enzim pereduksi metil-koenzim seperti M-metilreduktase merupakan kompleks
multienzim yang mengandung antara lain protein-protein F420, F430 dan hidrogenase. Reaksi
yang dikatalisis oleh enzim ini hanya mungkin berlangsung dengan cara ekstrusi proton ke luar
sel sehingga potensial proton memacu regenerasi ATP. Secara umum beberapa hasil percobaan
mengenai hal tersebut menunjukkan bahwa bakter-bakteri metanogen mampu meregenrasi ATP
tidak hanya melalui fosforilasi substrat, tetapi juga melalui fosforilasi transport elektron pada
kondisi anaerob (respirasi anaerob).

3.1.5 Fiksasi Nitrogen


Untuk melakukan fiksasi nitrogen diperlukan adanya daya reduksi dan energi (Gambar
3.7a). Baik daya reduksi maupun energi tersebut keduanya dapat dihasilkan ketika berlangsung
proses fotosintesis, peragian atau respirasi. Proses fiksasi nitrogen ini merupakan proses reduktif
yang menghasilkan amonium sebagai produk akhir.
Proses reduksi ini dapat berlansung karena adanya kompleks enzim nitrogenase.
Nitrogenase tersebut terdiri dari dua sub bagian, yaitu protein belerang molibden dan protein
be\erang besi. Kompteks enzim ini maupun proses fiksasi nitrogen itu sendiri sangat peka
terhadap oksigen. Oleh karena itulan dalam jaringan bintil akar maupun dalam bakteri
pemfiksasi N2 yang hidup bebas terdapat mekanisme khusus yang dapat melindungi nitrogenase
dari tekanan parsial oksigen yang tinggi.

16
Gambar 3.7a. Bagan umum fiksasi nitrogen

Sistem nitrogenase tidak hanya mereduksi nitrogen molekul (N = N), tetapi juga dapat
mereduksi asetilena, azoda, N2O, sianida nitrit, isonitril dan proton.
Pada umumnya, di samping memiliki sistem ensim nitrogenase bakteri pemfiksasi N2
juga memiliki hidrogenase yang dapat mengaktifkan H2. Hidrogenase ini berfungsi untuk
membuat hidrogen yang timbul dari fiksasi N2 agar dapat kembali bermanfaat.
Pada beberapa bakteri, nitrogenase hanya dapat dibentuk pada kondisi dimana enzim ini
diperlukan atau jika pada keadaan tidak ada sumber nitrogen terikat yang dapat diolah. Di lain
pihak, ion amonium dapat menghambat nitrogenase.
Pada proses pengaturan pembentukan nitrogenase ini, enzim glutamin sintetase dan
glutamat sintetase memegang peranan penting, karena enzim ini berfungsi untuk penyisipan ion
amonium ke dalam senyawa organik, jika ion amonium tersebut hanya tersedia dalam kadar
rendah.
Sistem ini mempunyai afinitas tinggi untuk ion amonium serta dapat mempertahankan
akan kadar ion amonium dalam sel tetap rendah. Peningkatan kadar ion amonium di luar dan di
dalam sel akan menghambat proses pembentukan glutamin sintetase, yang pada akhirnya juga
akan menghambat sintesis nitrogenase.

17
3.2 PRODUKSI ENERGI MELALUI FOTOSINTESIS
Tumbuhan hijau, algae dan sianobakteri merupakan organisme fotoautotrofik karena
dapat menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi satu-satunya dan karbondioksida
sebagai sumber karbon satu-satunya. Supaya karbondioksida dapat berguna bagi metabolisme
maka karbondioksida harus direduksi menjadi karbohidrat fengan bantuan cahaya matahari.
Fenomena pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia ini secara umum disebut
fotosintesis.
Fotosintesis yang dikatalisis oleh klorofil dapat dibagi menjadi dua tahap yang terurutan
yaitu tahap terang dan tahap gelap. Pada tahap terang, terjadi penangkapan kuanta cahaya
dan energinya digunakan untuk memisahkan air menjadi oksigen dan hidrogen, yang kemudian
diikat oleh pembawa (misalnya NADP) atau secara singkat pada tahap ini energi cahaya diubah
menjadi energi kimia. Pada tahap gelap terjadi reduksi karbondioksida menggunakan hidrogen
yang dihasilkan dalam tahap terang menjadi senyawa organik atau energi kimia digunakan untuk
mereduksi CO2 menjadi senyawa organik.

3.2.1 Fotosintesis Oksigenik


Agar suatu proses fotosintesis dapat berlangsung sempurna rnaka mutlak diperlukan (1)
sejumlah besar energi dalam bentuk ATP dan (2) sejumlah besar reduktan kimiawi, dalam hal ini
air. Electron untuk. mereduksi NADP+ diperoleh dengan cara memecah H2O menjadi O2. Karena
dihasilkan sejumlah oksigen inilah maka fenomena ini disebut fotosintesis oksigenik dan
berlangsung dalam organel sitoplasma yang kaya akan klorofil a. Reaksi keseluruhannya dapat
ditulis sebagai berikut:
2 H2O + CO2 (CH2O)X + O2 + H2O
Dalam hal ini (CH2O)X adalah rumus umum bagi semua karbohidrat.
Proses fotosintesis oksigenik berlangsung dalam tilakoid. Tilakoid adalah vesikel
membran yang pipih dan tertutup di semua sisi. Proses elementer primer setiap fotosintesis
adalah fotoreaksi. Reaksi-reaksi redoks fotokimia ini berlangsung dalam pusat reaksi fotokimia.
Pusat kimia ini terdiri dari beberapa komponen, diantaranya yang terpenting adalah
donor elektron, sebuah kompleks protein klorofil khusus dan akseptor elektron primer. Kedua
bahan tersebut merupakan sistem redoks. Sistem donornya (P/P+) selalu mempunyai potensia!
positif dan sistem akseptornya berpotensial negatif (X/X"). 'Pembangkitan energinya
mengakibatkan pemindahan elektron sebagai berikut :
Donorred + Akseptoroks Donoroks + Akseptor red

Pada fotosintesis oksigen, dua sistem pigmen terpasang secara berurutan (Gambar 3.8).
Sistem pigmen yang dapat dirancang oleh cahaya bergelombang panjang (X < 730 nm) disebut

18
sebagai sistem I, dan sistem pigemn yang terangsang oleh cahaya bergelombang pendek (A. <
700 nm) disebut sistem II.
Pusat reaksi yang aktif secara fotokimia dari sistem I, mengandung Chl aI (=P 700)
yang berfungsi sebagai donor elektron primer dari fotoreaksi ke-1. Oleh karena energi cahaya
masuk dan diserap oleh pigmen antena dari sistem I dan energinya dihantarkan ke pusat
reaksi, maka Chl aI dapat diransang, Perangsangan ini menyebabkan oksidasi Chl aI dan terjadi
emisi satu elektron. Pada reaksi ini Chl aI diubah menjadi Chl aI+. Dengan kata lain, terjadi
kekosongan elektron atau cacat elektron ketika terjadi emisi elektron di dalam pusat reaksi.
Kekosongan elektron ini seketika diisi kembali oleh satu elektron, yang dihantarkan melalui alur
transport elektron.
Akseptor elektron yang diemisikan oleh Chl aI umumnya merupakan suatu protein
belerang besi (X). Protein ini mempunyai potensial redoks yang lebih negatif dari -420 mV, dan
mungkin -530 mV. Akseptor ini memberikan elektronnya kepada ferredoksin, selanjutnya dari
feredoksin, daya reduksi selanjutnya dismapaikan kepada NADP atau akseptor-akseptor lain.
Sebagai alternatif, melalui plastokhinon, sitokrom dan plastosianin, oleh protein X elektron
tersebut dalam aliran elektron siklik dikembalikan ke pusat reaksi klorofil aI+. Dengan demikian
kekosongan elektron dapat diisi.
Pusat reaksi dari sistem II mengandung Chl aII (= P 680). Zat ini merupakan donor
elektron primer dari fotoreaksi ke-2 dan dapat dirangsang oleh energi yang diserap oleh pigmen-
pigmen antena dari sistem II. Perangsangan dari Chl aII ini menyebabkan emisi satu elektron.
Elektron ini kemudian diterima oleh molekul plastokhinon khusus (X 320) yang tereduksi menjadi
semikhinon. Donor elektron untuk sistem II adalah air. Kekosongan elektron pada Chl aII+ ini
diisi oleh salah satu elektron, yang dilepaskan dari H2O dengan membentuk O2.
Kedua sistem pigemn ini saling berhubungan oleh rantai transport elektron dan bekerja
sama secar berurutan. Mata rantai pengikat yang sesungguhnya dalam rantai ini adalah
plastokhinon. Seperti ubikhinon dalam rantai respirasi, maka plastokhinon terdapat dalam
jumlah sangat berlebihan dalam rantai transport elektron dan berfungsi sebagai cadangan
elektron.

19
Gambar 3.8. Bagan zigzag transport elektron fotosintetik dalam diagram potensial redoks
Keterangan: P 700 = Chl aI, donor elektron dari sistem pig men (PS) I; P 680 = Chl aII, donor
elektron dari sistem pigmen II; X 320 = akseptro elektron dari PS II; X = akseptor elektron dari
PS I, protein belerang besi; Fd = ferrodoksin; PC = plastosianin; Cyt = sitokrom.

3.2.2 Fotosintesis Anoksigenik


Tidak seperti tumbuhan hijau, algae dan sianobakteri maka bakteri fotoautotrofik
yang tergabung dalam ordo Rhodospirillales juga mampu melakukan fotosintesis namun bakteri
tersebut tidak menggunakan air sebagai reduktan kimiawinya dan juga tidak menghasilkan
oksigen sebagai salah satu produk akhir fotosintesisnya. Oleh karena itu proses fotosintesis yang
dilakukan disebut fotosintesis anoksigenik. Persamaan umum bagi fotosintesis bakteri
fotoautotrofik adalah sebagai berikut:
2 H2A + CO2 (CO2O)x + 2 A + H2O
Dalam hal ini H2A menyatakan reduktan kimiawi, seperti senyawa anorganik H2, H2S
atau H2S2O3 atau senyawa organik laktat atau suksinat. Bila H2A dalam persamaan ini adalah
H2S maka A adalah S. Kedua persamaan tersebut di atas menyatakan hasil keseluruhan
fotosinteis.
Bakteri fotoautotrof ordo rhodospirillales yang melakukan fotosintesis anoksigenik
terbagi dalam dua (2) kelompok besar yaitu bakteri lembayung (Rhodospirillineae) dan bakteri
hijau (Chlorobineae). Kedua ordo ini berbeda dalam hal sifat fisiologi, sitologis dan pigmen-
pigmennya.

a. Rhodospirillineae

20
Semua anggota kelompok bakteri lembayung memiliki persamaan, bahwa seluruh alat
fotosintesisnya (seperti pemetik cahaya atau sistem antena dan pusat reaksinya) ditempatkan
pada membran intrasitoplasma (tilakoid) yang berasal dari penonjolan ke dalam dari membran
sitoplasma, seperti terlihat pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9. Pigmen fotosintesis bakteri lembayung fototrof terikat pada membran sitoplasma
(sumber: Kran dan Eimhjellen dalam Schlegel, 1994)
Keterangan
(a) Thiocapsa pfennig!!mengandung membran fotosintetik tubular
(b) Ectothiorhodospira molibis membrannya terlipat-lipat beberapa kali dan terdapat sebagai
tumpukan lamel
(c) Chr = khromatofor, LS = tumpukan lamel, PS = butir-butir polisakharida; S = tetesan
belerang, T = membran fotosintetik tubular, Zw = dinding sel

Morfologi struktur tilakoid dapat berbeda pada berbagai jenis dari orde ini, yaitu
berbentuk vesikula, tabung atau lamela-lamela, yang tersusun konsentrik atau silindrik dan
dapat mengisi seluruh lumen sel, seperti pada Gambar 3.10.

21
Gambar 3.10. Ectothiorhodospira mobilis dengan tumpukan lamel fotosintetik
Keterangan:
Potret mikroskopik elektron (150.000 kali) dari irisan ultramikrotom Cm = membran sitoplasma,
LS = tumpukan lamer, R = ribosom, Zwa = lapisan luar dinding sel, Zwi = lapisan dalam dinding
sel, Z1 dan Z2 = lapisan-lapisan sel luar dan dalam yang transparan untuk elektron
(Sumber: Remsen dkk dalam Schlegel, 1994)

Selain itu persamaan lain adalah semua anggota kelompok ini mampu memifiksasi
karbondioksida melalui siklus ribulosa bifosfat dan memanfaatkan senyawa-senyawa organik
sebagai donor hidrogen dan atau sebagai sumber karbon.
Dalam Rhodospirillioneae ini dapat dibedakan lagi menjadi dua kelompok berdasarkan
kemampuannya untuk dapat atau tidak dapat menggunakan belerang sebagau unsur donor
elektron, yaitu bakteri lembayung belerang atau disebut Chromatiaceae (dulu
Thiorhodaceae) dan bakteri lembayung bebas belerang atau disebut Rhodospirillaceae
(dulu Athiorhodaceae), seperti tersaji pada Gambar 3.11.

22
Gambar 3.11. Beberapa bakteri lembayung belerang (Chromatiaceae) dan bakteri lembayung
bebas belerang (Rhodospirillaceae)

Telah disebutkan bahwa pada bakteri lembayung ini, pigmen dan komponen dari
transport elektron terletak dalam membran. Kompleks pigmen dari pusat reaksi fotokimia dapat
dipisahkan dari pigmen antena.
Fotoreaksi bakteri lembayung berlangsung sebagai berikut: Energi yang terserap oleh
pigmen antena yaitu bakterioklorofil dan karotenoid akan dihantarkan ke pusat-pusat reaksi.
Pusat-pusat reaksi terdiri dari kompleks protein yang mengandung Bchl a, bakteriofaeolitin,
karoteonoid, ubikhinon dan protein Fe-S.
Sesuai dengan panjang gelombang dengan penurunan resapan maksimum pada
penyinaran maka pigmen pusat reaksi ini disebut P 870. Pada penyinaran P 870 teroksidasi
menjadi P 870+. Potensial redoks dari donor-donor elektron ini terletak pada + 450 sampai 490

23
mV. Kompleks ubikhinon protein FeS akan bertindak sebagai akseptor elektron. Kompleks ini
hanya berpotensial kurang lebih –100 mV. Dengan demikian elektron-elektron yang dikumpulkan
oleh reaksi cahaya dari bakteri lembayung tidak dapat melakukan reduksi NAD. Seringkali
elektron-elektron tersebut dihantarkan kembali oleh P 870+ melalui ubikhinon, sitokrom b dan
c. Dengan demikian elektron yang diperlukan untuk reduksi NAD akan meninggalkan arus
elektron siklik. Untuk pengisisan isklus dengan elektron ini, maka bakteri lembayung belerang
memerlukan donor elektron dari luar, yaitu H2S, belerang atau tiosulfat atau senyawa-senyawa
organik (malat, suksinat, dll) dan hidrogen untuk kedua kelompok bakteri lembayung. Secara
ringkas bagan transport elektron fotosintetik tersebut di atas disajikan pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Bagan transport elektron fotosintetik dari Rhodospillaceae dan Chlorobiaceae
dalam bentuk diagram potensial

b. Chlorobineae
Kelompok Chlorobiineae mempunyai ciri khusus yaitu memiliki organel-organel
penyandang pigmen yang langsung menempel pada membran sitoplasma, yang disebut
klorosom (dahulu disebut vesikel Chlorobium). Di dalamnya terkandung bakterioklorofil
(Bchl a, c, d, atau e), yaitu pigmen antena, yang khas bagi kelompok bakteri ini. Chlorobiineae
sangat berbeda dengan Rhodospirillineae karena tidak memiliki enzim ribulosa bifosfat
karboksilase. Dengan demikian bakteri ini tidak dapat memfiksasi karbondioksida melalui siklus
ribulosa bifosfat. Beberapa anggota kelompok Chlorobiineae dapat dilihat pada Gambar 3.13.

24
Gambar 3.13. Beberapa bakteri fototrof hijau (Chlorobiineae)

Fotoreaksi bakteri hijau ini belum dapat dijelaskan secara sempurna. Diperkirakan akseptor

primer berasal dari reaksi cahaya berpotensial lebih kurang -500mV, sedangkan pada bakteri

lembayung -100 mV. Pada potensial negatif seperti ini, etektron-elektron dari akseptor

primer ecara langsung dapat digunakan untuk mereduksi ferredoksin dan piridin nukleotida,

seperti tampak pada Gambar 3.12. Untuk menyediakan daya reduksinya, Chlorobiaceae

tidak tergantung pada transport elektron arah baik yang memerlukan energi.

Ketidaktergantungan pada transpor elektron arah balik merupakan perbedaan yang nyata

dengan fotosintesis bakteri lembayung. Daya kerja fotoreaksi Chlorobiaceae menjadi sangat

sesuai dengan fotoreaksi ke-1 pada sianobakteri. Dari aspek evolusi, fotosintesis

Chlorobiaceae menjadi mata rantai penghubung antara fotosintesis bakteri lembayung

dengan sianobakteri dan tumbuh-tumbuhan.

Telah banyak dipelajari mengenai reaksi-reaksi kimiawi yang terlibat di dalam


fotosintesis bakteri dan tumbuhan. Berikut ini adalah tinjauan mengenai proses-proses penghasil
energi yang tergantung pada cahaya, yang melibatkan bakterioklorofil pada bakteri dan klorofil
pada tumbuhan, algae dan sianobakteri.

3.2.3 Fotofosforilasi Siklik

25
Bakteri fotosintetik atau fotoautotrofik mempunyai klorofil yang disebut
bakterioklorofil, yang berbeda dengan klorofil pada tumbuh-tumbuhan. Perbedaan tersebut
meliputi perbedaan struktur dan sifat-sifat penyerapan cahayanya. Bakterioklorofil tidak terdapat
dalam kloroplas tetapi ditemukan pada sistem-sistem membran yang ekstensif di seluruh bakteri
serta dapat menyerap cahaya pada daerah dekat inframerah (660 sampai 870 nm). .
Bila sebuah molekul bakterioklorofil menyerap satu kuantum cahaya, maka energi dari
cahaya tersebut mengangkat molekul tersebut pada keadaan eksitasi (excited state). Pada
keadaan eksitasi ini sebuah elektron terusir dari bakterioklorofil. Bakterioklorofil itu sendiri
menjadi bermuatan positif, yang kemudian dapat berfungsi sebagai penangkap elektron atau
bahan pengoksidasi yang kuat.
Elektron yang membawa sebagian energi yang diserap dari cahaya tersebut, akan
dipindahkan pada suatu protein "heme" yang mengandung besi yang terkenal sebagai
feredoksin. Dari sini kemudian berturut-turut akan bergerak melalui ubikuinon, sitokrom b, dan
sitokrom f, dan akhirnya kembali pada bakteriofil yang bermuatan positif. Pada hakekatnya,
elektron tersebut telah bergerak mengelilingi suatu lingkaran, diawali dengan bakterioklorofil
dan akan kembali ke bakterioklorofil. Jadi seluruh proses ini disebut fotofosforilasi siklik.
Proses yang relatif sederhana ini disajikan pada Gambar 3.14.

Gambar 3.14. Fotofosforilasi siklik pada bakteri fotosintetik

Energi yang dilepaskan pada langkah antara Sitokrom b dan Sitokrom f digunakan untuk
fotofosforilasi, yaitu pernbentukan ATP dari ADP dan fosfat anorganik.

26
NADP tidak tereduksi pada reaksi-reaksi ini. Reduksi NADP+ pada bakteri fotosintetik
dicapai tidak melalui fotosintetsis tetapi melalui penggunaan tenaga pereduksi dan unsur-unsur
lingkungan seperti H2S, senyawa organik dan senyawa-senyawa anorganik lainnya. Senyawa-
senyawa tereduksi semacam ini biasanya dijumpai yarn jumlah yang banyak dalam lingkungan
anaerobik bakteri-bakteri fotosintetik.
Cahaya yang berenergi lebih tinggi daripada yang diserap oleh bakterioklorofil ikut
berperan dalam proses fotosintesis bakteri karena dalam sel-sel bakteri terdapat karotenoid dan
pigmen-pigmen pelengkap lainnya yang menyerap cahaya pada gelombang yang lebih rendah
dan memindahkan energinya pada bakterioklorofil.

3.2.4 Fotofosforilasi Non Siklik


Pada fotosintesis tumbuh-tumbuhan, algae dan sianobakteri, terjadi fotofosforilasi
nonsiklik. Dalam proses ini, ketika sebuah molekul dalam pigmen sistem II (salah satu dari dua
sistem reaksi cahaya) menyerap cahaya, energi ini akan mengangkat molekul tersebut ke
keadaan eksitasi sehingga molekul tersebut akan melepaskan sebuah elektron. Elektron ini
dipindahkan berturut-turut ke plastikuinon, ke sitokrom b, ke sitokrom f, dan akhirnya ke
pigmen sistem I. Fotofosforilasi terjadi dengan disertai pembentukan ATP dari ADP dan fosfat
anorganik pada langkah arasotokrom b dan sitokrom f. Bila menyerap cahaya, pigmen sistem I
akan melepas itiah elektron. Elektron ini dipindahkan dari feredoksin ke flavoprotein,
kemudian NADP+. Pada langkah antara lepasnya elektron dari pigmen sistem I ke feredoksin,
jadi lagi fotofosforilasi. Pada sebagian dari proses ini akan terjadi reduksi NADP+
ferti terlihat pada Gambar 3.15.
Proses ini berbeda denqan fotofosforilasi siklik karena elektron yang dilepaskan oleh
pigmen sistem II tidak diedarkan kembali ke pigmen sistem II, melainkan pada pegmin
sistem II elektron akan digantikan oleh perombakan air yang dibangkitkan oleh cahaya yang
disebut fotolisis.

27
Gambar 3.15. Fotofosforilasi nonsiklik pada tumbuhan hijau, algae dan sianobakteri.

28
DAFTAR PUSTAKA

Moat dan Foster, 1997. Microbial Physiology.

Sclegel dan Schmidt, 1994. Allgemeine Mikrobiologie (Mikrobiologi Umum). Gadjah Mada
University Press. yogyakarta.

Stryer L, 1994. Biochemistry. Freeman, San Fransisco.

FUNGSI MIKROBA DALAM EKOSISTEM

PRODUSEN
Seperti hanya tumbuhan di darat, di laut fitoplankton berfungsi sebagai organisme yang
memegang peranan yang sangat penting di dalam ekosistem perairan laut, yaitu sebagai
produsen primer di dalam sistem rantai makanan (Dewes, 1981 dalam Adnan, 1995).
Dengan memiliki butir-butir zat hijau daun (klorofil) menyebabkan fitoplankton dapat
memproduksi makanan untuk kelangsungan hidupnya sendiri melalui proses yang disebut
fotosintesis. Kemudian organisme ini dimakan oleh organisme setingkat diantaranya yaitu
zooplankton. Menurut Dewes (1981 dalam Adnan, 1995), diatom tipe centralis dengan tubuhnya
yang bersifat simetri radial dapat memproduksi asam-asam lemak sehingga diatom tipe ini
merupakan cadangan makanan yang berenergi tinggi untuk zooplankton. Selanjutnya
zooplankton dimanfaatkan oleh organisme atau hewan-hewan level diatasnya yaitu larva ikan,

29
udang, ikan-ikan kecil. Hewan-hewan kecil termasuk hewan bentik dan juga tanaman kemudian
dimakan oleh hewan level lebih tinggi lagi (bersifat karnivora) termasuk manusia. Hewan-hewan
kemudian mati dan hancur sehingga terbentuk lagi zat-zat anorganik yang gilirannya
dimanfaatkan lagi oleh fitoplankton.
Setiap perairan yang selalu memiliki suatu gambaran komunitas fitoplankton yang khas
sifatnya yang akan berbeda dengan komunitas fitoplankton di perairan-perairan lainnya.
Dengan mengetahui kondisi-kondisi komunitas fitoplankton di suatu perairan diharapkan dapat
mengetahui gambaran komunitasnya sehingga jenis-jenis fitoplankton dapat dipakai sebagai
indikator ekologis suatu perairan, apakah suatu perairan berada dalam kondisi subur atau sudah
mengalami tekanan-tekanan atau pencemaran, misalnya terjadi pengayaan perairan oleh sisa-
sisa nutrisi, polusi oleh logam berat, tekanan oleh panas, arus dan lain-lain. Perairan yang
tercemar oleh zat-zat organik dan anorganik akan menimbulkan suatu keadaan perairan yang
disebut dengan istilah eutrofikasi yaitu suatu keadaan sisa-sisa nutrien yang melampaui batas
dari daratan. Sedangkan perairan yang tercemar oleh logam berat, zat-zat racun, limba dan
lain-lain akan menyebabkan penurunan populasi fitoplankton.

KONSUMEN
Konsumen akan menggunakan bahan organik, yang berasal dari produsen primer sebagai
sumber makanannya. Konsumen utama dari produsen primer di atas tanah adalah oleh
herbivora. Proses pencernaan herbivora, sangat tergantung dari peran mikroba. Konsumen
berikutnya adalah karnivora, yaitu hewan dan manusia. Golongan ini menggunakan produsen
primer dan konsumen utama sebagai sumber makanannya.

DEKOMPOSER
Dekomposer atau pengurai adalah mikroba yang berfungsi menguraikan jasad-jasad mati yang
ada di sana dan merupakan makanan utama bagi hewan invertebrata. Termasuk dalam
kelompok pengurai ini adalah bakteri, alga, detritus, dan beberapa invertebrata air dan terestrial.
(Townsend, 1980 dalam anwar dkk, 1984). . Di dalam ekosistem, tumbuhan atau hewan yang
mati akan mengalami perombakan oleh mikroba, arthopoda atau jenis hewan kecil lain, hasil
perombakan tersebut selanjutnya akan dipergunakan oleh produsen primer.

30
INTERAKSI MIKROBA

Aktivitas mikroba, termasuk pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh


kondisi di lingkungan sekitarnya. Perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya dapat
mengakibatkan perubahan sifat morfologi dan sifat fisiologinya. Beberapa golongan mikroba
sangat tahan terhadap perubahan lingkungan, sehingga dapat cepat menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungan yang baru. Namun demikian, ada pula golongan mikroba yang sangat peka
terhadap lingkungan hingga sulit untuk dapat menyesuaikan diri (Campbell, 1977).
Lebih lanjut Rosswall (1983) menjelaskan bahwa faktor lingkungan merupakan hal yang
sangat penting di dalam usaha untuk mengendalikan aktivitas mikroba. Lingkungan tersebut
terdiri dari komponen-kompoen abiotik dan komponen biotik. Faktor-faktor abiotik yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah temperatur, pH, oksigen bebas, radiasi sinar dan
aliran listrik, nilai osmotik medium, adanya logam-logam berat, dan ada tidaknya zat-zat yang
menghambat pertumbuhan atau mematikan mikroba seperti antiseptik dan desinfektan. Faktor-
faktor biotik yang mempengaruhi pertumbuhan satu jenis mikroba ditentukan oleh adanya
interaksi atau hubungan hidup bersama (simbiosis) antara mikroba-mikroba sejenis dan
interaksi antara mikroba-mikroba yang berlainan jenis.

INTERAKSI MIKROBA DENGAN KOMPONEN BIOTIK

31
Mikroba jarang sekali hidup sendiri, selalu hidup sebagai populasi, yang lazim disebut
koloni, di dalam suatu substrat atau tempat hidupnya. Interaksi antara mikroba tidak hanya
diantara mikroba sendiri tapi dapat pula antara 1) mikroba dengan mikroba atau 2) mikroba
dengan tumbuhan atau dengan hewan. Interaksi tersebut dapat bersifat positif atau negatif.
Dalam penelitian laboratorium diketahui bahwa pada pertumbuhan sel, fase adaptasi
akan lebih pendek bila populasi yang diinokulasi banyak, kebalikannya fase adaptasi akan lebih
lama bila populasi yang diinokulasi sedikit. Hal tersebut dapat terjadi karena mikroba secara
individual akan saling mensuplai metabolit atau faktor pertumbuhan dengan sel lainnya.
Populasi yang terbentuk hanya dari sedikit sel-sel mikroba umumnya akan mengeluarkan
metabolit, yang dengan cepat akan mengalami pengenceran dan hilang di dalam
lingkungannya, sehingga sel lainnya tidak dapat mengambil atau menyerap metabolit tersebut.
Lain halnya dengan populasi mikroba yang terbentuk oleh banyak sel-sel mikroba. Metabolit
yang terbentuk oleh satu sel mikroba dapat diabsorbsi oleh mikroba lainnya, sehingga populasi
tersebut akan membentuk sistem yang lebih efektif untuk menjaga keseimbangan karbon di
dalam lingkungannya. Koloni mikroba yang terbentuk tersebut kemungkinan besar merupakan
hasil adaptasi berdasarkan interaksi positif di dalam populasi.
Beberapa mikroba yang membentuk sekumpulan kecil koloni disebut rosette. Formasi
rosette ini umum terjadi pada keadaan kondisi nutrisi sudah habis dan cadangan makanan yang
ada dalam sel telah diggunakan. Interaksi positif di dalam populasi mikroba disebut kooperasi
didalam populasi mungkin. Dalam hubungan populasi tersebut menggunakan insoluble substrat.
Produksi enzim ekstraselular secara individual dapat digunakan oleh individu lain pada
populasi tersebut (kometabolisme ???). Interaksi positif juga berperan penting dalam hubungan
penyakit yang di sebabkan oleh suatu jenis mikroba. Dosis infektif yang dapat menyebabkan
penyakit tergantung pada banyaknya sel mikroba yang menginfeksi serta berhubungan dengan
daya tahan tubuh calon penderita. Sedikitnya jumlah sel mikroba seringkali tidak cukup efektif
untuk menyebabkan terjadinya penyakit di dalam tubuh individu inangnya.
Kooperasi di antara mikroba juga dapat melawan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
Dalam penelitian di laboratorium diketahui bahwa pada koloni yang mengandung banyak sel
mikroba yang disinari oleh ultraviolet, ternyata koloni tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung
bagi sel mikroba lainnya. Selain itu, koloni tersebut ternyata mampu menghambat proses
pembekuan pada koloni.
Proses interaksi negatif pada populasi mikroba disebut kompetisi. Kompetisi terjadi
diantara mikroba dalam hal persediaan substrat. Terbentuknya zat toksin oleh mikroba satu
terhadap yang lainnya. Dalam hal mikroba fototrofik kompetisi terjadi dalam penggunaan sinar
matahari untuk diserap oleh mikroba lainnya.
Pola hidup berjenis-jenis mikroba yang hidup bersama pada suatu ekosistem akan
menyebabkan terjadinya interaksi di antara mikroba-mikroba tersebut.

32
PRINSIP INTERAKSI
Dikenal dua prinsip interaksi, yaitu :
a. Prinsip batas-batas toleransi, yaitu jasad hidup yang memiliki toleransi tinggi akan
tetap hidup atau mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya sehingga dapat
mempertahankan jenisnya, sedangkan jasad hidup yang nilai toleransinya rendah
kemungkinan besar akan segera tersisih atau punah.
b. Prinsip kompetisi, yaitu terjadinya persaingan untuk mempertahankan hidup di antara
jasad hidup yang sama-sama memiliki nilai toleransi yang tinggi terhadap kondisi
lingkungannya. Lama-kelamaan jasad hidup yang lemah akan berkurang dan akhirnya
dapat punah pula.

ASOSIASI
Secara alami jarang ditemukan kehadiran jasad yang hidup dalam bentuk murni, tetapi
selalu berada dalam asosiasi dengan jasad-jasad lain. Umumnya terdapat spektrum komunitas
mikroba yang memiliki kisaran dari asosiasi yang lemah sampai asosiasi yang kuat. Beberapa di
antaranya adalah obligatori.
• Asosiasi yang lemah pada umumnya bergantung pada hubungan komensalisme yang non
spesifik dan seringkali dapat menggambarkan aliran karbon, energi dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan pertumbuhan diantara populasi-populasi yang berbeda.
• Asosiasi yang kuat disebut juga konsorsium, asoasiasi sintrofik, asosiasi sinergistik atau
secara sederhana disebut kultur campuran. Contohnya mineralisasi lengkap suatu senyawa
memerlukan metabolisme bertahap (sekuensial) dari dua atau lebih organisme, di mana satu
komponen populasi secara tunggal tidak dapat mentransformasi senyawa tersebut karena
tidak memiliki komplemen genetik yang lengkap untuk mengkode keseluruhan jalur
biodegradasi (Slater dan Godwin, 1980 dalam Slater 1981). Dengan demikian asosiasi yang
kuat terjadi apabila komunitas menunjukkan suatu karakteristik yang tidak akan muncul
dengan kombinasi mikroba yang lain dan/atau tidak dapat diekspresikan oleh hanya satu
komponen populasi.
Pembagian kelas komunitas mikroba berdasarkan Slater dan Lovat, 1981 dalam Slater
(1981) adalah :
1. Struktur berhubungan dengan kebutuhan nutrien yang spesifik di anatara anggota-
anggota komunitas yang berbeda. Komunitas ini tersebar secara luas di alam dan mudah
diisolasi. Pada umumnya melibatkan baik hubungan komensalisme maupun mutualisme
yang bergantung pada kebutuhan akan faktor-faktor pertumbuhan dan asam-asam amino.
Tipe kultur campuran ini seringkali dikatakan sebagai sintrofisme.

33
2. Struktur berhubungan dengan penghilangan/ pengambilan produk-produk metabolisme
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba produsen dalam komunitas, termasuk
komunitas-komunitas yang menggunakan transfer hidrogen. Hasil-hasil ekskresi yang
mungkin bersifat toksik dan menghambat mikroba yang memproduksi dikonsumsi oleh
anggota lain dari komunitas. Contohnya, komunitas yang menggunakan metana atau
metanol sebagai sumber karbon dan energi utama.
3. Struktur dan stabilitas berhubungan dengan interaksi yang mungkin dihasilkan sebagai
akibat adanya modifikasi dari parameter-parameter pertumbuhan dari suatu individu
populasi sehingga menghasilkan komunitas yang lebih kompetitif atau efisien
(dibandingkan dengan komponen populasi). Biasanya merupakan konsekuensi dari
sejumlah interaksi nutrisional yang mempengaruhi kinetika pertumbuhan secara
keseluruhan.
4. Struktur berhubungan dengan efek concerted, kombinasi kemampuan metabolisme, tidak
terekspresi apabila populasi-populasi individual bekerja sendiri-sendiri. Pada umumnya
interaksi yang terjadi adalah hubungan mutualistik, di mana pertumbuhan dan
kelulushidupan komunitas tergantung pada aktivitas concerted dari dua atau lebih
populasi. Walaupun demikian, pada kondisi pertumbuhan yang lain, hubungan
metabolisme mungkin tidak diperlukan atau diekspresikan. Oleh karena itu, kultur
campuran ini kadang-kadang dikatakan sebagai sinergisme atau protooperation yang
menunjukkan bahwa mutualisme bukalah suatu keharusan. Contohnya :
• Kultur campuran mikroba pengurai/ pendegradasi minyak bumi
• Kultur campuran Candida spp yang menguraikan n-alkana dan hidrokarbon lainnya.
5. Struktur berhubungan dengan tahap kometabolisme. Kelas ini merupakan kasus khusus
dari komunitas kelas 4. Kekhususan komunitas ini adalah populasi primer tumbuh pada
senyawa yang siap dimetabolisir, secara bersamaan juga melakukan kometabolisme
terhadap satu atau lebih senyawa sehingga menghasilkan produk yang akan menyokong
pertumbuhan populasi kedua. Populasi kedua ini tidak dapat tumbuh pada senyawa induk,
sehingga sangat bergantung pada populasi yang melakukan kometabolisme terhadap
senyawa primer, contohnya kometabolisme sikloalkana.
6. Struktur yang berhubungan dengan transfer ion-ion hidrogen. Pada kondisi anaerobik,
organisme fementatif memerlukan sink untuk membuang kelebihan reducing power yang
umum terjadi dengan reduksi dari satu lebih produk akhir dari jalur fermentatif. Sejumlah
asosiasi yang kuat terjadi, dimana organisme kedua berperan sebagai electron sink.
Dengan demikian, terjadi transfer ion-ion hidrogen interspesies.
7. Struktur merupakan akibat dari kehadiran lebih dari satu pengguna substrat primer. Pada
umumnya kasus-kasus di alam, interaksinya tidak diketahui. Umumnya merupakan hasil
pengayaan pada kultur sinambung, komunitas mengandung lebih dari satu spesies yang
mampu tumbuh pada sumber karbon dan energi tunggal yang tersedia. Seringkali

34
ditemukan pula populasi tambahan, organisme sekunder, yang tidak dapat memetabolisir
substrat primer tetapi merupakan anggota komunitas yang stabil.

SIMBIOSIS
Meskipun dikenal adanya 2 prinsip interaksi tersebut, namun sebagai bagian dari
keseluruhan sistem ekologis, tiap jenis mikroba baik langsung maupun tidak langsung akan
saling tergantung kepada mikroba lain atau makhluk hidup lainnya. Simbiosis adalah asosiasi di
antara dua atau lebih jasad. Di alam jarang sekali ditemukan mikroba yang hidup sebagai biakan
murni. Oleh karena itu setiap jenis mikroba akan berinteraksi dengan mikroba lain. Interaksi
antara dua populasi mikroba berbeda dapat menyebabkan saling membantu atau saling
merugikan, tergantung pada kondisi lingkungannya.
Perubahan kondisi lingkungan dapat menyebabkan perubahan hubungan antara populasi.
Hubungan interaksi positif dapat berubah menjadi negatif atau mutualistik bila kondisi
lingkungan diubah. Perubahan dari interaksi positif ke negatif dalam hubungan antar mikroba
terjadi dengan hilangnya salah satu populasi dari komunitas mikroba tersebut.
Berdasarkan erat dan tidaknya hubungan di antara satu atau lebih mikroba dikenal

Istilah Interaksi Pengaruh interaksi


Istilah Populasi A Populasi B
Netralisme 0 0
Komensalisme 0 +
Sinergismme + +
Mutualisme + +
Kompetisi _ _
Amensalisme 0/3 _
Predasi + _
Parasitisme + _
beberapa istilah seperti diringkas pada Tabel ... berikut ini :

Tabel 8. Interaksi Antar mikroba


Keterangan :
0 = tidak ada pengaruh
+ = Pengaruh positif
_ = Pengaruh negatif

Netralisme
Konsep dari neutralisme adalah tidak adanya interaksi antara dua populasi mikroba.
Netralisme tidak pernah terjadi pada populasi yang menggunakan sumber nutrisi yang sama.

35
Netralisme umumnya terjadi pada populasi mikroba yang secara fisik telah berbeda, hubungan
populasi mikroba tersebut sedikit dan mempunyai perbedaan dalam metabolismenya.

Komensalisme

Bentuk hubungan yang tidak terlalu erat, karena satu jenis mikroba memperoleh
keuntungan sedangkan mikroba lain tidak memperoleh keuntungan maupun kerugian apapun.
Dasar hubungan dari komensalisme dapat berupa tempat/ruang, substrat,pertahanan, makanan,
transpotasi atau tempat berlindung. Hubungan komensalisme ada di alam pada keadaan salah
satu populasi mikroba memproduksi metabolit yang akan digunakan sebagai bahan esensial oleh
mikroba lainya.
Komensalisme terjadi pada mikroba anaerob fakultatif dan anerob obligat. Mikroba
anaerob fakultatif akan menggunakan oksigen dari lingkungan sehingga oksigen dalam
lingkungan tersebut berkurang. Berkurangnya oksigen akan menguntungkan mikroba anaerob
obligat.
Contoh lainnya yaitu hubungan antara ganggang dengan bakteri aerob obligat.
Ganggang akan menghasilkan oksigen pada waktu fotosintesis dan oksigen tersebut akan
digunakan oleh mikroba obligat aerob.

Mutualisme
Bentuk hubungan yang sangat erat karena kedua pihak saling membutuhkan dan sama-
sama memperoleh keuntungan.Hubungan mutualisma ini sangat selektif, hubungan satu dengan
yang lainnya tidak dapat digantikan satu dengan yang lainnya.
Hubungan antara ganggang atau cyanobakteria dan fungi merupakan hubungan
mutualisme dengan terbentuknya lichenes atau lumut kerak. Lichenes ini berfungsi sebagai
”primary produsen” bagi konsumen
Hubungan mutualisme juga terjadi antara protozoa dan populasi ganggang, contohnya
Paramecium yang bertindak sebagai induk semang sel-sel ganggang Chorella di dalam
sitoplasmanya. Ganggang menyediakan oksigen dan karbon organik untuk protozoa, sedangkan
protozoa menyediakan karbondioksida. Selain itu, adanya Chlorella di dalam cilliata Paramaecium
menyebabkan protozoa tersebut dapat bergerak ke habitat anaerob selama masih tersedianya
sinar matahari yang cukup. Tanpa adanya ganggang tersebut protozoa tidak dapat di habitat
tersebut. Setiap protozoa dapat berisi 50-100 sel ganggang.
Hubungan mutualisme antara diatom Rhizosolenia dan cyanobakteria dalam hubungan
penggunaan matahari. Hubungan mutualistiknya penggunaan panjang gelombang akan lebih
efisien untuk pertumbuhan fototrofik.
Salah satu yang paling menarik adalah hubungan mutualisme antara protozoa dan
bakteri, yaitu antara Paramecium aurelia dan Ricketsia endosimbiotik, Ricketsia diketahui sebagai

36
kappa partikel. Paramecium aurelia berada dalam dua galur yaitu galur pembunuh killer dan
galur sensitive. Pada galur killer Aurelia mengandung kappa partikel sedangkan galur sensitif
kekurangan endosimbion bakteri. adanya kappa partikel memberi keuntungan pada galur
killerdalam kompotisi dengan galur sensitif.
Hubungan simbiotik dalam proses Fiksasi nitrogenterjadi antara bakteri Rhizobium
dengan tumbuhan yang disebut legume. Bakteri Rhizobium maupun legume tidak dapat
memfiksasi nitrogen dari atmosfer tanpa kerjasama keduanya. Bakteri tersebut akan masuk
pada akar dari legume dan akan mennangkap nitrogen dari atmosper, dimana nitrogen tersebut
berguna sebagai nutrisi dari keduanya.

Parasitisme dan Predasi

Sejumlah besar mikroba tanah adalah pemakan bangkai tetapi diantaranya ada yang
kadang-kadang beralih menjadi parasit. Bila kita memperhatikan hewan-hewan tanah yang
kecil, kita akan menjumpai sejumlah besar parasit, diantaranya nematoda. Nematoda ini
berperan dalam ekologi tanah pertanian. Ada yang merusak sistem akar tumbuhan yang penting
artinya bagi perekonomian, selain itu ada phidup sebagai parasit pada hewan yang meruksan
tanaman. Misalnya pada serangga. Dalam kedua hal ini hubungan antara parasit dan
organisma inang adalah sama. Tetapi dilihat dari sudut kita hubungan yang pertama merugikan,
sedangkan hubungan yang kedua menguntungkan.

Hubungan antara predator dan mangsa juga terjadi di antara organisma tanah. Kumbang
tanah banyak yang menjadi predator dari hewan yang lebi kecil. protista menjadi mangsa
Rotifera. Jamur lendir, amuba dan ciliate memakan bakteri. Protista yang menjadi predator
merupakan slaah satu faktor biotic yang mempengaruhi populasi bakteri tanah. Dalam bab
sebelumnya telah diterangkan bahwa kata predator tidak bisa dipakai untuk hewan-hewan yang
makan tumbuhan, misalnya untuk organisma-organisma yang makan mycelia jamur yang
terdapat di lapisan tanah bagian atas. Tetapi lepas dari arti istilah predator yang benar, pada
kenyataannya banyak organisma tanah, terutama semut dan nematoda makan jamur.

Kita akan mengakhiri pembicaaran tentang komunitas tanah dengan memperhatikan suatu
hubungan yang tak lazim, yaitu suatu hubungan dengan tumbuhan sebagai predator. Beberapa
spesies jamur tanah membentuk hypha dengan cabang-cabang lateral yang tumbuh melingkar
khusus untuk menjerat mangsa. Semua lingkaran hypha membentuk anyaman yang
mengeluarkan suatu zat pelekat. Nematoda-nematoda yang tertangkap dalam jaringan ini tidak
dapat melepaskan diri lagi. Kemudian hypha lain dari jamur akan tumbuh masuk ke dalam
tubuh nematoda yang tertangkap untuk mencernanya.

37
Kompetisi
Kompetisi terjadi pada hubungan interaksi negative antara dua populasi dimana kedua
populasi tersebut akan terpengaruh pada kehidupan dan pertumbuhannya. Kompetisi terjadi
pada dua populasi yang menggunakan sumber yang sama, baik dalam kondisi makanan yang
cukup atau terbatas. Pada kompetisi menyebabkan pengaruh yang merugikan pada kedua
populasi tersebut.

Parasitisme
Parasitime terjadi bila populasi mikroba mengambil keuntungan sedangkan induk
semang (host) yang ditempatinya mengalami kerugian. Biasanya mikroba parasit lebih kecil
daripada hostnya.
Genus bakteri Bdellovibrio merupakan mikroba parasit untuk bakteri lain seperti
Escherichia coli. Bdellovibrio dapat berada dalam dua tipe yaitu tipe parasit dan non parasit.
Pada tipe parasit Bdelovibrio tidak dapat bereproduksi tanpa adanya sel induk.
Gambar daun parasit tersebut dapat dilihat seperti berikut............

Sinergisme
Sinergisme berbeda dengan mutualisme. Sinergisme terjadi di antara lebih dari satu
jenis mikroba yang menyebabkan meningkatnya kemampuan untuk melakukan penguraian
senyawa-senyawa kimia.
Populasi yang satu tidak dapat memproduksi atau mensintesis bahan tertentu tanpa ada
bantuan populasi yang lainnya, contohnya antara Streptococcus faecalis dengan bakteri
Escherichia coli.
Tidak satupun dari populasi bakteri tersebut mampu memproduksi arginin menjadi
putresin tanpa bantuan populasi lainnya. Streptococus faecalis mampu mengubah arginin
menjadi ornitin yang kemudian digunakan oleh Escherichia menjadi putrisin, sedangkan
Escheriacia coli mampu sendiri menggunakan arginin dan memproduksdi agmatin, tapi tidak
mampu memproduksi putresin sendiri.

E. coli
Argini-------------------------> Agmatin

S. Faecalis

E. coli
Ornitin ------------------------->putresin

38
Ganbar 25. Hubungan sinergisme antar mikroba

Hubungan interaksi sinergisme juga terjadi pada spesies Nocardia dan Pseudomonas
yang secara bersama-sama dapat memproduksi sikloheksan. Sikloheksan yang diproduksi
Nocardia tersebut sangat dibutuhkan oleh Pseudomonas, sedangkan Pseudomonas mampu
memproduksi biotin dan faktor pertumbuhan yang dibutuhkan oleh Nocardia.
Contoh menarik lainnya yaitu hubungan sinergisme antara Peniccilium piscarium dan
Geotrichum candidum. Secara bersama sama kedua populasi tersebut dapat mendegradasi dan
mendektosikasi herbisida pertanian propanil.
Contoh sinergisme yang lain adalah Effective Microorganisms (EM).
Mikroba efektif atau lebih dikenal dengan Effective Microorganisms (EM) adalah suatu
kultur campuran berbagai mikroba yang bermanfaat (terutama bakteri fotosintetik dan bakteri
asam laktat, ragi, actinomycetes dan jamur peragian) yang dapat digunakan sebagai inokulan
untuk meningkatkan keragaman mikroba tanah. Konsep mikroba efektif serta aplikasi praktisnya
dikembangkan oleh Profesor Dr. Teruo Hga dari Universitas Ryukyu, di Okinawa, Jepang pada
tahun 1980. Mikroba efektif merupakan mikroba campuran dari 80 jenis mikroba fermentasi dan
sintetik yang dapat memfermentasikan bahan organik dan memanfaatkan gas serta panas dari
proses pembusukan sebagai sumber energi. Dengan demikian, jika proses fermentasi
berlangsung dalam penguraian bahan organik maka pembentukan gas (bau busuk) dan panas
dapat ditekan atau dihilangkan sama sekali.
Profesor Dr. Teruo Higa telah banyak menggunakan masa kerjanya untuk memilih dan
memisahkan berbagai jenis mikroba yang bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman. Dia
telah menemukan mikroba yang dapat hidup secara bersama dalam kultur campuran dan secara
fisiologis dapat bergabung satu dengan yang lain. Mikroba efektif terdiri dari 5 kelompok
mikroba. Kelima kelompok mikroba dan kegiatannya dalam tanah adalah sebagai berikut:
1. Bakteri Fotosintetik
Bakteri fotosintetik adalah mikroba yang mandiri dan swasembada. Bakteri ini membentuk zat-
zat yang bermanfaat dari sekresi akar-akar tumbuhan, bahan organik dan/atau gas-gas
berbahaya (misalnya H2S), dengan menggunakan sinar matahari dan panas bumi sebagai
sumber energi. Zat-zat bermanfaat tersebut meliputi asam amino, asam nukleik, zat-zat bioaktif
dan gula, yang semuanya mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hasil-hasil
metabolisms tersebut dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan juga berfungsi sebagai
substrat bagi bakteri yang terus bertambah. Jadi pertumbuhan bakteri fotosintetik di dalam
tanah juga akan meningkatkan pertumbuhan mikroba lainnya (Pasaribu, 1996).
Selanjutnya Wididana (1996) menyatakan bahwa bakteri fotosintetik berfungsi untuk mengikat
nitrogen dari udara bebas, memakan gas-gas beracun dan panas dari hasil proses pembusukan
sehingga polusi di dalam tanah menjadi berkurang.

39
2. Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus)
Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula, sedangkan bakteri fotosintetik dan ragi
menghasilkan karbohidrat lainnya. Berbagai jenis makanan dan minuman, seperti yogurt dan
asinan, sudah sejak lama dibuat orang dengan menggunakan bakteri asam laktat. Namun, asam
laktat sendiri adalah suatu zat yang dapat mengakibatkan kemandulan (sterilizer). Oleh sebab
itu asam laktat dapat menekan pertumbuhan mikroba yang merugikan dan meningkatkan
percepatan perombakan bahan-bahan organik. Bakteri asam laktat dapat menghancurkan
bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta memfermentasikannya tanpa
menimbulkan pengaruh-pengaruh merugikan yang diakibatkan oleh bahan-bahan organik yang
tidak terurai. Selain daripada itu bakteri asam laktat mempunyai kemampuan untuk menekan
pertumbuhan fusarium, suatu mikroba merugikan, yang menimbulkan penyakit pada lahan-lahan
yang terus-menerus ditanami. Biasanya pertambahan populasi fusarium akan melemahkan
kondisi tanaman. Hal ini akan meningkatkan serangan berbagai penyakit dan juga
mengakibatkan bertambahnya secara tiba-tiba jumlah cacing yang merugikan. Cacing-cacing
tersebut akan hilang secara berangsur, karena bakteri asam laktat menekan perkembangbiakan
fusarium (Pasaribu, 1996). Menurut Wididana (1996), lactobacillus berfungsi untuk
rnemfermentasikan bahan organik menjadi senyawa-senyawa asam laktat yang dapat diserap
oleh tanaman.

3. Ragi
Ragi membentuk zat-zat anti bakteri yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman, dari asam-
asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik, bahan organik dan akar-akar
tanaman. Zat-zat bioaktif seperti hormon dan enzim yang dihasilkan oleh ragi meningkatkan
jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi ragi adalah substrat yang baik untuk mikroba
efektif seperti bakteri asam laktat dan Actinomycetes (Pasaribu, 1996). Menurut Wididana
(1996), ragi berfungsi untuk rnemfermentasikan bahan organik tanah menjadi senyawa-senyawa
organik (dalam bentuk alkohol, gula dan asam amino) yang siap diserap oleh perakaran
tanaman.

4. Actinomycetes (Streptomyces)
Actinomycetes, yang struktumya merupakan bentuk antara bakteri dan jamur, menghasilkan zat-
zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik.
Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbuhan jamur dan bakteri. Actinomycetes dapat hidup
berdampingan dengan bakteri fotosintetik. Dengan demikian kedua spesies ini sama-sama
meningkatkan mutu lingkungan tanah, dengan meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah
(Pasaribu, 1996). Kemudian Wididana (1996) menyatakan bahwa actinomycetes berfungsi untuk

40
menghasilkan senyawa-senyawa anti biotik yang bersifat toksik terhadap bakteri
patogen/penyakit, serta dapat melarutkan ion-ion phosphat dan ion-ion mikro lainnya.

5. Jamur Fermentasi
Menurut Pasaribu (1996), jamur fermentasi (peragian) seperti Aspergillus dan Penicillum
menguraikan bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-zat anti
mikroba. Zat-zat tersebut akan menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga dan ulat-
ulat yang merugikan. Tiap spesies mikroba efektif (bakteri fotosintetik, bakteri asam %« laktat,
ragi, actinomycetes dan jamur fermentasi) masing-masing mempunyai fungsi yang penting.
Namun, bakteri fotosintetik adalah pelaksana kegiatan mikroba efektif yang terpenting. Bakteri
fotosintetik mendukung kegiatan mikroba lain, di lain pihak, ia juga memanfaatkan zat-zat yang
dihasilkan oleh mikroba lain. Keadaan seperti ini disebut hidup berdampingan secara natural
dan saling menguntungkan. Bila jumlah mikroba efektif dalam tanah meningkat menjadi satu
komunitas, maka populasi mikroba efektif yang sudah ada juga menjadi meningkat Jadi
mikroflora akan semakin banyak dan keseimbangan mikroba dalam tanah menjadi lebih baik,
sedangkan mikroba tertentu (terutama mikroba yang merugikan) tidak dapat berkembang.
Dengan demikian bibit penyakit yang ada dalam tanah jadi tertekan.
Manfaat mikroorganisme efektif adalah :
a) Menekan pertumbuhan patogen tanah.
b) Mempercepat dekomposisi limbah dan sampah organik.
c) Meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada tanaman.
d) Meningkatkan aktivitas mikroba indigenus yang menguntungkan, misalnya Mikorhiza,
Rhizobium, bakteri pelarut phosphat
e) Memfiksasi nitrogen.
f) Mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia.

Antibiosis (Antagonisme )
Bentuk hubungan yang menyebabkan terbunuhnya atau terhambatnya pertumbuhan
suatu populasi mikroba karena adanya senyawa hasil metabolisme yang dihasilkan oleh populasi
mikroba lain. Senyawa tersebut umumnya bersifat toksik, misalnya senyawa-senyawa
antibiotika. Sebaliknya, mikroba penghasil metabolit tersebut tidak memperoleh keuntungan
maupun kerugian apapun. Hubungan semacam ini pada organisme tingkat tinggi disebut juga
amensalisme. Contohnya, kemampuan bakteri Acetobacter yang dapat mengubah etanol
menjadi asam asetat. Asam asetat yang akan terbentuk tersebut bersifat toksik dan dapat
menghambat pertumbuhan mikroba lainnya.

41
MIKORIZA

Asosiasi simbiotik antar jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi lazim disebut mikoriza
(jamak mikorizae) yang secara harfiah berarti akar jamur. Mikoriza diketemukan oleh botaniwan
Jerman, Frank pada abad yang lalu (1855) di pepohonan hutan seperti pinus tetapi penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa asosiasi simbiotik semacam itu dengan jamur ada dalam
kondisi alami dalam sistem perakaran banyak tanaman budi daya lainnya yang penting secara
ekonomis.

Terdapat dua macam mikoriza, yaitu ekto dan endo mikoriza. Pada ektomikoriza (juga
disebut mikoriza ektotrof), jamur seluruhnya menyelubungi masing-masing cabang akar dalam
selubung atau mantel hifa. Hifa-hifa itu hanya menembus antar sel korteks akar (interselular).
Ektomikoriza diketahui terdapat pada famili-famili berikut : Pinaceae, Salicaceae, betulaceae,
Fagaceae, Juglandaceae, Caesalpinoideae dan Tiliaceae. Beberapa genus seperti Pinus, Picea,
Abies, Pseudotsuga, Cedrus, larix, Quercus, Castanea, Fagus, Nothofagus, Betula, Alnus, Salix,
Carya dan Populus memiliki infeksi ektomikoriza.
Pada endomikoriza, jamurnya tidak membentuk suatu selubung luar tetapi hidup di dalam
sel-sel akar (intraseluler) dan membentuk hubungan langsung antarsel-sel akar dan tanah
sekitarnya. Endomikoriza hanya dijumpai pada wakil-wakil spesies kebanyakan famili
angiospermae. Endomikoriza juga ditemukan pada konifer kecuali Pinaceae dan pada Pteridofita
dan Bryofita tertentu. Bukti-bukti yang pasti telah disajikan untuk menunjukkan pengaruh yang
menguntungkan dari adanya ekto dan endomikoriza terhadap pertumbuhan tanaman.
• EKTOMIKORIZA
Pada umumnya, jamur yang terlihat dalam ektomikoriza termasuk Basidiomicetes yang
meliputi famili-famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae, Tricholomata
ceae, Rhizopogonaceae dan Sclerdermataceae. Jamur-jamur itu termasuk dalam genus-
genus Amanita, Boletus, Cantharellus, Cortinarius, Entoloma, Gomphidius, Hebeloma,
Inocybe, Lactarius, Paxillus, Russula, Rhizopogon, Scleroderma dan Cenococcum. Banyak
dari antara jamur-jamur ini menunjukkan inang spektrum luas. Demikian pula inang yang
sama mungkin diinfeksi oleh lebih dari satu jamur seperti misalnya Pinus sylvestris yang dari
perakaran mikorizanya dapat dipisahkan sebanyak 40 spesies jamur. Apabila reaksi
pertahanan dari simbion tumbuhan tingkat tingginya menurun seperti contohnya yang
terjadi pada tumbuhan pohon yang menua atau berpenyakit, simbion tingkat rendahnya
mungkin menjadi endotrof. Contoh-contoh semacam itu disebut mikoriza ektendotrof
atau ektendomikoriza.

Suatu survei kepustakaan mengenai asosiasi mikoriza juga mengungkap deskripsi yang
dikenal sebagai Pseudomikoriza yang mewakili adanya akar yang panjang dan tipis yang
terinfeksi jamur. Jamur pada akar semacam itu intraselular dan sulit untuk menentukan apakah
jamur yang ada dalam ektendomikoriza itu sebagai parasit atau simbion. Perlu dicatat pula

42
mikoriza dari Monotropa (yang dalam bahasa Latin berarti hidup sendirian), yaitu suatu
tumbuhan asal Amerika Utara yang ada di hutan di bawah Pinus dan Quercus. Tumbuhan ini
tidak mengandung klorofil dan jamur mikoriza yang umum yaitu Boletus mengangkut nutrien
dari pepohonan hutan ke Monotropa.

Suatu perakaran ektomikoriza tidak memiliki rambut akar dan tertutup oleh selapis atau
selubung hifa jamur yang hampir tampak mirip dengan jaringan inang. Lapisan ini disebut
selubung pseudoparenkimatis. Dari selubung ini, hifa memasuki korteks dan hanya tinggal di
lapisan sel-sel korteks luar untuk membentuk jaring-jaring yang disebut ‘jala hartig’ (yang diberi
nama menurut botaniwan Jerman, Hartig). Seluruh nutrien diserap oleh mantel jamur dan
ditransportasikan ke akar melalui jala Hartig. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah
apakah tanaman semacam itu dapat tumbuh apabila tidak ada ektomikoriza. Penelitian-
penelitian mengenai hal ini menunjukkan bahwa apabila nutriea penting dibuat tersedia,
tanaman dapat tetap tumbuh walaupun tidak ada simbionnya. Walaupun demikian, kebiasaan
hidup secara mikoriza biasa terjadi dalam tanah dan pada kecambah yang tumbuh di tempat
persemaian yang kekurangan nutriea utama, seperti nitrogen dan fosfor. Apabila pohon ditanam
di daerah yang baru, agar terbentuk kebiasaan membentuk mikoriza, perlu dilakukan inokulasi
tanah dengan jamur mikoriza yang merupakan prasyaratnya.

INTERAKSI MIKROBA DENGAN KOMPONEN ABIOTIK

Beberapa faktor abiotik yang sangat berperan di antaranya :


1) Temperatur
Beberapa jenis mikroba dapat hidup pada rentang temperatur yang luas, sedangkan
jenis lainnya hanya dapat hidup pada rentang temperatur yang sangat terbatas, sehingga untuk
masing-masing mikroba dikenal nilai temperatur minimum, optimum dan maksimum yang
berbeda-beda. Temperatur minimum merupakan batas temperatur paling rendah agar mikroba
tersebut masih dapat hidup, sedangkan temperatur maksimum merupakan temperatur paling
tinggi yang memungkinkan suatu jenis mikroba hidup. Temperatur paling baik atau paling sesuai
bagi aktivitas mikroba disebut temperatur optimum. Berdasarkan hal itu bakteri dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu :
§ Bakteri psikrofil (oligotermik), yaitu bakteri yang tumbuh pada temperatur antara 00 C –
300 C, dengan temperatur optimum 100 C – 200 C.
§ Bakteri mesofil (mesotermik), yaitu bakteri yang tumbuh pada temperatur antara 50 C –
600 C, dengan temperatur optimum 250 C – 400 C.
§ Bakteri termofil (politermik), yaitu bakteri yang tumbuh pada temperatur antara 400 C –
800 C, dengan temperatur optimum 550 C – 650 C.

43
§ Bakteri Ekstrim Termofil: yaitu bakteri yang tumbuh pada kisaran temperatur yang
dibutuhkan 80-110oC. Mengenai hal ini akan dibahas lebih dalam pada bab selanjutnya.

Temperatur minimum suatu jenis mikroba ialah temperatur paling rendah dimana kegiatan
mikroba masih dapat berlangsung. Temperatur optimum adalah temperatur yang paling sesuai /
baik untuk kehidupan mikroba. Temperatur maksimum adalah tempeteratur tertinggi yang
masih dapat digunakan untuk kegiatan mikroba, tetapi pada tingkatan kegiatan fisiologi yang
paling minimal.

10 oC (freezer) Psikrofilik

0 oC (refrigerator)
Psikrofik

10 oC

20 oC
Mesofilik
30 oC panas badan manusia
Mesofilik

40 oC

50 oC

60 oC
Thermofilik
70 oC
Thermofilik

80 oC sumber air panas

90 oC

Daerah Temperatur bagi kehidupan

Kedua istilah tersebut mempunyai arti yang penting dalam praktek, terutama dalam
industri pengawetan bahan makanan dan obat-obatan.

Setiap jenis mikroba memiliki daya tahan yang berbeda-beda terhadap temperatur. Ada
jenis mikroba yang mati setelah medium dipanaskan pada temperatur 600 C selama beberapa
menit saja, sebaliknya bakteri yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan genus
Clostridium dapat bertahan hidup walaupun dipanaskan dengan uap 1000 C selama kira-kira
setengah jam.
Telah diketahui bahwa dalam reaksi kimia, kenaikkan temperatur akan menaikkan
kecepatan reaksi, misal tiap kenaikan 10 o
dapat mempercepat reaksi antara 2-3 kali lipat. Ini
disebabkan karena di dalam proses metabolisme terjadi suatu rangkaian reaksi kimia, maka
kenaikan temperatur sampai pada nilai batas tertentu, dapat mempercepat proses metabolisme.
Tetapi temperatur tinggi melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan denaturasi protein
dan enzim, dan ini akan mengakibatkan terhentinya proses metabolisme, sehingga dengan nilai
temperatur yang melebihi maksimum, mikroba akan mengalami kematian. Titik kematian termal

44
suatu jenis mikroba ialah nilai temperatur yang dapat mematikan jenis tersebut dalam waktu 10
menit pada kondisi tertentu. Sedang waktu kematian termal ialah waktu yang diperlukan untuk
membunuh suatu jenis mikroba pada suatu temperatur yang tetap.

Spora bakteri dapat mempertahankan diri dalam lingkungan yang jelek. Karenanya dapat
dimengerti mengapa jumlah spora per ml akan mempengaruhi waktu proses pembunuhan spora.
Misalnya untuk mematikan Clostridium botulinum pada temperatur 105oC, jumlah waktu yang
diperlukan tergantung pada jumlah spora per volume (ml). Jika jumlah spora per ml mencapai
900 juta, diperlukan waktu 56 menit. Tetapi jika 9 juta diperlukan waktu 48 menit, sedang
untuk 900 spora hanya diperlukan waktu 24 menit.

Pada umumnya untuk membunuh mikroba dengan pemanasan lebih mudah pada reaksi
medium asam atau alkalis, kalau dibandingkan dengan reaksi medium netral. Karena di dalam
keadaan netral waktu pemanasan yang diperlukan untuk membunuh akan lebih lama.

Komposisi medium juga mempengaruhi kepekaan bakteri terhadap pemanasan. Adanya


partikel atau benda padat dan senyawa tertentu dalam medium akan menaikkan resistensi
(ketahanan) mikroba terhadap panas, sebab penetrasi panas ke dalam medium terhalang oleh
benda atau zat tadi. Temperatur rendah menyebabkan gangguan pada metabolisma dan
tergantung kepada temperatur serta cara perlakuan.

Kematian mikroba pada temperatur rendah disebabkan oleh terjadinya perubahan


keadaan kolonial protoplasma yang tidak reversibel. Penurunan temperatur yang tiba-tiba
dibawah titik beku dapat mengakibatkan kematian, akan tetapi penurunan temperatur secara
bertingkat hanya menghentikan kegiatan metabolisma untuk sementara saja. Bila suspensi
o
bakteri didinginkan dengan cepat dari 45 C, maka jumlah bakteri yang mati dapat mencapai
95%, tetapi pendinginan secara bertingkat menyebabkan jumlah kematian tersebut akan
berkurang.

Kematian akibat penurunan temperatur yang tiba-tiba mungkin karena air menjadi tidak
siap untuk kegiatan fisiologi. Misalnya pada pembekuan, akan terjadi perusakan sel oleh adanya
kristal es dalam air antar sel. Proses pendinginan dibawah titik beku dalam keadaan hampa
udara secara bertingkat, banyak digunakan untuk mengawetkan biakan dan proses tersebut
disebut Iyofilisasi, merupakan menarik air, juga tidak menyebabkan denaturasi protein sebab
molekul air protoplasma dalam proses ini langsung diubah menjadi air tanpa melalui fasa cair
(sublimasi).

Tidak semua individu dari suatu jenis dapat mati bersama-sama pada temperatur
tertentu. Umumnya, individu yang satu lebih tahan daripada individu yang lain. Angka yang
menunjukkan kematian mikroba pada temperatur tertentu disebut Thermal Death Rate.

45
Suatu industri yang memanfaatkan aktivitas mikroba dapat mengontrol pertumbuhan
mikroba dengan menentukan lamanya pemanasan yang dapat mematikan tiap-tiap jenis
mikroba. Lamanya pemanasan untuk mematikan mikroba disebut Thermal Death Time.
Apabila batas antara temperatur minimum dan temperatur maksimur tidak terlalu lebar
maka bakteri itu disebut stenotermik, sebaliknya apabila batas antara temperatur minimum
dan temperatur maksimur sangat lebar maka bakteri itu disebut euritermik. Dalam praktiknya,
batas-batas minimum dan maksimum antara golongan-golongan itu sangat sulit ditentukan.
Bakteri yang ditumbuhkan di bawah temperatur minimum atau temperatur maksimumnya tidak
segera mati melainkan berada dalam keadaan “tidur” atau dormancy.
2) Kelembaban
Semua jenis mikroba memiliki nilai kelembaban optimum. Pada umumnya untuk
pertumbuhan ragi dan bakteri diperlukan kelembaban yang tinggi, yaitu di atas 85%,
sedangkan untuk jamur diperlukan kelembaban di bawah 80%. Banyak pula mikroba yang
tahan hidup dalam kondisi yang sangat kering dengan membentuk spora, konidia, kista atau
kapsul.
3) Nilai keasaman (pH)
Batas pH bagi pertumbuhan mikroba merupakan suatu gambaran batas pH bagi aktivitas
enzimnya. Bakteri memerlukan nilai pH antara 6,5 - 7,5, ragi antara 4,0 - 4,5, sedangkan
jamur memiliki rentang pH yang lebih luas.
Setiap jenis bakteri membutuhkan pH tertentu untuk dapat tumbuh dengan baik. Namun
kebanyakan bakteri dapat tumbuh dengan baik pada pH antara 6,5 sampai 7,5. Bila bakteri
dikultivasi pada pH tertentu, maka kemungkinan pH tersebut dapat berubah sebagai akibat
adanya senyawa-senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhannya.
Pergeseran pH yang cukup besar dapat mengahambat pertumbuhan mikroba itu sendiri.
Pergesaran pH dapat dicegah dengan menambahkan larutan penyangga dalam medium. Larutan
penyangga adalah senyawa atau pasangan senyawa yang dapat menahan perubahan pH,
contohnya garam-garam fosfat seperti KH2PO4 dan K2HPO4 serta larutan pepton.
4) Oksigen
Gas-gas yang sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah gas oksigen dan
karbon-dioksida. Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, bakteri dapat dikelompokkan menjadi
empat, yaitu :
a) Aerobik : bakteri yang sangat membutuhkan oksigen
b) Mikroaerofilik : bakteri yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi sedikit oksigen
c) Anaerobik obligat : bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen
d) Anaerobik fakultatif : bakteri yang dapat tumbuh dalam kondisi tanpa atau dengan
oksigen
Mikroba anaerob tidak mempunyai enzim superoksid dismutase atau peroksidase. Dari
proses metabolisme mikroba anaerob (reduksi / enzimatik) yang terjadi dalam suasana aerob

46
(ada oksigen) akan terbentuk zat-zat yang bersifat bakteriosid terhadap mikroba tersebut,
seperti superoksida (oksigen) dan peroksida (H2O2).

5) Logam berat
Kehadiran logam-logam berat seperti Hg, Ag, Cu, Au, Zn, Li dan Pb walaupun pada
kadar yang sangat rendah akan bersifat toksisk bagi pertumbuhan mikroba, karena ion-ion
tersebut dapat bereaksi dengan gugusan senyawa sel. Daya bunuh logam berat pada kadar
rendah disebut daya oligodinamik.
Beberapa ion logam berat seperti Hg2+, Cu2+, Ag+, dan Pb2+ pada kadar yang sangat
rendah dapat digunakan sebagai antimikroba. Ion-ion tersebut bersifat toksik karena dapat
bereaksi dengan bagian-bagian penting serta dapat mengendapkan enzim-enzim dan protein
yang penting lainnya dalam sel. Daya antimikroba logam berat pada kadar yang sangat rendah
tersebut disebut daya oligodinamik.

6) Pengaruh NILAI OSMOTIK MEDIUM


Medium yang paling sesuai bagi pertumbuhan bakteri adalah medium yang isotonik
terhadap isi sel bakteri. Jika bakteri ditumbuhkan dalam suatu larutan yang hipertonik terhadap
isi sel, misalnya larutan gula dan larutan garam yang pekat, maka bakteri akan mengalami
plasmolisis. Sebaliknya, apabila bakteri ditumbuhkan pada larutan yang hipotonik terhadap isi
sel, misalnya di dalam air suling, maka bakteri akan mengalami plasmoptisis. Tekanan osmotik
yang tinggi banyak digunakan dalam praktek untuk pengawetan ikan dengan penambahan
garam, pengawetan buah-buahan dengan penambahan gula dan sebagainya.

7) Radiasi
Energi radiasi yang diabsorpsi oleh sel mikroba akan menyebabkan terjadinya ionisasi
komponen sel. Ionisasi molekul tertentu dari protoplasma dapat menyebabkan kematian,
perubahan genetik atau setidaknya dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Sinar matahari
terutama sinar ultraviolet dan sinar-sinar gelombang pendek lainnya, dengan panjang
gelombang kurang dari 300 nm seperti sinar X dan sinar gamma mempunyai daya germisida
yang cukup besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Sinar-sinar tersebut
dapat menyebabkan perubahan genetik (mutasi) bahkan menyebabkan kematian. Oleh karena
itu sinar-sinar tersebut banyak dipergunakan untuk sterilisasi dan pengawetan bahan makanan
Setiap radiasi dapat mengganggu pertumbuhan bakteri terutama radiasi yang
disebabkan oleh sinar pendek dengan panjang gelombang antara 240 m sampai dengan 300
m. Makin dekat jarak penyinaran makin cepat pula mikroba tersebut mati. Sinar-X dan sinar

47
radium yang panjang gelombangnya lebih pendek daripada sinar ultra ungu juga dapat
membunuh mikroba. Bakteri yang disinari dengan sinar-X dapat mengalami mutasi.

8) Arus Listrik
Aliran listrik secara tidak langsung juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena
dapat menimbulkan panas yang menyebabkan timbulnya senyawa berbahaya di dalam medium
seperti ozon. Arus listrik bolak-balik ataupun daerah yang bertegangan tinggi dapat
menyebabkan elektrolisis bahan penyusun medium. Arus listrik dapat juga menghasilkan panas
mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Karena sel di dalam suspensi akan mengalami
elektroforesis kalau dilalui arus listrik, maka kehidupan mikroba akan terganggu/terhenti.

9) Desinfektan dan bahan-bahan antiseptik


Zat-zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tetapi tidak membunuhnya
disebut zat antiseptik atau zat bakteriostatik, sedangkan yang dapat membunuh bakteri
disebut desinfektan, gemisida atau bakterisida. Efek zat-zat tersebut untuk membunuh
bakteri ditentukan oleh konsentrasi zat tersebut di dalam medium dan lamanya zat tersebut
bersinggungan dengan sel bakteri. Rusaknya sel bakteri karena zat desinfektan disebabkan oleh
terjadinya :
• Oksidasi
Zat-zat seperti H2O2, Na2BO4 serta KMnO4 mudah melepaskan O2 sehingga menimbulkan
oksidasi.
• Koagulasi atau penggumpalan protein
Zat-zat organik seperti fenol, formaldehid, etanol dapat menggumpalkan protein. Protein
yang menggumpal merupakan protein yang mengalami denaturasi sehingga sudah tidak
dapat berfungsi dengan baik lagi.
• Depresi tegangan permukaan
Sabun dapat mengurangi tegangan permukaan yang menyebabkan hancurnya sel bakteri.
Umumnya bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap pengurangan (depresi) tegangan
permukaan daripada bakteri Gram positif.

Secara khusus, mikroba-mikroba yang mampu hidup pada kondisi lingkungan abiotik
yang sangat ekstrem akan di bahas pada bagian terakhir buku ini.

48
KELESTARIAN EKOSISTEM

SIKLUS NITROGEN
Nitrogen merupakan elemen yang dibutuhkan oleh tubuh. Semua sel hidup
membutuhkan untuk proses biosintesis. Dalam sel hidup nitrogen merupakan bahan asam
amino, asam nikleat, dan molekul lainnya. Molekul nitrogen juga banyak diudara dalam bentuk N
dalam jumlah 79% dari gas yang ada di atmosfer. Tidak semua mikroba mampu menggunakan
nitrogen langsung seperti gas karbon dioksida. Hanya beberapa spesies mokroorganisme yang
mampu menggunakan nitrogen langsung. Lainya memfiksasi nitrogen dengan kerja sama atau
dengan simbiosis dengan mikroba lain. Berdasarkan kemampuan mikroba dibagi atas dua grup,
nitrogen fikser simbiosis dan nitrogenfikses nonsimbiosis.
Pada kondisi alamiah fiksasi nitrogen terjadi dengan dua cara yaitu :
1. Proses anorganik dalam atmosfer dari fotokimia dan reaksi listrik
2. proses biologic oleh fungsi, cyanobakterial dan bakteri lainnya.
Dalam reaksi fiksasi nitrogen akan membutuhkan enzim bakteri, nitrogenase dan adenosine
trifosfat (ATP)
Pengikat nitrogen simbiotik adalah mikroba yang mampu hidup sebagaiendosimbion
dalam akar darijenis legume. Contoh mikroba dalam grup ini adalah rhizobium. Dalam penelitian
diketahui bahwa rhizobium melliloti merupakan nodul efektif yang dapat mengikat nitrogen pada
tumbuhan kacang hijau.

Tabel 9 : Genus yang dapat memfiksasi nitrogen secara simbosis

Genus yang dapat memfiksasi nitrogen secara non simbiosis

Selain kedua grup tersebut yang dapat memfiksasi nitrogen, grup lain yaitu intermediet
atau pengikat nitrogen simbiotik fakultatif. Contoh dari grup ketiga tersebut adalah Spirillium
lipoferum selain sebagai grup simbiotik mikroba tersebut juga mampu menggunakan nitrogen
dari dara ddengan mekanisme simbiosis dengan akar tanaman rumput trofis dan mampu
menggunakan nitrogen dengan nonsimbiotik bila ditumbuhkan di laboratorium pada media yang
tepat.

49
Penambahan nitrogen sebagai faktor pertumbuhan (growth factor) dapat menyebabkan
pertumbuhan bakteri fotosintetk sulfur ungu lebih baik, tapi dari hasil penelitian diketahui bahwa
pengaruh molybdenum dapat mengurangi jimlah biomassa mikroba nitrogen Fikser Anabaena
doliolum.
Dalam siklus nitrogen, organisme mengeluarkan nitrogen di biosper dengan bermacam-
macam cara: misalnya, ekskreta, metabolisme bahan organic atau dari proses dekomposisi
organisma yang mati.
Nitrogen yang dihasilkan tanaman akan di gunaka dan dikembalikan kelingkungan
terutamadengan ekskreta. Dengan aktivitas enzimetik mikroba bahan-bahan tersebut akan
diubah menjadi ammonia.
Proses amonifikasi adalah proses dekomposisi darinitrat atau nitrit menjadi ammonia
oleh mikroba aerob, dan proses purifikasi adalah perombakan oleh mikroba anaerob, pada
proses ini biasanya terjadi bau yang tidak enak karena adanya pembusukan dari organisme atau
adanya ekskreta yang berbau, seperti urea.amin atau amonia akibat dikomposisi dari protein.
Ammonia yang dihasilkan akan diubah menjadi nitrat dengan melalui dua proses, oleh
mikroba kemolittrotofik tanah seperti Nitrosomonas dan nitrobacter akan mengoksidasi nitrit
menjadi nitrat. Nitrat adalah bahan yang larut dan selain sangat dibutuhkanoleh tumbuhan
melalui akarnya juga dibutuhkan oleh mikroba seperti Pseudomanas dan fungi yang akan
menggunakan nitrat sebagai oksigen pada keadaan tanah kekurangan oksigen.

Nitrosomonas dalam mengoksidasi ammonia menjadi nitrit dengan reaksi sebagai


berikut :
55 NH4 + 762 + 109 HC O2 ----->C5H7O2 + 54NO2 + 57H2O + 104H2CO3

sedangkan Nitrobacter dalam mengoksidasi nirit menjadi nitrat dengan reaksi sebagai berikut :
400NH2 + NH4 + 4 H2 CO4 + HCO4 + 195 O2 ------------> C5H7O2N + 3 H2O + 400 NO3

Dua alasan pentingnya reaksi tersebut adalah:


i. Terlihat banyaknya alkali (HCO3) yang digunakan waktu mengoksidasi NH4 yaitu 8,64 mg
HCO3 / mg NH4
2. Banyaknya O2 yang digunakan 3,22 mg O2 / mg NH4 untuk mengoksidasi ammonia
menjadi NO2 dan 1,11 mg O2 untuk mengoksidasi NO2 menjadi NO4

Tabel ..Mikroorganisma yang dapat mengasimilasi nitrat

Tabel 11. Mikroba dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi

50
Di dalam keseimbangan ekosistem mikroba yang mengoksidasi amonia menjadi nitrat,
akan bertambah banyak. Dalam siklus nitrogen terjadi juga proses denitrifikasi yaitu proses
dekomposisi nitrat, kemudian menjadi amonia dan nitrogen oleh mikroba anaerob. Selain
mikroba yang berperan dalam siklus nitrogen, proses nonbiologika seperti aktifitas volkanis, dan
gas yang dikeluarkan dari mobil juga dapat melepaskan nitrogen. Proses-proses dalam siklus
nitrogen dan mikroba yang berperan dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 12. Transformasi di dalam Siklus Nitrogen

Proses pelapukan atau dekomposisi protein dari tanaman atau hewan yang mati akan
diubah menjadi amonia. Hidrogen sulfida atau markaptan. Bila hal tersebut terjadi di atas tanah
akan masuk ke dalam perairan, dan menyebabkan pencemaran. Untuk mengukur mikroba
proteolitik dan heterotrofik tersebut dapat dilakukan dengan metode media agar tuang dengan
menggunakan “ beef-pepton agar“.
Sampel yang akan dianalisis sebaiknya tidak lebih dari tiga jam setelah sampling. Dalam
menganalisis mikroba Rhizobium melilolti dapat dilakukan dengan metode “Gene Fungsion“
penyebaran gas nitrogen didalam air tergantung dari badan air, umumnya nitrogen akan terlarut
pada permukaan air hingga jenuh. Banyaknya nitrogen dalam air tergantung aliran air dari tanah
dan dari air hujan. Pada danau-danau jumlah nitrogen umumnya sedikit, sekitar 0,05-0,01mg/l,
kecuali ada pencemaran dari air buangan. Dipermukaan perairan jumlah nitrogen yang
dibutuhkan oleh fitoplankton umumnya sedikit. Dan dalam kondisi anaerob nitrogen akan hilang
dengan adanya denetrifikasi.
Di tanah jumlah nitrogen umumnya lebih banyak daripada di perairan hal ini tergantuing
dari banyaknya bahan organik ditempat tersebut.julah nitrogen dalam tanah pertanian umumnya
0,2 sampai 0,5 dari berat kering tanah.

SIKLUS KARBON
Siklus karbon merupakan bagian dari siklus energi. Reaksi fotosintetis sangat
esensial untuk siklus karbon maupun siklus energi, karena melalui proses fotosintetis tersebut
karbon dioksida berhubungan dengan mahluk hidup. Melalui proses fotosintetisnya tumbuhan
hijau berperan dalam siklus karbon, karbon diubah menjadi karbon dioksida kemudian diubah
menjadi karbohidrat dengan bantuan energi matahari dan pigmen klorofil.
Reaksi fotosintetis terjadi di hutan-hutan, di padang rumput dan juga di rumput laut di
lautan. Dalam siklus karbon,karbon dioksida dibutuhkan tumbuhan, yang kemudian akan
dikonsumsi hewan, ikan atau manusia untuk kebutuhan sel dan energi. Dalam bentuk karbon
dioksida dikembalikan ke alam,bila hewan atau tumbuhan tersebut mati akibat kerja mikroba
karbon akan dikembalikan ke bumi.

51
Sumber utama karbon untuk mahluk hidup berada dalam udara, dalam bentuk karbon
dioksida jumlahnya kira-kira 0,03% dari volume . Karbon dioksida di udara akan difikansi ke
dalam jaringan hidup melalui fotoototrof tanaman dan ganggang, kemudian ototrof tersebut
akan dikonsumsi oleh heterotrof, yang akan menggunakan karbon tersebut untuk energi dan
pertumbuhannya.
Karbondioksida juga akan terlarut dalam air dan tanah dan dapat membentuk ion
bikarbonat. Karbon dapat diperoleh juga dari pembakaran kayu dan fossil yang akan
menghasilkan karbon dioksida ke atmosfer, pada keadaan kekurangan oksigen karbon dioksida
dapat diubah menjadi karbon monooksida, spesies tertentu mikroba akan memetabolisme gas
toksik tersebut dan akan mengubah menjadi karbon dioksida dan energi.
Dari hasil penelitian penambahan sumber karbon dalam bentuk glukosa atau maltosa dapat
meningkatkan aktifitas enzim dalam sel bakteri bacillus stearothermophilus.
Pada kondisi anaerob karbon dioksida direduksi menjadi metan (CH4) oleh mikroba.
Bakteri Methylococcus mampu mengoksidasi metan menjadi karbon dioksida.
Aspek penting lain dari siklus karbon adalah reaksi nonbiologi yaitu pertukaran antar
karbondioksida , karbonat dan bikarbonat yang umumnya terjadi dalam perairan. Pada kondisi
tertentu karbonat berpresitipasi dengan membentuk batu kapur (lime stone). Gambar siklus
karbon dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 29. Siklus karbon. Wistreich, 1980


SIKLUS FOSFOR
Fosfor sangat penting dan dibutuhkan oleh mahluk hidup, tanpa adanya fosfor tidak
mungkin ada organikfosfor didalam Adenosin trifosfat (ATP), asm dioksiribo nukleat (DNA) dan
asam ribonukleat (RNA), mikroba membutuhkan fosfor untuk membentuk fodfat anorganik dan
akan mengubahnya menjadi organik fosfat yang dibutuhkan untuk metabolisme,
karbohidrat,lemak dan asam nukleat
Hewan tingkat rendah mendapatkan fosfor sebagai fosfat anorganik atau fosfat organik.
Siklus fosfat seperti gambar di bawah terlihat akibat aliran air pada batu-batuan akan
mellllllarutkan bagian permukaan, mineral termasuk fosfat akan terbawa sebagai sedimen ke
dasar laut dan akan dikembalikan kedaratan. Burung camar mempunyai peran penting dalam
proses ini, ia akan mengembalikan fosfot dalam bentuk fosfat. Ikan-ikan juga akan
mengembalikan fosfat dari laut dan akan digunakan sebagai sumber dari fosfat. Perubahan dari
anorganik fosfat tidak larut (insoluble) ke fosfor terlarut (soluble) merupakan aktivitas mikroba.
Jumlah mikroba yang mampu mengubah fosfor tidak larut ke fosfor terlarut dapat di ketahui
dengan metode agar tuang. Dengan menambahkan glukosa dan Ca3(PO4)2.

• SIKLUS BELERANG (SULFUR)

52
Sulfur merupakan komponen protein ensensial yang dibutuhkan untuk kehidupan. Di
dalam sulfur berada dalam bentuk S dan dalam bentuk oksidasi sulfur berada dalam bentuk
hidrogen sulfrida (H2S). Sulfit (S2O) dan sulfat (SO4) Dalam alam sulfur disimpan dalam volkanik
dan aktivitas mikroba.
Protein hewan dan tumbuhan dalam proses dekomposisi akan diubah menjadi asam
amino, Tiga macam asam amino yang mengandung sulfur adalah sistein, sistin, dan metionin.
Dalam suasana anaerob sulfur akan berada dalam bentuk hidrogensulfida, umumnya
terdapat dalam air yang tercemar, air buangan dan dalam rumen ruminansia. Mikroba yang
berperan dalam mereduksi sulfat adalah Desulfovibrio yaitu bakteri vibrio yang motil, bakteri lain
yang mampu mereduksi sulfat adalah Desulfotomaculum yaitu bakteri termofilik yang
mempunyai spora dan Desulfomonas yaitu bakteri nonmotil. Mikroba tersebut tersebar di tanah
dalam kisaran pH dan salinitas yang luas.
Hidrogen sulfida dapat juga diproduksi dari proses dekomposisi protein oleh mikroba
Salmonella dan Proteus. Sulfur sebagai nutrien pertama sebelum digunaka oleh tumbuhan akan
dioksidasi menjadi sulfat oleh mikroba ototrofik,yaitu spesies Beggiatoa, Thiobacillus,
Thiobacterium, Thiosfira dan Thiotrix. Proses tersebut terjadi di perairan tawar atau asin, air
buang.
Tanaman dan hewan
(Protein)

tanaman,hewan dekomposisi
asimilasi bakteri mikrobial

reduksi sulfat
SO4

Desulvovibrio H 2S

Oksidasi Mikroba

Oksidasi Oksidasi
Mikroba Mikroba

Sulfur
Bakteri autotrofik
Bakteri fotosintetik
Thiobacilus

53
Gambar 31 Siklus sulfur, Wistreich. 1980

Sel prokariot berperan dalam mengoksidasi S, sel tersebut dibagi dalam dua grup: grup
aerob yaitu mikroaerofilik kemotrofik dan anaerob fototrofik. Mikroba tersebut dapat terlihat
dalam tabel berikut:

Tabel 13. Mikroba Pengoksidasi Sulfur

54
KESEIMBANGAN EKOSISTEM
1. RANTAI MAKANAN DETRITUS

Serangga darat

Perumputan Herbivor Karnivor


langsung
Daun
bakau

Larut
Tingkat trofik campuran
Bakteri
dan
Penyerapan Herbivor
fungi
pada partikel

Karnivor Karnivor
omnivor
sedang tinggi
Protozoa

Larut Karnivor
primer

Alga

Bahan fekal

Gambar : Rantai Makanan meramban atau merumput (Odum, 1971)

Pemangsa Avertebrata Ikan


Burung

Avertebrata bentik
Herbivor Zooplankton
Suspensi

Fitoplankton

Detritus sungai
Detritus organik
Bakteri (dalam Zat hara
endapan, suspesi)

55
Vegetasi
Alergi bentik

Gambar : Rantai makanan detritus (Odum, 1971)


2. EUTROFIKASI

Eutrofikasi merupakan suatu kondisi perairan yang sedang mengalami proses pengayaan
yang berlebihan oleh sisa-sisa buangan secara berlebihan dan terus-menerus yang dibawa oleh
aliran sungai-sungai ke laut. Perairan yang mengalami keadaan eutrofikasi ditandai oleh kondisi
perairan yang khas yaitu terjadinya blooming dari fitoplankton, oksigen terlarut (DO) berkurang
bahkan dapat habis. Dalam kondisi eutrofikasi yang berat maka kemungkinan besar dapat
terjadi kematian ikan dan hewan-hewan bentik lainnya secara massal karena perairan dalam
kondisi kekurangan oksigen (oxygen deficiency). Keadaan ini pernah beberapa kali terjadi di
perairan Teluk Jakarta yaitu terjadi kematian massal ikan dan hewan-hewan bentik yang
berkaitan dengan blooming fitoplankton antara lain blooming Nocticula.

Menurut Bulloch (1989 dalam Adnan, 1995) bahwa eutrofikasi telah meningkat di dunia
dan unsur nitrogen merupakan pemicu utama terjadinya blooming. Dengan demikian blooming
fitoplankton dapat merupakan indikator perairan yang sedang mengalami proses eutrofikasi.
Menurut Cruzado (1988 dalam Adnan, 1995) bahwa perairan yang sedang mengalami
eutrofikasi mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Memiliki konsentrasi nutrien (fosfat dan nitrat) tinggi.
b. Densitas atau kelimpahan fitoplankton tinggi.
c. Konsentrasi oksigen terlarut tinggi di dekat permukaan dan rendah atau habis di dekat pasar
perairan.
d. Sering mengalami blooming fitoplankton atau bahkan terjadi red tide.

Eutrofikasi menyebabkan kerusakan pada tanaman dan kematian burung-burung.


Beberapa tipe alga diketahui memproduksi racun yang dapat menyebabkan kematian bagi
ikan, hewan air dan burung-burung. Banyak sisa alga akan terakumulasi pada tepi air dan akan
berkembang bakteri Clostridium botolinum. Burung-burung yang makan alga tersebut akan mati
karena racun botulinus.
Masalah lain dari pertumbuhan alga adalah terbentuknya filamen sehingga
mempengaruhi aliran air. Alga berfilamen seperti Cladophora yang mengalami pertambahan
panjang filamen sepanjang 2,5 m/hari di bawah kondisi yang nyaman bagi pertumbuhannya,
dan akan membentuk jalinan pita panjang yang suram tebal hingga mencapai 12 m, diketahui
dapat menyelimuti rumput-rumputan. Jalinan tersebut akan menangkap partikel lumpur yang

56
terbawa oleh air sungai, dan bila partikel tersebut adalah partikel organik, masa yanng
terakumulasi akan mengalami penghancuran dan membutuhkan oksigen.
Kualitas air memegang peranan penting dalam mengelola dan konservasi sumberdaya
ikan. Salah satu perubahan kualitas air adalah peningkatan nutrien sehingga menyebabkan
eutrofikasi. Eutrofikasi pada waktu yang cepat dapat meningkatkan produksi ikan terutama di air
mengalir sperti sungai. namun eutrofikasi terus berlanjut, ikan dapat mati karena respirasi
bakteri dan tumbuhan mengurangi oksigen terlarut.

57
LINGKUNGAN KEHIDUPAN MIKROBA

1. MIKROBA DI LINGKUNGAN AIR

Air di permukaan bumi ini 97% terdiri atas lautan, 2% es, 0,0009% berupa danau,
0,00009% pada sungai dan sisanya pada air permukaan. Pada permukaan bumi ini 71% adalah
lautan sehingga air merupakan hal dominan di permukaan bumi ini. Suatu perairan merupakan
suatu ekosistem yang kompleks sekaligus merupakan habitat dari berbagai jenis makhluk hidup,
baik yang berukuran besar seperti ikan, dan berbagai jenis makhluk hidup berukuran kecil
(mikroba) yang hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Perairan alami mempunyai sifat
yang dinamis dan aliran energi yang kontinyu selama sistem di dalamnya tidak mengalami
gangguan atau hambatan, antara lain dalam bentuk pencemaran. Sebagai suatu habitat dari
berbagai jenis makhluk hidup, khususnya mikroba, ekosistem air dilengkapi dengan berbagai
kondisi lingkungan yang sangat mendukung aktivitas mikroba, sehingga terjadi keseimbangan
lingkungan.
Masuknya materi atau zat lain dalam bentuk pencemaran dapat mengakibatkan
terganggunya keseimbangan ekosistem air, yang ditandai dengan hilangnya atau terputusnya
rantai makanan dan jaring-jaring makanan serta tidak proporsionalnya piramida makanan karena
proporsi tingkatan trofik yang tidak seimbang. Hal ini disebabkan karena terjadi gejolak
kehidupan akibat adanya fluktuasi ketersediaan bahan makanan dan populasi kelompok mikroba
yang hidup di dalamnya seperti bakteri, jamur, protozoa, mikroalga serta hewan-hewan kecil
lainnya seperti serangga. Secara alami, aktivitas mikroba seperti interaksi, simbiosis dan
metabolisme biologis akan dapat memulihkan kondisi badan air yang telah tercemar, selama
faktor lingkungan masih dapat mendukung terjadinya aktivitas tersebut.

Kelompok Mikroba di Air


Rumus kimia air di lingkungan laboratorium adalah H2O. Pada kenyataannya di alam,
rumus tersebut menjadi H2O + X. Dalam hal ini, X dapat merupakan karakteristik non-biologis
seperti residu pestisida, deterjen, pupuk, sampah atau karakteristik biologis yang terdiri dari
mikroba-mikroba yang hidup di dalam air seperti bakteri, jamur, protozoa dan mikroalga.

58
Mikroba-mikroba yang sering dijumpai di dalam suatu badan air, baik yang tampak
jernih maupun yang kotor atau telah tercemar, sering dikenal sebagai “kelompok kehidupan di
dalam air”.

Kelompok Mikroba di Air Bersih


Di dalam air yang dianggap jernih seperti air yang berasal dari sumur biasa, sumur
pompa, sumber mata air dijumpai kelompok kehidupan sebagai berikut :
a. Kelompok bakteri besi, misalnya Crenotrix dan Spaerotilus.
Bakteri-bakteri tersebut mampu mengoksidasi senyawa ferro menjadi ferri. Akibat
kehadirannya, air yang disimpan lama dapat berubah warnanya menjadi kecoklat-coklatan
atau kehitam-hitaman.
b. Kelompok bakteri belerang, misalnya Chromatium dan Thiobacillus.
Bakteri-bakteri tersebut mampu mereduksi senyawa sulfat menjadi H2S. Akibat
kehadirannya, air yang disimpan lama akan berbau busuk, seperti telur busuk.
c. Kelompok mikroalga, misalnya mikroalga hijau, biru atau kuning.
Hadirnya kelompok mikroalaga ditandai dengan berubahnya warna air yang disimpan terlalu
lama menjadi kehijau-hijauan, kebiru-biruan, atau kekuning-kuningan, tergantung dari
dominasi mikroalga tersebut.

Kelompok Mikroba di Air Kotor


Selain itu, dikenal pula kelompok kehidupan di dalam air yang kotor atau telah tercemar
seperti air selokan, air sungai atau air buangan. Di dalam air yang kotor dan telah tercemar,
selain dijumpai kelompok kehidupan seperti di dalam air yang jernih, dijumpai pula kelompok
kehidupan sebagai berikut :
a. Kelompok mikroba patogen, yaitu mikroba yang dapat menyebabkan penyakit tifus,
paratifus, kolera, disentri, misalnya Salmonella typhi, Sgigella shigae, Vibrio cholerae.

b. Kelompok mikroba penghasil racun, yaitu mikroba yang dapat menyebabkan


keracunan bahan makanan seperti daging, ikan, dan sayuran, misalnya Clostridium,
Vibrio parahaemolyticus.

c. Kelompok mikroba pengguna, yaitu mikroba yang mampu menguraikan senyawa-


senyawa tertentu di dalam badan air. Oleh karena itu, kelompok ini sering dikenal sebagai
kelompok mikroba pengguna residu pestisida, pengguna residu minyak bumi, pengguna
residu deterjen dan sebagainya.

d. Kelompok mikroba pencemar, misalnya bakteri golongan Coli yang berasal dari kotoran
manusia atau hewan berdarah panas lainnya, misalnya Escherichia coli, Aerobacter
aerogenes.

59
Air merupakan substrat yang paling sering mengalami pencemaran akibat adanya
buangan, baik buangan domestik maupun non-domestik. Pada hakikatnya masalah pencemaran
badan air adalah akibat yang logis dari adanya kehidupan beserta aktivitas-aktivitas manusia dan
makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu semakin meningkatnya taraf kehidupan suatu masya-
rakat, semakin bertambah pula bentuk dan sifat pencemaran yang menyertainya.
Buangan sebagai sumber pencemar yang sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan di dalam suatu badan air dapat berbentuk pencemar biologis yang umumnya
tersusun oleh jasad-jasad hidup seperti bakteri, jamur, mikroalga dan protozoa, dapat pula
berbentuk pencemar non-biologis seperti masuknya berbagai senyawa kimia dan berubahnya
faktor fisis (Mitchell, 1987).
Lebih lanjut Pelczar dkk (1993) menjelaskan pula bahwa masuknya buangan biologis ke
dalam air yang mengalir pada suatu badan air ditandai dengan meningkatnya aktivitas
metabolisme mikroba yang menyebabkan terjadinya fluktuasi konsentrasi nutrien yang tersedia
serta fluktuasi populasi kelompok mikroba tertentu. Dalam kondisi tanpa buangan, semua
kelompok mikroba berada dalam keadaan yang seimbang mengikuti pola rantai makanan yang
ada. Dengan masuknya buangan, terjadi turbulensi aliran air yang menimbulkan percampuran
antara massa yang telah ada di dalam air dengan air itu sendiri sehingga sehingga semua
mikroba mulai meningkatkan aktivitas metabolismenya. Sejalan dengan hal itu meningkat pula
aktivitas simbiosis di antara kelompok mikroba. Dalam kondisi seperti ini, bakteri merupakan
mikroba pengaktif yang pertama yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru
(Campbell, 1977)
Melimpahnya kandungan organik yang terkandung di dalam buangan menyebabkan
bakteri memperoleh penambahan sumber makanan. Bakteri dan sebagian kecil jamur
mempunyai kemampuan untuk melakukan degradasi terhadap senyawa organik maupun
senyawa anorganik, sehingga dapat menghasilkan senyawa-senyawa lain yang berbentuk ion,
misalnya NO3-, SO42- dan sebagainya. Dengan bertambahnya sumber makanan, populasi
bakteri dapat meningkat dengan pesat sampai mencapai titik maksimum. Bersamaan dengan
meningkatnya populasi bakteri, meningkat pula populasi protozoa karena bakteri merupakan
sumber makanan bagi kelompok protozoa. Titik maksimum pertumbuhan bakteri ditandai
dengan air yang menjadi septik, berbau, dan berwarna hitam, atau dikatakan air dalam
keadaan tercemar berat.
Karena tingginya populasi bakteri, lama kelamaan kandungan organik, NO3-, SO42-,
PO43- di sepanjang aliran air akan semakin berkurang akibatnya populasi bakteri menjadi
berkurang. Namun sebelum ion-ion tersebut mulai berkurang, yaitu pada saat mencapai nilai
maksimum, mikroalga dapat tumbuh kembali, karena senyawa-senyawa ini merupakan sumber
nutrien bagi kelompok mikroalga. Dengan bantuan sinar matahari, mikroalga dapat
memperbanyak diri dan dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan massa sel alga
dan oksigen. Massa sel alga yang di dalamnya banyak mengandung lemak, karbohidrat,

60
protein serta beberapa vitamin dan asam amino sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup
organisme lain seperti ikan-ikan kecil. Pertumbuhan mikroalga menandakan aliran yang
tercemar mulai pulih kembali (Palmer, 1987).
Secara ringkas, Odum (2001) mengemukakan bahwa berdasarkan aktivitas simbiosis
dan peran mikroba sebagai indikator biologis, air yang mengalami penambahan buangan
domestik akan mengalami hal-hal sebagai berikut :
a. Daerah jernih :
ditandai dengan populasi mikroba rendah, nilai DO di atas 3, ikan-ikan kecil masih dapat
hidup.
b. Daerah aktif dikomposisi :
Aliran air mulai mengalami pencemaran, akibat meningkatnya aktivitas metabolisme
mikroba, nilai BOD / COD tinggi, nilai DO rendah
c. Daerah septik :
Aliran air tercemar berat, populasi bakteri mencapai maksimu, nilai DO sangat rendah (di
bawah 1) dan nilai COD/BOD sangat tinggi
d. Daerah pemulihan :
Populasi mikroalga meningkat, nilai BOD / COD turun, nilai DO naik, populasi bakteri
berkurang
e. Daerah jernih :
Keadaan aliran sama dengan keadaan aliran semula, ikan-ikan kecil dapat hidup.

PENUTUP

• Suatu perairan akan membentuk ekosistem yang seimbang bila dinamika rantai makanan
menyebabkan penambahan atau penurunan populasi komponen ekosistem itu sendiri.
• Terjadinya gangguan lingkungan baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun oleh
peristiwa alam dalam bentuk pencemaran dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan
ekosistem, ditandai dengan terjadinya gejolak kehidupan.
• Terjadinya gejolak kehidupan menimbulkan fluktuasi ketersediaan nutrisi dan fluktuasi
populasi mikroba yang hidup di dalamnya.
• Mikroba sangat berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem maupun untuk
memulihkan keseimbangan ekosistem yang terganggu melalui aktivitas yang dapat
dilakukannya baik berupa interaksi, simbiosis maupun metabolisme biologis selama faktor
lingkungan abiotik maupun biotiknya cukup medukung.

Pembagian Wilayah Pencemaran di Sungai

61
Brinley (1991) dalam Nemorow (1991) menyatakan bahwa salah satu dampak dari
berubahnya kelimpahan mikroba di sungai dapat menggambarkan kondisi atau tingkat
pencemaran yang terjadi pada zona itu berdasarkan tingkat pencemarannya yang terjadi pada
zona itu. Berdasarkan tingkat pencemarannya dan perubahannya, sungai dibagi menjadi 3
wilayah yang berbeda yaitu :
1. Zona 1- Zona dekomposisi
Zona ini ditandai dengan tinggi kandungan bahan organik dan biasanya oksigen terlarut
sangat rendah (0-3 ppm), khususnya pada tempat-tempat dengan aliran yang sangat
lambat, pada zona ini kandungan BOD tinggi, jumlah mikroba tinggi danjuga terdapatnya
protozoa pemakan bakteri seperti Paramecium, Colpidum, Vorticella, Charchewium dan
flagelata. Jumlah plakton rendah, terdapat juga jamur sampah. Tubifex dan liminodrilus
datemukan pada bagian dasar sungai. Gaas yang terbentuk akan mendorong lumpur
kepermukaan. Hanya sedikit jenis ikan yang dapat beradaptasi pada kondisi ini yaitu dari
jenis carpio dan bufalo.
2. Zona 2- Zona antara
Pada zona ini terjadi laju degradasi biokimia dan oksigen terlarut meningkat menjadi 3-5
ppm. Jumlah plangton meningkat namun plamgtin tersebut menyesuaikan pada tingkat
pencemaran yang ada partikel menjadi makanannya. Pada kondisi ini sudah terdapat alga
hijau dan alga hijau biru. Beberapa jenis ikan mulai ada pada zona antara ini seperti jenis
carfio, buffalo, shiner, minnow, sucker dan sunfish.
3. Zona 3-Zona pemulihan
Air secara betahan menjadi lebih bersih, tanaman hijau tumbuh kembali,hewan-hewan kecil
sebagai makanan ikan tersedia. Kanduingan oksigen meningkat diikuti dengan meningkatnya
populasi ikan. Selanjutnya Patrik (1950) dalam Nemorow (1991) menjelaskan bahwa faktor
fisik, kimia dan karakteristik linngkungan akan memberikan variasi pada sungai dan dapat
diasumsikan kondisi pencemarannya dari keberadaan jenis tertentu. Ada 7 kelompok
taksonomi dari organisme yang berada yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi
sungai yaitu :
a. Alga hijau biru, alga hijau (sedikit) dan rotifera
b. Oligichaeta, lintah, siput
c. Protozoa
d. Diatom, alga merah dan alga hijau (banyak)
e. Rotifera, kijing, cacing dan siput
f. Insekta dan crustacea
g. Ikan
Selanjutnya dari hasil penelitian ketujuh kelompok tersebut diterapkan pada lima
klarifikasi sungai yaitu :
1. Sungai yang sehat

62
Terdapat keseimbangan organismeantara diatom dan alga hijau, spesies insekta dan ikan
ada beberapa variasi, dimana no 4,6,7 jumlahnya lebih dari 50% dari keseluruhan populasi,
dan populasi ini ditemukan pada ekositem sungai yang alami.
2. Sungai semi sehat
,dimana salah satu spesies mulai lebih jumlahnya. No 6 b dan 7 di bawah 50% dan no 1 dan
2 dibawah 100%, no 4 lebih dapat beradaptasi diikuti dengan organisme yang dominan.
3. Sungai tercemar
Sungai pada kondisi ini tidak terdapat lagi keseimbangan seperti pada sungai yang sehat.
Pada kondisi ini beberapa organisme dapat beradap tasi dengan baik seperti no 1 dan 2.
selanjutnya hasil penelitian memperlihatkan no 6 dan 7 keduanya ada dibawah 50% dan no
1 dan 2 sekitar 100%.
4. Sungai tercemar berat
Sungai pada kondisi ini bersipat toksin bagi tanaman dan hewan. Banyak dari grup yang
hilang seperti no 6 dan 7 dan no 4 dibawah 50%, atau jika 6 dan 7 mampu ada namun no 1
dan 2 kurang dari 50%.
5. Tidak normal
Sungai pada kondisi ini menjadi sangat rusak dan perlu waktu untuk menjadi normal
kembali. Perlu teknik tertentu untuk mengenbalikan kondisinya.

Secara umum terlihat bahwa dampak dari pencemaran adalah terjadinya pengurangan
pada beberapa spesies organisme, dengan beberapa mampu beradaptasi, sedangkan pada grup
3 dan 5 secara spesifik tidak digunakan pada 5 klarifikasi pencemaran sungai di atas
Pencemaran oleh bahan-bahan toksin toksin dan tidak terjadi penurunan kandungan
oksigen terlarut menyebabkan kerusakan yang parah pada tanaman dan kehidupan hewan di
sungai. Dampak dari bahan toksin dapat mengubah siklus biodinamik sehingga akhirnya pada
jangka panjang mengubah toksonomi dari grup tersebut.
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa sungai yang sehat terdapat semua organisme
dengan keseimbangan dan tidak ada satu spesies yang dominan. Dampak pencemaran
mengakibatkan perubahan pada pola keseimbangan tersebut dimana spesies yang mampu
beradaptasi akan mendominasi pada kondisi tersebut, sehingga keberadaan atau tidakberadaan
dari spesies tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasikan tingkat pencemaran yang
terjadi pada sungai. Namun demikian sistem biologi di sungai sangat-sangat di pengaruhi dari
tipe dan jumlah bahan organik yang ada.

Tabel 3.1. memperlihatkan perbandingan organisme yang ada di sungai yang bersih
dan sungai yang tercemar.

2.3. Sistem Saprobik

63
Sistem saprobik adalah penilaian terhadap pencemaran bahan organik pada ekosistem
air. Sungai yang menerima masukan bahan organik akan kembali normal lewat proses
selpurifikasi (pemurnian alami) yang terbagi menjadi beberapa tahap yaitu (Nemorow, 1991):
Zona 1 – Polysprobik
Pada zona ini bahan organik ada dalam jumlah yang tinggi, oksigen terlarut sangat rendah atau
tidak ada, terbentuk sulfida, bakteri dan organisme yang mampu beradaptasi melimpah.
Zona 2- Mesosaprobik
Pada zona ini komponen bahan organik menjadi lebih sederhana karena telah terjadi proses
penguraian, perlahan oksigen meningkat, terdapat bakteri dan jamur dan sedikit alga dengan
beberpa jenis hewan, terjadi proses mineralisasi yang dapat ditolelir oleh alga, hewan dan
tanaman berakar di dasar. Meskipun demikian keberadaan oksigen terlarut belum stabil benar
dan dapat menyebabkan kematian ikan.
Zona 3- Oligosaprobik
Zona ini telah pulih dimana proses mineralisasipun telah sempurna dan oksigen terlarut kembali
pada kondisi normal. Pada keadfaan ini terdapat berbagai jenis hewan dan tanaman.
Aspek dari pencemaran organik disungai adalah terjadinya pengurangan oksigen dan
hasil dekomposisi yang terbentuk adalah amonia dan sulfrida. Sistem saprobik dapat terlihat
pada terlihat pada kondisi pencemaran limbah domestik yang berat pada sungai dengan arus
yang lebat. Bila masukan pencemaran terhenti atau disungai terjadi turbulensi, maka bahan
organik tersebut akan cepat hancur dan kondisi berangsur normal.

Tabel 3.2. Hubungan antara saprobik dan tingkatan trofik

Contoh Tingkat sabrobik Tingkat trofik


Air minum Katrharabik -
• Air pegunungan Xenosaprobik Oligotrofik
• Air danau
• Danau yang Oligosaprobik Oligotrofik
berhubungan dengan B- Mesosaprobik Eutrofik
sungai
• Kolam ikan tercemar
dekat irigasi
• Sungai sangat tercemar A- Mesosaprobik Eutrofik
dengan pertumbuhan
Sphaerotilus
Polysaprobik Polytrofik
Limbah rumah tangga dan Eusprobik Hypertrofik
limbah industri, terjadi
dekomposisi biologis

Limbah industri, tidak bisa Transsaprobik Atrofik


menerima dekomposisi

64
biologis

Tabel 3.3 Klarifikasi spesies Oligochaeta pada berbagai tingkat pencemaran

No. Kondisi Spesies


1 Oligotrofik Stylodrilus herigianus
Peloscolex variegatus
P. superiorensis
Limnodrilus profundicola
Tubifex kessleri
Ryacodrilus coccineus
R. montana
2 Mesotroofik Peloscolex ferox
P. freyi
Hyodrilus templetoni
Potamothrix moldaviensis
P.vejdovskyi
Aulodrilus spp
Arcteonais lomondi
Dero digitata
Nais elinguis
Slavina appendiculuta
Uncinais unsinata
3 Hypertofika Limnodrilus angustipenis
L.cervix
L.claparedeianus
L.hoffmeisteri
L.manumeensis
L.udekemianus
Peloscolex multisetosus
Tubifex tubifex

Kecepatan perubahan lingkungan akan mengembalikan spesies yang tadi ada di sungai
tersebut. Diketahui bahwa 40% - 60% spesies dapat kembali stabil pada kondisi dibawah
optimal, dimana tahun pertama pada kondisi stress, 60-80% pada tahun berikutnya dan
pencapaian kembalinya populasi spesies yang ada di sungai sebesar 95% dicapai pada tahun
ketiga.

2. MIKROBA DI LINGKUNGAN TANAH

Tanah bukan semata-mata benda mati (abiotik). Tanah mengandung suatu bentuk kehidupan
khas berupa flora dan fauna, sehingga tanah memiliki ciri-ciri tertentu sebagai benda hidup
(biotik). Tanah tersusun atas komponen abiotik dan biotik dalam asosiasi interaktif yang
melangsungkan daur saling tukar bahan. Maka tanah pada hakikatnya merupakan suatu
ekosistem. Keseluruhan masyarakat hidup tanah dinamakan edafon yang merupakan bagian
bahan organik tanah. Kandungan edafon dalam bahan organik tanah berentangan 1-10% berat
bahan kering. Meskipun hanya merupakan bagian kecil dari tanah, namun peranan edafon dalam
proses-proses tanah sangat besar, khususnya dalam pelapukan mineral, dekomposisi dan

65
mineralisasi bahan organik, pembentukan bahan humik, kompleks organomineral dan struktur
tanah, serta pendauran energi dan unsur- unsur C, N, P, S, Fe dan Mn.

Tanah terdiri atas sekelompok organisma yang saling pengaruh – mempengaruhi dan yang
hidup dalam lingkungan anorganik yang khusus. Tanah adalah suatu ekosistem yang disusun
oleh mineral, air, udara dan bahan-bahan organik.

Kata komponen berasal dari kata Yunani : cum = bersama, + ponere = menempatkan. Di
sini artinya sesuatu zat yang menjadi bagian dari suatu zat yang lebih kompleks. Komponen
mineral. Panas, dingin, basah dan kering merupakan faktor-faktor yang merusak struktur
batuan. Mineral-mineral yang terdapat dalam bantuan itu bereaksi dengan air dan udara yang
masuk melalui celah-celah pada batuan itu. Lama-lama batuan itu pecah dan bahan-bahan
lapuk yang lepas menjadi bahan dasar tanah. Ukuran dari mineral padat ini bermacam-macam,
dari yang kasar sampai yang halus sekali. ambillah segumpal tanah dan perhatikanlah tanah itu.
Butir-butir tanah ada yang besar, ada yang kecil dan pada jari dan tangan akan melekat
semacam “tepung” yang sangat halus. Sebagian dari kesuburan tanah bergantung kepada
perbandingan antara besar kecilnya butir-butir tanah itu. Butir-butir tanah menahan suatu
lapisan air yang tipis sekali. di samping air yang terikat pada butir-butir tanah masih ada air
dalam tanah yang mengalir dengan bebas. Di antara butir-butir tanah terdapat banyak ruangan-
ruangan kecil yang terisi udara terutama dari atmosfer. Pada tanah yang terlalu basah ruangan-
ruangan udara itu sebagian berisi air, sehingga banyaknya udara dalam ruangan-ruangan itu
akan berkurang

Aktivitas mikroba yang ada dalam tanah sebagian besar bergantung kepada air yang ada
di dalam tanah. Mikroba hidup dalam air yang ada di dalam tanah, karena garam-garam yang
mereka perlukan untuk pertumbuhannya terdapat sebagai larutan di dalam air itu. Senyawa-
senyawa yang mengandung fosfor, belerang, kapur, kalium, besi, magnesium dan unsur-unsur
lainnya berasal dari mineral-mineral tanah.

Susunan kimia tanah ditentukan oleh ion-ion. Unsur-unsur yang diperlukan organisasi
dalam tanah selalu berupa ion-ion yang berasal dari zat-zat padat dalam tanah. Pada waktu zat-
zat itu larut molekul-molekul pecah menjadi ion-ion. Misalnya molekul MgSO4 dalam air akan
terurai menjadi ion magnesium (Mg++) dan ion sulfat (SO4--).

Juga air terurai dalam ion-ion. Tiap-tiap molekul air (H2O) sesudah ionisasi akan
menghasilkan satu ion hidrogen (H+) dan ion hidroksil (OH-). Kedua ion itu sama jumlahnya.
Ion-ion hidrogen dan ion-ion hidroksil juga dapat berasal dari persenyawaan lain yang ada di
dalam tanah. Tetapi dalam hal ini jumlah ion-ion hidrogen dan ion-ion hidroksil tidak sama. Bila
jumlah ion-ion hidrogen di dalam suatu cairan lebih besar daripada jumlah ion-ion hidroksil,
maka cairan itu disebut asam. Sebaliknya bila jumlah ion-ion hidroksil lebih banyak daripada
ion-ion hidrogen kita sebut larutan itu basa atau alkalis. Sifat asam atau basa dari cairan di

66
dalam tanah merupkan faktor yang penting bagi organisma-organisma yang hidup di dalam
tanah.

Humus (Latin : humus : tanah). Dilihat dari sudut ahli mikroba, tanah merupakan suatu
tempat timbunan bermacam-macam zat-zat organik. Tumbuhan dan hewan yang hidup di
darat, termasuk kita sendiri pada suatu ketika akan kembali ke tanah. Aktivitas organisma-
organisma yang hidup dalam tanah banyak bergantung kepada sisa energi yang terdapat dalam
tubuh dari tumbuhan dan hewan yang sudah mati. Melalui aktivitas organisma-organisma ini
bahan-bahan organik diubah kembali menjadi zat-zat anorganik seperti mineral-mineral, gas-gas
dan air.

Cepatnya penguraian zat-zat organik menjadi zat-zat anorganik oleh organisma-organisma


tanah ini bergantung terutama kepada iklim. Keadaan lingkungan yang panas dan lembab
sangat mempercepat proses penguraian sebab keadaan lingkungan yang demikian sangat baik
untuk pertumbuhan mikroba. Dalam semua iklim diperlukan beberapa waktu untuk proses
penguraian, sehingga di dalam tanah zat-zat organik itu ada dalam berbagai tingkat kehancuran.
Bila zat yang diurai itu sudah hancur, sehingga organisma yang asli tak dapat dikenal kembali,
maka zat itu disebut humus. Pada umumnya tanah banyak yang mengandung humus warnanya
lebih gekap.

Banyaknya humus yang terdapat dalam tanah sangat penting untuk ekosistem tanah
tersebut. Humus merupakan makanan cadangan yang diperlukan oleh organisma-organisma
yang hidup dalam tanah. Oleh karena itu tanah yang banyak mengandung humus juga
mempunyai populasi organisma yang lebih besar. Salah satu sifat humus ialah meningkatkan
kemampuan tanah untuk menahan lebih banyak air dan udara. Sedangkan air dan udara sangat
penting sekali untuk aktivitas-aktivitas organisma tanah. Sebaliknya humus dapat menimbulkan
keadaan yang tidak menguntungkan bagi organisma tanah, karena humus juga menambah sifat
asam tanahnya.

Organisma-organisma tanah. Bagi para ahli tanah, sebagian organisma tanah yang ada
dalam tanah merupakan bagian dari tanah. Oragnisma-organisma mana yang merupakan
bagian dari tanah dan mana yang tidak adalah soal batasan (definisi). Misalnya cacing tanah
yang membuat liang dalam tanah, tikus yang membuat “rumah” dalam tanah. Kedua-duanya
“mengerjakan” tanah dengan caranya masing-masing. Dapatkah mereka digolongan organisma
tanah ?

Di dalam tanah kita dapat menemukan berbagai kelompok mikroba. Organisma-


organisma ini tidak tersebar merata dalam tanah, melainkan membentuk koloni-koloni di tempat-
tempat yang paling cocok untuk hidup mereka. Penyebaran bakteria dalam biosfer mungkin
yang terluas bila dibandingkan dengan penyebaran organisma-organisma lainnya. Jumlah
mereka dalam tanah sangat besar. Di tanah yang alkalis dan agak kering bakteria merupakan

67
pengurai utama. Berbagai spesies bakteria dapat kita temukan di dalam tanah, yang saprophyt,
yang parasit, yang aerob, anaerob, yang autotroph dan yang heterotroph. Ada yang
membentuk spora, ada yang tidak. Banyak spesies bakteri tanah ini adalah spesifik dalam
mengurai persenyawaan. Beberapa bakteri tanah dapat hidup dengan baik di luar tanah.
Clostridium tetani misalnya adalah pemakan bangkai dan dapat hidup dalam jaringan-jaringan
yang mati sekeliling suatu luka pada badan manusia. Bakteri ini mengeluarkan suatu zat racun
yang menyebabkan penyakit tetanus.

Organisma yang sangat penting dalam mempelajari komunitas tanah dan baru akhir-akhir
ini mendapat perhatian adalah Actinomycetes. Pada tahun 1900 Martinus Beijerinck mulau
menyelidiki Actinomycetes yang ada dalam tanah. Beijerinck adalah seorang perintis dalam
banyak bidang, tetapi penemuannya tidak selalu vepat dilanjutkan oleh ahli-ahli lain. baru pada
tahun 1920 para ahli mikrobiologi tanah mulai menaruh perhatian terhadap mikroba ini. Apalagi
setelah S.A.Waksman dalam tahun 1943 menemukan bahwa Streptomyces griseus menghasilan
suatu zat yang dapat mematikan kuman-kuman penyakit tertentu yang menyerang manusia.
Zat ini disebut antibiotika. Bagi ahli mikrobiologi tanah Actinomycetes sangat penting, karena
hubungan-hubungannya dalam komunitas tanah. Bila kita membuat biakan dari contoh-contoh
tanah di laboratorium, maka 30% - 40% dari koloni-koloni yang tumbuh Actinimycetes.
Sebagian daripadanya dapat mengurai selulosa, suatu zat yang banyak terdapat di dalam sisa-
sisa tumbuhan. Sebagian lagi hidup dari zat-zat yang merupakan hasil dari penguraian itu.
Actinomycetes memberi bau kepada tanah yang menyenangkan, yaitu bila tanah baru dicangkul,
atau dibajak.

Di padang rumput pengurai utama zat-zat dalam tanah adalah bakteri, sedangkan di tanah
hutan jamur adalah pengurai yang terpenting. Hal ini mungkin disebabkan karena toleransi
jamur terhadap keadaan asam dalam tanah hutan lebih besar dari pada bakteri. Bila tanah
hutan kita balik beberapa sentimeter sering akan tampak anyaman-anyaman hypha yang halus
sekali, yang putih warnanya atau agak keabu-abuan. Kalau diteliti benar-benar, maka akan
tampak bahwa hypha-hypha itu bergabung membentuk berkas-berkas yang bercabang halus,
dan yang teranyam dalam daun, cabang, batang, atau akar yang sudah mati. Jamur biasanya
aktif dalam lapisan tanah yang di atas, sebab lapisan-lapisan itu mengandung banyak sisa-sisa
zat organik. Seperti Actinomycetes jamur juga aktif dalam mengurai selulosa, pectin, dan chitin.
Pectin adalah zat yang umum terdapat dalam tumbuhan : beberapa diantaranya mengikat
jaringan-jaringan tumbuhan yang satu dengan yang lain. Chitin terutama terdapat pada
kerangka luar serangga.

Ganggang merupakan penghuni penting di sawah. Banyak ganggang mampu mengikat


nitrogen dan oksigen dari udara, oleh karena itu menambah kesuburan tanah, dan dengan
demikian hasil panen juga meningkat. Karena mengandung chlorophyl, ganggang biasanya
hidup di atas, atau dekat sekali di bawah permukaan tanah, sehingga dapat memperoleh sinar

68
matahari untuk menjalankan proses fotosintesis. Tetapi adanya juga beberapa spesies gangang
yang memperoleh energi yang diperlukannya dari zat-zat organik di dalam tanah, sebagaimana
halnya dengan bakteri dan jamur.

Spesies-spesies ini dapat hidup dalam lapisan-lapisan tanah yang lebih dalam. chlorophyl-
nya tetap ada atau hilang sama sekali.

Setiap orang mengenal cacing tanah. Cacing tanah ini adalah salah satu di antara hewan
tanah yang besar. Tidak kalah pentingnya adalah hewan yang lebih kecil seperti kelabang, kaki
seribu : tungau dan banyak serangga-serangga kecil. di antara golongan-golongan hewan yang
paling banyak terdapat dalam tanah ialah Nematoda. Mereka ini terutama penting dalam tanah
pertanian, karena hubungannya dengan tanaman.

Hubungan Komunitas Mikroba di Dalam Tanah

Karena adanya bermacam-macam mikroba yang ditemukan dalam tanah kita dapat
membayangkan bagaimana rumitnya hubungan yang terdapat di antara organisma itu. Satu
macam organisma tanah saja sudah dapat mempengaruhi popuplasi yang lain. hubungan
diantara organisma-organisma itu sama seperti yang dibicarakan dalam bab sebelumnya, hanya
dalam tanah ada aktivitas-aktivitas yang tertentu.

Hubungan pengurai. Kebanyakan mikroba tanah adalah konsumen. Karena


menghancurkan sisa-sisa organisma yang sudah mati, mikroba-mikroba ini adalah saprovor.
Biasanya mikroba hanya menggunakan zat-zat tertentu dari organisma yang mati. Ada yang
menguraikan selulosa menjadi bermacam-macam gula, untuk mendapatkan energi dari gula itu.
Organisma tanah lainnya yang tidak mampu menguraikan selulosa sendiri juga mengambil gula
dari hasil uraian itu.

Daun-daun mati yang terletak di atas tanah mengandung sejumlah besar zat-zat organik
yang rumit, yaitu selulosa, pectin dan lignin (Latin : lignin = kayu), serta sejumlah kecil gula.
Organisma-organisma yang memerlukan gula dari daun yang sudah mati itu baru dapat
memperolehnya sesudaj selulosa, pectin dan lignin diuraikan oleh mikroba tertentu. Jadi untuk
persediaan makanannnya organisma yang satu bergantung kepada organisma yang lain. Dalam
tanah hasil aktivitas mikroba yang satu menjadi makanan mikroba yang lain. Dalam rantai
makanan ini zat-zat organik yang rumit diuraikan menjadi zat-zat organik yang sederhana;
kemudian diuraikan lebih lanjut sehingga akhirnya tinggallah zat-zat anorganik, yaitu CO2, air
dan senyawa-senyawa mineral.

Kaang-kadang suatu organisma menghasilkan zat yang tidak merupakan makanan bagi
organisma lain, tetapi zat tersebut dapat memperngaruhi organisma itu. Banyak sekali jamur
yang menghasilkan zat-zat yang bersifat asam. Sifat asam dari tanah ini sangat menguntungkan

69
organisma lain, terutama jamur lainnya. Bagi bakteri, lingkungan yang asam ini tidaklah
menyenangkan, sehingga dalam tanah-tanah hutan jumlah jamur besar, sedangkan jumlah
bakteri yang ada di situ kecil saja. Bakteri yang ditemukan dalam tanah hutan pada umumnya
sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asam itu.

Ada juga mikroba tanah yang menghasilkan zat-zat yang tidak hanya mengubah
lingkungan tanah, tetapi juga membahayakan kehidupan mikroba lainnya. Zat-zat ini adalah
antibiotika. Bila antibiotika terhimpun di sekitar organisma yang menghasilkannya, maka
pertumbuhan organisma-organisma di dekatnya dapat terhambat, sehingga mengurangi
persaingan.

Antibiotika ini tidak saja dihasilkan oleh mikroba yang hidup dalam tanah. Penemuan
antibiotika pertama adalah jamur Pinicillium notatum, suatu jamur yang biasanya tumbuh pada
buah-buahan yang masak. Ternyata bahwa zat-zat antibiotika juga dapat dihasilkan oleh
Penicillium spesies lain yang hidup dalam tanah, yaitu Actinomycetes tanah, bahkan juga oleh
bakteri-bakteri.

Di samping itu ada sejumlah organisma tanah, diantaranya jamur ragi yang dapat
menghasilkan zat-zat tertentu yang seakan-akan meningkatkan pertumbuhan organisma-
organisma lain yang hidup disekitarnya. Telah ditemukan bahwa bakteri-bakteri tanah lebih
banyak jumlahnya disekitar akar-akar tumbuhan daripada di tempat lain. pola persebaran
demikian mungkin disebakan oleh zat-zat tertentu yang dikeluarkan oleh akar. Masih banyak
penelitian yang harus dilakukan dalam bidang biokimia mengenai zat-zat antibiotic dan zat-zat
yang dapat mempercepat pertumbuhan.

Mikorhiza (Yunani : mykes = jamur, + rhiza = akar ). Bila kita mengikuti pertumbuhan
hypha jamur yang hidup dalam tanah, kita sering menemukan hypha itu menuju ke akar
tumbuhan. Sekeliling cabang-cabang akar jamur itu akan membentuk selaput yang terdiri dari
mycelia, bahkan kalau diteliti benar secara mikroskopik, maka akan tampak bahwa hypha jamur
itu masuk ke dalam jaringan akar. Hubungan yang erat antara jamur dan akar disebut
mikorhiza.

Sekarang sudah diketahui bahwa 80% dari keluarga tumbuhan berbiji mempunyai spesies-
spesies yang pada akarnya terdapat mycorrihiza. Ada spesies tumbuhan yang mempunyai
beberapa macam jamur sebagai mikorhiza pada akarnya dan ada spesies jamur yang dapat
membentuk mikorhiza akar-akar dari beberapa spesies tumbuhan. Tetapi umumnya satu
spesies jamur membentuk mikorhiza dengan akar-akar dari satu spesies tumbuhan.

Banyak ahli biologi menganggap mikorhiza sebagai contoh jamur simbiosis mutualistik.
Jamur menghisap makanan dari akar, sedangkan akar memperoleh garam-garam yang sudah
larut dan kadang-kadang zat-zat organik dari jamur. Kecambah pohon Pinus dari spesies yang
sama, yaitu yang mempunya mikorhiza dan yang tidak mempunyai mikorhiza bila ditanam pada

70
tanah yang sama akan menunjukkan perbedaan yang menyolok. Kecambah yang mempunyai
mikorhiza akan mengisap lebih banyak nitrogen, kalium dan fosfor (semua dalam bentuk
persenyawaan) dari pada kecambah yang tidak mempunyai mikorhiza.

Beberapa tumbuhan memerlukan mikorhiza ini, misalnya tumbuhan anggrek. Anggrek


tidak dapat tumbuh atau tumbuh lambat sekali bila mur mikorhiza tidak ada.

Tabel 1. Tipe utama interaksi/asosiasi yang menguntungkan antara tumbuhan dan mikroba
tanah

Tumbuhan tinggi yang


Interaksi/asosiasi Mikroba yang terlibat
terlibat
1. Rizosfera, Rizoplan dan Semua tanaman dan Bakteri, fungi dan
mikroflora filosfer berdaun actinomycetes
2. Ektomikroriza Pohon hutan – Pinus Kebanyakan jamur basi-
diomycetes – boletus,
lactarius, armillaria
3. Endomikoriza (Asosiasi Anggreak tertentu serealia Rhizoctonia, endogone dan
fungi VAM) rumput-rumputan dan Glomus
polong-polongan
4. Bintil akar dari polong- Kedelai, gram, lucerna dan
polongan berbintil lain-lain Rhizobium spp
5. Bintil akar dari Alnus, Myrica, Casuarina Endofit actinomycetous
tumbuhan selain (Frankia)
polong-polongan
6. Bintil daun Psychoteria, Pavetta Klebsiella
7. Asosiasi alga tumbuhan Cycas, Zamia, Heterozamia, Anabaena, Nostoc
tinggi Gunnera scabra, Azolla
8. Simbiosis assosiatif Rerumputan, sorgum dan
millet Azospirillum

Tabel 2 Proses mikrobiologis utama di dalam tanah oleh mikroba yang secara tidak langsung
mempengaruhi pertumbuhan tanaman

Proses mikrobial Mikroba yang terlibat

Dekomposisi bahan organik secara Trichoderma, Fomes, Armillaria, Achromo-


aerobik (selulosa, lignin, khitin, dll) bacter, Nocardia, Streptomyces
Dekomposisi bahan organik secara ana- Clostridium, bakteri metan (Methanobacter
erobik dan Methanococcus)

71
Penambatan nitrogen secara nonsim- Anabaena, Azotobacter, Beijerinckia, bakteri,
biosistik fungsi dan actinomycetes
Penumpukan nitrogen Pseudomonas, Bacillus, Serratia
Mineralisasi nitrogen Nitrosomonas, nitrobacter
Nitridikasi Pseudomonas, Achromobacter
Denitrifikasi Pseudemonas, Bacillus, Asfergillus
Pelarutan fosfat Thiobacillus, Beggiatoa, Desulfovibrio
Transformasi belerang Gallionella, Ferribacterium, Lepththrix
Transformasi besi Aerobacter, Corynebacterium, Flavo-
Transformasi mangan bacterium, Cladosporium
Transformasi tembaga Desulfovibrio, Clostridium, Escherichia.

Bakteri
Bakteri merupakan kelompok mikroba dalam tanah yang paling dominant dan mungkin
meliputi sparuh dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri terdapat dalam segala macam tipe
tanah tetapi populasinya menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah.

Pada tahun 1925, Winogradsky mengklasifikasi mikroba tanah umumnya dan bakteri
khususnya menjadi dua kelompok besar : organisme autokton (penghuni asli) dan organisme
zimogen. Populasi autokton atau pribumi selalu seragam dan konstan dalam tanah karena
nutrisinya berasal dari bahan organik tanah aslinya (contoh arthrobacter dan Nocardia).
Sebaliknya organisma zimogen atau fermentative membutuhkan sumber energi dari luar dan
populasi normalnya dalam tanah sangat rendah (contoh Pseudomonas dan Bacillus). Apabila
substrat khusus ditambahkan ke tanah, jumlah bakteri zimogen meningkat dan berangsur-
angsur menurun lagi apabila substrat tambahannya makin habis. Ke dalam kategori ini
termasuk pengurai selulosa, bakteri pemakai nitrogen dan bakteri yang memecah ammonium
menjadi nitrat.
Bakteri tanah yang paling umum termasuk dalam genus Pseudomonas, Arthrobacter,
Clostridium, Achromobacter, Bacillus, Micrococcus, Plavobacterium, Corynibacterium, Sarcina dan
Mycobacterium. Escherichia jarang dijumpai dalam tanah kecuali sebagai kontaminan dari
pembuangan kotoran sedangkan Aerobacter sangat sering ditemukan dan mungkin merupakan
penghuni normal tanah-tanah tertentu. Kelompok bakteri lain yang umum dijumpai dalam tanah
adalah myxobacteria yang termasuk genus Myxococcus, Chondrococcus, Arcangium,
Polyangium, Cytophaga dan Sporocytophaga. Dua genus yang terakhir termasuk selulolitik dan
karenanya dominant dalam lingkungan yang kaya selulosa. Myxobacteria memakan bakteri
Gram negatif lainnya melalui lisis.

72
Actinomycetes

Actinomycetes adalah organisma tanah yang memiliki sifat-sifat yang umum dimiliki
oleh bakteri dan jamur tetapi juga mempunyai ciri-ciri khas yang cukup berbeda yang
membatasinya menjadi satu kelompok yang jelas berbeda. Dalam hal taksonomi yang seksama,
actinomycetes dikelompokkan dengan bakteri dalam kelas yang sama yaitu Schizomycetes tetapi
terbatas hanya dalam ordo Actinomycetales. Pada lempeng agar,mereka dapat dibedakan
dengan mudah dari bakteri yang sebenarnya. Tidak seperti koloni bakteri sebenarnya yang jelas
berlendir dan tumbuh dengan cepat, koloni actinomycete muncul perlahan, menunjukkan
konsistensi berbubuk dan melekat erat pada permukaan agar.
Jumlah actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami
dekomposisi. Lazimnya actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun
pada pH 5,0. rentang pH yang paling cocok adalah antara 6,5 dan 8,0. tanah yang penuh berisi
air tidak cocok untuk pertumbuhan actinomycetes, sedangkan tanah gurun di daerah kering dan
setengah kering mempertahankan populasi yang cukup besar, mungkin karena adanya
ketahanan spora terhadap kekeringan.
Temperature antara 25 dan 30oC cocok untuk pertumbuhan actinomycetes walaupun
kultur termofilik yang tumbuh pada suhu antara 55 dan 65oC umum terdapat dalam timbunan
sampah di mana jumlahnya cukup banyak dan kebanyakan termasuk dalam genus
Thermoactinomyces dan Streptomyces.

Jamur

Segala faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran baktreri dan actinomycetes


juga mempengaruhi penyebaran jamur dalam tanah. Kualitas dan kuantitas bahan organik yang
ada dalam tanah mempunyai pengaruh langsung terhadap jumlah jamur dakam tanah karena
kebanyakan jamur itu nutrisinya heterotrofik. Jamur dominan pada tanah yang asam karena
lingkungan asam tidak baik untuk bakteri atau actinomycetes sehingga jamur dapat memonopoli
pemanfaatan substrat alami dalam tanah. Jamur juga ada dalam tanah yang netral atau bersifat
basa dan beberapa dapat tetap hidup dalam Ph di atas 9,0. tanah yang baik untuk ditanami
mengandung banyak jamur dan jamur bersifat aerobik dan pada kelembaban tanah yang terlalu
tinggi jumlah menurun. Pemisahan jamur dari horizon tanah yang berbeda-beda menunjukkan
bahwa organisme ini menunjukkan pilihannya terhadap berbagai kedalaman tanah. Jamur yang
umum dijumpai dalam tanah yang lebih dangkal jarang dijumpai di permukaan tanah, hal ini
dapat dijelaskan berdasarkan ketersediaan bahan organik dan rasio antara oksigen dan
karbonmonoksida dalam atmosfer tanah pada kedalaman yang berbeda-beda.
Banyak di antara jamur pelapuk kayu seperti Polyporus dan jamur mikoriza ektotrofik
(misalnya Boletus) yang menghuni daerah perakaran pohon-pohon dalam hutan termasuk dalam
Basidiomycetes tanah. Jamur-jamur tersebut membutuhkanvitamin –B dan faktor pertumbuhan

73
khusus yang terkandung dalam cairan yang dikeluarkan akar untuk pertumbuhannya di dalam
medium laboratorium. Walaupun demikian, Basidiomycetes biasanya dijumpai dalam tanah
dalam tahap miselium dan dapat dikenali dari pembentukan buah atau badan buah yang
dihasilkan pada permukaan tanah atau kayu yang melapuk. Umpan yang tepat dapat ditanam
dalam tanah dan Basidiomycetes dapat secara selektif dipisahkan dengan tehnik pengumpanan
tersebut. Banyak Basidiomycetes mampu memanfaatkan selulosa dan dalam hal ini tampaknya
jamur itu pembentuk koloni yang baik di tanah-tanah hutan.
Berikut ini genus-genus jamur yang paling umum dijumpai dalam tanah dan yang dapat
dipisahkan dengan metode konvensional : Acrostalagnus, Aspergillus, Botrytis, Cephalosparium,
Gliocladium, Monilla, Penicillium, Scopalariopsis, Spicaria, Trichoderma, Trichothecium,
Verticillium, Alternaria, Cladosporium, Pullularia, Cylindrocarpon Dan Fusarium (Fungi
Imperfecti); Absidia, Cunnjinghamella, Mortierella, Muco, Rhizopus, Zygorynchus Dan Pythium
(Phycomycetes); Chaetonium (Ascomycetes) Dan Rhizotonia (Myclia Sterillia, yang gagal
membentuk struktur reproduktif).
Banyak khamir tanah tergolong dalam ascomycetes sejati seperti Saccharomyces dan
yang tergolong dalam fungis imperfecti seperti Candida dapat juga dipisahkan dalam medium
yang diasamkan (pH 4,0). Jumlahnya dalam tanah sangat sedikit dan kepentingannya dalam
tanah tidak dimengerti dengan jelas.
Salah satu fungsi utama dari jamur berbenang dalam tanah adalah untuk menguraikan
bahan organik dan membantu membentuk bongkahan tanah. Di samping kemampuan ini,
beberapa spesies tertentu dari Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, Dematium, Gliocladium,
Helminthosporium, Humicola dan Metarrhizium menghasilkan bahan yang mirip dengan bahan
humus dalam tanah dan karenanya mungkin penting dalam memelihara bahan organik tanah.
Beberapa jamur yang mampu membentuk asosiasi ektotrofik dalam sistem perakaran pohon-
pohon hutan seperti pinus, yang termasuk genus Boletus dan Lactarius dapat membantu
memindahkan fosfor dan nitrogen dalam tanah ke dalam tubuh tanaman. Dalam banyak hal,
pembentukan hutan baru itu sulit dilaksanakan kecuali jamur mikoriza secara buatan
ditambahkan ke tanah dengan cara inokulasi.

Alga

Alga tanah ada di mana – mana di alam asal lembab dan dikenai sinar matahari. Alga
ini tampak dengan mata telanjang dalam bentuk hamparan hijau pada permukaan tanah. Dalam
hal jumlah alga tidak sebanyak jamur, bakteri atau actinomycetes. Secara morfologi, alga
mungkin bersel satu atau berbentuk benang dan termasuk dama famili Chlorophyceae (alga
hijau) dan Cyanophyceae (alga hijau-biru). Bentuk lain seperti diatom juga dalam kondisi
lingkungan tertentu. Karena adanya korofil dalam selnya, alga bersifat fotoautotrof dan
mengambil karbon monoksida dari atmosfer dan mengeluarkan oksigen. Alga juga diketahu

74
terdapat di bawah permukaan tanah dan di luar jangkauan sinar matahari. Walaupun demikian,
jumlahnya tidak sebanyak alga yang dipermukaan dan mekanisme kelestariannya juga tidak
terlalu jelas. Beberapa dari alga hijau yang umum terdapat di tanah India termasuk dalam
genus-genus : Chlorella, Chalmydomonas, Chlorochytium, Chlorococcum, Protosiphon, dan
Oedogonium.
Alga hijau-biru mengandung sebuah pigmen yang dikenal sebagai fikosianin selain
klorofil yang memberi warna khusus hijau – biru ke organisme-organisme tersebut. Alga hijau-
biru yang dominant di tanah India termasuk genus : Chroococcu, Aphanocapsa, Lyngbya,
Oscillatoria, Phormidium, Microcoleus, Cylindrospermum, Anabaena, Nostoc, Scytonema dan
Fisherella.
Beberapa alga hijau-biru memiliki sel-sel khusus yang dikenal sebagai heterosista yang
terlibat dalam fiksasi nitrogen.

Protozoa

Protozoa tanah bersel tunggal. Pada umunya protozoa tanah tidak memiliki klorofil
kecuali beberapa ciri-cirinya adalah adanya tahap sista dalam daur hidupnya yang dapat
membantu spesies itu menahan kondisi tanah yang ganas.
Protozoa berflagela yang termasuk dalam kelas Mastigophora paling banyak dalam
tanah. Genus-genus yang penting adalah Allantion, Bodo, Cercobodo, Cercomonas, Entosiphon,
Heteromita, Monas, Oikomonas, Sainouran, Spiromonas, Spongomonas, dan Tetramitus. Tidak
seperti flagelata yang bergerak dengan bantuan flagella yang jumlahnya sampai empat buah,
terdapat protozoa tanah yang bergerak dengan bantuan penonjolan ke luar protoplasmanya
yang dikenal sebagai kaki semua atau pseudopodia.
Protozoa hidup dalam tanah dengan memakan bakteri dari genus-genus : Aerobacter,
Agrobacterium, Bacillus, Escherichia, Micrococcus, dan Pesudomonas yang dicerna di dalam
protoplasmanya. Protozoa lebih menyukai spesies bakteri tertentu untuk nutrisinya.
Protozoa banyak dijumpai pada lapisan atas tanah dan jumlahnya langsung bergantung
pada populasi bakteri. Penggunaan bahan pupuk organik meningkatkan jumlah protozoa tanah
yang merupakan pencerminan adanya peningkatan jumlah bakteri karena merupakan
pencerminan adanya peningkatan jumlah bakteri karena pemakaian bahan organik. Karena
studi yang belum banyak dilakukan mengenai protozoa tanah, kita sulit menentukan pengaruh
faktor-faktro khusus seperti Ph dan temperature terhadap populasi protozoa dalam tanah.
Walaupun demikian telah jelas bahwa protozoa itu banyak sekali dalam tanah dan fungsi
utamanya adalah mengatur jumlah bakteri. Tidak diketahui pengaruh aosisatif antara protozoa
dengan mikroba tanah lainnya karena alasan yang sederhana yaitu masih sangat sedikit peneliti
yang tertarik pada bidang ini, mingkin karena pemisahan dan perbanyakan protozoa tanah
melibatkan prosedur yang sangat banyak menyita waktu.

75
MIKROBA DI LINGKUNGAN KHUSUS
FILOSFER
Bagian-bagian tanaman terutama daun terdedah pada debu dan aliran udara yang
menyebabkan terbentuknya kehidupan tumbuhan khusus pada permukaan daun dengan
bantuan kutikula, lapisan lilin, dan bentukan-bentukan tambahan yang membantu melekatnya
mikroba. Mikroba-mikroba tersebut mungkin mati, tetap hidup, atau bahkan berkembang biak di
atas permukaan daun, tergantung dari sejauh mana pengaruh dari bahan-bahan di dalam daun
berdifusi atau merembes ke luar. Hasil difusi keluar atau pembocoran keluar dari daun telah
dianalisis kandungan kimiawinya. Faktor nutritif utama berupa asam amino, glukosa dan
sukrosa. Apabila daerah penangkapan pada daun atau pelepah daun itu cukup luas secara
signifikan, habitat khusus semacam itu mungkin menciptakan relung untuk fiksasi nitrogen adan
sekresi substansi yang memungkinkan perangsangan pertumbuhan tanaman.
Permukaan daun disebut filopen dan daerah pada daun yang dihuni oleh mikroba
disebut filosfer. Mikrobiologiwan Belanda Ruinen menciptakan kata filosfer dari
pengamatannya pada tetumbuhan di hutan-hutan di Indonesia yang memiliki daun-daun
berpenghuni mikroba epifit yang tebal di permukaannya. Mikroba yang dominant dan berguna
pada permukaan daun dalam tetumbuhan di Indonesia itu ternyata berupa bakteri pemfiksasi
nitrogen seperti Beijerinckia dan Azotobacter. Pada umunya selain bakteri pemfiksasi nitrogen
seperti Azotobacter, genus-genus lain seperti Pseudomonas, Pseudobacterium, Phytomonas,
Erwinia, Sarcina dan bakteri-bakteri lain yang tidak teridentifikasi sering kali dijumpai pada
permukaan tanaman, terutama pada permukaan daun.

Reaksi Biokimia dalam Filosfer

Mikroba permukaan daun mungkin memainkan fungsi yang efektif dalam


mengendalikan penyebaran pathogen yang ditularkan melalui udara yang menyebabkan
penyakit tanaman. Adanya spora-spora dari suatu pathogen pada permukaan daun dan polong-
polongan mengakibatkan terbentuknya bahan yang disebut ‘Fitoaleksin’. Atau fitoaleksin
mungkin secara normal ada pada tanaman dan konsentrasi bahan ini mungkin meningkat
dengan cepat secara respons terhadap infeksi mikroba. Istilah fitoaleksin berasal dari bahasa
Latin Phyto yang artinya tanaman dan alexin yang berarti senyawa penangkal.
Spora fungi menghasilkan bahan kimia ataui bahan-bahan yang aktif dalam menginduksi
pemben-tukan fitoaleksin oleh tanaman inang sebagai suatu reaksi pertahanan. Hasil metabolit
jamur, bahkan tanpa adanya spora mungkin juga dapat menginduksi pembentukan fitoaleksin.
Namun, akhir-akhir ini konsep fitoaleksin telah dipakai dalam arti luas termasuk untuk menyebut
seluruh senyawa kimi yang berperanan untuk menahan penyakit sebagai respon terhadap luka,
rangsang fisilogis, adanya agen penyebab infeksi, dan hasil-hasilnya. Untuk mengikuti

76
pandangan ini, beberapa fitoaleksin yang telah diketahui diringkas dalam Tabel 8. Resistensi
terhadap mikroba yang menyebabkan penyakit juga disebutkan telah dihasilkan oleh daun
berupa senyawa penghambat fungi seperti asam malat dari daun Cicer arietinum, fenol dari apel
dan bahan berlilin (α-hexenol) dari daun Ginko

Tabel 8 : Beberapa dari fitoaleksin yang telah diketahui, perangsang pembentukanya, dan
inang khususnya
Perangsang Senyawa yang dihasilkannya
Tanaman Pembentukannya (Fitoaleksin)

Kentang Phytophthora infestans Asam khologenat, Asam kafeta,


(Solanum Scoploin, α-Solanin, α-Kakonin,
tuberosum) Solanidin, Risitin dan Fituberin
Ercis Aschochyta pisi, Penicillium Pisatin
(Pisum sativum) expansum

Kacang hijau Monillia fruticola, Rhizoctonia Phaseolin


(Phaseolus solani, Colletotrichum lin-
vulgaris) demuthianum
Wortel (Daucus Ceratocystis spp Asam khlorogenat dan 6-Metoksin-melin
carota) (MM)
Kedelai (Glycine Phytophthora sojae dan jamur Hidroksifaseolin
max) lain.

Kentang manis Infeksi, luka dan perlakuan zat Asam khlorogenat, Asam kafeta,
kimia Skopoletin, Eskulentin, Umbel-liferon
dan Ipomea-maron
Kapas Verticillium albo-atrum Gossypol
(Gossypium
spp.)
Kacang Lebar Botrytis spp Wyerone
(Vicia faba)
Alfalfa Helminthosporium turcicum, Misalnya : sativol, Medi-kagol,
Colletotrichum phomoides, Coumesterol dan glikosida lain
Ascochyta imperfecta,
Cylindrocladium scoparium,
Colle totricum trifolii,
Uromyces stariatus
Semanggi merah Sclerotinia trifolirum Formononetin, Biokhanin A, Trifolirhizin,
(Trifolium Medikarpin
subterraneum)
Apel Venturia inaequalis Floridzin dan hasil oksidasi Floretin

Tembakau Pseudeomonas solanacearum, Skopoletin, Skopolin, Asam Benzoat


Nectria galligena

Mikroba epifit dapat mensintesis asam indol asetat. Fungsi biologis yang lebih menarik
dan lebih bermanfaat adalah fiksasi nitrogen oleh mikroba yang menghuni permukaan daun
(Tabel 9). Bakteri genus Escherichia, Brevibacterium, Bacillus, Diplococcus, Pseudomonas,
Flexibacterium, Rhizobium, Beijerinckia, Azotobacter, Xanthomonas dan Micrococcus telah
dipisahkan dari filosfer jagung, kacang buncis, tebu, dan garam dan beberapa di antaranya
terbukti mempunyai potensi sebagai pemfiksasi nitrogen.

Tabel 9 : Fiksasi Nitrogen oleh bakteri yang dipisahkan dari filosfer (Bhurat 1969)

77
Nitrogen yang difiksasi
Bakteri budi daya dalam mg per g
Tanaman
sukrosa yang dimakan
Gandum Achromobacter iophagus 13,4
Pseudemonas atrofaciens 10,8
Cellulomonas galba 13,6
Pseudomonas seminum 9,6
Cellulomonas cellasea 9,7

Kapri Achromobacter iophagus 8,7


Cellulomonas calcis 10,8
Achromobacter xerosis 13,4
Cellulomonas uda 15,0
Bacillus licheniformis 6,9

RHIZOSFER DAN RIZOPLEN


Istilah rizosfer diperkenalkan pada tahun 1904 oleh Hiltner, seorang ilmuan Jerman
untuk menunjukkan bagian tanah yang dipengaruhi oleh perakaran tanaman. Rizosfer dicirikan
oleh lebih banyaknya kegiatan mikrobiologis dibandingkan kegiatan di dalam tanah yang jauh
dari perakaran tanaman. Intensitas kegiatan semacam ini tergantung dari panjangnya jarak
tempuh yang dicapai eksudasi oleh (cairan yang keluar dari) sistem perakaran.
Istilah efek-rizosfer menunjukkan pengaruh keseluruhan perakaran tanaman terhadap
mikroba tanah. Berkaitan dengan efek-rizosfer, pada bab sebelumnya juga telah dibahas
mengenai asosiasi simbiotik antar jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi lazim disebut
mikoriza (jamak mikorizae) yang secara harfiah berarti akar jamur.
Sekarang telah jelas dikatahui bahwa lebih banyak jumlah bakteri, jamur dan
actionomycetes terdapat dalam tanah yang termasuk rizosfer dibandingkan dengan dalam tanah
non rizosfer. Beberapa faktor seperti tipe tanah, kelembaban tanah, pH dan temperatur, dan
umur serta kondisi tanaman mempengaruhi efek rizosfer. Selain tampak dalam ben-tuk
melimpahnya jumlah mikroba dalam rizosfer, efek rizosfer yang termanifestasi dalam bentuk
keberadaan dan distribusi bakteri yang bercirikan mempunyai kebutuhan khusus yaitu asam
amino, vitamin-vitamin B, dan faktor pertumbuhan khusus (kelompok nutrisional). Juga telah
ditunjukkan bahwa laju kegiatan metabolik mikroba rizosfer itu berbeda dengan laju kegiatan
metabolik mikroba dalam tanah non rizosfer.
Dalam tahun-tahun terakhir, telah dikenal microhabitat khusus lainnya dan didefinisikan
sebagai rizoplen atau ‘permukaan perakaran’. Dalam meng-ambil sampel sistem perakaran
untuk menyelidiki rizoplen, tanah yang melakat pada akar dihilangkan dan peracaran dicucuri
berkali-kali dengan air steril (10 hingga 12 kali) hingga diperoleh permukaan perakaran yang

78
bersih. Apabila akar yang sudah dicuci bersih itu ditanam dalam cawan petri, maka jamur dan
bakteri khusus yang muncul pada lempeng agarnya menunjukkan bahwa terdapat mikroba
tertentu yang secara intim berasosiasi dengan permukaan perakaran.
Rizosfir dari suatu tumbuhan merupakan habitat yang baik bagi mikroba. Rizosfir adalah
merupakan daerah di sekitar perakaran suatu tumbuhan yang masih terkena pengaruh
perakaran tumbuhan tersebut. Lingkungan rizosfir memiliki sifat yang dinamis. Kedinamisan itu
timbul akibat adanya interaksi mikroba yang menghuni habitat tersebut juga interaksi antara
mikroba dengan perakaran tumbuhan.(17) Kehadiran mikroba pada rizosfir sangat
menguntungkan tumbuhan karena mikroba membantu proses mineralisasi bahan-bahan organik
menjadi mineral yang tersedia bagi tumbuhan, membantu sintesis vitamin, asam amino, auksm,
giberelin, yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.(23) Tumbuhan juga
dapat mengeluarkan senyawa alelopati yang dapat melindungi tumbuhan dari mikroba
penyebab penyakit serta memenangkan kompetisi dengan tumbuhan lain.(4) Bentuk aktivitas
dari tumbuhan dalam berinteraksi dengan mikroba yang menghuni di sekitar perakarannya
dengan melakukan proses redeposisi, yaitu melepaskan material organik melalui perakarannya.
Materi organik yang dilepaskan meliputi senyawa gula, asam amino, asam organik, asam lemak,
clan sterol, senyawa faktor pertumbuhan, enzim, nukleotida, flavonon clan senyawa-senyawa
lain.(16) Redeposisi material organik oleh tumbuhan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal yang mempenganihi rizodeposisi meliputi temperatur yang rendah,
kekurangan air, peningkatan pH, penurunan intensitas cahaya, kondisi lingkungan anaerobik,
perubahan konsentrasi ion-ion Ca+, P, K+ dan N. Faktor internal yang mempengaruhi rizodeposisi
meliputi umur tumbuhan, keadaan tertekan (stres) dari tumbuhan akibat terserang mikroba
patogen. (16)
Beberapa jamur menghuni permukaan perakaran dalam bentuk miselia. Jamur-jamur
tersebut termasuk genus-genus Mortierella, Cephaslosporium, Trichoderma, Penicillium.
Gliocladium, Gliomastix, Fusarium, Cylindricarpon, Botrytis, Coniothyrium, Mucor, Phoma,
Pythium dan Aspergillus. Studi struktur halus atas lapisan epitel dari perakaran tanaman setelah
diinokulasi dengan bakteri khusus menunjukkan bahwa bakteri menjadi terletak pada permukaan
perakaran dengan bantuan dari lapisan eksternal yang bersifat musilagen atau disebut ‘musigel’
yang secara normal terdapat pada sistem perakaran yang sedang aktif tumbuh.

Kegiatan Asosiatif dan Antagonistik di Dalam Rizosfer

Ketergantungan satu mikroba terhadap mikroba lain dalam hal produk ekstra selular,
terutama asam amino dan faktor perangsang tumbuhan, dapat dianggap sebagai suatu efek
asosiatif. Banyak laporan menun-jukkan bahwa ekstrak selular bakteri, jamur dan alga tertentu
meningkatkan pertumbuhan mikroba yang lain dalam kultur murni. Penemuan semacam itu

79
hanya ber-manfaat secara akademik keculai jika dapat ditunjukkan keuntungan sesungguhnya
dalam tanah pada kondisi lapang.
Peneliti-peneliti Rusia telah menunjukkan adanya peningkatan kandungan asam amino
dalam tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang diinokulasi dengan mikroba khusus.
Pengamatan semacam itu telah dilakukan dalam hal pengaruhnya terhadap peningkatan vitamin-
B, auksin, giberelin, dan antibiotik. Diketahui bahwa senyawa giberelin dan yang serupa
giberelin dihasilkan oleh genus-genus bakteri yang umumnya dijumpai di dalam rizosfer, seperti
Azotobacter, Arthrobacter, Pseudomonas dan Agrobacterium. Peningkatan kecambah sering
diamati karena inokulasi Azotobacter mungkin disebabkan oleh senyawa perangsang tumbuh
yang diekskresikan oleh bakteri tersebut. Terdapat peningkatan pengeluaran asam organik,
asam amino, dan monoksakarida oleh perakaran tanaman dengan adanya mikroba. Mikroba
juga mempengaruhi perkembangan rambut akar, sekresi getah dan perkembangan akar lateral
beberapa tanaman. Jamur yang menghuni permukaan pera-karan mempengaruhi jumlah
senyawa yang dapat diserap ke dalam sistem perakaran. Ciri ini menunjukkan adanya gera-kan
dua arah dari metabolit antara tanaman dan mikroba.
Sekresi antibiotik oleh mikroba dan penghambatan peka yang diakibatkannya dapat
ditunjukkan baik dalam tanah maupun di kultur murni. Efek antagonistik seperti itu dapat
dibudidayakan dan dari sudut pandang agronomi adanya penghambatan yang berlebihan
terhadap pertumbuhan Azotobacter atau Rhizobium di daerah perakaran mungkin akan menye-
babkan menurunnya fiksasi nitrogen atau pembentukan bintil akar.

80
MIKROBA DI LINGKUNGAN EKSTREM

Tidak semua makhluk hidup mampu tumbuh pada kondisi lingkungan yang sangat
ekstrem. Semua tumbuhan, hewan dan sebagian besar mikroba hanya dapat tumbuh dan
berkembang biak pada kisaran toleransi yang umum. Namun demikian, ada beberapa kelompok
mikroba yang memiliki persyaratan fisiologis, anatomi, dan morfologi spesifik yang justru mampu
hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang sangat ekstrem, seperti kondisi tanpa udara,
kondisi sangat asam, kondisi sangat basa, kondisi temperatur tinggi, serta kadar garam dan
kadar gula yang sangat tinggi. Berikut ini akan dibahas mengenai kelompok mikroba istimewa
tersebut beserta aktifitasnya yang mempengaruhi makhluk hidup lain di sekitarnya.

MIKROBA ANAEROB

Pada umumnya, semua jenis makhluk hidup mutlak memerlukan oksigen untuk
memperoleh energi melalui proses respirasi. Namun demikian, di alam terdapat mikroba
anaerob, yaitu sekelompok mikroba yang mampu hidup dengan baik pada lingkungan tanpa
oksigen. Polimer-polimer kompleks alami, seperti polisakarida, protein dan lemak, akan
dikonversikan menjadi metana (CH4) oleh interaksi dari berbagai kelompok fisiologis mikroba
anerob (Gambar 1).
Dalam keseluruhan proses pengkonversian tersebut terlibat tidak kurang dari lima
kelompok fisiologis mikroba yang saling tergantung secara sinergis, karena produk dari aktivitas
metabolik mikroba yang satu digunakan mikroba lainnya sebagai sumber energi. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan bila kelompok-kelompok mikroba anaerob tersebut dijumpai hidup
bersama-sama di lingkungan pada saat proses dekomposisi berlangsung. Kelima kelompok
mikroba tersebut meliputi : (a) kelompok mikroba hidrolitik, (b) kelompok mikroba fermentatif,
(c) kelompok mikroba pengoksida asam-asam organik, (d) kelompok bakteri asetogenik, dan (e)
kelompok bakteri metanoganik. Kecuali kelompok mikroba hidrolitik dan kelompok bakteri
metanogenik, tiga kelompok mikroba lainnya juga merupakan kelompok mikroba asidofil,
yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.

Kelompok Mikroba Hidrolitik

81
Berdasarkan substrat yang dapat dirombaknya, terdapat beberapa kelompok mikroba
hidrolitik, contohnya adalah sebagai berikut :
a) Mikroba selulolitik
Selulosa merupakan komponen utama tanaman. Sekitar 40-70 % dari komponen tanaman
yang berada dalam tanah berupa selulosa. Tingginya selulosa dalam tanah ini
menggarisbawahi arti dari perombak selulosa dalam proses mineralisasi dan dalam siklus
karbon. Bakteri selulolitik mendegradasi selulosa (yang mempunyai berat molekul tinggi)
menjadi selubiosa (glukose-glukosa) dan glukosa bebas. Secara enzimetis, perombakan
selulosa di jembatani oleh suatu enzim komplek selulase, yang paling sedikit terdiri dari tiga
enzim yaitu : (1) endo-b-1,4-glukanase, (2) exo-b-1,4-glukanase dan (3) b-glukosidase.
Dalam tanah yang beraerasi yang baik, selulosa akan dimanfaatkan dan didegrasi oleh
mikroba-mikroba aerob (jamur, miksobakteri, dan eubakteri), dan dalam kondisi anaerob
oleh Clostridia. Mikroba selulolitik ada yang tumbuh aerob, namun adapula yang bersifat
anaerob. Pada kondisi anaerob, selulosa dirombak oleh kelumpok Clostridium mesofilik
(Clostridium thermocellum) maupun clostridium termofilik (Clostridium cellobioparum).

b) Mikroba amilolitik
Pati merupakan subtansi penyimpanan tanaman yang utama. Pati tanaman tersusun atas
amilosa dan amilopektin. Secara enzimatis, pati akan dirombak menjadi glukosa oleh enzim
amilase. Mikroba amilolitik merupakan mikroba anaerob yang memiliki kemampuan
merombak pati melalui eksoenzim amilolitik. Banyak jamur-jamur tanah adalah penghasil
amilase secara aktif dalam kondisi anaerob, misalnya Aspergilus orizae, A. niger, dan A.
wentii. Bakteri anaerob penghasil aktif enzim amilase adalah Bacillus macerans, Bacillus
polymyxa, Bacillus substilis, Pseudomonas, dan Streptomyces, sedangkan pada kondisi
anaerobik dalam tanah, pati dirombak terutama oleh Clostridium sakarilitik.

c) Mikroba lignolitik
Lignin adalah polimer aromatik komplek yang merupakan komponen utama kayu (18-30%)
dan berperan dalam memberi kekerasan tanaman berkayu. Lignin merupakan komponen
tanaman yang paling lambat dapat didegredasi, dan sangat stabil terhadap degradasi secara
anaerobik. Lignin dalam tanaman hidup dapat didegradasi oleh beberapa jamur.
Basidiomycetes perusak kayu, misalnya Polystictus versicolor, stereum hirsutum, merupakan
spesialis perombak lignin, sedangkan Pleorotus ostreatus, Ganoderma applanatum,
Polyporus adustus, Armillaria mellea dapat merombak lignin dan selulosa secara bersama-
sama. Bakteri diketahui juga dapat merombak lignin, tetapi laju degradasinya sangat
lamban, sehingga dibandingkan dengan kemampuan metabolisma bakteri terhadap senyawa
lainnya tampak sangat kecil dan dapat diabaikan.

82
Bakteri metanogenik

Kelompok bakteri metanogenik adalah sekelompok mikroba yang sangat spesifik


membentuk metan (CH4). Bakteri tesebut hanya hidup pada kondisi anaerob obligat. Dengan
demikian pembentukan metan (proses metanogenesis) hanya terjadi pada habitat yang benar-
benar anoksik. Sebagian besar bakteri metanogenik ini meng-gunakan CO2 sebagai aseptor
elektron dalam respirasi anerobik dan mengkonversikanmya menjadi metan; sedangkan sebagai
donor elektron dalam proses tersebut biasanya adalah hidrogen (H2). Keseluruhan reaksi
metanogenesis adalah sebagai berikut :

Methanococcus
4H2 + CO2 CH4 + 2H2O

Asam asetat (CH3COO) adalah juga substrat yang dapat dikonversikan menjadi metan
oleh bakteri metanogenik dengan reaksi sebagai berikut :

Methanosarcina
CH3COOH CH4 + CO2

Keseluruhan substrat yang dapat dikonversikan menjadi metan oleh anggota kelompok
bakteri metanogenik ditampilkan pada Tabel 1. Karbon dioksida, CO2 hampir merupakan substrat
universal untuk bakteri metanogenik, elektron yang diperlukan biasanya diambil dari H2. Bila
ditumbuhkan pada H2 dan CO2 maka bakteri metanogenik tersebut bersifat autotrofik, karena
CO2 berperan sekaligus sebagai sumber karbon dan aseptor elektron.

Tabel 1: Substrat yang dapat dikonversi menjadi metan oleh berbagai bakteri metanogenik.

CO2 – type substrate


Karbondioksida (CO2) :
Asam formiat (HCOOH) :
Karbon monoksida (CO) :
Methyl substrate (Methyl group)
Methanol (CH3OH) :
Methylamin (CH3NH3+)
Dimethylamine [(CH3)2NH2+]
Trimethylamine [(CH3)3NH+]
Acetoclastic substrate
Aceatate (CH3CHOOH)

• Reaksi pertama dengan menggunakan CO2-type substrat, sebagai berikut :

CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O


4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O
4CO + 2H2O CH4 + 3CO2

83
• Reaksi kedua melibatkan reduksi Metil group dari senyawa-senyawa yang mengandung
metil menjadi metan. Bila metil atau metilamin digunakan sebagai substrat, maka dalam
keseluruhan reaksi pemben-tukan metan berlaku stoikiometri berikut:
4CH3OH 3CH4 + CO2 + 2H2O
4CH3NH3CI + 2H2O 3CH4 + CO2 + 4NH4CI
Bila metabolisme digunakan sebagai substrat dan tenaga pereduksi untuk
metanogenesis berasal dari H2 maka berlaku stoikiomeri reaksi sebagai berikut :
CH3OH + H2 CH4 + H2O

• Reaksi metanogenik yang terakhir adalah reaksi asetoklasik (aceticlasic reaction), yaitu
reaksi pemecahan asam asetat menjadi CH4 dan CO2 :
CH3COOH CH4 + CO2

Hanya dua genus bakteri metanogenik yang mampu melakukan reaksi asetoklasik ini, yaitu
Methanosarcina dan Methanothric. Konversi asam asetat menjadi metan merupakan proses
ekologis yang sangat penting, terutama pada unit pengolahan limbah (sewage digestors)
dan perairan tawar yang anoksik (fresbirate anoxic environments). Kompetisi untuk
mendapatkan asetat antara bakteri reduksi sulfat dan bakteri metanogen tidak begitu
ekstensif.

MIKROBA ASIDOFILIK
Mikroba asidofilik adalah kelompok mikroba yang mampu hidup dalam lingkungan yang
sangat asam, pada pH di bawah 4. Berdasarkan perannya dalam mengkonversi senyawa
kompleks menjadi senyawa yang sederhana, terdapat beberapa kelompok mikroba asidofil, yaitu
:
a) Mikroba fermentatif
Dalam kondisi anaerob, mikroba-mikroba kelompok ini akan memfermentasikan monomer-
monomer (seperti glukosa, asam-asam amino, asam-asam lemak dsb) yang dihasilkan dari
komposisi polimer-polimer kompleks oleh kegiatan mikroba-mikroba hidrolitik. Produk-
produk dari fermentasi monomer-monomer ini berupa asam-asam organik, seperti suksinat,
asam propionat, asam butirat, asam asetat, asam laktat, etanol dsb.

b) Mikroba pengoksidasi asam-asam organik


Organisme kunci dalam konversi senyawa-senyawa komplek menjadi metan adalah bakteri-
bakteri pengok-sidasi asam-asam organik misalnya Syntrophomonas dan Syntrohobacter.
Mikroba ini memanfaatkan asam-asam organik dan alkohol, yang dihasilkan oleh mikroba
fermentatif, sebagai sumber energi. Syntrophomonas mengoksidasi asam-asam lemak C4-C7

84
dengan menghasilkan asetat, CO2 dan H2. Asetat, CO2 dan H2 yang dihasilkan ini selanjutnya
akan dimanfaatkan sebagai substrat oleh kelompok mikroba metanogenik dan asetogenik.
Contoh reaksi fermentasi asam propionat oleh mikroba pengoksidasi asam-asam organik
adalah sebagai berikut :

Sytrophomonas
CH3CH2COOH + 3 H2O CH3COOH + H2CO3 + 3 H2

c) Bakteri asetogenik
Bakteri asetogenik misalnya Acetobacterium woodi, adalah organisme anaerobik obligat yang
memanfaatkan CO2 (sebagai mineral elektro acceptor), yang menghasilkan asetat sebagai
produk utama respirasi anaerob. Elektron untuk mereduksi CO2 untuk menghasilkan asetat
berasal dari H2 beragam senyawa C-1, gula, asam organik, alkohol dan asam-asam amino
dan basa-basa bernitrogen tertentu. Stoikiometri dari reduksi CO2 menjadi asetat dengan H2
sebagai donor elektron adalah sebagai berikut :

Acetobacterium
2CO2 + 4H2 CH3COOH + 2H2O

Dengan demikian bakteri asetogenik juga mensuplay asetat tambahan untuk mikroba
metanogenik.

MIKROBA ALKALIFILIK

MIKROBA TERMOFILIK

Temperatur sangat berpengaruh terhadap fisiologis mikroba. Hal ini berkaitan dengan
stabilitas enzim yang dimiliki mikroba tersebut. Bila mikroba ditumbuhkan pada temperatur
lingkungan yang ekstrim, maka akan terjadi inaktifasi enzim atau struktur vital lainnya.

Sejumlah studi telah dilakukan untuk mempelajari stabilitas enzim terhadap temperatur.
Kemampuan mikroba termofilik untuk survive pada temperatur yang tinggi berhu-bungan
dengan komposisi lipid yang dimilikinya, dan laju metabolik yang tinggi, sehingga
memungkinkan terjadinya resistensi komponen-komponen sel yang terdenaturasi karena panas.
Organisme termofilik tersebut mengandung lipid dengan point melting lebih tinggi dibandingkan
mikroba mesofilik.

85
Pada yeast, semakin rendah temperatur pertumbuhan, semakin tinggi tingkat lemak tak
jenuh. Komposisi lipid dalam ragi termofilik memilki lemak tak jenuh antara 30-40%, sedangkan
ragi psikrofilik memiliki lemak tak jenuh sampai 90%.
Terdapat konsep yang menyatakan bahwa semakin kecil, sel maka mikroba tersebut
mempunyai laju metabolik yang relatif tinggi sehingga mempermudah transport substrat dan
produk sisa. Atau dengan kata lain jika terjadi denaturasi komponen seluler maka proses
resintesisnya juga akan semakin cepat sehingga sel relatif dalam keadaan setimbang.
Organisme termofilik juga mempunyai termostabilitas intrinsik. Hal ini kemungkinan
berkaitan dengan stabilitas membran terhadap panas, mempunyai aktifitas metabolik dan laju
pertumbuhan yang lebih cepat. Umumnya bakteri lebih tahan terhadap temperatur yang rendah
daripada temperatur tinggi. Hanya beberapa jenis Neisseria yang dapat mati pada temperatur
00C. Pembekuan secara perlahan-lahan lebih efektif daripada pembekuan secara mendadak.
Demikian pula pembekuan secara bertahap ternyata lebih efektif daripada pembekuan secara
terus menerus.
Pada tahun 1967 hingga 1969 di Yellowstone Park ditemukan bakteri termofilik yang
dapat hidup di air dengan temperatur 930C – 940C, yaitu Thermus aquaticus, Bacillus
caldolyticus, dan Bacillus caldotenax.
Temperatur merupakan parameter yang baik untuk mengilustrasikan keragaman dan
daya adaptasi mikroba terhadap lingkungan.
Asal mula mikroba termofilik telah lama menjadi perdebatan. Pada tahun 1927 Arrhenius
menyatakan bahwa mikroba termofilik berasal dari planet Venus dan berpindah ke bumi akibat
tekanan radiasi matahari. Umumnya temperatur yang tinggi digunakan untuk pertumbuhan dan
bukan untuk bertahan hidup.
Pada media padat maupun media cair, temperatur inkubasi yang tinggi dapat
menyebabkan penguapan lebih banyak, dan akan bertambah jika timbul gas pada medium cair.
Kondensasi (pengem-bunan) dapat menghambat pertumbuhan mikroba termofilik pada media
padat.
Daya larut gas secara umum menurun bila tem-peraturnya meningkat. Sebagai contoh
pada temperatur 30ºC daya larut oksigen terhadap air adalah 237 nmoles ml-1, maka pada 50ºC
daya larutnya menurun menjadi 171 nmoles ml-1dan pada temperatur 70ºC hanya sebesar 120
nmoles ml-1. Oleh karena itu pengembangan terhadap biakan (kultur) yang membutuhkan gas
(aerob atau anaerob) harus memastikan bahwa terdapat sebuah rasio permukaan cair dan gas
yang besar yang dapat dicapai dengan menggunakan botol, tingkat agitasi/ gejolak yang tinggi
dan reduksi terhadap cairan menjadi rasio volume botol. Tingkat transfer gas dapat
dikembangkan dengan menekan pembuluh pertumbuhan menjadi antara 1 dan 3 atm. Hal ini
penting agar pada temperatur yang melampaui 100ºC, air tetap dalam keadaan cair.
Sebuah pengembangan terbaru adalah sebuah gum/ karet yang dijernihkan dari
Pseudomonas spp. yang dijual dengan merek dagang “Gelrite” yang bergantung pada kation-

86
kation divalent seperti magnesium atau kalsium untuk memadatkannya dan yang cocok sebagai
sebuah medium padat pada temperatur yang tinggi. Galrite tersebut telah digunakan untuk
mengembangbiakkan mikroorganisme yang sangat termofilik dari lubang hidrothermal bawah
laut dan tetap padat pada suhu 120ºC dan pada tekanan uap dan tekanan hidrostatik hingga
265 atm. Untuk spesies caldoaktif dan barotermofilik maka peralatan khusus diperlukan untuk
pengembangannya. Sebagai contoh, perkembangan dalam bak air adalah dimungkinkan hingga
sekitar suhu 70ºC.
Keuntungan penggunaan mikroba termofilik dalam proses bioteknologi, yaitu :
a) Waktu reaksi yang lebih cepat. Meskipun demikian, terdapat keuntungan yang berbeda
untuk menggunakan spesies termofilik yang memproduksi metabolit sekunder selama
spesies tersebut berkembang/tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan mesofilik.
b) Kurangnya resiko terkontaminasi
c) Murahnya biaya pendinginan karena besarnya pengoperasian fermentasi.
d) Kekentalan (viscositas).
e) Ionisasi dan daya larut
f) Kemampuan termofilik terhadap limbah buangan dapat membunuh bakteri dan virus
patogen
g) Penyulingan terhadap produk akhir yang mudah manguap (volatil).
Beberapa kerugian dalam penggunaan proses termofilik. Temperatur yang tinggi akan
meningkatkan daya labil panas unsur-unsur dalam medium dan kehilangan air karena
penguapan.

Thermotoleransi (toleransi suhu panas)


KELOMPOK SUHU KETERANGAN
TERMOFILIK (0C)
Termotoleran
• Bacillus 20-50 • Amilase aktif hingga 90ºC
licheniformis • Sistem genetis yang dipelajari dengan baik.
• Tempat yang cocok untuk cloning gen dari Bacillus
termofilik yang lain.
• Bacillus subtilis

Termofilik fakultatif
• Bacillus coagulans 30-60 • Memproduksi asam L-laktat

• Streptomyces 25-50 • Antibiotik dihasilkan hingga 55ºC


thermoviolaceus

• Kluyveromyces • Ragi diketahui ber-fermentasi pada 48ºC


marxianas

• Torula thermophila • Ragi

• Aspergillus • Jamur dari kompos

87
fumigatus

• Melanocarpus • Jamur yang diisolasi dari tanah atau compost hydrolyses


albomyces xylan

Thermofilik obligat
• Bacillus
stearothermophilus 40-80 Spora yang secara pengecualian bersifat thermostable

• Bacillus 45-79
acidocaldarius
• Thermus aquoticus 37-65

• Thermomonospora 35-64 Thermoacidophile


chromogena

• Mastigocladus 55-74 Tag 1 polymerase yang digunakan dalam pengerasan gen


laminosus

• Synechococcus Actinomycete, umum dan aktif dalam kompos
lividus

• Methanobacterium 45-75 Cyanobacteria
thermoautotrophic
um

• Clostridium 40-78 Methanogen


thermohydrosulfuri Anaerobe
cum

• Clostridium 40-68 Degradasi cellulose Anaerobic


thermocellum

• Thermoanaerobium 35-78 Produsen ethanol anaerobic


ethanolicus
CaldoaKTIF
• Sulfolobus 50-90 Pengoksidasi termoasidofilik S yang potensial aplikasinya
acidocaldarius untuk melumerkan logam

• Thermothrix 55-85 Pengoksidasi S


thioparus Penurun SO4

• Desulfovibrio 50-85 Methanogen,


thermophilus

• Methanococcus 50-95 hanya menggunakan H2 dan CO2


jannaschii
Barotermofilik
• Pyrodictium 80-110 Dari lubang samudra dalam.
brockii Merupakan autotrof yang anaerobik.

Enzim yang dihasilkan oleh mikroba termofilik

88
Penerapan
Enzim Sumber Toleransi
panas
• Protease t1/21h pada Protease digunakan dalam
• Thermolysin B.thermoproteolyticus 80ºC, industri kulit, minuman,
(protease distabilkan oleh kue, pemrosesan keju
netral) T. aquaticus empat ion Ca2+
• Aqualysin I Detergen – bubuk
(alkaline t1/2 30 h pada pembersih biologis
protease) T. aquaticus 80ºC,
• Aqualysin II distabilkan oleh
(neutral enam ion Ca2+
protease)
T. aquaticus
• Caldolysin
(pH 4-12 yang
stabil pada
75ºC)

Selulase Stabil pada Pembebasan gula dari


Cellulases C.thermocellum 70ºC, 15 menit cellulose (β-1, 4-D-glucose)
Hemicellulases Temp. dan hemi-cellulose (β-1, 4
Cellobiases Thermophilic Optimum xylose yang ditemukan
Actinomycetes 65-70ºC, dalam sampah pertanian,
Yaitu. Thermomonospora 70ºC stabil pembuatan kertas, dan
sp. selama 15 pencernaan anaerobic.
Thermophilic menit
Bacillus sp.

Amylases
Thermophilic Bacillus Biasanya χ-1, 4 hubungan glucosidic,
χ-amylases
Actinomycetes B. distabilkan oleh dalam amylose,
β-amylase licheniformis ion Ca2+ amylopectin dan glycogen.
Aktif pada 90- Digunakan dalam
95ºC minuman, produk akhir
dari β-amylase adalah
maltose
Yang lainnya
Glucose isomerase B. coagulans Glucose pada fructose
sebagai pemanis dalam
industri makanan

B. stearrothermophilus Stabil pada


80ºC selama 30 Reaksi redox dengan
Alcohol Thermoanaerobium menit Sedikit menggunakan pelarut
Dehydrogenase Ethanolicus kehilangan organik sebagai substrates
aktivitas pada
70ºC, yang Hydrolysis dari syrup
melebihi 2 hari lactose (yaitu air susu)
pada glucose dan
T.aquaticus galactose

t1/2 8 menit
pada 90ºC

89
B. stearothermophilus (kehilangan
Β-Galactosidase 10% setelah 36
Caldariella acidophila hari pada 65ºC)
t1/2 20 hari pada
suhu 50ºC
t1/2 30 hari pada
70ºC, dalam
sebuah bentuk
yang tidak
bergerak

MIKROBA HALOFILIK
Sebagian besar mikroba akan terganggu pertum-buhan dan perkembangannya apabila
kadar glukosa dan kadar garam di lingkungannya sangat tinggi. Namun demikian ada beberapa
jenis mikroba yang justru hanya mampu hidup dengan baik pada lingkungan yang berkadar
glukosa atau garam yang sangat tinggi.
Sejak pertama kali ditemukannya mikroba yang mampu hidup pada habitat yang
mengandung kadar garam yang sangat tinggi yaitu pada tahun 1920 dan 1930. Archaebacteria
halofilik ekstrem adalah kelompok prokariot yang berhabitat pada kondisi lingkungan yang
berkadar garam tinggi. Bagian halofilik ekstrem digunakan untuk menandakan bahwa organisme
tersebut tidak hanya halofilik tetapi juga mempunyai persaratan untuk kadar garam yang sangat
tinggi.
Secara umum definisi halofilik ekstrem yaitu organisme tersebut mampu tumbuh pada
kondisi minimum 1,5 M (8,8%) MaCI dan pada3 -4M NaCI (17 – 23%) merupakan kondisi
optimum dari organisme tersebut untuk tumbuh. Secara keseluruhan halofilik ekstrem bisa
tumbuh pada 5,5M NaCI (32%) (Clive Edwards, 1990).
Bakteri halofilik merupakan bakteri yang membutuhkan kandungan garam di dalam
mediumnya. Berdasarkan hal itu, dikenal bakteri halofilik obligat, yaitu bakteri yang hanya dapat
tumbuh pada medium yang mengandung kadar garam tinggi dan bakteri halofilik fakultatif, yaitu
bakteri yang dapat hidup pada medium yang mengandung kadar garam yang tinggi maupun
rendah.
Mikroba yang terdapat pada perairan dipengaruhi oleh faktor fisik atau kimia seperti
tekanan hidrostatik, sinar, pH, salinitas dan temperatur. Perairan air tawar mempunyai kadar
salinitas kurang dari 0,2% sedang pada perairan asin dapat mencapai 3,5.
Ada beberapa macam respon mikroba terhadap salinitas:
a) Organisme tidak dapat bertoleransi dan akan mati pada kondisi salinitas tinggi, umumnya
organisme yang berasal dari air tawar.
b) Mikroba mungkin toleran pada salinitas tertentu tapi ia akan tumbuh lebih baik pada salinitas
rendah.

90
c) Mikroba hanya dapat tumbuh pada salinitas dengan adanya ion natrium. Mikroba ini
umumnya adalah bakteri laut, ganggang dan protozoa.
Tekanan di laut dalam dapat mencapai 300 sampai 1200 atm, banyak organisma dapat
bertahan dalam waktu singkat pada tekanan tinggi tetapi umumnya tidak tahan terhadap
tekanan lebih dari 1500 atm.
Lingkungan alami yang paing ekstrem karena mikroba dapat hidup pada kadar garam
tinggi adalah di Laut Mati dan danau Great Salt, keduanya terletak di subtropik atau beriklim
tropis. Konsentrasi garam pada perairan ini dapat dilihat dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Ion Laut Mati dan Danau Great Salt dengan
perairan laut

Perairan Laut Laut Mati Danau Great Salt


Na+ 10,8 39,2 105,4
K+ 0,4 7,3 6,7
Mg -
1,3 40,7 11,1
Ca2+ 0,4 16,9 0,3
CI-
19,6 212,4 181,0
Br- 0,1 5,1 0,2
SO4 2-
2,7 0,5 27,0
HCO3-/CO32- 0,1 0,2 0,7
Total Salinitasi 35,2 322,6 332,5
pH 8,2 5,9 – 6,3 7,7
(sumber : Edwards, clive, 1990)
klasifikasi dari tipe mikroalgae dan bakteri berdasarkan kadar garam yang ditemukan
pada habitat yang bersalinitasi. Yaitu :
a) Halotoleran, pertumbuhan optimum berada pada 0-3 M NaCI dan pertumbuhan rata-rata
berada pada 0-1 M NaCI. Contoh bakteri yaitu E.coli, salmonella, klebsiella, Halomonas
halodurans, Halomonas elongata, Planococcus, sedangkan contoh alganya yaitu :
Chlamydomonas pulsatilla, Chlorella emersonii, Cyclotella, Dunaliella tertiolecta,
Monallantous, Nannochloris, platymonas, stichococcus.
b) Halofilik Moderat, pertumbuhan optimum berada pada 0,2 – 2 M NaCI dan pertumbuhan
rata-rata pada 0,1 – 4,5 M NaCI. Contoh bakterinya yaitu Halobacteroides, Vibrio
alginolyticus, Vibrio costicola, sedangkan alganya yaitu Astereomonas, Botryococcus,
Chlamydomonas sp, Chlorococcum, Dunaliella viridis, Navicula, Pavlova, Phaeoddactylum,
Porphyridium.
c) Halofilik Ekstrem, pertumbuhan optimum berada pada 3,0 – 5,0 M NaCI dan
pertumbuhan rata-rata 1,5 – 5,5 M NaCI. Contoh bakterinya yaitu Ectothiorhodospira,
Halobacterium, Halococcus, Natronobacter, Natronococcus, sedang alganya yaitu Dunaliella.

91
Aktivitas enzim yang tereakstrasi dari Halobacterium telah diukur untuk melihat jika
divariasikan dengnan garam dan komposisi lain. Telah diklasifikasikan dua tipe besar dari enzim
yang merespon pada perairan berkadar garam, yaitu :
1) Aspartat transcarbamilase, dengan 2M garam untuk aktivitas dan mempunyai kondisi
optimum sekitar 4 M.
2) Isositrat dehydrogenase, dengan salnitas terbaik untuk aktivitas sebesar 1M.

IONIFILIK

LICHENES SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA


Lichenes atau lumut kerak merupakan suatu bentuk kehidupan bersama yang sangat
erat (simbiosis) antara alga dan fungi. Tubuh lichenes berbentuk thalus. Disebut demikian
karena tubuhnya sukar dibedakan antara akar, batang dan daunnya. Komponen fungi pada
thalus disebut mycombiont, sedangkan komponen alga disebut phycombiont.
Simbiosis yang saling menguntungkan terjadi karena bagian fungi memperoleh
karbohidrat yang terbentuk dari hasil aktivitas fotosintesis yang dilakukan oleh komponen alga,
sedangkan alga memperoleh nutrien dan mineral lain yang disediakan oleh aktivitas enzim
fungi(Vernon dan Hale, 1967). Pelczar dan Chan (1993) menyebutkan pula bahwa dalam
hubungan simbiosis tersebut fungi juga berperan dalam membentuk kerangka yang bersifat
mjenunjang dan protektif. Fungi mampu memperoleh karbohidrat dan vitamin-vitamin dari alga
karena adanya bantuan dari struktur berupa tonjolan-tonjolan renik seperti akar yang
dinamakan haustorium yang menembus sel fotosintetik pada alga.
Di Indonesia tubuh lumut kerak dikenal sebagai lumut atau racik yang dapat
dimanfaatkan sebagai jamu tradisional (Wesley dan Wheeler, 1988). Hingga saat ini Miller
(1984) memperkirakan sedikitnya telah 400 genera Lichenes yang telah dipertelakan.
Sebagian besar jenis lichenes memiliki karakteristik pigmen warna dengan struktur kimia
yang unik. Kebanyakn pigmen-pigmen ini memiliki kemampuan membunuh bakteria dan
memungkinkan fungsinya di alam sebagai penangkal dari serangan bakteri (Raven et all, 1996)
Umumnya, alga yang dapat bersimbiosis adalah Cyanophyta yang berasal dari genus
Nostoc dan Chlorophyta terutama dari genus Trebouxia yang mempunyai banyak persamaan
dengan Pleurococcus, serta Trentepohlia yang berbentuk filamen. Ketiga genus tersebut
merupakan simbion yang paling sering ditemukan pada 90 % spesies lichenes (Pelczar dan

92
Chan, 1993). Hegnes (1961, dalam Vernon dan Hale, 1967) menyebutkan ada 30 marga alga
hijau, terutama yang bersel satu dapat bersimbiosis dengan fungi.
Cyanophyta atau ganggang hijau biru ada yang memiliki sel tunggal (uniseluler),
adapula yang bersel banyak (multiseluler). Cyanophyta yang berbentuk filamen kebanyakan
hidup berkoloni di air laut, air tawar, tempat yang lembab, batu-batuan yang basah, menempel
pada tumbuhan atau binatang, di kolam yang mengandung banyak bahan organik serta di
perairan yang tercemar. Kemampuan ganggang hijau biru hidup di air yang tercemar dapat
dijadikan sebagai indikasi polusi materi organik di suatu perairan (Alexopoulus, 1967).
Bold (1960, dalam Alexopoulus dan Bold, 1967) menyebutkan selain memiliki klorofil dan
karotenoid, ganggang ini juga memiliki pigmen fikobulin yang merupakan gabungan dari pigmen
fikoeritrin dan fikosianin, sehingga warna tubuhnya menjadi hijau kebiru-biruan. Di dalam tubuh
ganggang hijau biru terdapat struktur berupa sel yang menebal di dalam filamennya yang
disebut heterosista. Fungsi utama heterosista adalah mengubah nitrogen di alam menjadi
amonia melalui proses fiksasi nitrogen.
Ganggang hijau biru bersel satu yang dapat bersimbiosis membentuk lumut kerak
adalah Gloeocapsa, sedangkan yang berupa filamen diantaranya adalah Nostoc dan Rivularia
(Hegnes (1961, dalam Vernon dan Hale, 1967). Gloeocapsa memiliki sel berselubung yang ka-
dang-kadang tidak berwarna, dapat hidup di batu-batuan yang lembab atau sebagai epifit pada
tumbuhan lain. Nostoc memiliki trikom yang terdiri dari sel-sel yang berbentuk seperti bola,
hidup di tanah alkalin dan batu-batuan yang lembab. Selain itu Nostoc mempunyai struktur
yang disebut akinet, yaitu sel yang tidak aktif yang akan tumbuh membentuk trikom baru
setelah masa dorman selesai. Rivularia memiliki tubuh berbentuk seperti bola yang diselubungi
lendir dan trikomnya meruncing di bagian ujung dan tidak memiliki akinet. Rivularia sering
ditemukan hidup menempel pada tanaman air atau batuan yang lembab (Grell dan Hardy, 1965
dalam Alexopoulus dan Bold, 1967).
Seperti Cyanophyta, Chlorophyta atau ganggang hijau ada yang bersel tunggal dan
adapula yang terdiri dari beberapa sel yang membentuk koloni atau benang yang bercabang-
cabang (Alexopoulus dan Bold, 1967). Umumnya ganggang hijau hidup di air tawar atau air laut
sebagai plankton atau bentos, di atas permukaan tanah atau melekat pada tumbuhan air.
Ganggang ini memiliki klorofil yang terdapat dalam kloroplas. Reproduksinya dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu secara vegetatif melalui fragmentasi atau secara generatif melalui
konjugasi (Pelzcar dan Chan, 1993)
Alexopoulus dan Bold (1967); Palmer (1982); Miller (1984) serta Pelzcar dan Chan
(1993) melaporkan bahwa fungi yang bersimbiosis dengan alga kebanyakan dari golongan
Ascomycetes dan Basidiomycetes. Ascomycetes akan membentuk Ascolichenes, sedangkan
Basidiomycetes akan membentuk Basidiolichenes.

93
SIMBIOSIS YANG SALING MENGUNTUNGKAN
Simbiosis ini saling menguntungkan karena jamur mendapatkan karbohidrat yang
diambil melalui haustoria (struktur berupa tonjolan-tonjolan renik menyerupai akar yang melilit
sel alga) dari hasil fotosintesis organisme fotosintesis, sedangkan jamur memberikan nutrien dan
mineral kepada organisme fotosintesis tersebut.
Bukti yang jelas pada perpindahan materi organik dari alga ke jamur telah diperoleh
dengan teknik radioistop. Jika lichenes dapat mengambil CO2 pada keadaan terang/siang hari,
aktifitas radioaktif tidak hanya terjadi pada permukaan lapisan alga, tetapi dijumpai pula pada
lapisan jamur. Dalam beberapa kejadian, 20-40% dari total karbon yang diambil oleh alga
dalam eksperimen jangka pendek akan berpindah ke jamur, tapi pada kejadian-kejadian yang
lain, perpindahan tersebut berlangsung lambat. Komposisi kimia pada susunan senyawa karbon
yang berpindah dari alga ke jamur tergantung pada organisme fotosintesis yang terdapat dalam
lichenes. Jika organisme fotosintesisnya ialah Cyanobacter, maka komposisi hasil fotosintesis
yang berpindah adalah glukosa, sedangkan jika organisme fotosintesisnya Clorophyta, maka
hasil yang berpindah ialah ribitol, erytritol atau sorbitol serta semua gula alkohol. Setelah semua
karbon masuk ke jamur, senyawa yang berpindah tersebut akan diubah menjadi gula alkohol
alin, kemudian diubah lagi menjadi arabitol dan manitol yang dipergunakan sebagai sumber
energi (Broch dan Madigan, 1999).

MORFOLOGI LICHENES
Telah disebutkan di muka, bahwa tubuh lichenes berbentuk thalus. Disebut demikian
karena tubuhnya sukar dibedakan antara akar, batang dan daunnya. Secara morfologis, pada
Gambar 3 jaringan penyusun tubuh lichenes secara berturut-turut tersusun oleh:
1. Upper cortex (korteks bagian atas), lapisan ini merupakan lapisan plindung dari perubahan
kondisi abiotik yang besar. Lapisan ini berupa lapisan miselium fungi yang terjalin rapat di
bagian atas dan bagian bawah, yang dapat melindungi alga dari intensitas cahaya yang
berlebihan.
2. Alga layer (lapisan alga), merupakan sel-sel alga yang terdapat pada susunan hifa longgar
dan membentuk lapisan
3. Medulla (jaringan hifa jamur), merupakan bagian tengah thalus, tampak lebih kompak..
Bagian tengahnya menebal dan pada bagian tepinya akan semakin menipis
4. Lower cortex (korteks bagian bawah), merupakan bagian yang sama dengan korteks
bagian atas
5. Rhizine (rizoid), merupakan lapisan dasar yang melekat pada substrat secara langsung,
yang berfungsi sebagai jangkar untuk melekatnya hifa (Pelczar dan Chan, 1993).

94
Kekhususan dan keuatan struktur lichenes seperti dijelaskan di atas, memungkinkan
lichenes dapat hidup dalam waktu lama. Setelah bertahun-tahun berada dalam kondisi
kekeringan yang parah, beberapa lichenes mampu bertahan hidup lebih dari 10 tahun.
Dalam keadaan normal, lichenes mampu hidup samapi lebih dari 10 tahun bahkan ada
yang mencapai 100 tahun. Namun demikian, struktur semacam ini juga dapat menghambat
pertukaran gas untuk fotosintesis. Oleh karena itu dibentuklah cyphella atau pseudocyphella.
Aphotecia yang dibentuk oleh komponen fungi akan menghasilkan spora. Spora ini akan
mencarai alga yang tepat untuk bersimbiosis membentuk lichenes baru.
Tornabe (1961 dalam Vernon dan Hale, 1973) melaporkan bahwa berdasarkan bentuk
susunan tubuhnya, dikenal 5 macam lichenes, yaitu :
a) Crustose, berbentuk sangat tipis dan biasanya melekat erat pada substrat misalnya batu
yang keras atau sebagai epifit pada batang pohon, seperti Graphis, Usnea dan Alectoria
yang dikenal dengan sebutan lumut janggut. Keduanya tidak memiliki rhizoid sehingga
untuk memperoleh makanannya tergantung dari hujan dan angin. Contoh lainnya adalah
Rhizocarpon geographicum yang hidup pada permukaan batu dan Lecidia yang berwarna
putih. Lecabora muralis (Squamaria muralis banyak ditemukan di dinidng. Thallusnya
berwarna hijau kusam dengan keping-keping kecil di tepi dan ascocarp berwarna coklat
kusam.
b) Foliose, bentuknya mirip daun, sepintas lalu menyerupai lumut daun. Tidak menempel
erat pada substrat. Di permukaan bagian bawah terdapat cyphella yang dapat dianggap
sebagai lubang pernafasan. Melalui irisan melintangnya akan terlihat 1 lapis zona alga di
dekat permukaan thallusnya, contohnya Parmelia physoides dan Peltigera polydactyla.
Parmelia physoides merupakan kerak berwarna hijau keabu-abuan dan menempel pada
kulit batang pohon. Peltigera polidactyla tumbuh di permukaan tanah, daunnya semi
tegak, berdiameter 1-2 cm dan memiliki ascocarp berwarna coklat. Penampang melintang
lichenes berbentuk foliose dapat dilihat pada gambar 3.
c) Fructiose, bentuk thallusnya mirip foliose tetapi bercabang-cabang dan bulat, demikian
pula struktur tubuh bagian dalamnya. Alexopoulus (1967) menyebutkan lichen fructiose
berbentuk rumpun tegak dan dapat mencapai ketinggian 10 cm, sedangkan Tornabe
(1961 dalam Vernon dan Hale, 1973) melaporkan bahwa kebanyakan fructiose tumbuh
tegak atau terjurai ke bawah. Contohnya Usnea comosa yang thalusnya berfilamen.
d) Leprose, dijumpai adanya tumpukan tepung pada hifa jamur dan sel-selnya tidak
beraturan.
e) Skuamulose, berbentuk seperti crustose, dengan bagian ujung yang terangkat ke atas
terhadap permukaan tempat hidupnya. contohnya Cladonia pyxidata dan Cladonia
coccifera.

95
Gambar . Penampang melintang lichenes

HABITAT LICHENES
Untuk hiduo lichenes tidak memerlukan syarat hidup yang terlalu tinggi. Ia dapat hidup
pada kondisi lingkungan yang kurang baik seperti pada batuan kering, naumn lichenes tersebut
tidak mati. Setelah keadaan lingkungan lembab, lichenes hidup aktif kembali. Pada batuan yang
ditumpanginya, lichenes dapat melepaskan zat kimia yang membantu pelapukan bebatuan
tersebut.
Kebanyakan lichenes hidup sebagai epifit pada batang pohon yang hidup menutup
permukaan cadas maupun batuan. Beberapa jenis ada yang mampu hidup pada celah bebatuan,
sehingga sering disebut endolitik.
Kemampuan hidup lichenes di berbagai kondisi lingkungan serta kemampuannya
membantu pelapukan batu, lichenes , lichenes mempunyai peranan yang sangat besar dalam
pembentukna tanah dari bebatuan. Oleh karena itu, lichenes terkenal sebagai vegetasi
perintis. Perkembangbiakan lichenes berlangsung secara vegetatif dan dapat dilakukan dengan
2 cara, yaitu : fragmentasi dan membelah diri dan membentuk spora.
Campbell (1977) dan Miller (1984) menyebutkan bahwa lichenes merupakan tanaman
perintis atau tanaman pelopor yang dapat hidup mulai daerah pegunungan sampai ke daerah
kutub di mana tumbuhan lain tidak dapat hidup. Di daerah tundra banyak terdapat hamparan
lichenes Cladonia rengiferina yang menjadi salah satu makanan utama rusa kutb. Pada daerah
tertentu di Antartika, ditemukan Lichenes yang berumur lebih dari 8000 tahun. Selain itu, di
kawasan Artik yang cukup panas untuk pertumbuah makhluk hidup, telah ditemukan lichenes
yang berumur sekitar 10.000 tahun.
Selain itu lichenes sering disebut pula sebagai tumbuhan kosmopolitan, karena
dapat dijumpai di hampir semua tempat seperti pada permukaan tanah, tembok-tembok
bangunan, batu-batuan, di batang-batang pohon, di dinding, di atap rumah atau tanah yang
agak basah. Salah satu contohnya adalah Usnea yang dalam aktivitas hidupnya menghasilkan
asam usnat yang dapat menghancurkan lapisan batuan (Alexopoulus, 1967; Palmer, 1982; serta
Miller, 1984).
Menurut habitat, para ahli lichenes (lichenologis) membagi nya menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Saxiolous : lichenes yang hidup pada tanah atau substrat yang berbatuan
2. Corticolous : lichenes yang menempel pada kulit kayu atau daun yang mempunyai
kelembaban cukup dan hidup sebagai epifit.
3. Terricolous : lichenes yang hidup terestrial, di tanah

LICHENES SEBAGAI BIOINDIKATOR

96
PENCEMARAN UDARA

Lichenes merupakan tumbuhan rendah yang peka terhadap pencemaran udara


(Thomas, 1975 dalam Campbell, 1977). Kadar tertentu zat pencemar udara mampu
menghambat pertumbuhan lichenes, tetapi logam-logam berat tidak banyak mempengaruhi
pertumbuhannya. Lichenes dan Bryophyta mampu menimbun logam-logam berat yang
dipancarkan ke udara lebih cepat daripada tumbuhan tinggi (Laonamaa, 1956 dalam Campbell,
1977).
Pada umumnya lichenes mudah beradaptasi terhadap perubahan temperatur dan
kekeringan, tetapi ada pula yang sangat sensitif terhadap perubahan tersebut. Beberapa
lichenes mampu hidup di daerah industri serta kota-kota-kota besar yang telah terkena
pencemaran udara. Menurut Rosswall (1983) pada daerah yang mengalami pencemaran udara,
jumlah jenis yang ada akan sedikit dan jenis yang peka akan hilang sama sekali. Volensky (1970
dalam Vernon dan Hale, 1973) melaporkan pula bahwa Lecidia sp, Ramalina sp, Lecanora sp
dan Physcia sp merupakan jenis yang paling resisten terhadap pencemaran udara, karena dari
sejumlah jenis lichenes yang dapat bertahan hidup di daerah yang telah tercemar, ketiga jenis
tersebut yang paling sering dijumpai. Namun yang paling banyak tumbuh dari ketiga jenis
tersebut adalah Lecidea, sp. Lichenes seperti Parmelia sp dan Placopsis sp merupakan jenis yang
sangat peka terhadap adanya perubahan lingkungan. Beberapa jenis lichenes yang resisten dan
yang peka terhadap perubahan lingkungan masing-masing dapat dilihat pada gambar 5 dan 6.
Peranan lichenes sebagai bioindikator terjadinya pencemaran udara di suatu daerah akibat emisi
buangan kendaraan bermotor ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut : jenis lichenes yang
dapat hidup sedikit, pertumbuhan tidak baik, kesuburan berkurang, dan prosentase penutupan
pertumbuhan yang tidak luas (Laonamaa, 1956 dalam Campbell, 1977).
.
Gambar 5. Beberapa jenis lichenes yang resisten
terhadap perubahan lingkungan

Gambar 6. Beberapa jenis lichenes yang peka terhadap perubahan


lingkungan
Sebagai indikator pencemar udara, lichenes harus menghadapi tantangan perubahan
lingkungan sekitarnya berupa perubahan kadar kelembaban udara dan kondisi penyinaran yang
kurang, perubahan temperatur dan polutan pencemar udara (Miller et al, 1994).
Lichenes dapat memberikan respon terhadap perubahan kualitas udara. Respon tersebut
dapat meliputi :
1. Perubahan penampakan luar yang diamati secara visual, seperti:
a. perubahan warna thalus

97
b. perubahan ukuran thalus
c. perubahan ketebalan thalus
2. Perubahan secara anatomi
a. Bertambahnya jumlah kematian lichenes dan hancurnya plasma pada sel alga
b. Pengurangan ukuran dan terhambatnya regenerasi sel
3. Perubahan secara fisik, berupa :
a. perubahan jumlah sel alga yang hidup dan yang mati
b. penyusutan kadar CO2 yang mampu diserap, maupun yang terlibat dalam proses
respirasi
c. perubahan kadar air pada thalus
d. berkurangnya proses fiksasi nitrogen
e. terhambatnya aktifitas enzim fosfat
f. berkurangnya kandungan klorofil, rasio a/b, perubahan nilai pH
g. Terlepasnya kalium dan magnesium dari thalus

Lichenes dapat memberikan respon terhadap hadirnya sumber pencemar karena hal-hal sebagai
berikut :
1. Rendahnya kadar klorofil yang berhubungan dengan fotosintesis, metabolisme,
memperlambat dan membatasi regenerasinya
2. Ketidakberadaan kulit arik (kutikula) menyebabkan polutan secara mudah masuk ke dalam
thalus

3. Lapisan luar lichenes dapat meneyrap air dan nutrisi langsung dari udara dan air hujan
4. Keseimbangan keberadaan air dalam lichenes hampir seluruhnya berfungsi sebagai
pelembab keadaan sekitar atau untuk proses presipitasi, maka kesemaptan lichenes untuk
beregenerasi dan berasimilasi menjadi terbatas
5. Suatu bahan yang diserapnya akan berakumulasi/ bertambah sejak bahan itu berdiam di
dalam tubuh lichenes tersebut
6. Aktifitas lichenes sangat baik pada musim dingin. Hal ini disebkan oleh SO2 yang ada di
udara biasanay lebih tinggi dari musim panas.

Kemampuan lichenes untuk bertoleransi terhadap bahan-bahan beracun atau toksik


dapat dijadikan persyaratan ekologi untuk kehidupan berbagai spesies (Schmidt dan Kreeb, 1991
dalam Ahmadjian dan Mason 1993).
Berkaitan dengan kehadiran dan kelimpahan lichenes, kota besar yang mengalami
pencemaran udara dapat bedakan menjadi 3 zona, yaitu

98
1. Zona tanpa Lichenes (lichenes desert). Daerah ini terdapat konsentrasi SO2 yang
tinggi sehingga lichenes tidak dapat tumbuh. Di daerah ini tiap harinya terdapat
konsentrasi SO2, NO2 dan polutan-polutan lainnya yang melebihi ambang batas.

2. Zona perjuangan lichenes (struggling zone). Di daerah ini beberapa spesies lichenes
masih dapat bertahan hidup, namun licehens yang sensitif terhadap polutan tidak dapat
bertahan hidup lagi. Zona ini dapat dibagi lagi menjadi 3 subzona, yaitu :
a. Inner struggling zone. Di daerah ini hanya 10% lichenes yang dapat bertahan hidup
b. Intermediate struggling zone. Di daerah ini terdapat 25% lichenes yang dapat
bertahan hidup di pepohonan.
c. Outer zone. Di daerah ini dapat ditemukan hingga 50% jenis lichenes
3. Zona Normal Lichenes, polusi udara tidak memberikn pengaruh terhadap keberadaan
lichenes. Di daerah ini hampir semua jenis lichenes, baik yang toleran maupun yang
sensitif dapat hidup.

Beradasarkan faktor-faktor ekologis yang mempengaruhinya, lichenes dapat dikelompok


menjadi :
1. Spesies Neutriphilous, yaitu spesies yang dapat hidup di tempat yang kadar airnya rendah,
memiliki toleransi yang tinggi terhadap bahan-bahan yang toksik, dan dapat hidup di
daerah yang kering. Contohnya Physca ascendens, Candelariella xanthostigma.
2. Spesies yang dapat hidup di tempat yang sedikit unsur alkalinya. Spesies ini tumbuh pada
tempat yang banyak nutrisinya, lingkunngan yang hangat dan daerah yang kering. Di
daerah yang lembab/basah, persaingan hidup mereka lebih kecil dibandingkan dengan
anggota kelompok 1, namun kelompok ini dapat hidup seperti kelompok 3 dan 4. Toleransi
mereka terhadap bahan beracun ialah dalam tingkat sedang. Contohnya Xanthoria
parietina, X. Candelaria, Physcia stellaris.
3. Spesies yang dapat tumbuh dengan kondisi lingkungan sedikit asam. Mereka melindungi
perkembangannya agar tetap seimbang dengan hidup di tempat yang sangat lembab.
Contohnya Parmelia sulcata, P.exasperulata, dan P.acetabulum.
4. Spesies Neutrophilous, yaitu spesies yang dapat menyerap air secara cepat tetapi dapat
kehilangan air secara cepat juga. Seperti kelompok 3, spesies ini dapat hidup pada
lingkungan yang sedikit asam. Selain itu, mereka tidak terlalu toleran terhadap bahan
pencemar. Contohnya Hypogymnia physoides, Parmelia subrudecta, P andreana,
P.scortea.
5. Spesies Acidophilus, yaitu spesies yang membutuhkan kelembaban yang spesifik. Contoh
spesies yang rentan terhadap polusi udara, terutama yang disebabkan oleh SO2 adalah
Ramalina polinaria, R. Farinaceae, Everina prunastri, Pertusaria globulifera, P. discoidea,
P.albescens/corraliza, Phlyctics argena, Pertusaria amara.

99
6. Spesies yang hidup di tempat dingin dan beriklim lembab
7. Spesies dengan persyaratan hidup di tempat yang sangat basah. Umumnya memberikan
toleransi yang rendah terhadap bahan pencemar. Contohnya Usnea dasypoga, Alectoria
iubata, Anaptychia ciliaris.
8. Spesies dengan persyaratan ekologikal yang tidak spesifik. Contohnya Physcia grisea,
P.purverulenta, P. aipolia, Lecanora chlarotera, L. allophana, L.carpinea, L.subfuscata, L.
Pallida.

Peningkatan suhu udara di sekitar lingkungan tempat hidupnya dapat meningkatkan laju
respirasi dan menurunkan laju fotosintesis. Jika hal ini terus berlangsung secara terus menerus,
akan menyebabkan kematian lichenes.

Respon Lichenes terhadap SO2


Feige (1982, dalam Alexophoulus dan Bold, 1987) menjelaskan bahwa efek bahan
toksik dari sumber pencemar SO2 dapat meningkatkan nilai keasaman (pH) pada tempat
hidupnya, sehingga dapat menghambat pertumbuhan lichenes. Pada pohon yang hidup di lahan
yang berbatuan di daerah gunung berapi dengan tanah yang bersifat asam, ternyata nilai pH
pada kulit pohon berkisar 2-4. Menurut hasil penelitian Feige (1982), beberapa lichenes
memberikan respon yang berbeda terhadap kadar SO2 di lingkungannya, sebagai berikut :
• Kadar SO2 170 µgr/m3 : tidak ada lichenes yang yang dapat hidup.
• Kadar SO2 150 µgr/m3 : ditemukan Lecanora conizaeoides
• Kadar SO2 70 µgr/m3 : ditemukan Xanthoria parientina
• Kadar SO2 60 µgr/m3 : ditemukan Ramalina farinaceae
• Kadar SO2 40 µgr/m3 : ditemukan Anaptychia ciliaris
• Kadar SO2 30 µgr/m3 : ditemukan Ramalina fraxinea
• Kadar SO2 0 µgr/m3 : ditemukan Loboria amplissima
Dari data tersebut di atas, Lecanora conizaeoides merupakan spesies ini tidak sensitif
terhadap kandungan SO2, dapat hidup dengan baik pada saat konsentrasi SO2 di lingkungannya
sangat tinggi. Peneliti lain menyebutkan, spesies lain juga dapat hidup pada konsentrasi SO2
yang tinggi adalah Xantoria parietina, Grimmia pulvinata, Parmelia saxatilis, P. Sulcata,
P.physoides.
Penumpukan zat belerang dapat dideteksi dengan melihat kehadiran beberapa spesies
lichenes di daerah tersebut. Beberapa spesies tersebut contohnya Cladonia sylvatica,
C.arbuscula, C.mitis, Hypogymania physoides, Pseudoevernia furfuracea, serta Peltigera
aphthosa (Pakarinen, 19981; Takala et al, 1995 dalam Lubis, 1996).

100
Respon Lichenes terhadap hidrogen florida (HF)
Adanya hidrogen florida di udara menyebabkan perubahan terhadap penampakan
lichenes, yaitu warnanya menjadi abu keputih-putihan, ukurannya secara fisik menyusut dan
lichenes yang semula bersatu membentuk koloni yang lebar lama kelamaan koloni tersebut akan
terpisah. Beberapa lichenes yang dapat mengakumulasikan florine di dalam tubuhnya atau tidak
sensitif terhadap hidrogen florida adalah Alectoria iubata, Evernia prunastri, Parmelia saxatilis,
Ramalina farinacea, Xanthoria parietina, serta Parmelia acetabulum, sedangkan spesies yang
sensitif adalah Pseudoevernia furfuracea, Parmelia physoides dan P. sulcata (Alexophoulus dan
Bold, 1987).

Respon Lichenes terhadap Fotooksidan


Keberadaan fotooksidan di udara menyebabkan perubahan terhadap penampakan
lichens, yaitu warna thalusnya akan memutih dan menjadi lebih padat. Ellis dan Smith (1987)
dalam Miller (1994) menyebutkan beberapa spesies lichenes yang memberikan respon secara
spesifik terhadap fotooksidan di udara, sebagai berikut :
• Spesies lichenes yang sensifitasnya tinggi, contohnya Brorya abbreviata, Peltigera canina,
Ramalina farinacea, Xanthoria candelaria

• Spesies lichenes yang cukup sensitif, contohnya Centraria merrillii, Parmelia sulcata, Physcia
ciliata, Usnea sp.
• Spesies lichenes yang agak toleran, contohnya Hypogymnia enteromorpha, Parmelia
elegantula, Xanthoria polycarpa.
• Spesies lichenes yang cukup toleran, contohnya Letharia vulpina, Phyascia tenella, Xanthoria
fallax.
Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa Cladonia rangiferina dapat mengindikasikan adanya
zat radioaktif seperti 141
Ce, 144
Cs, 103
Ru, 106
Ru, 95
Zr, 137
Cs, 40
K, 210
Pb, 54
Mn, 7Be, 238
Pu.

Respon Lichenes terhadap herbisida


Lichenes juga dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya herbisida. Menurut
Hallbom dan Bergman (1979), aktifitas nitrogen pada Peltogera praetextata tereduksi oleh
adanya kandungan herbisida.

Selain memiliki peran yang penting sebagai bioindikator kualitas lingkungan, lichenes juga dapat
berfungsi sebagai :
1. Makanan bagi rusa dan lembu di Lapland

101
2. Bahan baku obat-obatan. Contohnya Lungmoss (Lobaria pulmoria) digunakan sebagai
obat untuk penyakit saluran pernafasn, sedangkan Leathermoss (Peltigera sp) dapat
diguankan sebagai obat penyakit rabies.

3. Bahan baku makanan. Contohnya Umbilicaria esculenta yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Jepang.
4. Bahan baku pembuat parfum. Contohnya Evernia prunastri dan Pseudevernia
furfuraceae.

PERIFITON SEBAGAI
BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT DI LINGKUNGAN PERAIRAN

Seiring dengan meningkatnya kemajuan di sektor industri, semakin meningkat pula


masalah pencemaran di Indonesia. Masuknya limbah industri yang mengandung logam berat ke
dalam suatu perairan dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan tersebut. Logam-logam
berat yang sering dijumpai dalam lingkungan perairan yang tercemar limbah industri adalah
merkuri atau air raksa (Hg), Nikel (Ni), Kromium (Cr), Cadmium (Cd), Arsen (As), dan Timbal
(Pb).
Selain menyebabkan banyak kerugian bagi manusia, hadirnya logam berat juga sangat
mempengaruhi kelangsungan hidup organisme di dalamnya. Mitchell (1972) menyatakan
bahwa pencemaran air dapat menimbulkan menurunnya atau punahnya populasi organisme
perairan seperti benthos, perifiton dan plankton. Dengan menurunnya atau punahnya
organisme tersebut maka sistem ekologis perairan dapat terganggu. Hynes (1972) menjelaskan
bahwa sistem ekologis perairan (ekosistem) mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali
lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada dalam batas daya
dukung lingkungan yang bersangkutan. Apabila beban pencemaran melebihi daya dukung
lingkungannya maka kemampuan itu tidak dapat dipergunakan lagi.
Organisme perairan memiliki kepekaan/sen sitivitas terhadap pencemaran yang
berbeda-beda. Menurut James dan Evison (1987) organisme yang hidup di perairan seperti
perifiton dapat dimanfaatkan untuk menilai kualitas perairan. Di antara jenis-jenis perifiton
tersebut ada yang sensitif dan ada yang sangat toleran. Organisme yang sensitif dapat
dimanfaatkan untuk menilai kualitas air yang mulai menurun atau tercemar ringan, sedangkan
yang bersifat toleran dapat menjadi bioindikator yang baik bagi perairan yang tercemar berat.

ORGANISME PERIFITON

102
Perifiton merupakan bentuk komunitas mikroorganisme yang hidup bersama di bawah
permukaan air dan melekat pada batu-batuan, ranting, daun-daun, makrofita air dan organisme
lain (Rand, 1975), sedangkan Hynes (1972) menyatakan bahwa alga yang melekat pada batu-
batuan dan makrofita air merupakan jenis perifiton yang makroskopis. Yang termasuk dalam
perifiton tumbuhan adalah adalah beberapa phytoplankton dan mikroalga Cyanophyceae (alga
biru hijau/bakteri alga benang), sedangkan perifiton hewan contohnya adalah Protozoa dan
Euglenophycecae.
Di dalam suatu ekosistem perairan, komunitas perifiton sangat tergantung satu dengan
yang lainnya, terutama dalam bentuk rangkaian rantai makanan maupun jaring-jaring makan.
Menurut Mitchell (1972), sebagian besar perifiton yang terdiri dari phytoplankton berperan
sebagai produser dan menduduki tingkatan tropik I, sedangkan protozoa berada pada
tingkatan trofik II.
Tiap-tiap jenis perifiton memiliki daya tahan dan kemampuan beradaptasi yang berbeda-
beda terhadap suatu perubahan yang mungkin terjadi di lingkungannya. Ada jenis perifiton yang
sensitif, namun adapula yang sangat toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan alami.
Oleh karena itu perifiton dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator terjadinya perubahan
lingkungan, terutama yang disebabkan oleh masuknya bahan-bahan pencemar ke dalam
perairan.
Rand (1975) mengemukakan bahwa penafsiran atau pendugaan kualitas air secara
mikrobiologis dapat dilakukan dengan lebih lengkap dan teliti apabila menggunakan
mikroorganisme indikator. Campbell (1977) melaporkan beberapa jenis komunitas perifiton yang
sebagian besar terdiri dari cyanophyta dan protozoa sebagai bioindikator pada tiap-tiap wilayah
perairan yang berbeda-beda tingkat pencemarannya (Tabel 1).
Menurut James dan Evison (1987) perairan yang kualitasnya baik umumnya memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi serta kelimpahan individu tiap jenis yang rendah.
Ketidakseimbangan ekosistem perairan akibat terjadinya perubahan faktor fisik, kimia dan
biologis akan mempengaruhi keanekaragaman organisme-organisme di dalam perairan tersebut,
termasuk keanekaragaman komunitas perifiton. Kreb (1987) mengemukakan bahwa
keanekaragaman dapat diketahui dengan cara menghitung indeks keanekaragaman, misalnya
dengan menggunakan indeks Shannon yang telah diakui ketelitiannya. Pada indeks
keanekaragaman Shannon yang perlu diperhatikan adalah banyaknya jenis serta banyaknya
individu tiap jenis.

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN ALAMI YANG DAPAT MEMPENGARUHI STRUKTUR


KOMUNITAS PERIFITON

Setiap jenis makhluk hidup membutuhkan habitat yang sesuai serta kondisi lingkungan
yang dapat mendukung aktivitasnya sehingga kelangsungan hidupnya dapat dipertahankan.

103
Demikian pula dengan komunitas perifiton. Terjadinya perubahan kondisi lingkungan, baik fisik,
kimia maupun biologis dalam bentuk pencemaran akan mempengaruhi kehidupan perifiton.
Hynes (1987) melaporkan adanya beberapa faktor lingkungan alami yang dapat
mempengaruhi struktur komunitas perifiton, yaitu :
a. Temperatur.
Temperatur air dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme. Jenis alga biru hijau
dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 400 C, sedangkan alga hijau dan diatome
masing-masing dapat hidup pada temperatur 300 C - 350 C dan 200 C - 250 C. Pada beberapa
jenis, kenaikan temperatur yang cukup besar dalam waktu yang singkat dapat
menyebabkan organisme menjadi steril. James dan Evison (1987) melaporkan bahwa
temperatur perairan dapat mempengaruhi biota perairan dalam proses pemijahan,
penetasan, pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian karena perubahan temperatur
secara tiba-tiba.
b. Cahaya
Sebagian besar perifiton berperan sebagai produser yang dapat melakukan aktivitas
fotosintesis. Fotosintesis dapat berlangsung dengan baik jika intenisitas cahaya yang
diterima perifiton cukup banyak. Oleh karena itu cahaya merupakan faktor lingkungan yang
sangat menentukan produktivitas suatu perairan.
c. Besarnya oksigen terlarut (DO)
Besarnya oksigen terlarut sangat tergantung berbagai macam faktor seperti temperatur dan
tekanan udara. Selain itu jenis dan jumlah makhluk hidup serta besarnya zat organik yang
terdekomposisi juga dapat mempengaruhi nilai DO. Secara teoritis, nilai DO akan tinggi pada
pagi hari karena tanaman berhijau daun melakukan fotosintesis yang menghasilkan
sejumlah besar oksigen. Sebaliknya pada malam hari atau pada saat udara sangat panas,
nilai DO menjadi rendah.
d. Padatan tersuspensi yang berlebihan
Padatan tersuspensi yang ditemui dalam suatu perairan dapat berupa partikel-partikel
anorganik, organik atau campuran keduanya. Jika berlebihan, padatan tersuspensi ini
dapat menyebabkan kekeruhan air yang mengakibatkan turunnya produktifitas perairan.
Derajad kekeruhan air yang tinggi menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya matahari
ke dalam perairan sehingga proses fotosintesis tidak dapat berjalan dengan baik.
e. Kecepatan arus
Kecepatan arus sangat menentukan habitat alamiah pada suatu perairan. Arus yang deras
pada perairan lotik mempengaruhi pola pendistribusian oksigen.
f. Kandungan senyawa-senyawa beracun dalam air.
Daerah dengan konsentrasi senyawa beracun yang tinggi menyebabkan matinya beberapa
organsime air yang daya adaptasinya relatif rendah.

104
Tabel 1. Komunitas Perifiton pada Tiap Wilayah Perairan Menurut Tingkat
Pencemarannya (Campbell, 1977)

Wilayah Tingkat Pencemaran Komunitas yang Sering Dijumpai

• Koprozoik Tidak ada proses oksidasi dan Bakteri anaerob


mineralisasi

• Polisaprobik Tercemar sangat berat Euglena


Rhodobacteria
Thiobacteria
Beqqiatoa
Thiothrix nivea
Oscillatoria chlorina
Sphaerotilus natans

• Mesosaprobik Tercemar berat Ulothrix zonata


Oscillatoria benthonicum
Stigeoclonium tenue

Tercemar sedang Cladophora fracta


Phormidium

Kurang tercemar Rhodophyceae :

105
• Batrachospermum
monoliforme
• Lemania fluviatilis
Chlorophyceae
• Cladophora glomerata
• Ulothrix zonata

• Oligosaprobik Hampir tidak tercemar Rhodophyceae :


• Batrachospermum vaqum
• Lesmania annulata
• Hildenbrandia rivularis
Chlorophyceae :
• Draparnaldia glomerata
• Meredion circulare

• Katharobik Tidak tercemar Rhodophyceae :


• Chantransia chalybdea
• Hildenbrandia rivularis
Chlorophyceae :
• Clorotylium cataractatum
• Drapanaldia plumosa
• Chamaessiphon polonicus

106
LOGAM BERAT SEBAGAI SUMBER PENCEMAR
LINGKUNGAN PERAIRAN

Logam berat (heavy metals) atau logam toksik (toxic metals) adalah terminologi
yang umumnya digunakan untuk menjelaskan sekelompok elemen-elemen logam yang
kebanyakan tergolong berbahaya bila masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Logam berat
yang terdapat baik di lingkungan maupun di dalam tubuh manusia dalam konsentrasi yang
sangat rendah disebut juga sebagai “trace metals” (Kusnoputranto, 1995). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa trace metals seperti kadmium (Cd), Timbal (Pb), dan Merkuri (Hg)
mempunyai berat jenis sedikitnya 5 kali lebih besar dari air.
Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa logam-logam berat yang sering dijumpai dalam
lingkungan perairan yang tercemar limbah industri adalah merkuri atau air raksa (Hg), Nikel
(Ni), Kromium (Cr), Cadmium (Cd), Arsen (As), dan Timbal (Pb). Logam-logam tersebut
dapt mengumpul di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam jangka waktu
lama sebagai racun yang terakumulasi
Selanjutnya, menurut sifat toksisitasnya Wood (dalam Forstener dan Prossi, 1978)
membagi unsur-unsur ke dalam 3 golongan :
a. Unsur-unsur yang tidak bersifat toksik, yaitu : Na, K, Mg, Ca, H,O, N, C, P, Fe, Cl, Br, F,
Li, Rb, Sr, Al dan Si.
b. Sangat toksik dan mudah dijumpai, yaitu : Be, Co, Ni, Cu, Zn, Sn, As, Te, Pd, As, Cd, Pt,
Au, Ti, Pb, Jb dan Bi.

107
c. Sangat toksik tetapi tidak larut dan sukar dijumpai, yaitu : Ti, Ht, Zr, W, Nb, Ta, Re, Ga, La,
Os, Rh, Ir, Ru dan Br.

PENYEBARAN LOGAM BERAT DALAM LINGKUNGAN PERAIRAN


Menurut Forstner dan Prossi (1978), logam berat sebagai salah satu sumber pencemar
anorganik yang masuk lingkungan perairan dapat berasal dari :
a. Pelapukan batuan yang mengandung logam berat. Pencemaran ini bersifat alamiah.
b. Industri yang memproses biji tambang.
c. Pabrik-pabrik dan industri yang mempergunakan logam berat di dalam proses produksinya.
d. Pencucian logam dari sampah baik sampah organik maupun anorganik
e. Logam berat yang berasal dari ekskreta manusia dan binatang karena tidak sengaja
mengkonsumsi sumber makanan yang terkontaminasi oleh logam berat.
Selain hal tersebut di atas, pada pula beberapa kegiatan manusia yang secara tidak
langsung juga dapat menyebarkan logam berat ke dalam lingkungan, misalnya melalui
penggunaan pupuk dan pestisida serta hujan asam. Arsenik adalah salah satu komponen pestisida
yang walaupun penggunaanya saat ini berkurang ternyata dapat menjadi kontaminan permanen
dari tanaman sayur-sayuran. Kadmium merupakan suatu kontaminan yang berkonsentrasi rendah
dalam pupuk phosphat, tetapi secara perlahan dapat menetap pada lahan pertanian. Hujan asam
dapat melarutkan aluminium dari permukaan batuan dan tanah, kemudian dapat masuk ke dalam
suatu perairan. Bersama-sama dengan asam aluminium dapat mnyebabkan kematian ikan.

PENGARUH LOGAM BERAT TERHADAP KESEHATAN MANUSIA

Meskipun manusia tidak secara langsung mengkonsumsi logam berat, namun secara tidak
langsung logam berat dapat measuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum dan makanan
yang dikonsumsinya. Air yang tersimpan pada malam hari di dalam pipa-pipa saluran air dapat
menyebabkan meresapnya timbal dan kadmium dari pipa ke dalam air yang akan dikucurkan.
Dalam suatu perairan, organisme seperti bakteri dapat mengubah bentuk merkuri menjadi metil
merkuri yang sangat berbahaya. Metil merkuri yang dapat diabsorbsi dan terkonsentrasi di dalam
tubuh ikan akan menjadi sangat berbahaya jika ikan tersebut dikonsumsi oleh manusia. Kehadiran
logam berat di dalam tubuh manusia dapat mengganggu reaksi kimia dan menghambat absorpsi
dari nutrien yang esensial.
Keracunan akut oleh logam berat tidak selalu dialami oleh semua orang. Pekerja yang
terpapar oleh logam berat mungkin akan menderita kerusakan fungsi kerja paru-paru, reaksi pada
kulit atau timbulnya gejala gastrointestinal akibat kontak singkat dengan logam berat pada
konsentrasi tinggi. Gejala-gejala keracunan makanan yang khas seperti muntah dan diare biasanya
dijumpai beberapa jam kemudian setelah makanan dikonsumsi.
Keracunan kronik dapat terjadi akibat pemaparan logam-logam berat dengan konsentrasi
ringan pada jangka waktu yang lama. Beberapa logam berat dapat terakumulasi di dalam tubuh

1
sepanjang waktu dan mencapai konsentrasi yang bersifat toksik setelah bertahun-tahun terpapar.
Kadmium yang terakumulasi di ginjal setelah bertahun-tahun dapat mnyebabkan kerusakan fungsi
ginjal. Timbal dan metil merkuri secara perlahan-lahan dapat menyebabkan degenerasi dan
kerusakan otak. Arsenik dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf perifer serta kehilangan
kontrol sistem kerja otot-otot lengan dan tungkai (Kusnoputranto, 1995).

ORGANISME PERIFITON SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN

Perifiton dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator jika mempunyai status eksklusif


predominan atau karakteristik predominan (Kreb, 1978). James dan Evison (1978) menerangkan
bahwa suatu jenis organisme dikatakan predominan apabila jumlah individu jenis tersebut paling
sedikit adalah 10% dari keseluruhan jumlah individu pada komunitas yang bersangkutan.
Karakteristik merupakan status yang diberikan pada suatu jenis organisme yang jumlahnya cukup
banyak pada suatu komunitas tetapi terdapat dalam jumlah yang sedikit di komunitas yang lain,
sedangkan status ekslusif diberikan pada suatu jenis organisme yang hanya terdapat di suatu
komunitas tertentu saja dan tidak terdapat di komunitas yang lain. Status-status seperti tersebut
di atas dapat ditentukan dengan menghitung kelimpahan jenis perifiton dan persentase
kelimpahan idividu tiap-tiap jenis perifiton.
Kelebihan penggunaan perifiton sebagai indikator pencemaran perairan krarena jumlahnya
relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasi serta dapat memberikan
tanggapan yang berbeda terhadap perubahan kondisi lingkungan, terutama karena masuknya
logam berat.
Selain itu Hynes (1987)mengatakan bahwa masuknya logam-logam berat ke dalam suatu
perairan akan mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya, tidak terkecuali komunitas
perifiton. Pada perairan yang tercemar berat jenis perifiton yang sensitif akan berkurang atau
hilang sama sekali sedangkan perifiton yang cukup toleran akan tetap bertahan karena memiliki
kemampuan adaptasi yang cukup tinggi. Volesky (1990 dalam Prasetyo, 1994) menjelaskan bahwa
kemampuan adaptasi yang cukup tinggi ini disebabkan oleh kemampuan perifiton untuk menyerap
beberapa ion logam berat. Dinding sel jasad hidup baik prokariotik maupun eukariotik tersusun
atas beberapa polisakarida yang terkandung dalam dinding selnya. Polisakarida ini merupakan
senyawa yang bertanggung jawab dalam proses penyerapan logam berat tersebut. Penyerapan ion
logam berat oleh perifiton sebagai biomassa di perairan ini dikenal dengan biosorpsi. Selain
dipengaruhi oleh komposisi kimia dinding sel perifiton, proses biosorpsi juga dipengaruhi oleh
faktor lain yaitu sifat fisik-kimia perairan dan sifat fisik organisme itu sendiri seperti ukuran pori-
pori dinding sel.
Berkurang atau hilangnya jenis perifiton yang sensitif akan mempengaruhi indeks
keanekaragaman komunitas perifiton. Indeks keanekaragaman dapat ditentukan dengan
menggunakan indeks keanekaragaman Shannon yang telah diakui ketelitiannya (Campbell, 1977).

2
Dengan mengetahui indeks keanekaragaman suatu komunitas dapat ditentukan pula derajad
pencemarannya. Klasifikasi derajad pencemaran yang menyatakan hubungan antara indeks
keanekaragaman jenis dari Shannon Wiever dan faktor fisika kimia yang mempengaruhinya dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Derajad Pencemaran (Campbell, 1977)

Derajad I.K DO BOD SS NH3N


Pencemaran Shannon (mg/l) (ml/l) (ml/l) (mgl/l)

• Sangat ringan > 2,0 > 6,5 < 3,0 < 20 < 0,5
• Ringan/rendah 1,6 - 2,0 4,5 - 6,5 3,0 - 4,9 20 - 49 0,5 - 0,9
• Sedang 1,0 - 1,5 2,0 - 4,0 5,0 - 15 50 - 100 1,0 - 3,0
• Berat/tinggi < 1,0 < 2,0 > 15 > 100 > 3,0

• Perifiton merupakan bentuk komunitas mikroorganisme yang hidup di perairan yang dapat
dimanfaatkan menjadi bioindikator karena ada yang bersifat sensitif dan adapula yang
bersifat toleran terhadap perubahan lingkungan.
• Masuknya logam berat sebagai sumber pencemar anorganik di dalam suatu perairan dapat
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem perairan.
• Derajad pencemaran suatu perairan dapat ditentukan dengan mengetahui indeks
keanekaragaman komunitas perifiton.
• Penggunaan perifiton sebagai bioindikator untuk keperluan pemantauan kualitas air dapat
menjadi pelengkap bagi pemeriksaan pemantauan air secara fisika dan kimia yang selama ini
dilakukan.
FITOPLANKTON BIOINDIKATOR PENCEMARAN AIR
Fitoplankton merupakan salah satu indikator biologis yang terdapat di ekosistem perairan.
Fitoplankton digunakan sebagai indikator biologis karena siklus hidup mereka yang pendek, respon
yang sangat cepat terhadap perubahan lingkungan dan komposisi jenis serta keberadaan mereka
dapat digunakan untuk mengindikasi kualitas air dimana mereka ditemukan ( American Public
Health Association,1995).

3
Fitoplankton merupakan organisme yang mempunyai peranan besar dalam
ekosistem perairan dan disebut pula sebagai produsen primer, karena fitoplankton yang berklofil
mampu mengikat energi matahari ke dalam bentuk substansi organic yang dapat digunakan
sebagai makanan organisme heterotrof (Odum, 1971). Selain itu, menurut Weteh dan Lindell
(1980) dalam Larasati (1985), fitoplankton dapat berperan sebagai indikator tingkat kesuburan
perairan.
Pertumbuhan fitoplankton secara dinamik dapat dilihat dari parameter-parameter
lingkungan dan dalam hubungan dengan karakteristik fisiologi dari organisme itu sendiri. Untuk
pertumbuhan fitoplankton, dibutuhkan sinar, CO2 dan H2O untuk fotosintesis, nutrient mineral dan
temperature lingkungan yang sesuai untuk aktivitas metabolik. Selain itu, ketersediaan unsure
hara yaitu unsur hara makro ( C, O,H, N, P, S, Mg, Ca,Na, dan Cl) dan unsur hara mikro
(Fe,Mn,Cu,Zn,B,Co, dan lain-lain). Di antara unsur hara tersebut, yang dianggap sangat esensial
untuk produksi yaitu nitrogen dan fosfor karena dapat bibentuk melalui proses fotosintesis. Selain
itu, N dan P biasanya menjadi penentu blooming alga apabila jumlahnya berlebihan (Wetzel,
1989).
Pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton membutuhkan kondisi lingkungan
yang sesuai diantaranya adalah intensitas sinar matahari, suhu, unsure hara dan oksigen
terlarut,serta faktor lainnya berupa pemangsaan, seperti ikan dan zooplankton (Goldman dan
Horne 1983 dalam Parmono 2000). Dalam suatu penelitian, sering dijumpai jenis maupun jumlah
fitoplankton pada daerah yang berdekatan meskipun dari massa air yang sama. Pada suatu
perairan didapatkan kandungan fitoplanktonyang sangat melimpah di satu stasiun, namun pada
stasiun lain didekatnya kandungan fitoplangton sangat sedikit. Ini disebabkan karena adanya
perbedaan kondisi lingkungan dimana tempat fitoplankton itu berada yang akan mempegaruhi
jenis-jenis dan jumlah serta kelimpahan fitoplankton (Davis, 1955).
Kelimpahan dan Penyebaran Fitoplankton.
Kelimpahan fitoplankton ditentukan oleh ketersediaan unsur hara (nitrat dan
fosfat) dalam suatu perairan. Organisme fitoplankton memegang peranan penting dalam
penentuan produktivitas suatu perairan, karena berperan sebagai primary productivity bagi
berlangsungnya proses kehidupan (transfer energi melalui rantai makanan) dalm suatu
perairan.senagn semikian, keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator kesuburan
atau produktivitas perairan (Odu, 1971).
Menuut Subarijanti (1984)dalm Larasati (1985), lingkungan yang tidak
mengutungkan bagi fitoplankton dapat menyebabkan jumlah individu atau kelimpahan
maupun jumlah spesies fitoplankton berkurang. Keadaan ini dapat mempengaruhi tingkat
kesuburan perairan, karena suatu tingkat kesuburan suatu perairan salah satunya
ditentukan oleh tingkat kelimpahan fitoplankton.kenyataan ini memperjelas pendapat
Lander (1978) dalam Larasati (1985) yang mengklasifikasikan tingkat kesuburan perairan
berdasarkan indikator plankton yang dapat dilihat pada Taber 2. 1.

4
Di dalam suatu perairan sumber nutrien adalah nitrat, phospat dan bahan-bahan
organi. Subarijanti 1984 dalam Larasati 1985, berpendapat bahwa tingkat kesuburan
perairan dapat pula ditentukan oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan phospat yang
merupakan unsur esensial bagi pertumbuhan fitoplankton serta sebagai faktor pembatas
pertumbuhan fitoplankton diperairan alami dan biasanya menjadi penentu blooming alga
apabila jumlahnya berlebihan.

Tabel 2.2 Katagori Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Fosfat (Vemiati 1987
dalam Parmono 2000).
Kandungan P (mg/l) Kesuburan Perairan
0,000 – 0,020 Rendah
0,021 – 0,050 Cukup
0,051 – 0,100 Baik
0,101 – 0,200 Baik sekali
> 0,201 Sangat baik sekali

Tabel 2.3 Klasifikasi Kesuburan Perairan Berdasrkan Kandungan Nitrat (Jorgensen dan
Vollenweider, 1988).

Kandungan N (mg/l) Kesuburan Perairan


< 0,226 Kurang subur
0,227 – 1,129 Kesuburan sedang
1,130 – 11,290 Kesuburan tinggi

• Cara Identifikasi.
Identifikasi dan perhitungan perlimpahan fitoplankton dilakukan dengan metode Direct
count (perhitungan langsung ). Yang didasarkan pada Standar Methods (1995).
Perhitungan tersebut dilakukan dengan cara mengambil 1 ml contoh plankton yang
tersaring. Contoh air diletakan pada Sedgwick-Rafter Cell yang berukuran, p = 5 cm, l =
2cm, dan t = 1mm. kemudian contoh plankton tersebut diamati dibawah mikroskop
dengan perbesaran 10 X 10, dan kelimpahannya dihitung sekaligus dengan cara menyisir
seluruh bagian permukaan Sedwick. Identifikasi dilakukan hanya sampai marga dari
fitoplankton saja. Untuk identifikasi digunakan buku kunci identifikasi Edmondson (1963),
Mizuno (1970), Prescot (1980), Davis (1955), dan Sachlan (1987).

E.coli sebagai Bioindikator Kualitas air

Penentuan kriteria kualitas air dan pangan secara biologis antara lain ditentukan oleh kehadiran
mikroba, baik mikroba patogen maupun mikroba indikator. Mikroba indikator adalah suatu mikroba

5
non-patogenik yang digunakan sebagai penanda risiko pencemaran oleh pato-gen.
Kualitas air minum ditentukan oleh beberapa kriteria fisik, kimiawi, dan biologis tertentu. Kriteria
fisik, antara lain tidak berwarna, tidak berbau; kriteria kimiawi, antara lain pH netral, tidak
mengandung logam berat; dan kriteria biologis, antara lain berupa mikroba indikator dan angka
kuman total pada yang diperkenankan.

Fitoplankton Sebagai Bio-Indikator Pencemaran Perairan

Plankton yang berupa jasad-jasad renik disebut mikroplankton, dan merupakan bagian penting di
perairan. Plankton terdiri dari Fitoplankton dan zooplankton. Plankton hidup terapung atau
terhanyut di daerah pelagik. Istilah plankton berasal dari Yunani berarti pengembara.

Penggunaan fitoplankton sebagai indikator kualitas lingkungan perairan dapat dipakai dengan
mengetahui keragaman dan keseragaman jenisnya. Keseragaman jenis disebut juga
keheterogenan jenis. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keseragaman jenis tinggi, jika
kelimpahan masing-masing jenis tinggi, sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya terdapat
beberapa jenis yang melimpah. Di alam, proses fotosintesis hanya terjadi pada tumbuhan yang
mengandung klorofil. Di alam laut, fitoplankton memegang peranan yang penting sebagai
produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil.
Penggunaan organisme indikator dalam penentuan kualitas air sangat bermanfaat karena
organisme tersebut akan memberikan reaksi terhadap keadaan kualitas perairan. Dengan
demikian, dapat melengkapi atau memperkuat penilaian kualitas perairan berdasarkan parameter
fisika dan kimia.
Namun demikian menurut Vemiati (1987), untuk menggunakan komunitas organisme
khususnya biologi sebagai indikator jenis diperlukan sifat atau ciri yang mendukung, yaitu :
1. Kehadiran atau ketidakhadiran suatu organisme dalam lingkungan perairan sebagai faktor
ekologi.
2. Terdapat sistem penilaian kualitas air yang mudah, memberikan perbandingan.
3. Penilaian kondisi air selalu berhubungan dengan waktu yang panjang, tidak hanya
pengambilan sesaat.
4. Sistem penilaian harus berhubungan dengan banyaknya pengambilan contoh dari keseluruhan
kondisi perairan.

Fitoplankton adalah organisme yang hidup melayang dalam air dan berukuran sangat kecil
sehingga hanya bisa dilihat dibawah mikroskop, mampu berfotosintesis, perannya sangat
penting sebagai produsen di lingkungan perairan, karena fitoplankton penting bagi
produktivitas perairan, karena dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan zat
organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme tingkat yang lebih tinggi
(Arinardi, 1995).

6
Fitoplankton merupakan sumber kehidupan bagi ekosistem laut, dimana fitoplankton
berperan sebagai produsen primer dan awal pembentukan rantai makanan diperairan.
Fitoplankton penting bagi rantai makanan dilaut karena merupakan produsen utama yang
memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total, menentukan kesuburan dan sebagai
sumberdaya hayati perairan. Fitoplankton berkembang biak jika didukung oleh kondisi perairan
disekitarnya. Adapun faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimphana fitoplankton
antara lain suhu, salinitas, kecerahan, energi matahari, dan nutrien. Tiga unsur hara utama yang
diperlukan untuk tumbuh dan berkembang biak adalah fosfat, nitrat dan silikat digunakan oleh
diatom dalam pembentukan cangkang (Arinardi, 1995).
Salah satu sifat khas fitoplankton adalah dapat berkembang secara berlipat ganda dalam
jangka waktu yang relatif singkat, tumbuh dengan kerapatan tinggi, melimpah dan terhampar luas
(Nontji, 1974). Menurut Praseno dan Adnan (1984) kelimpahan fitoplankton yang terkandung
didalam air laut akan menentukan kesuburan suatu perairan.
Fitoplankton laut terdiri dari tumbuh-tumbuhan kecil, umumnya berukuran mikroskopik
dan bersel tunggal. Dua kelompok algae yang mendominasi fitoplankton laut adalah diatom
(Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata (Tait, 1972). Diatom merupakan makanan potensial bagi
filter feeder seperti bivalvia zooplankton dan anthropoda lainnya.
Bahkan beberapa jenis dari kelompok dinoflefellata yang tubuhnya memiliki kromatopora
dapat membentuk toksin, sehingga bila organisme ini berada dalam keadaan blooming dapat
menimbulkan kerusakan perairan (Adnan, 1984). Secara umum peranan fitoplankton diperairan
adalah sebagai produsen oksigen dalam air, merupakan makanan alami zooplankton dari beberapa
jenis yang masih kecil maupun dewasa, fitoplankton yang mati akan tenggelam ke dasar dan
dalam keadaan anaerob akan diurai oleh bakteri menjadi bahan organik serta membantu
menyerap senyawa yang sangat berbahaya bagi organisme dasar antara lain amoniak dan
hidrogen sulfida. Fitoplankton memiliki peranan yang penting dalam ekosistem laut karena
fitoplankton sebagai produsen primer akan menunjang kehidupan di laut, sehingga fitoplankton
disebut juga sebagai dasar dari jaring-jaring makanan dalam suatu ekosistem di perairan.
Pertumbuhan fitoplankton yang tinggi tidak hanya selalu menguntungkan bagi kondisi
perairan, akan tetapi dapat menyebabkan ledakan populasi fitoplankton (blooming), yang ditandai
dengan warna laut menjadi merah, merah-coklat atau dari biru/biru hijau menjadi merah
kecoklatan, yang dapat menghasilkan zat racun yang membahayakan bagi perairan (Nontji, 1993 ;
Romimohtarto dan Juwana, 2005).
Davis (1995) mengatakan disetiap perairan terdapat perkembangan komunitas yang
dimanis, sehingga suatu spesies dapat lebih dominan daripada lainnya pada interval waktu yang
pendek sepanjang tahun. Spesies yang dominan pada suatu bulan sering menjadi spesies yang
langka pada bulan berikutnya, digantikan oleh spesies lain yang dominan. Terdapat
keanekaragaman dalam jumlah maupun jenis fitoplankton disetiap area yang berdekatan meskipun
berasal dari massa air yang sama. Keadaan distribusi lokal yang tidak merata ini disebabkan oleh

7
berbagai macam faktor, antara lain : angin, limpasan air sungai, upwelling, variasi garam-garam
nutrien, kedalaman perairan, adanya arus bawah, aktivitas pemangsaan dan adanya percampuran
dua massa air (Davis, 1995 ; Parson el.al., 1984).
Fungsi keberadaan fitoplankton di perairan, menurut Mulligan (1969 da;a, Nybakken,
1992) antara lain adalah :
a. Mengoksigenasi air
b. Mengubah zat anorganik menjadi zat organik
c. Sebagai makanan bagi zooplankton dan beberapa jenis ikan yang masih muda atau masih
kecil
d. Kalau mati akan tenggelam ke dasar sehingga akan mempertahankan unsur hara dalam air.
Fitoplankton sebagai pemula bahan organik, keberadaannya didalam ekosistem adalah
sangat penting. Semua fauna dalam perairan, baik langsung maupun tidak langsung sangat
membutuhkan fitoplankton sebagai makanannya. Kaya dan miskinnya kandungan fitoplankton
dalam suatu perairan akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas biota lain dalam perairan
tersebut. Produktivitas fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan ataupun sebaliknya.
Palmer (1979 dalam Arinardi, 1997) menyatakan bahwa kelimpahan fitoplankton yang tinggi dapat
mempengaruhi perubahan lingkungan seperti suhu, pH, warna air, rasa, bau dan lain sebagainya.
Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton didefinisikan sebagai jumlah individu fitoplankton persatuan
volume air, yang umumnya dinyatakan dalam individu per meter kubik (ind/m3) atau sel per meter
kubik (sel/m3). Raymont (1963) mengemukakan bahwa jumlah sel fitoplankton didaerah tropis
lebih rendah dibandingkan dengan daerah sedang. Pada kondisi tertentu seperti perpindahan
massa air dari bawah ke atas (up welling), produksi di daerah tropis lebih besar daripada daerah
lintang sedang.
Menurut Basmi (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton pada lokasi
tertentu disuatu perairan meliputi angin, arus, kandungan unsur hara, cahaya, suhu, kecerahan,
kekeruhan, pH, air masuk dan dalam kedalaman perairan.
2.2.1 Penggunaan Indeks Biologi Dalam Penentuan Kualitas Perairan
Metode ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur habitat sebagai akibat
perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan karena pencemaran. Metode-metode
tersebut adalah :

2.2.1.1 Analisis Indeks Keanekaragaman Fitoplankton


Analisis ini digunakan untuk mengetahui keragaman jenis biota perairan. Jika keragamannya
tinggi, berarti komunitas fitoplankton diperairan makin beragam dan tidak didominasi oleh satu
atau dua jenis individu fitoplankton. Persamaan yang digunakan menghitung indeks ini adalah
persamaan Shannon-Wiener (Basmi, 1999). Rumus :

s
H ' = S Pi.InPi
i =1

8
ni
Pi =
N
Dimana : H’ = Indeks diversitas
ni = Jumlah individu jenis ke- i
N = Jumlah total individu
s = Jumlah genera
Indeks keragaman dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. H’ < 1 : Komunitas biota tidak stabil (keanekaragaman rendah)
b. 1 < H’ < 3 : Stabilitas komunitas biota moderat (keanekaragaman sedang)
c. H’ < 3 : Stabilitas komunitas biota kondisi prima (keanekaragaman tinggi)
Tabel 3.4. Beberapa Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

No Indeks Kualitas Pustaka


I >3 • Air bersih Wilha (1975
• Setengah
1–3
tercemar
<1 • Tercemar berat
II 3,0 – 4,0 • Tercemar sangat Wilha (1975)
ringan
2,0 – 3,0
• Tercemar ringan
1,0 – 2,0
• Setengah
tercemar
III 2,0 • Tidak tercemar Lee, dkk
• Tercemar ringan
2,0 – 1,0 (1975)
• Tercemar
1,5 – 1,0 sedang
• Tercemar berat
< 1,0

2.2.1.2 Analisis Indeks Keragaman Fitoplankton


Indeks keseragaman ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran jenis merata atau tidak. Jika
nilai indeks keseragaman tinggi maka kandungan dalam setiap jenis tidak terlalu berbeda.
Untuk mengetahui nilai keseragaman dengan cara membandingkan indeks keseragaman
dengan nilai maksimumnya.

Rumus :
H
E=
H ' maks
Dimana : E = Indeks keseragaman
H = Indeks keanekaragaman
H’maks = Ln S

9
S = Jumlah genera

Menurut Lind (1979 dalam Basmi (1999) nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0 –
1.
a. Jika indeks keseragaman (E) mendekati 0, maka keseragaman antara spesies rendah, hal ini
mencerminkan bahwa kekayaan individu masing-masing spesies sangat jauh berbeda.
b. Jika indeks keseragaman (E) mendekati nilai 1, maka keseragaman antara spesies relatif
merata dan perbedaannya tidak begitu menyolok.

2.2.1.3 Analisis Indeks Dominasi Fitoplankton


Nilai indeks dominasi (C) bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak jenis yang mendominasi
dalam suatu perairan (Odum, 1998). Untuk mengetahui nilai indeks dominasi digunakan
rumus sebagai berikut :

2
é ni ù
n
C = Sê ú
i =1 ë N û

Dimana : C = Indeks dominasi


ni = Jumlah individu jenis ke- i
N = Jumlah total individu
n = Jumlah genera (jenis)
Nilai indeks dominasi (C) berkisar antara 0 – 1
a. Jika indeks dominasi (C) mendekati 0, maka hampir tidak ada spesies yang mendominasi
suatu perairan, hal ini menandakan kondisi dalam komunitas yang relatif stabil.
b. Jika indeks dominasi (C) mendekati nilai 1, maka ada salah satu jenis yang mendominasi jenis
lain, hal ini dikarenakan komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan ekologis (stress).

2.2.1.4 Analisis Indeks Saprobitas Fitoplankton


Sistem saprobitas ini hanya untuk melihat kelompom organisme yang dominan saja dan
banyak digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran (Koesoebiono, 1987).

Koefesien Saprobik menurut Dresscher dan Van der mark (X)


Rumus :

C + 3D - B - 3 A
X =
A+ B+C + D
Dimana : X = Koefisien saprobik (-3 sampai dengan 3)
A = Kelompok organisme Cyanaphyta
B = Kelompok organisme Dinophytha
C = Kelompok organisme Chlorophyta
D = Kelompok organisme Chrysophyta

10
A, B, C, D = Jumlah organisme yang berbeda dalam masing-masing kelompok.
Berdasarkan nilai koefisien saprobik, pencemaran perairan diklasifikasikan dalam 5
tingkatan, seperti disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Hubungan Antara Koefisien Saprobik (X) dengan Tingkat Pencemaran Perairan
(Kosoebiono, 1987)

Tingkat Koefisien
Bahan Pencemar Fase Saprobik
Pencemar Saprobik
Bahan Organik Sangat berat Polisaprobik (-3) – (-2)
Poli/ a-mesosaprobik (-2) – (-1,5)
Cukup berat a-meso/polisaprobik (-1,5) – (-1)
a-mesosaprobik (-1) – (0,5)
Bahan organik Sedang a/b-mesosaprobik (-0,5) – (-1)
dan anorganik
b/a-mesosaprobik (-1) – (0,5)
Ringan b-mesosaprobik (0,5) – (1,0)
b-meso/oligosaprobik (1,0) – (1,5)
Bahan organik Sangat ringan Oligo/b-mesosaprobik (1,5) – (2)
dan anorganik
Oligosaprobik (2,0) – (3,0)

DETERIORASI MIKROBIOLOGI
Deteriorasi Mikrobiologi/degradasi mikrobiologis dimaksudkan sebagai proses pengrusakan (atau
penguraian) berbagai jenis benda oleh kelakukan-kelakuan dari mikroorganisma. Benda-benda
yang dapat dirusak tidak saja berupa benda-benda padat seperti bahan-bahan tekstik, kertas,
kayu, batu atau logam, tetapi juga benda-benda lain berbentuk cairan dan gas. Plastik yang pada
tahun-tahun pertama kehadirannya dikhawatirkan tidak akan terkena deteriorasi/degradasi
ternyata kemudian proses pengrusakannya berlaku seperti benda-benda lain walalupun dengan
waktu yang relatif lama. Senyawa-senyawa kimia yang bersifat racun bagi mikroorganisma seperti
pestisida dan deterjen, dalam batas-batas ternyata masih dapat terkena deteriorasi/degradasi.

Kerugian dengan adanya proses deteriorasi/degradasi paling tinggi diderita oleh Pemeintah
Amerika Serikat pada saat berlangsungnya Perang Dunia ke-2, terutama untuk pasukan-
pasukannya yang ditempatkan di daerah tropis. Perlengkapan-perlengkapan angkatan perangnya

11
yang terbuat dari benda-benda tekstil, alat-alat telekomunikasi, film. Alat-alat optik serta berjenis-
jenis senjata, mengalami proses deteriorasi, yang disebabkan oleh kelakuan mikroorganisma.
Ternyata kemudian bahwa Golongan mikroorganisma yang berperan sangat besar dalam
proses deteriorasi/degradasi adalah jamur (termasuk didalamnya ragi) dan bakteria. Sehingga
sekarang arah penelitian untuk mengatasi terjadinya proses-proses tersebut ditekankan
kepada bentuk dan sifat daripada jamur dan bakteria serta akibat-akibat yang dapat
ditimbulkan dengan adanya proses tersebut.

TERHADAP BENDA-BENDA TEKSTIL


Perlu untuk diketengahkan disini, adalah proses deteriorasi terhadap benda-benda tekstil.
Adanya proses pengrusakan terhadap bahan-bahan tekstil (kapas) dan kelakuan
mikroorganisma (jamur) mula-mula diketahui oleh Davis etc.al. pada tahun 1880 di dalam
gudang timbunan benang-benang kapas di Amerika Serikat. Jenis-jenis jamur yang termasuk
Aspergillus, Penicillum, Mucor, Fusarium, Trichoderma, Chaetorium dan beberapa jenis ragi
tercatat sebagai jamur perusak kapas.
Serat-serat tekstil yang terbuat dari kapas, rami, sutera serta bahan-bahan alami lainnya,
merupakan benda-benda tekstil yang paling mudah dan cepat dirusak oleh adanya kelakuan
mikroorganisma. Berbagai usaha untuk menghindari proses pengrusakan bahan-bahan tekstil
oleh mikroorganisma banyak dilakukan dalam berbagai bentuk dan sifat, antara lain dengan
ditambahkannya senyawa-senyawa kimia tertentu (fungisida) yang bersifat fungistatik atau
fungisidis bersama-sama pewarna, atau perbaikan kondisi tempat penyimpanan dan proses
pembuatan, khususnya dalam pemilihan suhu dan kelembaban yang tepat dimana aktivitas jamur
pada bahan-bahan tekstil tidak serasi.
Serat-serta tekstil lainnya yang dibuat secara sintesa, ternyata tidak terhindar dari proses
pengrusakan oleh kelakuan-kelakuan mikroorganisma. Ini disebabkan karena serat-serat
sintesapun terdiri dari unsur-unsur C, H, O dan N sebagaimana serat-serat alami lainnya.
Penggunaan fungisida untuk menekan atau menghambat pertumbuhan jamur harus
memperhatikan beberapa faktor, antara lain :
1. Faktor ketahanan dari fungisida tersebut terhadap panas atau terhadap senyawa kimi
lainnya. Ini dikarenakan banyak fungisida yang tidak tahan terhadap suhu diatas 80oC, sehingga
fungisida tersebut akan mengurai. Dilain pihak adapula fungisida yang akan mengadakan reaksi
dengan senyawa-senyawa kimia lainnya. Misalnya senyawa-senyawa kimia didalam zat pewarna
tekstil. Dengan terjadinya penguraian atau reaksi, kemungkingan sifat fungisidis atau
fungistatisnya akan hilang atau berkurang, adalah merupakan persoalan umum yang terjadi.
2. Faktor jamur yang mempunyai kemampuan untuk mengurai atau mengadakan proses
deteriosasi terhaap fungisida dalam tingkat tertentu. Berjenis-jenis jamur yang ternyata mampu
mengadakan proses degradasi dan deteriosasi terhadap senyawa-senyawa kimia yang bersifat
racun baginya, banyak dilaporkan sehingga pemilihan suatu jenis fungisida untuk menghambat,

12
menekan atau menghilangkan sama sekali pengaruh yang merugikan dari jamur pada benda-
benda tekstil, harus pula diperhatikan tentang ada tidaknya kemampuan dari mikroorganisma
untuk mengadakan proses degradasi atau deteriorasi pada fungisida.

Menghadapi dua faktor tersebut di atas, maka hanya dengan percobaan dan penelitian, baru akan
didapatkan data-data tentang sifat dan ketahanan suatu fungisida terhadap jamur dan sebaliknya.
Berpuluh-puluh jenis jamur yang dapat tumbuh serta merusak benda-benda tekstil telah banyak
dilaporkan, yaitu :
Genera Spesies Perusak Keterangan

1. Alternaria A. Spp Pada serat-srat kapas


2. Aspergollus A. Niger Pada serat-serat kapas, benang
jadi dan benda-benda tekstil
Idem
3. Chaetomium Ch. globusum
4. Fusarium
5. Mucor Idem
6. Myrogthecium M. verrucaria
7. Oospora
8. Penicillium
9. Stemphyllium
10. Stachybotry Idem
s T. viridae
11. Trichoderm
a

Karena umumnya kerusakan-kerusakan yang paling hebat diderita akibat pertumbuhan jenis-jenis
jamur :
1. Aspergillus niger
2. Chaetonium globusum
3. Myrothecium verrucaria
4. Trichoderma viridae

Maka sebagai standar untuk tes ketahanan dari suatu benda/bahan tekstil yang telah ditambah
dengan fungisida, dilakukan terhadap salah satu dari ke- 4 jenis jamur tersebut.
Ke- 4 jenis jamur tersebut merupakan jenis jamur tanah, yang artinya dari berbagai jenis tanah
yang mengandung sumber-sumber sollulosa (jatuhan daun-daun yang gugur atau sejenisnya)

13
dengan mudah akan didapatkan. Apalagi untuk daerah-daerah dengan kondisi tropis seperti
halnya di Indonesia.
Dengan menggunakan “soil burial test” dengan mudah ke- 4 jenis jamur tersebut didapatkan dari
dalam tanah. Cara yang praktis aalah : beberapa helai/carik kain yang terbuat dari serat-serat
kapas serta tidak diberi pewarna atau fungisida (biasanya kain-kain blacu) dengan ukuran 10 x 20
cm, ditanamkan didalam tanah dengan kedalaman yang bertahap mulai dari 5, 10, 15 sampai 35
selama 2 – 3 minggu. Setelah diangkat dan bagian-bagian tanah yang masih menempel
dihilangkan, carikan-carikan kain tersebut kemudian ditanamkan kedalam medium agar C zapek
yang terdiri dari 20 gr NaNO3, 1 gr K2HPO, ½ gr MgSO4. 7H2O, 1/10 gr FeSO4, 30 gr sukrosa dan
1.000 ml aquadostilata, yang ditempatkan didalam tabung reaksi besar (Æ 3-4 cm) beberapa hari.
Kalau pertumbuhan didalamnya sudah terlihat, biakan didalam tabung reaksi besar dibiakan
kembali pada medium agar C zapek (medium tersebut diatas ditambah dengan 15 gr agar-
agar) yang ditempatkan didalam cawan (Æ 10 cm). Koloni yang terjadi kemudian diisolasi dan
dibiakan dalam tabung yang terpisah. Maka dengan cara ini jamur-jamur yang dibutuhkan untuk
tes standar fungisida yang telah ditambahkan kedalam benda-benda tekstil akan didapatkan.

AATCC METHOD 30-1970


Metoda tes untuk mengetahui ketahanan dari suatu benda-benda tekstil yang dihasilkan terhadap
kelakuan mikroorganisma, di Indonesia belum terdapat. Rintisan pendahuluan dalam mencari
metoda standar yang berkemungkinan besar dapat dilakukan di Indonesia, telah dimulai oleh
Institut Teknologi Tekstil (ITT) dengan Lab. Mikrobiologi ITB dalam kerjasama penelitian.
Pada prinsipnya metoda dasar untuk melakukan tes terhadap ketahanan benda-benda tekstil yang
telah diberi fungisida terhadap kelakuan mikroorganisma, dapat diambil dari metoda-metoda yang
telah ada, antara lain : AATCC Test Method 30-1970 dari The American Accociation of Textile
Chemist and Colorist, dan dari publikasi-publikasi yang dikeluarkan oleh Central Laboratorium TNO,
Delf, Holland.
Metoda tes mempunyai dua maksud : (1) untuk menentukan sifat fisik dan kimia dari suatu
benda tekstil yang telah dikenal oleh proses deteriorasi, dan (2) untuk mengadakan evaluasi
benda-benda tekstil yang sudah diberi fungisida. Tes jamur dipilih Chaetomium globusum dan
Aspergillus niger (kadang-kadang untuk lebih menguatkan, digunakan pula tes tambahan untuk
benda-benda tekstil terhadap segala jenis jamur tanah dengan “soil burial test”).
Contoh-contoh kain yang akan dites mempunyai ukuran standar 5 x 15 cm, ditempatkan didalam
botol persegi ukuran 10 x 20 cm, dan disterilkan pada suhu 115-120oC atau tekanan antara 15-20
lbs, selama 5-10 menit. Kedalam botol yang telah berisi contoh kain, kemudian diinokulasikan
biakan dari Chactomium globusum atau Aspergillus niger secara rata. Untuk menjaga agar kain-
kain yang sedang dites tidak kering, ke dalam botol ditambahkan aquadestilata steril dalam waktu-
waktu tertentu yang dibutuhkan. Percobaan bandingan dilakukan dengan botol-botol percobaan
yang berisi kain tanpa diinokulasi oleh jamur.

14
Semua botol percobaan ditempatkan dalam lemari pengeram dengan suhu rata-rata 28 + 1oC dan
kelembaban relatif 70 + 2% selama 14 hari.
Untuk penentuan ada tidaknya pertumbuhan jamur serta kekuatan serat, waktu 14 hari
merupakan batas yang baik. Artinya kalau lebih dari waktu tersebut tidak terjadi pertumbuhan
dan kerusakan, maka kain yang dicoba dinyatakan baik. Sedang untuk lain-lain percobaan yang
dapat ditumbuhi jamur, terjadi beberapa klasifikasi nilai berdasarkan kepada bentuk dan sifat dari
pertumbuhan jamur dan kerusakan-kerusakan yang terjadi yang diakibatkan pertumbuhan jamur-
jamur tersebut.

Sering pula tes jamur yang digunakan tidak satu jenis. Adakalanya 2-3 jenis disatukan, berhubung
ditemukannya sifat-sifat yang antagonistik atau simbiotik diantara mereka kalau tumbuh bersama,
juga pada benda-benda tekstil. Hal ini dilakukan setelah hasil dari “soil burial test” terhadap
berbagai jenis benda-benda tekstil di Amerika Serikat memberikan beberapa hasil kelainan kalau
dibandingkan dengan hanya menggunakan botol-botol percobaan saja. Di samping diantara
jamur, juga dengan mikroorganisma lain, umumnya bakteria, Chaetomium globusum dan
Aspargillus niger mengadakan antaonistik atau simbiotik. Semua pekerjaan harus dilakukan secara
steril sebagaimana lazimnya didalam mikrobiologi. Juga didalam melakukan “soil burial test”,
maka bahan-bahan yang akan ditanamkan serta cara pengambilan kembali bahan-bahan yang
sudah ditanamkan dan pengerjaan selanjutnya semuanya dikerjakan secara steril.

TERHADAP BAHAN PANGAN TERSIMPAN


Masalah penyimpanan bahan makanan harus dilakukan sebaik mungkin terutama untuk
penyimpanan dalam jangka waktu yang lama, karena makanan merupakan media yang mudah
rusak oleh pengaruh lingkungan. Hal ini perlu sekali ditangani terutama untuk negara-negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia, karena dari pengalaman tahun-tahun yang lampau
perhatian negara-negara yang sedang berkembang terhadap masalah tersebut kurang sekali.
Di beberapa negara, hilangnya kualitas dan kuantitas hasil pertanian setelah panen adalah sekitar
lima puluh persen dan kadang-kadang lebih. Di negara-negara tropis, pemerintah umumnya tidak
menyadari bahwa produksinya banyak yang hilang pada waktu antara masa panen dengan masa
konsumsi. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang modern didalam cara menangani
masalah-masalah tersebut seperti antara lain misalnya dengan peningkatan teknik penyimpanan.
Menurut laporan dari FAO hilangnya kualitas dan kuantitas bahan makanan adalah sekitar sepuluh
persen pada waktu penyimpanan. Hal ini terjadi karena selama penyimpanan tidak selalu
kelihatan terjadinya deteriorasi pada bahan makanan yang disebabkan oleh faktor-faktor biotis
ataupun abiotis. Deteriorasi pada penyimpanan bahan makanan terjadi pada waktu tanaman
tersebut mulai masak sebelum dipanen. Mikroorganisma dan serangga merusak berbagai macam
bagian dari tanaman dan menginfeksi produksi sebelum panen.

15
Pada waktu panen, pengelolaan dilapangan,pengeringan dan pengangkutan dari suatu tempat ke
tempat lain, mulai terjadinya reduksi dan kualitas kemudian pada waktu penyimpanan
memungkinkan faktor-faktor biotis, terutama disebabkan oleh mikroorganisma mulai berkembang
dengan pesat.
Di kawasan tropis, deteriorasi hasil pertanian dapat terjadi dalam bentuk susut simpan, perubahan
kimia (terutama untuk protein, karbohidrat dan minyak) dan kontaminasi yang disebabkan oleh
adanya akumulasi toksin, serangga dan kotoran-kotoran hewan. Jadi jelas bahwa bahan makanan
tersebut dapat menurun seperti batu, tanah, dedak, sisa-sisa tanaman asing, serangga dan
kotoran. Kesemuanya ini menurut Hall (1970) merupakan sumber kontaminasi dari luar.
Indonesia termasuk negara yang beriklim tropis dimana kelembaban dan temperatur merupakan
salah satu faktor penunjang yang sangat sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisma perusak bahan makanan yang tersimpan, khususnya yang termasuk jamur. Hal
tersebut bukan saja menjadi penyebab kerusakan bahan makanan yang tersimpan, tetapi juga
yang penting untuk diperhatikan adalah waktu dimana tanaman itu mulai panen dengan waktu
pengedaran ke konsumen banyak kemungkinan bahan makanan tersebut akan kehilangan
kuantitas dan kualitasnya, jika serangga dan mikroorganisma terutama jamur dan ragi sudah mulai
tumbuh.

Terjadinya deteriorasi bahan makanan adalah pada waktu tanaman tersebut mulai masak dan
sebelum panen yang diakibatkan oleh kelakuan mikroorganisma terutama oleh jamur dan ragi
yang diketahui berasosiasi dengan biji padi-padian yang mengalami diskolorisasi.
Peranan jamur (termasuk didalamnya ragi) didalam proses deteriorasi dan diskolorasi bahan
makanan tersimpan terutama beras, sudah sejak dahulu diketahui.
Spora jamur dengan leluasa beterbangan diudara ataupun didapatkan banyak permukaan benda-
benda. Kalau spora ini terletak pada tempat-tempat yang memungkinkan, maka dengan cepat
akan berkecambah dan tumbuh. Kecepatan pertumbuhan jamur disebabkan oleh kemampuan
berkembang biak secara vegetatif (fragmentasi, pembentukan tunas) dan secara generatif.
Kehadiran jamur didalam bahan makanan, terutama bahan-bahan makanan yang tersimpan,
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a. kadar air yang terkandung didalam bahan,
b. Nilai kontaminasi biji oleh jamur lapangan/udara,
c. Kelembaban dan temperatur ditempat penyimpanan,
d. Waktu penyimpanan,
e. Kehadiran benda-benda asing yang tidak diharapkan bersama bahan,
f. Derajat kerusakan akibat hewan (serangga, tikus, dan sebagainya) pada bahan.
Bahan makanan, apapun bentuk dan sifatnya, secara alami telah memiliki sejumlah jamur.
Ambillah contohnya beras atau gabah, maka pada permukaannya akan kita dapati sejumlah besar
jamur (dalam bentuk spora atau potongan serat), mampu tidaknya spora tersebut, untuk

16
berkecambah pada beras/gabah, tergantung kepada kesempatan (lingkungan) yang bersifat biotis
ataupun abiotis yang menyertainya. Kalau selama penyimpanannya kita mengatur faktor-faktor
lingkungan yang tidak memungkinkan bagi jamur untuk tumbuh dan berkembang, maka spora dan
serat-serat jamur tersebut akan tetap non aktif. Seperti hasil percobaan yang telah dilakukan oleh
Baito dkk (1969, 1972) didalam masalah kadar air beras. Penyimpanan beras dengan kadar air
maksimum 14%, maka lebih dari 1 tahun penyimpanan didalamnya tidak didapatkan pertumbuhan
jamur. Kalau kadar air tersebut dinaikkan (antara 15-20%) maka antara 1-3 bulan penyimpanan
pertumbuhan jamur mulai aktif. Dengan kadar air diatas 20%, maka hanya didalam 1 minggu
saja pertumbuhan jamur sudah banyak.
Adanya benda-benda asing bersama beras/gabah, temperatur/kelembaban didalam ruang
penyimpanan, adanya kerusakan yang diakibatkan oleh hewan, seperti pula kadar air beras,
berpengaruh sangat tinggi terhadap pertumbuhan jamur pada bahan makanan terutama beras
yang disimpan.
Pada akhir sudah sejak lama mengenal bahwa jamur sanggup berkembang dalam semua bentuk
makanan pada suatu kondisi tertentu, sehingga jenis jamur pada padi-padian oleh Chirstensea
(1965) dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yang terdiri dari :
1. Jamur lapangan yang parasitik dan menyerang biji-bijian sebelum panen.
2. Jamur gudang yang saprofitik dan berkembang setelah masa panen atau pada waktu
mulai penyimpanan.
3. Jamur……………………………………………………………… dan serdaria.

Jamur lapangan tersebut menginfeksi beras dan gabah selagi di lapangan, dan tidak berkembang
lagi setelah beras atau gabah mulai disimpan dan kemudian diganti dengan jamur gudang.
Sebagai contoh adalah Fusarium sebagai jamur lapangan yang umum didapatkan pada beras atau
gabah dan setelah enam minggu penyimpanan jarang lagi ditemukan tetapi kemudian diganti oleh
Aspergillus, Penicillium dan Rhizopus yang merupakan jamur gudang.
Untuk pertumbuhan jamur lapangan dan jamur-jamur pengurai dibutuhkan kadar air yang tinggi
(22-25%) dimana jamur gudang mulai dapat tumbuh pada substrat dengan kadar air yang sudah
mulai menurun yaitu sekitar 13-18% (seimbang dengan kelembaban relatif 70-85%).
Teunisson (1954) melaporkan bahwa biji-bijian mengandung jamur (dalam bentuk spora atau
potongan nifa) sebanyak 90.000/gr. Sebelum penyimpanan, yang terdiri dari 40% Fusarium, 25%
Penicillium dan 22% dari kelompok Aspergillus flavus-oryzae.
Di Malaysia diketemukan 9,1% dari biji-bijian diserang oleh Fusarium spp., selain itu didapatkan
pula Aspergillus, Penicillium dan Curvuluria.
Jamur yang prodominan pada biji-bijian adalah spesies dari Aspergillus dan Penicillium sebagai
“jamur gudang”, di samping diketemukan pula Absidia, Mucor dan Rhizopus sp. Dan kadang-
kadang spesies dari Chaetomium, Dematium, Momilia, Oidin, Syncephalastrum dan Verticillium.

17
Spora jamur gudang jarang sekali terdapat di udara lapangan, tetapi banyak terdapat pada
perlengkapan gudang.
Pada umumnya kemampuan dari jamur untuk melakukan proses deteriorasi terhadap suatu bahan
ditentukan oleh kemampuan dari jamur menghasilkan enzim untuk mengurai senyawa yang
terdapat di dalam bahan bagi kebutuhan hidupnya. Hampir semua jamur memiliki sifat adaptasi
dan toleransi yang cukup tinggi terhadap suatu substrat atau lingkungan baru. Sehingga tidak
mengherankan kalau jamur dapat hidup dihampir semua tempat (kosmopolitan) dan berbagai jenis
bahan. Menurut Christensen dan Kaufmann (1969) akibat adanya pertumbuhan jamur didalam
bahan makanan yang tersimpan akan mengakibatkan :
a. Penurunan daya kecambah bahan,
b. Perubahan warna bahan,
c. Penurunan berat dan volume bahan,
d. Kenaikan temperatur dan kelembaban didalam bahan,
e. Produksi dan akumulasi mikotoksin didalam bahan.
Ditinjau dari aspek-aspeknya terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, maka saat ini adanya
produksi dan akumulasi mikotoksin, yang diakibatkan oleh pertumbuhan jamur pada bahan
makanan tersimpan, paling banyak mendapatkan perhatian dan penelitian.
Sejak diketemukannya banyak hewan yang mati yang disebabkan oleh keracunan mikotoksin,
terutama sekali di Inggris tahun 1960 yang telah menyebabkan beribu-ribu ternak unggas (kalkun)
mati dimana kematiannya ini berhubungan erat dengan makanan yang diberikan berupa tepung
kacang tanah yang sebelumnya ditumbuhi oleh jamur Aspergillus flavus, maka penelitian terhadap
berbagai jenis jamur sehubungan dengan kemampuannya untuk menghasilkan mikotoksin yang
tumbuh pada bahan makanan, sangat aktif.
Berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh keracunan mikotoksin, maka Harrison (1970)
membagi-bagi mikotoksin dengan beberapa golongan yaitu :
1. Nefrotkosin-ginjal (Kidnoy nephrotoxin), yang menyebabkan gangguan terhadap ginjal,
sehingga tidak berfungsi. Sebagai contoh, penyebabnya adalah sitrinin berupa metabolit
toksin yang dapat dihasilkan oleh Penicillium citrinun.
2. Toksin-hati (hepratotoxion), yang mempengaruhi degradasi dari pati dan menyebabkan
kanker. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh aflatoksin tetapi dapat pula disebabkan oleh
islandotoksin yang dihasilkan oleh Penicillium islandicum dan Luteoskyrin dari organisma yang
sama tapi dibawah kondisi lingkungan yang berbeda.
3. Toksin-syaraf (Nourotoxin), yang mempengaruhi sistem pusat urat saraf, disebabkan oleh
sitreoviridin yang dihasilkan oleh Penicillium citreo-viride, patulin yang dihasilkan oleh P.
patulum dan P. urticae tidak saja menyebabkan neurotoxin tapi juga bersifat karsinogenik.
4. Toksin “oestrogonic”, yang dihasilkan oleh Fusarium graminaerum dan F.
moniliforme.

18
5. Toksin “tremorgenic” (metabolit toksinnya disebut “asam cyclopiazonic”) yang dihasilkan oleh
Penicillium cyclopium. Toksin tersebut banyak didapatkan dari hasil isolasi bermacam-macam
makanan ternak yang ditumbuhi jamur tersebut.
6. Toksin “pulmonary”, yang menyebabkan busung paru-paru, dihasilkan oleh Fusarium
japonicum dan bersifat termo-stabil.
Mikroflora pada padi-padian yang berasal dari Jepang maupun dari negeri-negeri lain yang telah
diteliti, memberikan hasil bahwa pada beras giling distribusi jamur terdiri dari Aspergillus (yang
paling dominan), kemudian diikuti oleh Penicillium dengan toksin yang dihasilkan sekitar 10% dan
diantaranya merupakan salah satu penyebab kasus “beras kuning” yang disebabkan oleh beberapa
spesies Penicillium seperti P. Citrea-viridae, P. Citrinum dan P. Islandicum.`.
Menurut Scroeder (1968) tiga kondisi umum yang harus diperhatikan mengapa bahan makanan
tersimpan dapat dikontaminasi oleh jamur adalah :
a. Bahan makanan dapat merangsang pertumbuhan jamur, karena bahan makanan sebagai
dapat menyokong keperluan bahan-bahan untuk memungkinkan jamur tumbuh dan
menghasilkan toksin.
b. Bahan makanan dapat mudah terinfeksi atau terinokulasi oleh jamur khususnya penghasil
mikotoksin.
c. Bahan yang terinokulasi oleh jamur berada dalam keadaan yang memungkinkan untuk
pertumbuhan dari jamur dan produksi mikotoksinnya.
Jenis A. flavus umumnya dapat menghasilkan aflatoksin pada berbagai macam makanan baik
makanan manusia maupun makanan untuk hewan. Sebagai contoh kira-kira 550 ug aflatoksin
dapat dihasilkan pada 1 gr gabah sedang pada kacang tanah adalah sekitar 650 ug.gr, dan pada
beras giling 1.000 ug/gr. Dari sini dapat dibuktikan bahwa beras sebagai salah satu contoh bahan
makanan merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin.
A. flavus merupakan kelompok mikoflora yang terdapat diudara dan ditanah dan juga didapatkan
pada tumbuh-tumbuhan yang masih hidup maupun yang sudah mati, dan umum pula berasosiasi
dengan gabah setelah panen. Selain berperan sebagai jamur juga dapat menyebabkan deteriorasi
pada bahan makanan yang disimpan seperti gandum, jagung, beras dan kedele.
Toksin yang dihasilkan oleh jamur disebut mikotoksin dan pada umumnya merupakan eksotoksin.
Mikotoksin dapat diartikan sebagai metabolit toksik yang dihasilkan oleh banyak jenis jamur dan
maupun menyebabkan manusia atau hewan menjadi sakit.
Jenis-jenis jamur yang umum didapatkan pada semua macam makanan adalah kelompok A.
flavus-cryzae seperti Aspergillus flavus dan A. parasiticus, kelompok A. condidus, A. niger, A.
versicolor dan A. terrous.
Semua jenis jamur yang didapatkan pada beras dan gabah yang tergolong jamur parasit pada biji-
bijian berasal dari :
a. Lapangan, tempat dimana padi tumbuh dan dipelihara.
b. Kontaminasi ditempat pengolahan, ditempat penyimpanan dan selama pengangkutan.

19
c. Udara, sejak dilapangan tempat pengolahan dan penyimpanan dan
d. Benda-benda asing, baik dalam bentuk jerami, rumput, tanah dan sebagainya.
Jenis-jenis jamur tersebut ada kemudian dikenal dengan nama “Jamur Gudang”, karena
merupakan jenis yang umum didapatkan didalam gudang. Ekologi jamur pada padi-padian dan
minyak biji-bijian berkembang sesuai dengan kondisi didalam gudang. Jamur gudang yang
umumnya terdiri dari tiga genera yaitu Aspergillus, Penicillium dan Rhizopus, kebanyakan tumbuh
dengan cepat pada temperatur antara 20-40o dengan RH 90% atau lebih, serta jamur-jamur
tersebut mempunyai toleransi terhadap kondisi RH yang rendah dan pada temperatur optimum
untuk tumbuh. Selain jenis jamur gudang ada juga jenis jamur lapangan yang terdiri dari
beberapa spesies seperti Helminthosporium oryzae. Kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan jamur dan ragi secara umum serta kemungkingan menghasilkan
mikotoksin adalah :
- Kadar air
- Temperatur
- Substrat
- Aerasi
Dan beberapa faktor lain yang langsung mempengaruhi kualitas pertumbuhan.

KOROSI MIKROBIOLOGIS
Logam dan campuran logam seperti besi, baja dan logam-logam lain merupakan bahan konstruksi
yang sangat penting. Dimanapun logam dan campuran logam tersebut berada,seperti pada udara
terbuka, didalam air maupun dibawah tanah, maka bahan-bahan tadi akan dipengaruhi oleh
lingkungannya, karena lingkungan juga mengandung unsur-unsur yang dapat bereaksi dengan
logam tersebut dan secara berangsur-angsur akan merusaknya.
Peristiwa rusaknya logam karena pengaruh fisik/kimia dari lingkungannya, baik berupa cairan
maupun gas disebut korosi atau pengkaratan. Berbagai cara telah ditempuh untuk menanggulangi
masalah korosi atau karat, misalnya antara lain dengan substitusi pipa plastik PVC untuk pipa-pipa
yang tadinya tersebut dari bahan logam.
Usaha lain adalah dengan menambahkan senyawa kimia pencegah karat seperti anti oksidan,
surfaktan dan sebagainya.
Menurut mekanismenya, proses korosi dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Korosi Kimiawi
Korosi ini terjadi pada proses pembentukan senyawa kimia antara logam dengan lingkungan
yang reaktif dan tidak diikuti dengan adanya arus listrik.
2. Korosi Elektrokimia
Proses korosi ini berlangsung dalam larutan elektrolit atau gas-gas lembab. Pada proses
korosi elektrokimiawi, pelarutan logam diikuti oleh adanya arus listrik yaitu perpindahan

20
elektron/ion-ion dari salah satu bagian logam ke bagian lain. Misal korosi dari logam jika
kontak langsung dengan cairan, sama halnya seperti proses elektrokimia.
3. Korosi Mikrobiologis
Semua bentuk korosi yang berhubungan dengan proses-proses kimiawi, derajat kerusakannya
tergantung pada harga pH lingkungan dan pada konsentrasi oksigen tertentu. Sebab korosi
oleh mikroorganisma perlu diperhatikan proses-proses yang berhubungan dengan kehidupan
mikroorganisma. Kerusakan yang dijumpai pada bahan-bahan konstruksi/alat-alat, bukan
disebabkan oleh karena termakan mikroorganisma tetapi disebabkan oleh hasil kehidupan
mikroorganisma tersebut yang membutuhkan sumber C atau energi dari bahan tersebut.
Korosi oleh mikroba yang paling kecil sudah terjadi sejak manusia mengambil logam dari
bijinya.
Mikroorganisma selalu dapat ditemui dimana-mana pada keadaan yang memungkinkan bagi
kehidupannya, mulai dari pH 1 sampai 10,5 dan temperatur antara 12,7-21oC, juga bila
terdapat unsur-unsur organik atau anorganik.
Korosi oleh mikroorganisma biasanya banyak terjadi dalam lingkungan asam, karena asam yang
diterima dari ion-hidrogen, melengkapi elektron untuk merubah bentuk sulfat (misal oleh
Thiobacillus yang aerobik). Organisma ini mendapatkan energi dari oksida-elemen sulfat dan
campuran sulfat lainnya (thiosulfat, polithionat dan sebagainya). Produksi asam didalam tanah
akan tersebar luas dan dalam banyak kejadian disebabkan penghancuran yang cepat daripada
susunannya. Hasil dari pada oksidasi ini adalah asam sulfat yang mengakibatkan pH/lebih rendah.
Banyak mikroba yang tumbuh melekat pada permukaan logam, hal ini memperlihatkan adanya
ketidak-rataan penyebaran oksigen pada permukaan logam. Karena oksigen akan lebih banyak
didapatkan pada sisi logam daripada dibagian bawah, sehingga adanya mikroorganisma akan
memperlihatkan bertambahnya perbedaan konsentrasi.
Mekanisme reaksi yang bersifat katodis untuk bermacam-macam korosi dari pipa yang
ditanam, terjadi sebagai berikut :
8 2O 8OH- + 8 H+
4Fo 4 Fo++ + 8 o (pada anoda)
8H+ + 8o 8H (pada katoda)
SO4= + 8H bakteri
S= + H2O (katoda depolarisasi)
Fe++ + S= Fe S (anoda)
3 Fe++ + 6OH- 3 Fe (OH)2 (anoda)

4 Fe + SO 42 - + 4 H 2 O ________ FoS + 3Fo(OH ) 2 + 2(OH ) -


Reaksi seperti tersebut akan mungkin terjadi pada daerah katoda dan akan terlindung dari
kumpulan hidrogen.

21
Mikroorganisma penyebab korosi yang sangat besar peranannya adalah bakteri, karena bakteri
sangat cepat berkembang biak dan sangat mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-
perubahan kondisi fisis, kimiawi dan biologis dari lingkungannya dan mampu untuk membentuk
enzim yang sesuai baginya. Karena enzim tersebut diperlukan olehnya untuk merubah
lingkungannya menjadi sumber nutrisi yang diperlukan.

Bakteri Pereduksi Sulfat


Kelompok bakteri ini biasanya hidup dalam lingkungan yang lembab dan berair dan mengandung
senyawa organik terutama senyawa-senyawa sulfat. Keaktifan dari bakteria ini tergantung kepada
keadaan cuaca (iklim), seperti misalnya pada musim hujan. Karena akibat tanah menjadi lembab,
maka terbentuklah kondisi yang sangat sesuai untuk kehidupan bakteri sehingga keaktifan bakteri
menjadi lebih meningkat.
Karenanya pada masa tersebut proses korosi biokimia mencapai kecepatan maksimum yang sesuai
dengan harga pH, karena paa harga pH maksimum pertumbuhan bakteri sangat cepat.
Proses korosi yang disebabkan oleh bakteria tidak dapat secara sendiri-sendiri terpisah dari proses
kimia lainnya, yang juga mempunyai pengaruh pada proses korosi. Misalnya asam sulfida dan
karbondioksida yang terjadi sebagai hasil kegiatan bakteri dapat larut dalam lingkungan yang
lembab, sehingga terbentuklah lingkungan yang reaktif/KOrosif.
Pada masa pertumbuhan bakteri, lapisan oksida yang ada pada permukaan logam akan tereduksi.
Sebagai akibatnya, tempat-tempat tertentu akan bertindak sebagai anoda dibandingkan dengan
bagian-bagian lainnya, dimana konsentrasi oksigen relatif lebih tinggi. Perbedaan harga potensial
antara bagian-bagian tersebut dapat mencapai 0,2 – 0,3 V. Kebutuhan akan karbon oleh bakteria
ini, akan dipenuhi oleh karbondioksida atau bikarbonat yang ada didalam tanah. Hal ini dapat
terjadi dalam lingkungan yang bersifat pereduksi pada bagian-bagian permukaan besi atau baja,
dan dapat ditemui pada konsentrasi oksigen yang berlainan, yang dapat menyebabkan terjadinya
massa sel sehingga pada bagian dengan konsentrasi oksigen rendah, akan berlaku sebagai anoda
dan bagian lain dengan konsentrasi oksigen tinggi sebagai katoda.
Pengaruh yang serupa dapat ditemui seandainya lapisan forrosulfida yang terjadi pada permukaan
logam hanya menutupi sebagian saja dari permukaan logam. Reaksi kimia yang terjadi pada
proses ini dapat berlangsung sebagai berikut :
Pada lingkungan yang lembab pada tahap pertama berlangsung proses oksidasi Fe pada anoda
(oksidasi) yaitu :
4Fe 4 Fo++ + 8 e-
dalam hal ini elektron yang dibebaskan akan mereduksi ion hidrogen (yang termasuk pada proses
disosiasi air), yaitu :

22
H2O H+ + OH- (menjadi atom hidrogen)
8e- + 8H+ 8H (reaksi katoda)
Bakteri ini kemudian memaksa atom hidrogen bereaksi dengan sulfat, menjadi :
8H+ + SO2- 4 H2O + S2-
dan sebagai hasilnya (korosi) dapat terjadi :
a). FS (warna hitam)
b). 3 Fe++ + 6 OH- 3 Fe (OH)2 (warna putih)
Senyawa-senyawa ferrosulfida yang terbentuk pada anoda juga akan berfungsi sebagai katoda
sehingga akan lebih banyak ion Fe yang terbentuk, maka proses korosi akan dipercepat.
Reaksi-reaksi diatas dapat digambarkan dengan skema seperti dibawah ini :

Fe++ + HOH Fe3 + 2 OH- (ferrohidroksida)

aerobik H2O + H+ + OH-

Fe++ + H2S H2 + FeS (ferro sulfida)

anaerobik katoda terhadap besi

Bakteri pereduksi sulfat

SO 24 - + 5H2 5 H2S + 4 H2O

dinding pipa (besi)


Fe2+ 2H+ + 2e H2

Anoda Katoda

Fe – 2 e Fe + 2e

23
Berdasarkan kepada pengamatan ternyata bahwa tidak semua bakteria ini bertindak sebagai
katalisator dalam reaksi sulfat oleh atom hidrogen, misalnya dengan adanya kalsium sulfat dan
asam karbonat, sehingga reaksi akan langsung sebagai berikut :
4 Fe + 2H2O + CaSO4 -------------------- 3 Fe (OH)2 + FeS + Ca (HCO3)2
Kemudian mekanisme reaksi pada proses korosi besi dapat digambarkan sebagai berikut :
4 Fe + CaSO4 + 4H2O -------------------- FeS + 3 Fe (OH)2 + Ca (HO)2
Dari persamaan diatas, Fe secara langsung tidak bersenyawa dengan oksigen dari udara. Ini
dapat terjadi apabila tanah atau air yang mengandung bakteri pereduksi sulfat berpengaruh pada
logam feero murni. Hasil korosi tidak hanya terdiri dari ferro-sulfida seperti yang terlihat pada
proses korosi akibat asam sulfida, tetapi juga mengandung ferro hidroksida dan grafii.
Lingkungan tempat bakteri ini ialah didalam air, tanah dan minyak bumi. Yang paling optimum
ialah pada temperatur tanah antara 25o sampai 30oC (maksimum 65oC), pH antara 5 sampai 9
(optimum 7,5), tahanan jenis dari tanah antara 500 sampai 2.000 ohm/m. Tanah yang
mengandung unsur-unsur organik yang mudah terurai seperti akar, bangkai binatang dan
sebagainya. Akan mempercepat perkembangan bakteri ini. Dalam keadaan tanah lembab
keaktifan bakteri menjadi besar karena memang kondisi itulah yang paling sesuai bagi kehidupan
bakteri ini.

Bakteri Pereduksi Nitrat


Proses reduksi garam-garam nitrat dilaksanakan oleh banyak jenis bakteri, dan pada akhir ini
dapat dibuktikan bahwa bakteria dapat mempengaruhi kecepatan korosi. Kehidupan golongan
bakteri yang menyebabkan terjadinya proses korosi logam secara tidak langsung, karena proses
denitrifikasi terjadi berkat adanya bitumen atau senyawa-senyawa karbon lainnya. Ini berarti
bahwa senyawa-senyawa organik dioksidasikan oleh bakteri, sehingga menghasilkan sumber
energi, dan terbentuklah senyawa-senyawa yang bersifat korosi/aerosif seperti karbondioksida dan
amoniak, yang dapat mengakibatkan logam dikenai korosi elektrokimia dengan membentuk masa
sol yang berbeda-beda dan juga korosi akibat karbondioksida.
Proses reduksi nitrat ini tergantung dari adanya unsur-unsur lingkungan, karena oksigen berperan
sebagai akseptor hidrogen. Korosi yang terjadi pada besi karena jenis bakteri ini, berlangsung
sebagai berikut :
4Fo + 5H2O + HNO3 4 Fo (OH)3 + NH3
menurut hasil penelitian bakteria ini dapat mempercepat korosi baja didalam air laut sampai 1,5 –
1,7 kali. Karena bakteri ini akan menurunkan harga pH didekat permukaan logam sampai 1,14
pada kondisi yang memungkinkan, dan berpengaruh terhadap kecepatan korosi, rata-rata sampai
mencapai 0,1338 g/m2.jam. dibandingkan dengan kecepatan korosi lainnya 0,0176 g/m2.jam.
Bakteri ini biasanya hidup didalam tanah dan air sungai dalam kondisi yang anaerobik. Akibat
kehidupan bakteria ini menyebabkan korosi pada logam secara tidak langsung, karena proses
ionitrifikasi yang ditimbulkan dengan adanya senyawa-senyawa karbon. Senyawa-senyawa

24
organik dioksidasikan oleh bakteri dan proses oksidasi ini merupakan sumber enersi serta
terbentuk senyawa-senyawa yang bersifat korosif seperti karbondioksida dan amoniak.

Bakteri Pengoksidasi Besi (Bakteri Besi)


Bakteri besi tersusun oleh banyak jenis, dan yang paling menonjol adalah Thiobacillus ferroxidans
yang biasanya berada dalam air yang mengandung mineral. Kondisi untuk pertumbuhan dari
bakteri ini pada besi agak berbeda dengan mikroorganisma pada umumnya. Karena sifat dari
bakteri ini ialah asiodofilik dan dapat tumbuh pula kondisi pH kurang dari 4. Selama
perkembangannya bakteri ini akan menghasilkan asam sulfat dan menurunkan pH. Pada
pertumbuhan sel yang maksimum dan dalam kondisi yang ideal pH akan menurun sampai 1,5 –
2,0. kemampuan bakteri untuk hidup pada pH yang rendah merupakan kelebihan dibanding
dengan bakteria lainnya dalam mempertahankan kehidupannya. Bakteri besi mampu
mengoksidasi senyawa ferro menjadi ferri. Didalam laboratorium mikroorganisma ini dapat
tumbuh dalam kondisi temperatur, pH, aerosi dan sumber nutrisi dengan komposisi tertentu. Oleh
sebab itu, dalam mempelajari ekologi mikroorganisma adalah berusaha untuk menyatukan antara
hasil yang didapat dalam alam dengan hasil yang didapat didalam laboratorium. Bakteri besi
maupun pengoksidasi besi (ferro) menjadi besi (ferri) bentuk reaksi memperlihatkan oksidasi pada
proses ini yaitu :
4FeCO3 + O2 + 6H2O 4 Fo (OH)3 + 4CO2 + 40 kal
Dan enersi yang ditimbulkan dipakai oleh bakteri besi ini untuk menunjang pertumbuhannya.
Bakteri besi akan ikut mengendap dengan endapan Fe (OH)3 yang berwarna merah coklat atau
dalam bentuk lendir. Endapan coklat yang dihasilkan akan menyebabkan bau dan rasa yang tidak
enak disamping meningkatkan kekeruhan pada air minum. Pada beberapa jenis bakteri besi
(misalnya Caronothrix) pertumbuhannya membentuk kelompok gumpalan-gumpalan lendir yang
akan menempel pada dinding pipa. Karena bakteri ini termasuk pengoksidasi logam, maka logam
tersebut merupakan faktor bagi pertumbuhannya. Dengan demikian kelompok bakteri yang
berupa lendir yang menempel pada dinding pipa akan membahayakan, terutama untuk proses
korosi.
Bakteri besi dapat hidup dalam air yang mengandung besi, air rawa, air diam (tidak mengalir) dan
mengandung unsur organik dan garam besi. Disamping itu, juga dapat hidup dalam air tanah
dangkal, dimana kecepatan alirannya kecil, air sungai dengan kandungan zat organik besar dan
garam besi cukup. Biasanya dapat hidup dalam keadaan pH yang rendah, anaerob dan fakultatif-
aerob. Beberapa contoh lingkungan hidup dari bakteri besi, adalah :
a) Air mineral
Pada tempat ini bakteri yang dominan adalah Thiobacillus forroxidans, dan ternyata dalam 1 ml,
air asam terdapat 106 jasad pengoksidasi besi.
b) Air yang tercemari (air buangan)

25
Salah satu spesies penting yang hidup dalam lingkungan ini ialah Sphaerotillus natans. Biasanya
jasad ini hidup pada air buangan pabrik gula dan pabrik kertas.
c) Air rawa
Jenis bakteri besi yang tumbuh dalam lingkungan ini ialah Cronothrix. Unsur besi dan mangan
yang berada dalam air rawa ini ternyata merupakan hasil dari serangkaian reaksi biokimia
yang kompleks hasil kelakuan jasad ini. Bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam
proses geologi pada pembentukan sumber-sumber besi dan mangan didaerah rawa-rawa.
d) Air laut
Bakteri besi yang hidup dilaut ialah Gallionela fortusa. Jasad ini mengakibatkan karang-karang
besi dilaut dimana humus besi atau senyawa-senyawa ferro yang terbawa oleh aliran sungai
setibanya dilaut langsung dioksidasi bersama-sama dengan senyawa mangan. Ferri-hidroksida
yang terjadi akan mengendap didasar laut. Dan dengan adanya karbondioksida maka ferri-
hidroksida tersebut akan menjadi ferro-karbonat.
Ini merupakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan organisma pembentuk bijih besi.
Bakteri Pengoksidasi Sulfo
Oksidasi belerang (S) atau senyawa-senyawa organik belerang dalam kondisi aerobik
disebabkan oleh bakteri Thlobacillus thiooxidans. Akan tetapi salah satu jenis bakteri ini yaitu
Thiobacillus denitrificans, merupakan jenis anaerobik sehingga bakteri tersebut dapat
mengoksidasi belerang dan senyawa-senyawa tanpa adanya oksigen dari udara. Energi yang
diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan bakteri ini diperoleh sebagai akibat/hasil
oksidasi belerang dan sebagai hasil akhirnya adalah asam sulfat. Bakteri ini paling mudah
berkembang biak dalam lingkungan asam dengan pH antara 0 sampai 6.
Jenis bakteri ini dapat menghasilkan asam sulfat yang tidak begitu banyak, dimana
konsentrasinya mencapai 1% atau 2N. juga, bakteri ini dapat merusak 66% bahan yang
digunakan. Apabila tanah mengandung senyawa-senyawa belerang atau digunakan senyawa
yang mengandung belerang, maka perlu diperhitungkan kemungkinan korosi asam sulfat,
yang terbentuk karena pengaruh bakteri ini. Didalam tanah dimana populasi bakteri
pengoksidasi belerang cukup banyak maka pipa besi atau baja harus dilindungi dengan lapisan
pelindung yang cocok atau dengan protoksi katodik.
Kelompok bakteri ini hidup dalam lingkungan seperti pupuk, tanah, tanah dengan senyawa S
yang teroksidasi. Bakteri ini paling mudah berkembang biak dalam lingkungan asam dengan
pH antara 0 sampai 6. apabila tanah mengandung senyawa-senyawa belerang atau senyawa
yang mengandung belerang, maka kemungkinan korosi karena asam sulfat akan terjadi yang
terbentuk karena pengaruh Thiobacillus thiooxidans.

26
Bakteri Belerang
Bakteri ini menerima enersi yang diperlukan untuk kehidupannya dari oksidasi asam sulfida.
Dengan adanya bakteri ini korosi akan dipercepat. Korosi dalam air tanah tergantung dari
kandungan bakteri ini dan mungkin akan dipercepat antara 11 sampai 13 kali.
Ketahanan senyawa baja-karbon dalam hal ini lebih rendah dari pada baja khrom. Kehilangan
besi akibat korosi ini dapat mencapai 125 sampai 417 mg/m2.jam. Bakteria ini akan menerima
enersi yang diperlukan untuk kehidupannya terutama berkat oksidasi asam sulfida, sehingga
reaksinya akan berlangsung sebagai berikut :
2S + O2 + 2H2O 2H2O + 2S
Belerang yang terbentuk selanjutnya dapat teroksidasi menjadi asam sulfat :
2S + O2 + 2H2O 2H2SO4
Seperti juga bakteri pengoksidasi sulfo, maka bakteria ini juga menggunakan asam sulfat sebagai
sumber enersi bagi pertumbuhan dan perkembangan dirinya.
Jenis bakteri ini hidup dalam air (laut, sungai, selokan dan tanah). Aktivitas bakteria ini dalam
proses korosi sampai sekarang masih sangat kurang diketahui. Dan bakteri ini menerima energi
yang diperlukan untuk kehidupannya dari oksidasi asam sulfida dan membentuk belerang, yang
kemudian dioksidasi lagi menjadi asam sulfat.

PERAN MIKROBA DALAM KESEHATAN MASYARAKAT

Sejak penemuan Koch perkembangan pengetahuan tentang penyakit infeksi berkembang dengan
cepat. Berbagai penyakit yang pada abad lampau dianggap sebagai kutukan seperti lepra dan pes,
ternyata terbukti disebabkan oleh kuman. Perhatian kemudian lebih ditekankan pada kesehatan
masyarakat yang erat kaitannya dengan terjadinya berbagai kasus epidemi.
Mikroba yang hidup dan berkembang dalam tubuh inang tanpa menimbulkan penyakit disebut
mikroba flora normal. Faktor-faktor yang menyebabkan kehadiran mikroba flora normal, adalah
pH, suhu, potensial redoks, oksigen, air, nutrien, dan lain-lain. Distribusi mikroba flora normal,
yaitu kulit, ketiak, dan sela-sela jari kaki, sedang jenis mikrobanya, antara lain: Staphylococcus
epidermidis, Microccous luteus, Enterobacter, Klebsiella, E. coli, dan lain-lain.

Kesehatan masyarakat terutama bertitik tolak pada penyakit-penyakit infeksi yang potensial
tersebar dalam masyarakat antara lain melalui agen makanan-minuman, udara, air, dan organisme
vektor. Berbagai upaya penyebaran penyakit dalam masyarakat perlu dilakukan antara lain dengan
perbaikan sarana lingkungan, seperti kebersihan lingkungan rumah, saluran pembuangan yang
sehat, sirkulasi udara yang baik. Tidak kalah penting yaitu pemberian pendidikan masyarakat
mengenai penyakit dan pemberantasan penyakit dari sumbernya.

27
Hal yang paling utama untuk kontrol penyakit infeksi, yaitu menghancurkan sumber penularannya.
Banyak negara yang berusaha melindungi konsumen dari gangguan kesehatan makanan, melalui
uji mikrobiologis terhadap bahan mentah dan olahannya.

PERAN MIKROBA DALAM PENANGANAN LIMBAH


Aktivitas manusia, industri, dan pertanian menghasilkan limbah cair dan padat. Untuk mengurangi
cemaran maka limbah pemukiman dan industri harus diolah terlebih dulu sebelum dilepas ke
lingkungan. Pengolahan limbah cair dapat dilakukan secara aerobik maupun anaerobik atau
kombinasi keduanya dan umumnya dengan 3 tahapan, yaitu tahap primer, sekunder, dan tersier.
Adapun pengolahan limbah padat secara biologis umumnya berupa landfill dan pengkomposan.
Salah satu akibat masuknya cemaran, yaitu terjadinya suksesi populasi mikroba. Mikroba yang
berperan pada pengolahan limbah, antara lain Phanerochaeta chrysosporium, Pseudomonas spp.,
dan Bacillus spp, Mycobacterium, Vibrio, dan lain-lain. Dalam pengolahan limbah perlu
diperhatikan beberapa aspek penanganan limbah, yaitu materi pencemaran, mikroba, faktor
lingkungan, serta sistem yang digunakan dalam penanganan limbah.

Pencemaran air dan tanah oleh limbah pemukiman maupun industri telah menimbulkan banyak
kerugian. Usaha perbaikan lingkunagn yang tercemar dilakukan dengan proses yang dikenal
sebagai bioremediasi. Pada dasarnya bioremediasi merupakan hasil biodegradasi senyawa-
senyawa pencemar. Bioremediasi dapat dilakukan di tempat terjadinya pencemaran (in situ) atau
harus diolah ditempat lain (ex situ). Pada tingkat pencemaran yang rendah mikroba setempat
mampu melakukan bioremediasi tanpa campur tangan manusia yang dikenal sebagai bioremediasi
intrinsik, tetapi jika tingkatan pencemaran tinggi maka mikroba setempat perlu distimulasi
(biostimulasi) atau dibantu dengan memasukkan mikroba yang telah diadaptasikan
(bioaugmentasi).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadjian, Vernon dan Mason E. Hale. 1993. The Lichens. New York : Academic Press.
Alexopoulus, C.J., dan H.C. Bold. 1987. Algae and Fungi. Macmillan New York : Prentice Hall.
Alvin, Kenneth, 1997. The Observer of Lichenes. Frederick Warne, London.
Brock, Thomas D. et al.1999. Biology of Microorganism. Prentice Hall, Inc
Campbell, R. 1997. Microbial Ecology. Oxford : Blackwell Scientific Publ.
Kimball, J.W. 1995. Basic Ecology. London : Saunders College New York.
Lubis, Hamzah. 1996. Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Medan, Analisis
Lumut Kerak. Medan : FTI-Institut Teknologi Medan. Medan
Miller, Ruth N. 1994. Plant Types 1 : Algae, Fungi and Lichens. London : Hutchinson
Education.

28
Palmer, M.J. 1982. Algae in Water Supply. Washington DC. US. : Departement of Health,
Education and Welfare.
Pelczar, Michael; Chan; Krieg, Noel. 1993. Microbiology : Concepts and Applications. USA :
McGraw-Hill.
Raven, Peter. 1986. Biologi of Plants. Second Edition. Worth Publishers, Inc.
Rosswall, T. 1983. Modern Methods in the Study of Microbial Ecology. Stockholm : PHS
Sudaryanto et al. 1992. Lichenes sebagai Indikator Pencemaran Udara di Jl. PB.
Sudirman, Denpasar. Denpasar * Universitas Udayana

Wesley dan Margaret F. Wheeler.1988. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Daftar Pustaka
Alexander, M. 1971. Microbial ecology. Jhon Wiley and sons. New York

Atlas, R.M. and R. Bartha. 1981. Microba ecology: fundamentals and Applications. Addison
Wesley publising company. Reading Massachusetts.

Brock. T.D. 1966. Principle of microbial ecology. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J

.
Carventer, P. L. 1964. Mikrobiologi W. B. Saunders company Philadelphia. London

Edmonds, P. 1978. Microbiology, An Environmental Prespektive. Macmilan Publising Co Ine.


New york.

Alcamo I.E. 1984. Fundamentals of Microbiology., Addison-Wesley publising company.


Reading. Massachusetts.

29
Blazeka,B. J.Suskovic and S.Matosic1991. Antimicrobial activity of lactobacilli and streftococcic.
World J. Of Mikrobiology and Biotcnology. Vol. 7.

Carpenter, P.L. 1964. Microbiology.W.B. Saunders Company. Philadhelphia, london

Dezfulian,M. And J.G. Bartlett. 1994. Rapid identifikation Eostridium botulinum colonies by
invitro toxicity and antimikrobial suscefttibility testing. World j. Of mikrobial and
Biotecnology. Vol 10.

Alcamo, I. E. 1983. Fundamentals of Microbiology. Addison-Wesly publising. Reading,


Massachusetts.

Burrows, W. 1975. Texbook of Microbiology. W.B. saunders Compeny. Philadelphia london.


Toronto.

Edmonds P. 1978. Microbiology. An Environmental perspektive. Macmillan publising Co., Inc.


New york. Colier Macmillan publisher london.

Emanuilova, E.L. and M.S. Kambourova. 1992. Effect Of carbon source and dissolved oxygen
level on cell growth and pulalanasa produktion by Bacillus stearothermophilus
G-82

Grady. C.P.L.Jr. and H.C.Lim.1980. Biological waste water treatment. Marcel dekker., Inc.
New york and Basel

Grent,W.D.P.E.Long., 1981. Enviromental Microbiology. Blackie. Glasgow and london

Mitchell,R. 1974. Introduction to Environmental Mikrobiology. Prrentice-hall. Inc. Engewood


Cliffs, New Jersey

Wistreich,G,A., M.D.Lechtman. 1980. Microbiology 3rdEd. Macmillan publising Co, Inc. New york.

Ebrigerova. A. A, Belicova and L. Ebringer. 1994, Antimikrobial activity of quarternized


heteroxilans. World j. Of Mikrobiology and Bioteknology. Vol 10.

Moat, A.G. 1979. Microbial physiology. A. Wiley-Interscience publication. John Wiley & Sons.
New York. Chichester. Brisbane. Toronto.

Campbell, R. 1977. Microbial Ecology. Blackwell Scientific Publ. Oxford.

Mitchell, R. 1987. Water Pollution Microbiology. London. Wiley Interscience.

Palmer, M.J. 1982. Algae in Water Supply. Washington DC. US. Departement of Health,
Education and Welfare.

Pelczar, Michael; Chan; Krieg, Noel. 1993. Microbiology : Concepts and Applications. USA.
McGraw-Hill.

Rosswall, T. 1983. Modern Methods in the Study of Microbial Ecology. Stockholm. PHS

Suriawiria, U. 1989. Mikrobiologi Umum. Bandung. Departemen Biologi ITB

Volk, Wesley dan Margaret F. Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Brock, TD. 1979. Biology of Mikroba. 3dEd. Prenti international, inc, london.

30
Campbell,R. Microbial ekology Volume 5. Basic mikrobiology, Bleckwell Scientfic publications.
Oxford , london

Gao, W,M., and S.S. Yang. 1995. A Rhizobium strain that nodulats and fixes nitrogen in
association with alfalfa and soybean plants. Mikrobiology. 141

Grady ,C,P,L,jr, and H.C. lim. 1980. Biological Waste Water treatment. Theory and Aplication,
marcel dekker, inc. New york and Basel

Laksmi , R, and H, polasa, 1991 influens of nitrogen source on hidrogen generation by a


photosiyntetik bacterium. World J. Of Mikrobiology and bioteknology. Vol.7.

Lim, P.O., D. Ragatz., M. Renner and F.J. de bruijn. 1993. In trend in mikrobial Ekology. Spain.

Moat. A.G. 1979. Mikrobial physiology. A Wiley interscienci publication. John wiley & Sons New
york, Chichester.

Rhatore, D.S. A, Kumar and H.D. Kumar. 1993, Lipid conten and patty acid composition in N2 fixing
eyanobakterium Anabaena doliolum as affected by molybdenum deficiency, world J.
Mikrobiology and Bioteknology. Vol 9.

Rodina, A.G. 1972. Methods in aquatic Mikrobilogy University park press. Baltimore.
Butterworths. London.

Stal, L.J. 1993. Nitrigen Fixation in Microbial Mats. In trend in microbial Ecology.. Barcelona
spain.

Wistreich, G.A., M.D. Lechtman. 1980. Microbiology 3th Ed. Macmillan publishing Co, Inc. New
york.

Mitchell, R. 1974. Introduction To Environmental Microbiology. Prentice-Hall, Inc.


Englewood Cliffs, New jersey

Rodiana,. A.G. 1972. Methods In Aquatic Mikrobiology. Park Press. Baltlmore. Butterworths.
London.

Wistreich, G.A. M.D. lechtman. 1980.Mikrobiology. Macmillan publising,Co., Inc. New york. Collier
Macmillan Publisher london
Alcamo.I. W. 1983. Fundamentals of Mikrobiology. Addison wesley publising Company. Reading,
Massachusetts.

Buchanan, E.D.,R.E. Buchanan 1949. Bacteriology 4th Ed. The Macmillan Company
Burraows, P.,1978. Mikrobiology 20th Ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia, London, toronto.

Edmons,P., 1978. Mikrobiology. An Environmental Perspektive Macmillan publishing Co, Inc. New
York. Collier Macmillanpublisher london

Grent, W.D.,P.E. long. 1981. Environmental Mikrobiology Bleckie. Glasgow and london

Wistreich,G.A.M.D. Lechman. 1980. Mikrobiology 3th Ed. Macmillan publising Co., Inc. New York.
Collier Macmillan Publisher london

GLOSARI

31
ISTILAH ARTI
Abiogenesis, atau generasi spontan (generatio spontanea). Suatu
generasi spontan pendapat bahwa jasad hidup dapat secara
(generatio spontanea) spontan (tiba-tiba) berasal dan jasad mati.
Aktinomikosis penyakit pada hewan, tumbuh-tumbuhan
ataupun manusia yang disebabkan karena
kelompok jasad aktinomisetes. Misal Nocardia,
Actinomyces, Sterptomyces.
Adaptasi kemampuan jasad untuk menyesuaikan
kehidupannya dengan lingkungan yang baru
atau asing. Dapat berbentuk (a) adaptasi-
genetis termasuk mutasi atau seleksi, dan (b)
adaptasi non-genetis atau fenotifis.
Aerobik jasad yang hidup dengan kehadiran oksigen.
Mungkin timbul fakultatif aerobic, yaitu sewaktu-
waktu jasad dapat/mampu pula untuk hidup
tanpa oksigen.
Aflatoksin jenis toksin-jamur (mikotoksin) yang dihasilkan
oleh Aspergillus flavus, bersifat karsinogenik.
Agar-agar senyawa galaktan-sulfat yang tersusun oleh
agarose dan agaropektin, dibuat dari ganggang
laut yang berwarna merah (Rhodophyceae),
banyak dipergunakan sebagai pemadat pada
media dengan konsentrasi antara 10-15 gram
per liter.
Aglutinasi pembentukan gumpalan yang disebabkan reaksi
antigen dengan antibodi yang spesifik. Banyak
dipergunakan di bidang serologi.
Aglutinin senyawa umumnya antibodi yang menyebabkan
aglutinasi dengan antigen.
Aglutinogen antigen yang merangsang produksi aglutinin
yang spesifik.
Akineta pada jamur berupa sel-istirahat atau spora,
sedang pada mikroalgea biru-hijau berbentuk
spora dengan dinding tebal.
Alge atau ganggang yang termasuk mikroba adalah mikroalge
berbentuk uniseluler atau filamen sederhana.
Algisida senyawa kimia yang dapat mengontrol
kehidupan alge. Dapat bersifat algisidis
(membunuh) atau algistatis (menghambat)
pertumbuhan.
Amonifikasi pembebasan amonia dari senyawa organik-
nitrogen secara proses mikrobial di dalam siklus
biogeokimia nitrogen.
Amfibiotik kemampuan mikroba yang dapat berperan
sebagai simbion ataupun jasad parasit di dalam
sistem simbiosis.
Anabolisma reaksi pembentukan komponen sel dari
senyawa organik ataupun anorganik, dengan
menghasilkan senyawa yang dibutuhkan oleh
jasad.
Anaerobik kebalikan aerobik, yaitu kehidupan jasad tanpa
kehadiran oksigen bebas.
Anisogami proses fertilisasi (pembuahan) dimana gamit
jantan mempunyai bentuk, ukuran atau
lingkungan yang berbeda dengan gamit betina.

32
Antagonisma kegiatan bersama yang lebih kurang/berkurang
hasilnya kalau dibandingkan masing-masing
bertindak sendiri. Misal ada 2 jenis antibiotika
bekerja untuk menghambat/membunuh mikroba.
Kalau keduanya disatukan hasilnya lebih jelek
dibandingkan kalau masing-masing
dipergunakan.
Antibiotika hasil proses mikrobial waktu dengan konsentrasi
yang sangat rendah (misal beberapa mikrogram
saja) mampu untuk menghambat atau
mematikan kehidupan jasad mikroba lainnya,
khususnya bakteri.
Antibodi molekul glikoprotein yang dihasilkan langsung
sebagai respons terhadap adanya imunagen ke
dalam tubuh.
Antigen zat/senyawa yang dapat berikatan dengan
antibodi.
Antiseptik senyawa yang dapat membunuh atau
menghilangkan kehadiran dari jasad-jasad lain
yang tidak diharapkan kehadirannya atau dapat
menyebabkan infeksi.
Antiserum serum yang mengandung antibodi untuk antigen
tertentu.
Askospora spora yang berbentuk didalam askus (kantung
spora)
Aspergillosis penyakit yang disebabkan karena jenis jamur
Aspergillus, misal Aspergillus fumigatus.
Autohtonous populasi/kehadiran mikroflora pada suatu
habitat yang tetap atau indigenus, baik jumlah
ataupun jenisnya.
Autoklaf atau otoklaf bejana untuk sterilisasi bahan atau peralatan
dengan menggunakan tekanan dan temperatur
tinggi : antara 115-134oC atau antara 10-30
lbs/inchi persegi.
Autolisis kehancuran komponen sel karena endogenous-
enzim.
Autotrof atau ototrof mikroba yang dapat menggunakan karbon-
dioksida sebagai sumber c utama.
aksenik kondisi dimana hanya satu tipe jasad yang ada.
Bakterisida senyawa yang dapat menghambat atau
membunuh kehidupan bakteri.
Bakteriofage virus dengan bakteri sebagai inangnya. Misal
Colifage atau Colifag, yaitu virus dengan bakteri
Coli sebagai inangnya.
Bakteroids sel seperti bakteri.
Basidiospora spora seksual yang dibentuk pada basidium
Bentik misal zona bentik, yaitu daerah dasar dari suatu
habitat danau, sungai, laut dan sebagainya.
Biosida senyawa penghambat atau pembunuh
kehidupan secara umum
Bioluminasi cahaya yang dihasilkan oleh tubuh/jasad
mikroba. Misal lusiferin
Biomassa jumlah mikroba, berat-kering atau voluma di
dalam habitat air atau media.
Biotipe bentuk varian pada satu spesies, atau sering
pula disebut serotipe.
Blooming gejolak pertumbuhan mikroba khususnya
mikroalge biru-hijau pada permukaan danau
yang menutupi seluruh permukaan tersebut.

33
BOD atau Biochemical yaitu kebutuhan oksigen biokimia oleh mikroba
Oxygen Demand reduser atau dekomposer untuk mengurai
senyawa organik.
Budding bentuk reproduksi aseksual pada ragi dengan
membentuk kuncup atau perkuncupan.
Candidiasis penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida.
Seperti C. albicans, C. parapsilosis dan
sebagainya.
Coliform nama kelompok bakteri-enterik, oksidase
negatif, dan menjadi indkator alami pencemaran
fekal.
Denitrifikasi pembentukan gas nitrogen dan senyawa nitrat
oleh mikroba. Kelompok mikroba (bakteri)
tersebut dinamakan bakteri denitrifikasi.
Desikasi proses pengeluaran/pengurangan air dari suatu
substrat.
Desinfektansia senyawa yang dipergunakan untuk disinfeksi
(membunuh mikroba penyebab infeksi)
Disinfeksi pengerjaan untuk membunuh, mentidak-aktifkan
ataupun menghilangkan mikroba dan satu
tempat/bahan.
DNA (deoxyribonucleic yaitu polimer linier dan senyawa deoksiribo
acid) nukleotida, materi genetis pada sel hidup.
Endospora spora yang berada di dalam sel misal pada
bakteri.
Enterotoksin adalah eksotoksin yang bila dihasilkan di dalam
usus, akan segera diserap oleh lapisan mukosa
usus.
Enumerasi menghitung jumlah mikroba pada suatu bahan.
Eutrofikasi pengayaan alami suatu habitat air, misal danau,
oleh senyawa anorganik, khususnya yang
mengandung nitrogen dan fosfor, sehingga
tanaman air, mikroalge tumbuh secara pesat
dan bergejolak.
Eksoesnsim enzim yang selalu menempel pada lapisan luar
membran atau para rongga periplasmik.
Endotoksin toksin yang dihasilkan di dalam sel mikroba,
baru akan mengenai jasad lain kalau sel
tersebut lisis atau hancur.
Eksotoksin toksin yang dihasilkan secara sekresi setiap
saat.
Fakultatif cara kehidupan dari mikroba yang tidak terikat
oleh satu tipe. Misal fakultatif aerobik, maka
satu saat adpat secara aerobik dan dilain saat
dapat anearobik tergantung keadaannya,
karena jasad tersebut dapat melakukan
adaptasi (penyesuaian) dengan baik.
Fermentasi model metabolisma penghasil energi yang
melibatkan oksidasi dan reduksi di dalam satu
reaksi berantai secara ensimatis, dimana
substrat (elektron donor primer) dan terminal
elektron aseptor adalah senyawa organik.
Filtrasi satu cara pemisahan atau sterilisasi di bidang
mikrobiologi secara fisik dengan menggunakan
filter (saringan)
Fimbria arti lain dari pili, atau sering pula dinamakan pili
yang heterogeous.
Fision tipe pembiakan secara aseksual pada sel
tunggal (uniseluler), yaitu satu sel menjadi dua,
dua menjadi empat, empat menjadi delapan,

34
dan seterusnya.

Fiksasi (1) proses untuk membunuh sel, misal di dalam


cara pewarnaan gram, juga (2)
cara/kemampuan untuk menambat senyawa/zat
oleh kemampuan mikroba, misal fiksasi N.
Flagella alat gerak pada bakteria yang berada diujung
sel atau di sekeliling sel dengan jumlah satu
atau lebih, umumnya berukuran antara 3-20
mikron dan diameter 120-250 A.
Frustula dinding sel yang mengandung silikat pada
diatomae
Fungisida senyawa yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan jamur.
Game (gamete) yaitu sel reproduksi haploid, baik jantan atau
betina, yang dapat dibedakan dari bentuk,
ukuran dan lingkungannya.
Gametangium alat untuk menempel atau tempat garnet
dihasilkan.
Gastro-enteritis imflamasi jaringan lambung atau usus karena
penyakit.
Gen turunan nukleotida (pada DNA atau RNA)
Gnotobiotik lingkungan yang terprogram secara baik,
sehingga kehadiran semua jasad (khususnya
mikroba) dapat diketahui bentuk, sifat dan
jumlahnya.
Halofilik mikroba yang dapat tumbuh/hidup pada substrat
yang mengandung garam NaCl sampai antara
12-20%
Hangin drop cara untuk mendeteksi kehadiran alat gerak
pada mikroba dengan menggunakan medium
cair dalam bentuk preparat-gantung.
Helotisma bentuk kehidupan bersama antara alge dengan
jamur didalam lichene (lumut kerak).
Hemiselulosa golongan heterogenus dari senyawa
polisakarida dalam bentuk matriks amorf pada
dinding sel tanaman atau alge.
Heterosis sel atau untaian sel berbentuk trikhom yang
didapat pada serat tubuh mikroalge biru-hijau
seperti Anabaena. Nostoc dan Tolypothrix.
Heterokaryon Bentuk inti yang sifat genetisnya berbeda,
ditemukan pada jamur dan beberapa jasad
lainnya.
Heterotrofik bentuk kehidupan yang memerlukan sumber
nitrien khususnya C dalam bentuk senyawa
organik.
Homofermentasi tipe fermentasi yang menghasilkan satu jenis
produk utama.
Homokaryon kebalikan dari heterokaryon
Hibrida tipe jasad yang dihasilkan dan hasil silangan
dari dua induk yang berbeda sifat genetisnya.
Hifa bentuk tubuh jasad (mikroba) seperti serat atau
filamen, bersekat atau tidak. Kumpulan hifa
disebut miselia.
Hipogean terdapat di bawah permukaan.
Imunitas sifat reaktif dan tubuh jasad untuk menentang
kehadiran benda/zat asing ke dalam tubuhnya.
Dapat berbentuk imunitas alami (tubuh sendiri
dapat membentuk) atau imunitas buatan (ada

35
penambahan dari luar)

Imunisasi perlakuan untuk mendapatkan imunitas.


Imperfekti keterangan tentang tahap pembiakan aseksual
pada jamur.
IMVIC tes cara identifikasi bakteri di dalam kelompok Coli
dengan menggunakan indol, metil-merah,
Voges Proskauer dan sitrat.
Inkubasi cara untuk menumbuhkan/membiakkan mikroba
di dalam atu tempat (bejana) dengan
memperhatikan lingkungan fisik tertentu
(temperatur, kelembaban, cahaya dan
sebagainya).
Indikator besaran yang dapat dijadikan bandingan. Misal
indikator pencemaran fekal dengan
menggunakan bakteri Coli, indikator keracunan
pada bahan makanan dengan menggunakan
Clostridium dan jasad lainnya.
Infusoria istilah yang menunjukkan kehadiran jasad/bekas
jasad pada suatu habitat, umumnya pada tanah.
Misal tanah infusoria, yaitu tanah yang
mengandung kumpulan kerangka diatomae
(kersik)
Inokulan preparat hidup mikroba. Misal inokulan
Rhizobium untuk kepentingan penanaman
kacang-kacangan, di dalamnya terdapat jumlah
tertentu bakteri tersebut yang mampu
membentuk bintil-akat pada tanaman tersebut.
Interferon jenis protein yang dihasilkan oleh sel hewan
yang mampu untuk menghambat replikasi virus
di dalam sel inang dalam berbagai keadaan.
Involusi misal bentuk involusi pada bakteri, adalah
perubahan bentuk yang terjadi akibat adanya
perubahan lingkungan yang sifatnya tidak baka.
Dapat juga terjadi karena umur biakan yang
sudah lama.
Isoensim bentuk enzim yang lebih dari satu bentuk, tetapi
mempunyai fungsi yang sama.
Isogami keadaan fertilisasi (pembuahan) dengan gamet
yang sama bentuk dan keadaannya.
Isolasi Pemisahan suatu jasad/benda. Misal isolasi
bakteri penyebab keracunan pada bahan
makanan di laboratoria.
Kapsula penebalan dinding sel mikroba, umumnya
tersusun oleh senyawa karbonat.
Karsinogen senyawa yang dapat
merangsang/menyebabkan kanker. Sifat
merangsang/menyebabkan tersebut disebut
karsinogenik.
Laktofenol misal laktofenol kapas biru, pewarna yang dapat
membedakan serat/hifa jamur dan non jamur.
Lamela lapisan miselia pada jamur-tinggi, misal pada
jamur merang atau jamur kompos, tempat spora
berada.
Lamina thalus berbentuk daun yang didapatkan pada
alge.
LD 50+ atau lethal dose yaitu dosis yang dapat membunuh dari suatu
(50%) senyawa terhadap 50% populasi/jumlah jasad
yang dicobakan.

36
Lesi atau pelukan pada jaringan yang diakibatkan
oleh kerusakan secara mekanik atau akibat
adanya pertumbuhan jasad patogen.
Lignin kompleks senyawa yang terdiri dari fenil-
propanoid di dalam jaringan kayu yang
berhubungan erat dengan selulosa dan
hemiselulosa.
Mikroflora kelompok kehidupan yang terdapat di dalam
berbagai habitat (tempat) yang tersusun oleh
mikroba.
Mikrofungi atau jamur yaitu bentuk tubuh jamur yang baru akan dapat
mikro dilihat jelas dengan menggunakan mikroskop.
Kebalikannya adalah makrofungi yang dengan
mata-telanjang biasa dapat nampak jelas dilihat.
Mikrogamet umumnya gamet jantan
Mikromanipulasi cara untuk menimbun satu jenis atau satu
kelompok jasad dari satu habitat.
Mikron besaran ukuran = 10-3 cm
Mikropalaeontologi ilmu yang mempelajari mikroba berbentuk fosil.
Mutagen senyawa yang dapat menyebabkan mutagenik
atau mutasi.
Mutasi sifat dan bentuk jasad yang sudah berubah dari
bentuk dan sifat asalnya karena perlakuan
secara fisik, radiasi ataupun kimia.
Miselia kumpulan hifa atau serat jamur.
Mikoriza bentuk kehidupan asosiasi antara jamur dengan
pertumbuhan tinggi. Misal pada akar anggrek
dan pinus.
Mikosis penyakit yang disebabkan karena jamur.
Nekton kumpulan / komunitas kehidupan yang bergerak
bebas pada permukaan air.
Neston komunitas kehidupan pada permukaan air
berbentuk selaput, umumnya tersusun oleh
mikroba.
Nitrifikasi proses dimana amonia dioksida menjadi nitrit,
kemudian nitrit menjadi nitrat, misal oleh
kelompok mikroba seperti Nitrosomonas dan
Nitrobacter.
Nukleas atau inti benda intraseluler yang diliputi selaput
(membran) yang di dalamnya antara lain
mengandung kromosom dan satu atau lebih
nukleolus, dan atau endosom. Didapatkan pada
jasad karyota.
Obligat kondisi tertentu yang tidak bisa diubah. Misal
mikroba aerobik yang obligat, maka
kehidupannya dapat berlangsung kalau ada
oksigen.
Oligodinamik efek negatif dari suatu logam terhadap
kehidupan mikroba, umumnya bersifat
menghambat.
Oligotrofik keadaan habitat (tempat) seperti perairan yang
sangat kekurangan sumber nutrien.
Oogami kopulasi (perkawinan) gamet, antara gamet
betina berbentuk besar (sel telur) dengan gamet
jantan.
Organotrofik sama seperti heterotrofik
Osmofilik kelomppok jasad yang dapat hidup pada
tekanan osmosa tinggi.
Parasitik sifat jasad yang hidup pada jasad lain yang
masih hidup, misal sebagai jasad patogen

37
(penyebab penyakit)
Patogen jasad yang mempunyai sifat dapat
menyebabkan penyakit. Misal Mycobacterium
tuberculosis menyebabkan penyakit TBC.
Parasitisma bentuk kehidupan patogen
Pasteurisasi cara pemanasan bahan dengan temperatur
antara 63-72oC, misal untuk pengawetan air
susu, khususnya dan kehadiran patogen yang
umum menyebar/terbawa melalui air susu
(Salmonella, Mycobacterium). Pelaksanaannya
dapat dilakukan secara : (a) LTH = low
temperature holding, yaitu pemanasan dengan
temperatur 63oC selama 30 menit, dan (b) HTST
= high temperature short time, pemanasan
dengan temperatur 72oC selama 15 menit.
Patogenitas sifat patogen atau keganasan, dari suatu jenis
jasad.
Peptidoglikan Komponen dinding sel bakteri yang peka
terhadap pewarnaan Gram, sehingga bakteri
Gram positif mengandung senyawa tersebut
lebih banyak/tebal dibandingkan dengan bakteri
gram negatif.
Protista Kelompok besar kehidupan yang didalamnya
termasuk jamur, alge dan protozoa.
Petri nama penemu caran-Petri (Petri-disk), alat gelas
yang paling banyak digunakan di dalam
pekerjaan mikroba.
Pewarnaan cara untuk memperjelas bentuk, susunan
ataupun sifat mikroba, khususnya bakteri dan
jamur. Paling dikenal pewarna Gram.
Perkuncupan cara ragi memperbanyak diri dengan
membentuk kuncup. Kuncup akan tumbuh
menjadi sel induk baru serta kuncup baru akan
tumbuh pada sel baru tersebut.
Petroprotein jenis protein yang dibuat secara teknologis
dengan bahan baku terdiri dari hidrokarbon
(misal minyak bumi)
Postulat Koch dalil atau cara untuk mencari dan menentukan
jasad penyebab penyakit pada suatu wabah
yang terjadi, terdiri dari 4 atau 5 dalil
PST atau protein sel jenis protein yang dihasilkan oleh mikroba
tunggal dalam proses teknologis
Rekombinasi pertukaran atau transfer genetis antara
kromatida yang homolog, terjadi selama
meiosis.
Resisten ketahanan, misal dari satu jenis tanaman
terhadap patogen tertentu.
Rhizoid seperti akar, misal didapatkan pada beberapa
jenis jamur adanya bagian tubuh yang
menembus substrat seolah-olah seperti akar
pada tanaman.
Rhizosfir daerah sekitar akar yang jaraknya hanya
beberapa milimeter saja, dihuni oleh beberapa
kelompok mikroba, khususnya bakteri, jamur
dan mikro-alge.
Rhizoplan permukaan akar.
RNA ribonucleic acid, polimer-liner ribonuleotida,
berfungsi di dalam sitnesa protein paa
prokaryota dan karyota.

38
Sake jenis minuman hasil fermentasi di Jepang yang
terbuat dari beras ketan.
Saprobik suatu sistem yang digunakan di dalam aliran air
sungai yang dikenal oleh pencemar, khususnya
pencemar organik, sehingga aliran sungai
tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa
daerah.
Saprofitik sifat kehidupan dari jasad, dimana jasad
tersebut hidup pada jasad lain yang sudah mati
atau buangannya.
Saprozoik cara mikroba mengambil nutriennya seperti
hewan, misal pada protozoa.
Sauerkraut jenis olahan kubis atau sayuran lain secara
fermentasi denan asain laktat (fermentasi laktat)
SCP atau singel cell protein, sama dengan PST.
Segregasi Penyebaran kromatida kepada sel anak selama
pembelahan mitosis satu sel.
Self-purifikasi yaitu proses alami dimana pencemar organik
yang memasuki badan air akan terurai oleh
kelakuan mikroba, khususnya bakteri dan jamur.
Septum sekat antar sel (di dalam pembelahan sel) atau
antar hifa.
Serotipe perbedaan dengan pemisahan sifat mikroba,
khususnya bakteri berdasarkan perbedaan
antigenitasnya yang secara tes biokimia tidak
dapat dibedakan.
Spora sel istirahat yang resistan terhadap panas dan
lingkungan lainnya (pada bakteria) yang juga
berfungsi sebagai alat untuk perkembangan.
Pada jamur dan mikroalge dapat diibaratkan
seperti biji pada tanaman tinggi.
Starter sama dengan inokulan
Steril keadaan substrat yang bebas dan adanya
kehidupan jasad. Steril didapatkan dengan
pengerjaan sterilisasi.
Sterilisasi pengerjaan untuk mecapai keadaan steril,
dilakukan secara fisik, secara radiasi ataupun
secara kimia.
Stipe atau batang pada tubuh jamur.
Starin sel atau populasi sel yang mempunyai
karakteristika sifat khusus
Simbiosis bentuk kehidupan bersama antara dua atau
lebih jasad di dalam satu habitat.
Simbion jasad yang mengadakan simbiosis.
Sintropisma bentuk pertumbuhan jasad dengan sumber
nutrien yang tergantung kepada hasil aktivitas
jasad lain. Sehingga lingkaran ketergantungan
akan dicapai di dalam satu kehidupan bersama
terhaadp satu kumpulan substrat.
Toksin senyawa (metabolit sekunder) yang dihasilkan
oleh mikroba yang bersifat racun.
Toksinogenik kemampuan untuk menghasilkan toksin
Toksoid eksotoksin yang sudah kehilangan daya
meracunnya, banyak dipergunakan untuk
kepentingan imunisasi.
Uniseluler sel tunggal, yaitu bentuk sel pada mikroba
secara tunggal.

39

Anda mungkin juga menyukai