Anda di halaman 1dari 10

TUGAS RESUME

Pragmatisme Dalam Pendidikan Non Formal

Mata Kuliah :
Pengembangan Profesi Pendidikan Non Formal

Dosen :
Prof. Dr. Jamaris, M.Pd
Dr. Irmawita, M.Si

Oleh :
Anggun Muliya Warni (23359004)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN NON FORMAL


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
RESUME
A. Ringkasan Materi
Pendidikan non formal adalah suatu bentuk pendidikan yang tidak terikat oleh
struktur formal lembaga pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. Berbeda dengan
pendidikan formal, pendidikan non formal bersifat lebih fleksibel dan dapat terjadi di
berbagai konteks kehidupan sehari-hari. Dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi,
pendidikan non formal menjadi semakin penting dalam memberikan pembelajaran kepada
individu di luar lingkungan sekolah.
Pendidikan ditantang melahirkan insan-insan unggul yang mampu memperbarui
struktur sosial masyarakat agar lebih adil, terbuka, dan partisipatif. Dalam konteks ini,
kemunculan pemimpin baru tidak memerlukan wacana karena pada dasarnya insan-insan
hasil Pendidikan kirits trnsformatif memiliki kualitias kepemimpinan.
Pragmatisme merupakan salah satu aliran yang berpangkal pada empirisme.
Pragmatisme, sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, menekankan pada konsep bahwa
nilai dari suatu gagasan atau tindakan dapat diukur berdasarkan manfaat praktis yang
diperoleh darinya. Dalam konteks pendidikan non formal, pendekatan pragmatis menjadi
landasan filosofis yang relevan untuk memahami dan mengevaluasi efektivitas serta
kebermaknaan dari upaya pendidikan di luar ranah formal.
Pragmatisme memiliki peran yang penting dalam konteks pendidikan non formal
karena memperkenalkan pendekatan yang berorientasi pada praktis, responsif terhadap
kebutuhan individu dan masyarakat, serta fleksibel dalam merancang program-program
pendidikan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pragmatisme menjadi relevan dan
diperlukan dalam pendidikan non formal.

B. Pembahasan
1. Pengertian Pragmatisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme adalah kepercayaan bahwa
kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan
sebagainya), bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia; paham yang
menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah
terus; pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan
melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis.

Suatu kebenaran memanglah sangat penting, karena kebenaran adalah suatu tolak
ukur dalam bertindak. Setiap manusia memiliki bermacam-macam cara untuk mencari
kebenaran tersebut. Diantaranya dilakukan dengan cara Akal, Empiris, ataupun perpaduan
keduanya.

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunanai, yaitu “Pragma” yang berkonotasi pada
makna tindakan, perbuatan.Istilah ini dalam bahasa arab disebut dengan al-madzhab al-
‘amali atau madzhab ad-dzar’i-i. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki
kegunaan bagi kehidupan nyata atau tidak. Aliran ini bersedia menerima segala sesutau,
asal saja hanya membawa dan memberi akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi,
kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan
membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme
adalah “manfaat bagi hidup praktis”.

Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah manfaat bagi


kehidupan. Artinya, segala sesuatu yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan
dianggap sebagai sebuah kebenaran. Misalnya, beragama sebagai kebanaran, jika
agama memberikan kebahagiaan. Sebaliknya jika memberikan kesusahan atau
kerusakan(kemadharatan),maka tindakan yang dimaksud itu bukan kebenaran. Oleh sebab
itu kebenaran sifatnya menjadi relatif,tidak ada yang mutlak. Mungkin sesuatu konsep
atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu,
tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Apabila demikian,konsep tersebut
dapat dinyatakan benar oleh masyarakat yang mendapatkan manfaat dan akibat baik dari
konsep tersebut.Sebaliknya, masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat atau bahkan
diugikan dengan peraturan itu akan menilai berbeda, bukan sebagai kebenaran.
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu:
(1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia,
(2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi,
(3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat (George R. Knight, 1982).

Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan hidup, yakni untuk
memajukan dan memperkaya kehidupan. Nilai pengetahuan manusia dinilai dan diukur
dengan kehidupan praktis. Menurut James “tidak ada ukuran untuk menilai kebenaran
absolut, benar atau palsunya pikiran akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik
dan tergantung dari berhasil atau tidaknya tindakan tersebut”.

Teori kebenaran merupakan alat yang kita gunakan untuk memecahkan masalah
dalam pengalaman kita. Suatu teori itu benar jika berfungsi. Kebenaran bukan suatu yang
statis melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Menurut yang dikemukankan oleh
Uyoh Sadulloh “Tidak ada kebenaran mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri,
tidak lepas dari akan pikiran yang mengetahui. Pengalaman kita berjalan terus dan segala
yang kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa berubah karena dalam praktiknya apa
yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak
ada kebenaran yang mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenaran yaitu kebenaran yang ada
dalam pengalaman yang suatu saat dapat diubah oleh pangalaman berikutnya”

Adapun untuk mencari kebenaran adalah dengan menggunakan Metode intelegen


merupakan cara ideal untuk memperoleh pengetahuan, kita akan mengerti segala sesuatu
dengan penempatan dan pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah ini hendaknya
melalui lima tahap menurut Dewey yang dikemukankan oleh Uyoh Sadulloh yaitu sebagai
berikut :

1) Indeterminate situation, timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang


perlu dijabarkan secara spesifik.
2) Diagnosis, artinya timbul upaya mempertajam masalah sampai panentuan faktor-
faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
3) Hypotesis, adanya upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi
masalah dengan jalan mengerahkan pengumpulkan informasi yang penting-penting.
4) Hypotesis testing, pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teoritis
untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau dipraktikkan.
5) Evaluation, mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan yaitu
dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada langkah kedua dan ketiga.
Berdasarkan langkah di atas, Dewey berusaha menyusun teori yang logis dan konsep-
konsep, pertimbangan-pertimbangan dan penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya
yang beraneka ragam, dalam artian alternatif-alternatif. Menurutnya apa yang benar
adalah apa yang pada akhirnya disetujui atau diterima oleh semua orang yang
menyelidikinya
2. Pragmatisme dalam Pendidikan non formal
a. Pragmatisme dalam pendidikan
Dengan kesadaran bahwa nasib manusia berada di tangan sendiri, ini menjadi dasar
untuk melakukan “pilihan bebas mandiri” mengenai corak pendidikan macam apa yang
semestinya diberikan kepada anak. Pada situasi di mana orang tua tidak puas lagi dengan
kinerja pendidikan formal, hal itu akan mudah menumbuhkan berkembangnya
deschooling dalam pendidikan, termasuk berbagai pendidikan alternatif lainnya.
Beberapa pandangan filsafat pragmatisme tentang pendidikan :

a) Pengalaman sebagai Basis Pendidikan


Pengalaman adalah keseluruhan kegiatan dan hasil yang kompleks serta
bersegi banyak dari interaksi aktifmanusia, sebagai makhluk hidup yang sadar
dan bertumbuh, dengan lingkungan di sekitarnyayang terus berubah dalam
perjalanan sejarah (Sudarminta, 2004).
Menurut Dewey, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses
penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus. Inti pendidikan tidak
terletak dalam usaha menyesuaikan dengan standar kebaikan, kebenaran dan
keindahan yang abadi, melainkan dalam usaha untuk terus-menerusmenyusun
kembali (reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman hidup
subjekdidik. Seperti dirumuskan oleh John Dewey sendiri dalam bukunya,
bahwa perumusan teknistentang pendidikan, yakni “menyusun kembali dan menata
ulang pengalaman yang menambahkan arti pada pengalaman tersebut, dan yang
menambah kemampuan untuk mengarahkan jalan bagipengalaman berikutnya”.
Dengan kata lain, pendidikan haruslah memampukan subjek didik untuk menafsirkan
dan memaknai rangkaian pengalamannya sedemikian rupa, sehingga ia terus
bertumbuhdan diperkaya oleh pengalaman tersebut.
Misalnya, pengalaman di tingkat pendidikan dasar yang membuat subyek
didik mengalami proses pembelajaran melulu sebagai beban berat yang harus
ditanggung dan tidak ada kesenangan sedikitpun dalam belajar karena ia sendiri
mengalami dan mendapatkan sesuatu yang bernilai, jelas tidak bersifat mendidik,
karena pengalaman tersebut akan membuat kegiatan pembelajaran selanjutnya tidak
dijalankan dengan sepenuh hati. Demikian juga, pengalaman yang mematikan rasa
ingin tahu subyek didik, melemahkan inisiatifnya, dan banyak meredam keinginan
dan cita-citanya.
Tolak ukur kedua yang diberikan oleh Dewey untuk menilai apakah
pengalaman bersifat mendidik atau tidak adalah apakah pengalaman itu menjamin
terjadinya interaksi antara realitas subyektif/internal dalam diri subjek didik dan
realitas obyektif/eksternal yang menjadi kondisinyata bagi subyek didik untuk
hidup di tengah masyarakat dan zamannya. Pendidikan yang baikdan berbasiskan
pengalaman memang perlu memperhatikan minat, bakat, keinginan, rasa
ingintahu, inisiatif dan kebebasan individu subyek didiknya sebagai realitas
subyek/internal, tetapi tidak berarti lalu dapat mengabaikan tuntutan berdasarkan
kondisi obyektif/eksternal yang menurutpenilaian para pendidik sebagai orang dewasa
layak diberikan. Berdasarkan pengalaman masa laluyang terus diuji kembali dalam
pengalaman sekarang, pengaturan sekolah, penentuan metode,pemilihan bahan,
dan disiplin kerja yang mendukung pembelajaran subyek didik tetap dapat danperlu
dilakukan.
Dengan pemahaman seperti itu, menurut Dewey (Glassman, 2001) peran
pendidikan yang sangat penting adalah mengajar peserta didik tentang bagaimana
menjalin hubungan antara sejumlah pengalaman sehingga terjadi penyimpulan dan
pengujian pengetahuan baru. Pengalaman baru akanmenjadi pengetahuan baru
apabila seseorang selalu bertanya dalam hatinya. Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut merupakan pengetahuan baru yang tersimpan pada struktur kognitif
seseorang.
Semakin banyak pengalaman belajar yang dialami seseorang akan semakin
banyak pengetahuan yang dimilikinya.Pengalaman baru peserta didik diperoleh dari
sekolah, baik yang dirancang maupun tidak.Penentuan pengalaman yang diperoleh di
sekolah harus melihat ke depan, yaitu tuntutan masyarakatdi masa depan, karena
perubahan yang dilakukan saat ini akan diperoleh hasilnya di masa depan. Akumulasi
pengetahuan baru bagi peserta didik menentukan kemampuan peserta didik.
Kemampuan ini sering disebut dengan kompetensi, yaitu kemampuan yang dapat
dilakukan oleh peserta didik.Kompetensi ini sangat penting dalam era globalisasi,
karena persaingan yang terjadi terletak padakompetensi lulusan lembaga pendidikan
atau pelatihan. Kompetensi lulusan ini ditentukan oleh pengalaman belajar peserta
didik, sedang pengalaman belajar ini merupakan bagian dari kurikulum sekolah

b) Pandangan tentang peserta didiknya


Bagi pragmatisme, subyek didik bukanlah pribadi yang pasif. Ia adalah
manusia, makhlukhidup yang bertumbuh kembang dengan dan dalam interaksi secara
aktif dengan lingkungan hidupdi sekitarnya. Realitas bagi pragmatisme juga bukan
suatu yang mati dan tak berubah, melainkan suatu yang dinamis dan terus berubah.
Untuk itu, pendidikan mesti berpusat pada kondisi konkrit subyek didik dengan minat,
bakat, dan kemampuannya serta peka terhadap perubahan yang terusterjadi dalam
masyarakat. Pendidik haruslah senantiasa siap sedia untuk mengubah metode dan
kebijakan perencanaan pembelajarannya, seiring dengan perkembangan zaman
yang erat terkaitdengan kemajuan sains dan teknologi serta perubahan
lingkungan hidup tempat pembelajaran dilaksanakan.
Dari sudut pandang epistemologi kaum pragmatis, siswa adalah seseorang
yang mempunyai pengalaman (George R. Knight, 1982:66). Ia seorang individu
berpengalaman yang mampu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan
situasi-situasi problematik. Siswa belajar dari lingkungannya dan menjalani
berbagai konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Bagi kaumpragmatis,
pengalaman sekolah adalah bagian dari hidup lebih daripada persiapan untuk
hidup.Demikianlah, cara seseorang belajar di sekolah secara kualitatif tidak berbeda
dari cara dia belajardalam berbagai aspek lain kehidupannya. Sebagai siswa, setiap
hari ia menghadapi berbagai masalahyang menyebabkannya mengalami pengalaman
reflektif yang lengkap. Penggunaan yang dihasilkanoleh kecerdasannya menyebabkan
tumbuh dan pertumbuhan ini memampukan dia untuk berinteraksi dengan dan
beradaptasi terhadap dunia yang berubah. Ide yang berkembang menjadi alat
untuk hidup yang sukses.
c) Pandangan tentang peran guru
Guru menurut pragmatisme bukanlah guru dalam pengertian tradisionil.
Yakni, ia bukanseseorang yang tahu apa yang dibutuhkan siswa di masa depan dan
oleh karenanya mempunyai fungsi memberi/menanamkan seperangkat pengetahuan
esensial kepada siswa. Untuk satu hal, kaum pragmatis mengaku, tak seorangpun
tahu apa yang siswa butuhkan sejak ia hidup di dunia yang berubah secara terus-
menerus. Fakta ini sejalan dengan idea bahwa tak ada satu kebenaransecara apriori
atau mutlak yang mana semua siswa harus mengetahui memodifikasi peran guru.
Guru dalam sebuah sekolah yang pragmatik dapat dipandang sebagai anggota pelajar
dalam pengalaman pendidikan karena masuk kelas setiap hari menghadapi dunia yang
berubah. Namun,guru adalah anggota perjalanan yang lebih berpengalaman dan
oleh karena itu dapat dipandang sebagai pembimbing atau direktur proyek. Dia
adalah orang yang menasehati dan membimbing aktivitas-aktivitas siswa dan dia
menampilkan peran ini di dalam konteks dan dengan keuntungan pengalaman yang
lebih luas. Tetapi, yang penting untuk dicatat, dia tidak mendasarkan kegiatan-
kegiatan kelas pada kebutuhan perasaannya sendiri.

d) Pandangan tentang kurikulum


Pragmatisme berkeyakinan mengenai perlunya menempatkan siswa,
kebutuhan dan minatnya sebagai sesuatu yang sentral. Mata pelajaran, mereka claim,
seharusnya dipilih dengan mengacu pada kebutuhan siswa. Selain itu,kurikulum
seharusnya tidak dibagi ke dalam bidang mata Pelajaran yang bersifat membatasi dan
tak wajar. Kurikulum mestinya lebih dibangun di seputar unit-unityang wajar yang
timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang mendesak dan pengalaman-pengalaman
siswa. Unit-unit studi yang spesifik mungkin bervariasi dari kelas 4 dan berikutnya,
tapi idealnya adalah bahwa mata pelajaran sekolah yang tradisionil (seni, sejarah,
matematika, membaca, dan lain-lain) dapat disusun ke dalam teknik problem solving
yang berguna untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa untuk belajar materi-materi
tradisionil sebagaimana mereka bekerja pada problem-problem atau isu-isu yang telah
menarik mereka di dalam pengalaman sehari-hari.

e) Pandangan tentang metode Pendidikan


Menurut pragmatisme, metode pendidikan adalah upaya menanamkan suatu
disiplin, tetapibukan otoritas. Metode pengajaran dengan disiplin berarti seseorang
mengarahkan pelajaran dengandisiplin.
Cara yang dapat ditempuh adalah:
3. semua paksaan harus dibuang; guru harusmembangkitkan “impulse” anak didik,
sehingga timbul kekuatan internal untuk belajar mencapai“mastery” (ketuntasan).
4. Agar dapat muncul minat, guru harus intim dengan kecakapan danminat setiap
murid. Tidak ada minat universal, maka minat dan kemauan terhadap
pelajaranpunberbeda-beda,
5. Guru harus menciptakan situasi di kelas sehingga setiap orang turut
berpartisipasidalam proses belajar.
Metode pendidikan seharusnya berpusat pada memberi siswa banyak
kebebasan memilih dalam mencari-cari situasi-situasi belajar berpengalaman
yang akan menjadi paling bermakna baginya. Kelas (yang dipandang tidak
hanya sebagai setting sekolah, tetapi tempat Dimana pengalaman diperoleh)
dilihat di dalam hubungannya dengan sebuah laboratorium keilmuan dimana
gagasan diletakkan untuk diuji dan dikritisi. Studi lapangan, dalam catatan kaum
pragmatis, jelasmemberi keuntungan-keuntungan lebih, karena memberi kesempatan
berinteraksi langsung dengan lingkungan.
Sebagai contoh, seseorang belajar lebih tentang perusahaan susu dan sapi
dengan langsung ke gudang dan pemerahan, membau dan mendengar suara seekor
sapi dari pada dengan seminggu membaca dan memandang proses pada layar film.
Dengan demikian, metodologi pragmatisme adalah langsung dengan pengalaman
mereka.
Dengan kata lain, anak-anak, seharusnya secara bertahap berubah dari
belajar berdasarkan pengalaman langsung ke metode belajar yang seolah mengalami
sendiri/dialami orang lain. Metode ini seharusnya lebih bermakna karena
mereka membangun berdasarkan basispengetahuan yang ditemukan pada
pengalaman-pengalaman signifikan dalam hidup sehari-hari.
Dari segi kebijakan sosial sekolah, tujuan sekolah adalah bukan agar siswa
mengingat serangkaian pengetahuan, tetapi lebih agar mereka belajar bagaimana
belajar agar supaya mereka dapat menyesuaikan dengan dunia yang berubah
secara terus menerus pada masa sekarang dan yang akan datang.

f) Pandangannya mengenai demokrasi


Sudut pandang politis dari pragmatisme adalah sudut pandang demokrasi.
Pragmatismemelihat sekolah, secara ideal, sebagai sebuah kehidupan dan lingkungan
belajar yang demokratisdi mana setiap orang berpartisipasi dalam proses pembuatan
keputusan, sebagai latihan dan persiapanuntuk berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat yang lebih besar. Keputusan masyarakat dansekolah dalam kerangka
ini dinilai dalam sudut pandang konsekuensi-konsekuensi sosialnya, tidaksekedar
dengan parameter tradisi yang dikeramatkan. Perubahan sosial, ekonomi dan
politik dipandang baik jika hal itu memperbaiki kondisi masyarakat.
John Dewey mengatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang lebih
daripada suatu pengertian politik; demokrasi merupakan suatu kehidupan
bersama yang saling berkaitan dan saling mengkomunikasikan pengalaman.
Suatu masyarakat hanya akan ada karena suatu komunikasi, karena saling
membagi pengetahuan, dan itulah kriteria etis suatu masyarakat yang baik.
Jadi, demokrasi dan pendidikan dilihat sebagai semacam dua muka dari suatu
mata uang,demokrasi tidak dapat hidup tanpa pendidikan, dan sebaliknya pendidikan
yang baik tidak akanhidup dalam suatu masyarakat yang tidak demokratis.
Manusia perorangan hanya dapatterbentuk apabila dalam rangka kegunaan
sosialnya. Namun demikian, pemikiran John Dewey ini tidak memassalkan individu,
malahan menganggap bahwa setiap individu adalah unik, artinya yang tidak
pernah lebur di dalam massa

 Pragmatisme dalam Pendidikan non formal


Pragmatisme memiliki peran yang penting dalam konteks pendidikan non formal karena
memperkenalkan pendekatan yang berorientasi pada praktis, responsif terhadap kebutuhan
individu dan masyarakat, serta fleksibel dalam merancang program-program pendidikan.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa pragmatisme menjadi relevan dan diperlukan dalam
pendidikan non formal:

a) Orientasi pada Hasil Praktis: Pragmatisme menempatkan penekanan kuat pada


kegunaan dan hasil praktis. Dalam pendidikan non formal, di mana tujuan utama
seringkali adalah memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dapat langsung
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari atau dunia kerja, pendekatan ini membantu
memastikan bahwa program-program pendidikan menghasilkan manfaat yang nyata
bagi peserta.
b) Responsif terhadap Kebutuhan dan Perubahan: Pendidikan non formal cenderung
beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan terus berubah. Pragmatisme
memungkinkan adaptasi cepat terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan
teknologis, memastikan bahwa program-program pendidikan tetap relevan dan efektif.
c) Fokus pada Pengalaman dan Praktek: Filosofi pragmatisme menekankan pentingnya
pengalaman langsung dan praktek sebagai metode pembelajaran yang efektif. Dalam
konteks pendidikan non formal, di mana peserta sering mencari aplikabilitas langsung
dari pembelajaran, pendekatan ini dapat meningkatkan daya tarik dan efektivitas
program.
d) Keterlibatan Peserta secara Aktif: Pragmatisme mendorong partisipasi aktif peserta
dalam proses pembelajaran. Dalam pendidikan non formal, keterlibatan langsung
peserta dapat meningkatkan motivasi, pemahaman, dan penerapan materi
pembelajaran dalam situasi nyata.
e) Fleksibilitas dalam Perancangan Program: Pendekatan pragmatis memungkinkan
fleksibilitas dalam perancangan dan pelaksanaan program. Program pendidikan non
formal dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan umpan balik peserta,
sehingga memastikan bahwa mereka memenuhi tujuan dan ekspektasi yang ada.
f) Mendorong Pembelajaran Seumur Hidup: Pragmatisme mendukung ide pembelajaran
seumur hidup, yaitu konsep bahwa pembelajaran dapat terjadi sepanjang hayat dan
tidak terbatas pada lingkungan formal sekolah. Dalam pendidikan non formal, di
mana pembelajaran sering terjadi di luar konteks formal, pendekatan ini memberikan
landasan filosofis yang kuat.

Dengan mengadopsi pendekatan pragmatisme dalam pendidikan non formal, kita dapat
menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih relevan, responsif, dan sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan peserta. Hal ini akan membantu memastikan bahwa pendidikan non
formal benar-benar memberikan kontribusi signifikan dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan masyarakat secara luas.

C. Tanggapan
Beberapa pandangan filsafat pragmatisme tentang Pendidikan, yaitu pengalaman
sebagai Basis Pendidikan, Pandangan tentang peserta didiknya, Pandangan tentang peran
guru, Pandangan tentang kurikulum, Pandangan tentang metode Pendidikan, Pandangannya
mengenai demokrasi.
Pragmatisme memiliki peran yang penting dalam konteks pendidikan non formal karena
memperkenalkan pendekatan yang berorientasi pada praktis, responsif terhadap kebutuhan
individu dan masyarakat, serta fleksibel dalam merancang program-program pendidikan.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa pragmatisme menjadi relevan dan diperlukan dalam
pendidikan non formal: Orientasi pada Hasil Praktis, Responsif terhadap Kebutuhan dan
Perubahan, Fokus pada Pengalaman dan Praktek, Keterlibatan Peserta secara Aktif,
Fleksibilitas dalam Perancangan Program, dan Mendorong Pembelajaran Seumur Hidup.
Dengan mengadopsi pendekatan pragmatisme dalam pendidikan non formal, kita dapat
menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih relevan, responsif, dan sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan peserta. Hal ini akan membantu memastikan bahwa pendidikan non
formal benar-benar memberikan kontribusi signifikan dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan masyarakat secara luas.

D. Kesimpulan
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunanai, yaitu “Pragma” yang berkonotasi pada
makna tindakan, perbuatan. Pragmatisme merupakan salah satu aliran yang berpangkal pada
empirisme. Pragmatisme, sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, menekankan pada konsep
bahwa nilai dari suatu gagasan atau tindakan dapat diukur berdasarkan manfaat praktis yang
diperoleh darinya. Dalam konteks pendidikan non formal, pendekatan pragmatis menjadi
landasan filosofis yang relevan untuk memahami dan mengevaluasi efektivitas serta
kebermaknaan dari upaya pendidikan di luar ranah formal.
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu:

(1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia,
(2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi,
(3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat (George R. Knight, 1982).
Teori kebenaran merupakan alat yang kita gunakan untuk memecahkan masalah
dalam pengalaman kita. Suatu teori itu benar jika berfungsi. Kebenaran bukan suatu yang
statis melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Adapun untuk mencari kebenaran
adalah dengan menggunakan Metode intelegen merupakan cara ideal untuk memperoleh
pengetahuan, kita akan mengerti segala sesuatu dengan penempatan dan pemecahan masalah.
Dalam memecahkan masalah ini hendaknya melalui lima tahap menurut Dewey yang
dikemukankan oleh Uyoh Sadulloh yaitu Indeterminate situation, Diagnosis, Hypotesis,
Hypotesis testing, dan Evaluation.
E. Referensi
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai
Teofilosofi, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2008, h. 319
Cholid, N. (2018). Kontribusi Filsafat Pragmatisme Terhadap Pendidikan. Magistra: Media
Pengembangan Ilmu Pendidikan Dasar dan Keislaman, 4(1), 51-66.
Hanafi, FilsafatBarat, Jogjakarta, Mudah, -, h. 84

Junaidi, M. (2016). Pragmatisme. Dar el-Ilmi: jurnal studi keagamaan, pendidikan dan
humaniora, 3(1), 37-51.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (https://kbbi.web.id/pragmatisme )

Thaib, R. M. T. R. M. (2018). Pragmatisme: Konsep Utilitas Dalam


Pendidikan. Intelektualita, 4(1).

Wasitohadi, W. (2012). Pragmatisme, Humanisme Dan Implikasinya Bagi Dunia Pendidikan


Di Indonesia. Satya Widya, 28 (2), 175-190.

Anda mungkin juga menyukai