Anda di halaman 1dari 11

PEMIKIRAN PRAGMATISME DALAM FILSAFAT

PENDIDIKAN

MAKALAH

Disusun dalam rangka memenuhi


Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Pengampu:Prof. Dr. M. Sugeng Sholehuddin, M.Ag.

Oleh:

SHODIKUN
NIM. 50222046

PROGRAM STUDI
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2023

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pragmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang muncul di
Amerika pada akhir abad XIX M. Aliran filsafat ini sangat berpengaruh bagi
kehidupan intelektual Amerika. Bangsa Amerika umumnya menginginkan hasil
yang nyata yang mana sesuatu dianggap penting jika memiliki sisi
kebermanfaatan bagi manusia.
Pendidikan cenderung diidentikkan dengnan interaksi antar manusia,
yaitu antara pendidik dan peserta didik. Pendidikan mempunyai peran penting
dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan harta yang sangat berperan
dalam kemajuan dan kualitas suatu bangsa. Oleh karena itu,
pelaksanaan pendidikan yang baik dan berkualitas bisa dikatakan sebagai upaya
pembangunan sumber daya manusia yang lebih unggul.
Seiring berjalannya waktu, aliran filsafat pragmatisme mulai menjalar
pada dunia pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan upaya penyelarasan antara
penjajakan pikiran manusia dengan solusi bersama. Pendidikan
pragmatisme memandang bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
yang berguna bagi kehidupan individu. Oleh karenanya, pendidikan harus
dibuat secara terbuka dan seluwes mungkin sehingga tidak mengengkang
kebebasan serta kreatifitas peserta didik.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa
kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin
sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi
masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka
konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua

1
B. Rumusan Masalah
Dari hasil pemaparan di atas, penulis merumuskan masalahnya sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan pragmatisme?
2. Siapakah tokoh-tokoh filsafat pragmatisme?
3. Bagaimana penerapan filsafat pragmatisme dalam Pendidikan?

C. Tujuan
Sesui dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penulisan ini adalah:
1. Mengetahui apa yang dimaksud pragmatisme.
2. Mengetahui tokoh-tokoh filsafat pragmatisme.
3. Mengetahui penerapan filsafat pragmatisme dalam Pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima
segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-
pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran
dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Topan (2021:20) Menurut Charles S. Pierce, pragmatisme bukan hanya
ilmu teoritik atau ilmu yang berusaha untuk mencari kebenaran saja.
Pragmatisme lebih pada ilmu praktis dalam membantu memcahkan sekaligus
menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Menurut
William James, seorang psikolog sekaligus tokoh penting dalam aliran ini
mengungkapkan bahwa pengalaman nyata dalam kehidupan merupakan
kebenarannya yang sesungguhnya. Kebenaran yang dimaksud ialah kebenaran
yang yang tidak hanya menekankan atas dasar benar atau salah melainkan
apakah kebenaran tersebut memberikan petunjuk dalam manusia bertindak.
Kristiawan (2016:225) Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun,
sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat
bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pragmatisme adalah
aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau
hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran
obyektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis
dari pengetahuan kepada individu-individu. Dasar dari pragmatisme adalah
logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia
nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.

3
Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.Representasi
realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan
merupakan fakta-fakta umum.Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi
pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau
direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang
bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat
di dalam sejarah.
Fachruddin (2016:44) Teori ini berpandangan bahwa kebenaran diukur
dari kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan pengaruhnya
memuaskan (satisfactory consequences). Kebenaran mengacu pada sejauh
manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan manusia.
(Margolis 2006:4) Pragmatisme tumbuh subur pertama kali di Amerika
Serikat yang dirintis oleh tiga tokoh utama Charles Sanders Peirce, William
James dan John Dewey sejak abad ke-19. Mereka adalah bapak pendiri
pragmatisme yang pemikirannya dapat diidentifikasi sebagai pragmatisme
klasik dan menandai fase pertama perkembangan pragmatisme di Amerika.
Fase kedua pragmatisme berikutnya diisi dengan pemikiran seperti Hillary
Putnam dan salah satunya adalah Richard Rorty.

B. Tokoh-Tokoh Filsafat Pragmatisme


Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah Charles
Sanders Peirce, William James dan John Dewey.
Sofian dan Robbiyanto (2021:145) Selain tokoh-tokoh tersebut Ibnu
Khaldun adalah salah satu tokoh dari aliran ini. Perkiraan meskipun tidak
kurang komprehensifnya di banding kalangan rasionalis, di lihat dari sudut
pandang tujuan pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih
berorientasi pada aplikatif praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
berdasarkan tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansinya semata.

4
Ridla (2002:105) Dengan hal itu, ia membagi ragam ilmu yang perlu
dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian:
1. Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu syar’iyyat
(keagamaan): Tafsir, Hadist, Fiqih, Kalam; Ontologi dan Teologi ari cabang
Filsafat.
2. Ilmu-ilmu yang berniai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis
pertama, semisal kebahasa-araban, Ilmu hitung dan sejenisnya bagi ilmu
syar’i, Logika bagi filsafat dan bahkan menurut ulama’ Muta’khirin,
dimasukkan pula ilmu kalam dan ushul Fiqih.
Berangkat dari orientsi kepraktisan (‘amaliyah), Ibnu Khaldun
membolehkan pendalaman ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Ia membolehkan
berbincang lebih lanjut, berdiskusi dan berargumentasi secara analiitik-rasional
tentang ilmu-ilmu tersebut. Sebab, hal demikian meningkatkan intelektualitas
akademik seseorang. Adapun ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental,
semisal kebahasa-araban dan logika, maka Ibnu Khaldun tidak membolehkan
diskursus rasional tentang ilmu ini, kecuali bila diletakkan dalam kerangka
kegunaan bagi jenis ilmu yang bernilai instrinsik.

C. Penerapan Filsafat Pragmatisme Dalam Pendidikan


Topan (2021:23) Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan
yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat
tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak
pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua
masyarakat. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer,
dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai,
maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya,
demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan
yang ada adalah tujuan antara.

5
(Rusman dan Asrori (2020:165) Perjalanan pendidikan Islam di
Indonesia senantiasa dihadapkan pada berbagai persoalan yang multi kompleks,
mulai dari konseptual-teoritis sampai dengan operasional-praktis. Hal ini dapat
dilihat dari ketertinggalan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan
sebagai pendidikan “kelas dua”. Sesungguhnya sangat ironis, penduduk
Indonesia yang mayoritas muslim namun dalam hal pendidikan selalu tertinggal
dengan ummat yang lainnya.
Ma’arif (2007:1–2) Menurut Syamsul Ma’arif bahwa pendidikan Islam
saat ini, sungguh masih dalam kondisi yang sangat mengenaskan dan
memprihatinkan. Pendidikan Islam mengalami keterpurukan jauh tertinggal
dengan pendidikan Barat. Kalau boleh sedikit bernostalgia, pendidikan Islam
tidak bisa seperti pada zaman keemasan (Andalusia dan Baghdad) yang bisa
menjadi pusat peradaban Islam, baik bidang budaya, seni atau pendidikan. Yang
terjadi justru sebaliknya, pendidikan Islam sekarang mengekor dan berkiblat
pada Barat. Dengan supremacy knowledge yang dikuasai oleh negara-negara
maju, negara-negara muslim masih terus bergantung kepada dunia Barat dalam
hampir semua kehidupan: pertahanan dan persenjataan, komunikasi dan
informasi, ekonomi, perdagangan, pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Topan (2021:22) Satu hal yang harus digaris bawahi bahwa pragmatisme
merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik
bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya.
Pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya.
Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuensi
praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Kaum
pragmatis selalu mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi
yang tepat pula.

6
Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup
bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa
isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi
dengan tindakan yang konkrit. Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya
merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu
dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna,
yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, memungkinkan
manusia bertindak secara praktis.
Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada
pembuktian abstrak, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi
praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia
mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam
teori tersebut.
Priyanto (2017:185) Menurut Sadullah implementasi pendidikan
pragmatisme meliputi lima aspek. Kelima aspek tersebut ialah:
Sadulloh (2003:133) Implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme
terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup beberapa hal pokok yaitu:
1. Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk
penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
2. Kedudukan siswa.
Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu
organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk
tumbuh.
3. Kurikulum.
Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat
diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah
dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan
minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme
serta-merta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan
pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.

7
4. Metode.
Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode
aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja).
5. Peran guru.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan
kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa,
tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan
kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan
pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola
perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah
direncanakan.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Penjelasan dari makalah ini mungkin masih ada kekurangan materi
dan/atau kesalahan-kesalahan dalam mengetik maupun penulisan, penulis
meminta maaf sebesarbesarnya. Dan dimohon untuk pembaca harap
memberikan saran dan/atau kritiknya agar dapat menggugah penulis untuk lebih
giat lagi dalam menulis.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin, Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Pers.

Kristiawan, Muhammad. 2016. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Valia Pustaka.

Ma’arif, Syamsul. 2007. Revitalisasi Pendidikan Islam . Yogyakarta: Graha Ilmu.

Margolis, H. ,. &. McCabe, P. P. 2006. “Improving Self-Efficacy and Motivation: What to


Do, What to Say.” Intervention in School and Clinic 41(4):218–27.

Priyanto, Dwi. 2017. “Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis


Pendidikan.” 1(2):177–91.

Ridla, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Rusman, dan Asrori. 2020. Filsafat Pendidikan Islam “Sebuah Pendekatan Filsafat Islam
Klasik.” Malang: CV. Pustaka Learning Center.

Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.

Sofian, Aji, dan Robbiyanto. 2021. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Penerbit.

Topan, Mohamad. 2021. “Pragmatisme Dalam Pendidikan Di Indonesia: Kritik Dan


Relevansinya.” AL-IDRAK Jurnal Pendidikan Islam dan Budaya 1(1):16–26.

10

Anda mungkin juga menyukai