Anda di halaman 1dari 15

1

Re-Integrasi Konsep Hijau Pada Infrastruktur Jalan; Tatanan Mandala Sebagai


Pendekatan Desain Untuk Landmark Persimpangan Babalayar
(Re-integrating Green Concept to Grey Infrastructure; The Mandala Order as a Design
Approach for Babalayar Intersection Landmark)

Cipta Hadi1; Aldissain Jurizat2


1
Awanama Studio; 2Universitas Pendidikan Indonesia
1
Jl. Uray Bawadi Gg. Mardirahayu No. 43 D, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, 78116
2
Jl. Dr. Setiabudi No.207, Isola, Kec. Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat 40154
1
cipta@awanama.studio; 2aldissain@upi.edu

ABSTRACT
The landmark design in general for an intersection or roundabout in cities needs to be rethought in
terms of spatial, health, and environmental impacts on human dan nature. This paper is a full review
(background, process, and design result) of an idea of a landmark design competition entry for
Babalayar Intersection, Sidoarjo. This idea tries to give an alternative way to design based on local
wisdom to impact humans and nature positively. The landmark design is based on the Mandala which
originated from Hinduism or Buddhism and later became the principle of city planning in the Majapahit
era (ancient kingdom era in Indonesia). In city planning, Mandala means dedicated its center to nature
and represents the supernatural connection or interaction. Therefore, instead of designing a monument-
like massive vertical structure, this landmark design proposes a void space dedicated to nature, creating
a space for life. Thus, this design can be an alternative way to design a landmark in an intersection in
cities that positively impacts symbolic value, spatial experience, and air, green, and blue system.

Keywords: landmark, mandala, nature, human, space


ABSTRAK
Desain sebuah landmark/monumen pada umumnya untuk sebuah perempatan atau bundaran di kota-
kota layak untuk dipikirkan kembali jika bicara akan dampaknya pada manusia secara pengalaman
ruang dan kesehatan dan lingkungan sekitarnya bahkan alam. Tulisan ini merupakan tinjauan
ide/gagasan dari latar belakang, proses, hingga hasil desain dari sebuah kompetisi desain arsitektur
nasional untuk landmark di perempatan jalan di kota Sidoarjo, Indonesia. Gagasan ini mencoba
memberikan alternatif untuk sebuah desain yang berasal dari nilai lokal yang lebih berdampak untuk
manusia dan alam. Desain landmark ini berbasis pola Mandala yang merupakan sebuah aturan/tata yang
berasal dari kepercayaan Hindu dan Budha yang juga menjadi dasar perencaan kota di era Majapahit.
Dalam tata kota, pola Mandala berarti mendedikasikan pusatnya kepada alam dan merepresentasikan
hubungan dan interaksi terhadap kekuatan supranatural atau ketuhanan. Maka, desain pada landmark
di persimpangan jalan ini bukan sebuah struktur vertikal seperti monumen pada umumnya, melainkan
mendesain ruang kosong yang didedikasikan untuk alam (pohon, air, udara, tanah, dan hewan, serta
manusia) sehingga menciptakan ruang untuk beragam kehidupan. Dengan begitu, desain ini dapat
menjadi ide alternatif untuk sebuah perancangan landmark di persimpangan jalan di kota-kota yang
memiliki dampak positif dari segi aspek simbolis, ruang, udara, penghijauan, dan sistem air.

Kata kunci: landmark, mandala, alam, manusia, ruang

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
2

1 PENDAHULUAN
Monumen atau tugu merupakan salah satu tipologi bentuk untuk sebuah landmark kota
(Lynch, 1960). Monumen/tugu ini kerap ditemukan pada sebuah persimpangan maupun bundaran di
kota-kota di Indonesia. Tugu-tugu tersebut secara umum memiliki citra bentuk yang serupa, yakni
sebuah struktur tunggal vertikal yang monumental dan memiliki makna simbolis tertentu berdasarkan
karakter kota maupun daerahnya. Biasanya tugu-tugu tersebut tinggi menjulang dan memiliki bentuk
secara harfiah maupun metafor dari simbol/ikon daerahnya. Tipikal desain monumen seperti itu masih
menjadi image utama bagi kebanyakan masyarakat untuk sebuah landmark di sebuah persimpangan
atau bundaran.

Gambar 1 Kumpulan Desain Monumen/Tugu di berbagai Bundaran di Indonesia


Sumber: berbagai sumber dari internet (www.google.com)

Dari aspek lalu lintas, bentuk tugu dan bundaran juga memiliki beberapa isu dan masalah.
Dalam laporan kajiannya, GDCI1 (2016) menyatakan terdapat beberapa permasalahan dari bentuk
bundaran pada persimpangan jalan. Sebuah bundaran menciptakan sebuah persimpangan yang tidak
bertanda dengan lansekap yang begitu luas namun tidak dapat diakses bagi pejalan kaki. Bundaran yang
begitu besar/luas meniadakan manfaat sebuah persimpangan yang kompak, seperti pengelolaan
kecepatan kendaraan dan pengurangan konflik di jalan. Bentuk bundaran cenderung mengakibatkan
alokasi ruang jalan yang tidak seimbang bagi antar moda (pribadi, umum, sepeda, dan pejalan kaki).
Pada akhirnya pejalan kaki yang paling dirugikan, jalur penyeberangan tidak konsisten dan
meningkatkan jarak tempuh berjalan bagi pedestrian (Global Designing Cities Initiative, 2016, #).
Sebagai tambahan, satu riset mengenai efektivitas sistem lalu lintas pada bundaran berkesimpulan
bahwa alur sirkulasi tanpa memutar akan lebih sedikit terjadinya konflik lalu lintas (Evitmalasari,
Sasmito, & Rokhim, 2020) (Sulistya, Pidjianto, Pudjianto, & I., 2014). Beberapa isu dan masalah
tersebut menunjukkan sistem bundaran pada persimpangan perlu dipikirkan kembali, terlebih ketika
bicara untuk siapa saja sebenarnya ruang jalan itu dirancang, siapa yang lebih utama dan tidak, dan
sebagainya.
Poin kritik lainnya ialah jika ditinjau dari aspek isu lingkungan seperti perubahan iklim, urban
heat island (UHI), degradasi lingkungan, dan lain-lain. Tipikal desain tugu tersebut cenderung
menggunakan material yang keras seperti beton, besi, atau tembaga, dangan fungsi yang minim dari
segi ekologisnya. Adapun jika terdapat elemen air, tak sedikit yang berwujud sebuah kolam dengan
berbagai atraksi airnya, seperti air mancur yang mana bukan merupakan fungsi ekologis. Desain tipikal
tersebut yang kami rasa juga memiliki kekurangan dalam hal penciptaan pengalaman ruang bagi
manusia yang berada di sekitarnya. Alhasil, landmark barupa tugu tersebut hanya memiliki fungsi
visual bagi penikmatnya. Terlebih lagi, desain tersebut cenderung akan mengonsumsi energi yang
cukup tinggi untuk, misalnya, sebuah atraksi air mancur ataupun atraksi pencahayaan pada malam hari
1
a program of NACTO (National Association of City Transportation Officials). In 2022, GDCI became an
independent project of Rockefeller Philanthropy Advisors, a non-profit organization and international thought
leader specializing in the support of high-impact global projects and strategic philanthropic initiatives.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
3

nya yang minim dampak bagi manusia dan lingkungannya. Menurut kami, hal tersebut secara etis
kurang tepat dan bijak di tengah kondisi krisis lingkungan ini.

Gambar 2 sketsa ilustrasi permasalahan pengalaman ruang pada desain monumen/tugu bundaran
Sumber: dokumen pribadi (2022)

Pada tahun 2022 kemarin, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengadakan sebuah sayembara
arsitektur nasional untuk merancang sebuah landmark di salah satu persimpangan di Kabupaten
Sidoarjo, dikenal dengan nama perempatan Babalayar. Sayembara ini bertajuk SAYEMBARA
LANDMARK IKONIK “SIDOARJO GEMILANG“ TUGU BABALAYAR. Dari judul tersebut dapat
terlihat bahwa landmark kerap diasosiasikan langsung dengan “tugu”. Di dalam KAK sayembara
tersebut bahkan letak, bentuk dan maksimal ukuran podium, serta maksimal ukuran tugu sudah
ditentukan. Peserta begitu dibatasi dengan ketentuan tersebut yang didasari oleh pandangan masyarakat
mengenai sebuah landmark yang terbatas hanya berupa tugu. Namun, seiring perkembangan zaman,
khususnya perkembangan keilmuan di bidang arsitektur, apakah desain tipikal tugu untuk sebuah
landmark seperti itu sudah tepat dan masih relevan di era sekarang? Adakah cara lain untuk mendesain
sebuah landmark di persimpangan jalan yang lebih relevan di era dimana banyak terjadinya berbagai
tantangan zaman, salah satunya kerusakan lingkungan? Dilatarbelakangi isu-isu di atas, tulisan ini
menjadi sebuah tinjauan sebuah ide perancangan landmark untuk sebuah persimpangan dengan cara
yang berbeda, yakni dengan mengintegrasikan alam. Ide perancangan landmark ini mencoba
menanggapi isu kerusakan lingkungan yang terjadi di planet kita ini.
2 METODE DESAIN
Metode dalam pengembangan ide desain dimulai dari pengamatan langsung dan tidak
langsung terhadap isu dan fenomena mendesain sebuah landmark yang berbentuk tugu dan studi
literatur. Studi literatur digunakan untuk memahami kembali makna dari landmark dari teori yang
disampaikan oleh Lynch (1960) pertama kali dan mengkaji teori mengenai pengalaman ruang.
Selanjutnya, hasil pengamatan yang telah didapatkan kemudian dicocokkan dengan apa yang telah
dipelajari melalui studi literatur tersebut. Setelah itu, mempelajari dan mengembangkan konsep
Mandala untuk dijadikan sebuah pendekatan desain sebagai alternatif solusi untuk merancang sebuah
landmark dalam merespon isu-isu yang telah diamati. Terakhir, mendemonstrasikan pendekatan desain
tersebut ke dalam sebuah desain/rancangan landmark.
3 KAJIAN TEORI

3.1 Tugu sebagai Landmark dan Kajian Spasialitas

Landmark diperkenalkan oleh Kevin Lynch sebagai salah satu citra yang biasanya dimiliki
oleh kota agar masyarakat di dalamnya dapat berorientasi dengan baik. Tugu yang ada di kota-kota
biasanya menjadi landmark kota tersebut karena memiliki bentuk yang menjulang tinggi di tengah-
tengah area yang luas. Secara ciri dan karakteristik, desain dan bentuk tugu seperti ini sesuai dengan
karakter landmark yang dibahas oleh Kevin Lynch dalam bukunya “The Image of the City”. Namun,
dalam buku itu pula Lynch tidak hanya menyebutkan hanya desain dan bentuk seperti itu yang bisa
menjadi landmark sebuah kota. Landmark dapat sangat bervariasi secara skala, besar atau kecil, dan
global atau lokal. Salah satu ciri fisik utama bagi landmark ialah memiliki bentuk atau citra yang jelas
dengan memiliki citra yang kontras terhadap konteks sekitarnya (Lynch, 1960). Jadi, desain landmark
dengan bentuk sebuah struktur tunggal vertikal yang menjulang dibanding sekitarnya bukanlah satu-

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
4

satunya cara dalam mendesain sebuah landmark kota, jika kita mengacu pada karakter fisik utama pada
sebuah landmark yang dikatakan oleh Lynch.
Selain dari segi tipologi landmark, monumen dengan bentuk wujud tunggal yang vertikal dan
menjulang juga memiliki kelemahan dalam aspek pengalaman ruang yang dibentuknya. Jika mengacu
pada pendapat Rasmussen, arsitektur bukan hanya objek yang dinikmati dengan visual saja namun perlu
dialami sebagai ruang (Rasmussen, 1964). Setiap bidang dan bentuk memiliki dampak tertentu pada
ruang yang tercipta. Bidang vertikal dapat menciptakan kesan ruang di bawah maupun di atasnya,
sedangkan bidang horisontal dapat menciptakan kesan ruang disekitarnya, begitu pula ketika bidang-
bidang tersebut dikombinasikan. Secara bentuk, wujud monumen yang berupa struktur tunggal vertikal
memiliki dampak ruang dari karakter/sifat sebuah kolom yang hanya menjadi titik fokus tertentu
maupun arah sumbu pada sebuah alur sirkulasi (Ching, 2014). Pengalaman ruang yang dibentuk dari
struktur tunggal tersebut masih cenderung lemah dibanding ruang imajiner yang dibentuk oleh bidang-
bidang horizontal maupun vertikal yang memiliki luas dan yang cukup lebar, seperti dinding (pembatas)
maupun atap (naungan) atau lantai.
Rahimi dkk. telah menyajikan sebuah riset yang begitu komprehensif mengenai bagaimana
memperkuat sebuah pengelaman ruang dalam arsitektur. Dalam tulisan mereka, pengalaman ruang
didefinisikan sebagai sebuah pengalaman yang berhubungan dengan ruang yang melibatkan manusia
di dalam sebuah aktivitas tertentu di sebuah konteks tertentu pula. Dari definisi tersebut ditarik sebuah
kesimpulan bahwa terdapat tiga komponen esensial untuk sebuah penciptaan pengalaman ruang yang
baik, yakni, manusia, aktivitas, dan konteks (Rahimi, Levy, Boyd, & Dadkhahfard, 2018). Adapun
turunan dari komponen esensial ini yang disebut dimensi dalam pengalaman ruang ialah, durasi, pemicu
(triggers), kelebaran (breadth), signifikansi, interaksi, dan intensitas. Kemudian dari masing-masing
dimensi tersebut terdapat ukuran dan indikator (lihat gambar 3) yang perlu dipenuhi sebuah
pembentukan pengalaman ruang. Jadi menurut mereka, komponen esensial ini yang perlu menjadi
pertimbangan utama dalam sebuah arsitektur untuk menciptakan pengalaman ruang yang kuat.

Gambar 3 komponen dan elemen penting dari sebuah pengalaman ruang


Sumber: (Rahimi, Levy, Boyd, & Dadkhahfard, 2018)

3.2 Jalan; Ruang untuk Manusia dan Alam

Kota modern telah membuat jalan hanya berorientasi pada kendaraan saja, meninggalkan
budaya kota tradisional yang mengedepankan manusia sebagai pejalan kaki. Hal ini terjadi sejak era
industri berkembang di Barat dan berkembangnya industri kendaraan bermotor pribadi. Ini yang
menjadi kritik Trancik dalam bukunya “Finding Lost Space” bahwa banyak terjadi fenomena ruang-
ruang mati akibat pembangunan jalan tol/bebas hambatan untuk kendaraan (Trancik, 1986). Seperti
yang dikatakan oleh Fred Kent2, yaitu, "If you plan cities for cars and traffic, you get cars and traffic.
If you plan for people and places, you get people and places". Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya, sebuah desain bundaran merupakan produk ruang yang tidak begitu mempertimbangkan
aspek manusia sebagai pejalan kaki yang juga menggunakan ruang tersebut (Global Designing Cities

2
founder and former president of Project for Public Spaces (a cross-disciplinary non-profit that shares
a passion for public spaces)

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
5

Initiative, 2016). Terdapat pula sebuah riset yang menjadi bukti nyata dari pernyataan Kent tersebut
melalui sebuah analisis pembagian ruang jalan dari potret persimpangan jalan. Dalam gambar tersebut
yang berjudul “The Arrogance of Space - Paris” bisa terlihat bahwa betapa luasnya area bagi kendaraan
dibanding dengan area untuk manusia maupun penghijauan (Nello-Deakin, 2019). Potret analisis
tersebut menjadi bukti perencanaan dan perancangan jalan yang berorientasi pada kendaraan. Namun,
memang masih menjadi sebuah pertanyaan bagaimana sebuah distribusi ruang jalan yang adil itu, baik
bagi kendaraan, umum dan pribadi, dengan manusia dan mungkin sepeda.
Tidak hanya menampung kendaraan, tapi juga berbagai aktivitas manusia, jalan merupakan
ruang publik utama bagi sebuah kota, jika jalannya menarik makan kotanya juga menarik, begitu pula
sebaliknya (Jacobs, 1961, #). Pendapat serupa dikatakan oleh Jan Gehl, dalam bukunya “Life Between
Buildings” bahwa jalan sebagai ruang luar publik di kota menjadi tempat berbagai macam aktivitas
masyarakatnya, dari aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hingga aktivitas sosial (Gehl, 2011, #).
Sebuah kota yang masyarakatnya bahagia ditandai dengan banyaknya aktivitas manusia diluar ruangan,
karena ruang luar yang begitu nyaman dan aman untuk bisa beraktivitas (Montgomery, 2013). Dari
ketiga theorist rancang kota ini dapat disimpulkan bahwa jalan sebagai ruang publik menjadi aspek
yang sangat vital bagi kota, khususnya masyarakatnya. Ruang jalan bukan hanya untuk kendaraan saja,
tetapi juga manusia yang bahkan harusnya menjadi prioritas utamanya.

Gambar 4 analisis foto "The Arrogance of Space" oleh Copenhagenize


Sumber: (Nello-Deakin, 2019)

Alam juga merupakan unsur penting yang harus hadir di ruang jalan. Sebagaimana pendapat
Gehl, kondisi lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya aktivitas tersebut, semakin baik kondisi
lingkungannya semakin tinggi pula keinginan orang untuk beraktivitas di dalamnya (Gehl, 2011). Alam
menjadi elemen penting dalam membentuk kondisi yang nyaman tersebut. Menurut Whyte dalam
bukunya, terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi sebuah lingkungan/ruang luar untuk dapat
menjadi tempat yang nyaman bagi aktivitas manusia, yang tak lain elemen tersebut adalah unsur alam,
yakni matahari, angin, pohon, dan air (Whyte, 1980),. Dalam penelitiannya di New York, US, elemen
matahari menjadi unsur penting bagi aktivitas warga di ruang luar dalam hal mendapatkan kehangatan
dari sinar matahari tersebut. Jika disesuaikan dengan konteks di Indonesia, sebagai negara tropis dengan
dua musim, bisa jadi dalam hal ini area yang ternaungi dan terhindar dari matahari langsung lah yang
menjadi ruang yang nyaman untuk beraktivitas. Di sisi lain, pohon juga menjadi elemen penting dalam
menciptakan ruang yang berkesan tertutup dan terlindungi, termasuk memberi naungan.
Sejak saat itu, telah banyak ditemukan banyak manfaat yang bisa didapat dari elemen hijau
pada sebuah ruang luar, yakni manfaat bagi kota dan manusianya dari aspek kesehatan dan
kesejahteraan manusia (human well-being) (Briz, Köhler, & Felipe, 2019). Elemen hijau tersebut dapat
disebut juga dengan infrastruktur hijau, dimana pohon adalah salah satu komponennya. Infrastruktur
hijau ini dapat berfungsi untuk menguatkan ketahanan bagi lingkungan urban/kota dan bentuk respon
terhadap ancaman ekologis dari perubahan iklim (Briz, Köhler, & Felipe, 2019). Kean Yeang

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
6

mendefinisikan infrastruktur hijau sebagai infrastruktur paralel dengan infrastruktur abu/kota (jalan,
sistem drainase kota, dan utilitas). Infrastruktur hijau ini merupakan sebuah jaringan antara area alami
dan area terbuka lainnya yang mengkonservasi fungsi-fungsi dan nilai-nilai ekosistem kehidupan.
Infrastruktur hijau ini dapat menjaga kebersihan udara dan air, menjaga dan menyejahterakan habitat
alami, dan intinya bermanfaat bagi manusia dan alam secara luas (Yeang, 2009).
Infrastruktur hijau ini yang kemudia akan menuju sebuah desain yang ekologis, atau disebut
juga eco-design. Eco-design dapat disebut sebuah upaya restorasi sebuah ekosistem yang telah rusak
dalam sebuah kawasan dan mengembalikannya ke dalam sebuah ekosistem yang lebih luas (Yeang,
STRATEGIES FOR GREEN DESIGN, 2009). Sebuah eco-design perlu untuk meningkatkan sebuah
keterhubungan ekologis antara sistem buatan yang terjadi pada sebuah desain dengan sistem alami yang
sudah ada sebelumnya. Yeang lebih rinci menyebutkan beberapa prinsip sebuah eco-design, antara lain,
1) kesadaran akan sebuah lingkung bangun memiliki komponen abiotik dan biotik yang akan hidup di
dalamnya secara harmonis, 2) minimalisasi kebutuhan manusia sebagai pengguna akan ruangnya, dan
mendedikasikannya untuk alam sebagai bentuk minimalisasi dampak buruk ekologis, dan 3) integrasi
sistem buatan dengan sistem alam (Yeang, 1995). Ketiga prinsip ini menjadi dasar penting dalam
merancang sebuah infrastruktur hijau dan mengintegrasikannya pada infrastruktur abu/kota.

3.3 Mandala sebagai Pendekatan Desain

Menurut bahasa sansekerta, sederhananya Mandala berarti lingkaran. Kamus sansekerta


mendefinisikan beberapa makna dibalik sebuah kata Mandala. Disitu menyebutkan bahwa Mandala
bersinonim dengan kata "Chakravala" yang bermakna cakram atau piringan. Manifestasi dari mandala
tersebut ialah sebuah geometri kompleks yang berpusat di tengah dan menyebar ke segala penjuru. Titik
pusat di dalam geometri lingkaran tersebut disebut “Bindu” yang merupakan simbol alam semesta dan
representasi dari realitas yang tertinggi (Shakya, 2000, #). Namun pola dasar Mandala tidak hanya
bersifat horisontal namun juga vertikal yang memiliki beberapa tahap dengan kualitas kosmik semakin
ke atas semakin tinggi nilainya (Jazuli, 2005, #).

Gambar 5 Filosofi pola Mandala 2 dimensional (kiri) Filosofi pola Mandala 3 dimensional (kiri-tengah)
Implementasi pola mandala 2 dimensional pada bangunan candi Borobudur (kanan-tengah) Implementasi pola
Mandala pada penataan Kota Trowulan (kanan)
Sumber: dokumen pribadi (2022); (Jazuli, 2005); dan www.google.com

Mandala merupakan dasar penting kehidupan bagi masyarakat Hindu dan Buddha. Mandala
digunakan ke dalam banyak aspek kehidupan, seperti seni, yoga, arsitektur dan bangunan (Khan &
Varadarajan, 2016, #), hingga sosial dan politik (Manggala, 2013, #). Candi-candi dan tempat ibadah
lainnya bagi kaum Hindu dan Buddha, secara penataan ruang merupakan perwujudan lingkaran dan
geometri Mandala, dimana titik tengah merupakan zona yang menyimbolkan hubungan dan interaksi
manusia dan Tuhannya. Selain itu, Mandala juga menjadi pengaruh penting pada penataan kota kuno
di era Majapahit, di Indonesia, yaitu situs Trowulan (Widodo, 2022). Berdasarkan makna dan simbol
yang sama dari tatanan Mandala, titik pusat kota Trowulan yang berada di sekitar tengah kota dibuat
dengan void/kekosongan berupa taman kosong yang luas. Diyakini dalam perencanaan kota Trowulan
tersebut bahwa sebuah kekosongan tersebut yang kemudian diisi oleh alam merupakan hal yang paling
tepat merepresentasikan nilai kosmologis dari Ketuhanan atau kekuatan supranatural.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
7

4 HASIL PEMBAHASAN

4.1 Analisis site

Lokasi site perancangan berada pada kawasan yang dikenal perempatan Babalayar, di
Kabupaten Sidoarjo. Perempatan tersebut tidak jauh dari kawasan alun-alun Kabupaten Sidoarjo, hanya
berjarak tidak lebih dari satu kilometer. Di alun-alun tersebut sudah terdapat dua monumen/tugu yang
cukup dikenal masyarakat disana, yakni monumen Jayandaru dan monumen Sidoarjo. Dengan kondisi
demikian, lokasi yang tidak begitu jauh dan sudah hadirnya dua monumen yang sangat dikenal
masyarakat, tentunya perancangan landmark pada lokasi ini perlu meresponnya dengan cermat
sehingga menghasilkan desain yang lebih tepat.
Di sekitar perempatan tersebut merupakan kawasan perdagangan/komersial. Terdapat
beberapa kios kecil dan pusat perbelanjaan (mall) pada salah satu pojok perempatan tersebut. Kawasan
ini berpotensi akan pengunjung yang ramai dengan beragam aktivitasnya. Sehingga, alih-alih hanya
sebagai kawasan landmark, terlebih orientasinya lebih kepada pengendara, kawasan ini berpotensi
menjadi sebuah nodes/simpul bagi berbagai aktivitas masyarakatnya, yang mana berarti
memprioritaskan manusia dan pejalan kaki sebagai subjek perancangan. Dengan kata lain, dari arahan
sayembara yang membatasi peserta untuk merancang sebuah tipikal bentuk monumen/tugu pada
umumnya, yang hendak memperlakukan landmark hanya sebagai objek visual semata, hasil dari
analisis lokasi menunjukkan orientasi perancangan yang lebih menuju kepada ruang bagi manusianya
berikut dengan pengalaman ruang dan karakteristik sebuah landmark.

Gambar 6 analisis lokasi dari segi konteks urban


Sumber: dokumen pribadi (2022)

Selain itu, jika dilihat secara makro, Sidoarjo dikenal sebagai kota delta. Dimana, yang
dimaksud dengan delta ialah daratan yang berasal dari tanah endapan berbentuk segitiga di muara
sungai. Sidoarjo merupakan delta dari pecahan 2 sungai dari sungai Brantas, yaitu sungai Mas dan
sungai Porong. Delta termasuk lahan basah (wetlands). Seperti lahan basah lainnya, secara ekologis,
delta merupakan ekosistem yang penting dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa
(National Geographic Society, 2022). Delta juga merupakan area resapan air yang baik sehingga dapat
mengurangi dampak polusi dari hulu sungai.
Kota Sidoarjo juga dikenal sebagai kota candi, hingga disebut wisata seribu candi di Sidoarjo
(Fadlillah, 2016). Sidoarjo memiliki banyak situs candi peninggalan era Kerajaan Majapahit. Bahkan,
situs Trowulan yang merupakan ibu kota Kerajaan Majapahit dahulu berada di sekitar Sidoarjo pula,
tepatnya di Kabupaten Mojokerto. Candi-candi tersebut memiliki keseragaman dari segi material, yakni
bata merah. Sehingga, candi dapat menjadi sebuah nilai lokalitas dari segi arsitektural bagi sebuah
desain di Sidoarjo. Aspek lokal candi tersebut dapat diadaptasi dari suatu nilai yang tangible, seperti
geometri-geometri yang muncul di sebuah candi, material, dan lain-lain, maupun intangible, seperti
filosofi nilai kehidupan atau nilai lainnya.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
8

Gambar 7 analisis permasalahan dan sirkulasi jalan


Sumber: dokumen pribadi dari maps.google.com (2022)

4.2 Pendekatan Desain Pola Mandala sebagai Penerapan Landmark Horisontal dan Prinsip
Desain Ekologis

Pola Mandala telah menjadi prinsip di berbagai aspek kehidupan di era dahulu oleh msyarakat
Hindu dan Buddha. Secara makro, Mandala juga menjadi prinsip dalam merencanakan kota. Kali ini,
kami mencoba menerapkan pola Mandala ini pada komponen kecil di sebuah kota, yakni persimpangan
jalan. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya di pendahuluan, bahwa sebuah landmark di
persimpangan cenderung diasosiasikan dengan sebuah tipikal desain tugu yang vertikal. Dengan pola
Mandala, tipikal desain landmark tersebut dicoba untuk dibongkar yang juga berdasarkan teori Lynch
bahwa landmark tidak selalu sesuatu yang tinggi atau besar. Struktur tunggal vertikal yang sebelumnya
ada pada desain sebuah tugu persimpangan dihilangkan dan digantikan dengan sebuah platform yang
bersifat horisontal. Kemudian, platform horisontal ini akan didesain dengan citra yang khas agar dapat
membentuk sebuah karakter landmark yang kontras dengan sekitar. Selanjutnya, ditambahkan unsur
vertikal yakni elemen alam berupa pohon-pohon dan tanaman sebagai manifestasi nilai kehidupan yang
merepresentasikan ”Bindu” dari sebuah pola Mandala.

Gambar 8 penerapan pola mandala pada desain landmark


Sumber: dokumen pribadi (2022)

Pohon-pohon dan tanaman yang menjadi manifestasi pola Mandala tersebut dirancang dengan
menggunakan prinsip desain ekologis/infrastruktur hijau (Yeang, 1995). Dengan pola mandala, taman
tidak boleh hanya menjadi elemen simbolis dari pola Mandala, karena Mandala memiliki makna
interaksi manusia dengan Tuhannya yang bisa diperoleh dengan bentuk menghormati alam dan berbagai
proses kehidupan yang ada didalamnya. Sehingga, taman juga akan dirancang untuk menjalankan
fungsi ekologis dari sebuah ruang hijau, yakni menjaga dan mendorong kehidupan di ekosistem baru,
membersihkan udara, dan sebagai area resapan/retensi air.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
9

4.3 Analisis Ruang Jalan dan Transformasi Bentuk

Analisis ini dilakukan berdasarkan pendapat para ahli yang telah dibahas sebelumnya, dimana
ketika ruang kota yang akan terus terbentuk adalah hasil dari perilaku masyarakatnya dalam
menggunakan ruang kota dan untuk siapa ruang kota itu dibangun (Kent) (Montgomery, 2013). Selain
itu, juga analisis mengenai arogansi kendaraan pada sebuah ruang jalan oleh Nello-Deakin, dkk. Pada
analisis ruang jalan ini dilakukan dengan mencoba melihat ruang efektif sebenarnya yang digunakan
oleh kendaraan. Ruang efektif kendaraan itu dihitung dari lebar lajur dan diteruskan hingga setelah
belokan jalan berikutnya. Dari ruang efektif jalan tersebut akan menyisakan ruang yang sebenarnya
tidak efektif terpakai oleh kendaraan dan cenderung kosong, bahkan ruang tersebut merupakan potensi
terjadinya kesemrawutan jalan saat ramai. Ruang tersebutlah (yang ditandai dengan warna hijau) yang
kemudian akan menjadi area yang didesain sebagai landmark horisontal dan taman.
Terdapat 3 area yang menjadi ruang hijau. Area yang terbesar menjadi taman yang utama,
yang kedua menjadi area taman kedua, dan yang terkecil hanya menjadi island sebagai pembatas jalan.
Selain menjadi taman, ruang ini secara tidak langsung akan juga mengontrol laju kendaraan dan
kerapihan lajur-lajur kendaraan agar tidak melebar dan mengakibatkan kesemrawutan (lihat gambar 8
– kiri). Kemudian, dari ketiga taman tersebut ditarik ke atas (pull up) sehingga membentuk massa
setinggi satu meter untuk menjadi sebuah platform sesuai dengan poin adaptasi pola Mandala yang telah
disampaikan sebelumnya. Selanjutnya, bagian tengah platform tersebut dibuat cekung kedalam hingga
satu meter ke bawah dari level jalan raya dan tetap mempertahankan platform di perimeter/batas area
taman sebagai pembatas ruang. Taman cekung tersebut dimaksudkan agar taman dapat menjadi area
retensi air/resapan air. Selain itu, sebagai respon kondisi eksisting yang sebelumnya terdapat pos polisi
sementara, dibuat juga sebuah shelter multifungsi yang menyambung dengan platform keliling untuk
membentuk sebuah point of interest (POI) (lihat gambar 8 – kanan).

Gambar 9 analisis ruang jalan (kiri) dan transformasi bentuk (kanan)


Sumber: dokumen pribadi (2022)

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
10

4.4 Hasil Rancangan

Desain ini diberi judul Prapatan Mandala, yang berasal dari kata ”prapatan” yakni bahasa
jawa dari kata perempatan dan ”Mandala” dari nilai dasar yang diadaptasi untuk desain landmark ini.
Desain yang dihasilkan dari adaptasi nilai Mandala serta analisis site ialah sebuah bentuk taman tengah
dengan platform yang mengelilinginya di antara perempatan jalan. Taman tersebut terdiri dari dua area
taman yang terpotong oleh jalur dari barat ke timur (Jl. Pahlawan ke Jl. Thamrin) yang cekung sedalam
hingga lebih dari satu meter. Di dalam taman tersebut dirancang dengan berbagai pohon dan tanaman
yang memiliki fungsi dan tujuan tertentu terhadap ekosistem yang akan dibentuknya. Platform keliling
taman tersebut memiliki tinggi 1 meter dari jalan raya dan cekungan taman sedalam 1 meter pula dari
level jalan raya. Pada salah satu island taman tersebut terdapat sebuah shelter multifungsi yang bisa
juga menjadi point of interest (POI) dari sebuah landmark horisontal ini. Shelter tersebut sebagai bentuk
respon terhadap pos polisi eksisting yang ada sebelumnya, jadi pada desain kali ini aktivitas yang
biasanya dilakukan pada pos polisi sementara tersebut dapat tetap dilakukan dengan tetap menyatu pada
desain tanpa harus menambah struktur baru.
Sebagai bentuk respon nilai lokalitas Sidoarjo yang dikenal dengan kota candi, platform taman
didesain menggunakan material bata merah dan bentuk shelter multifungsi diadaptasi dari geometri
yang ada di bagian pintu depan Candi Dermo. Penggunaan material bata juga guna membentuk sebuah
citra area yang kontras dengan lingkungan sekitarnya agar memperkuat karakter sebuah landmark.
Selain platform taman, trotoar di sekitar perempatan itu juga didesain menggunakan bata merah agar
menyatu dengan taman di tengahnya. Dengan begitu, pengguna jalan yang berada di trotoar memiliki
perasaan di ruang yang sama dengan taman di tengahnya walaupun terpotong oleh jalan dan lalu lintas
kendaraan. Pengalaman ruang ini juga diperkuat oleh vegetasi yang dirancang untuk menaungi dan
memberi kehidupan disana, karena alam merupakan contoh place-making terbaik yang pernah ada
(Fujimoto, 2008). Sehingga, dengan desain demikian trotoar dan taman menjadi sebuah ruang yang
menjadi satu kesatuan dan membuat sebuah ruang imajiner yang luas serta pengalaman ruang yang
utuh.

Gambar 10 view udara desain Prapatan Mandala


Sumber: dokumen pribadi (2022)

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
11

Gambar 11 view dari Jl. Diponegoro (kiri), di dalam taman (kanan)


Sumber: dokumen pribadi (2022)

Kedua taman cekung tersebut tidak hanya menjadi ruang publik atau penghijauan visual
semata, tetapi juga memiliki fungsi ekologis sebagaimana menerapkan prinsip desain ekologis menurut
Ken Yeang. Kedua taman yang dirancang juga terintegrasi dengan sistem alami yakni memberi sebuah
ekosistem bagi berbagai kehidupan. Pembentukan ekosistem tersebut dirancang melalui pemilihan jenis
pohon dan tanaman serta komponen abiotik lainnya seperti tanah, batu/kerikil, dan air. Misalnya, pohon
yang dipilih ialah jenis pohon yang memiliki buah-buahan atau biji-bijian sebagai pengundang jenis
burung atau hwan pemakan buah dan biji. Selain pohon dan tanaman yang menjadi sumber makanan,
direncanakan pula pohon untuk tempat berhuni dan bermain bagi burung atau hewan-hewan lain. Begitu
pula tanaman yang mengundang serangga sekaligus mengundang hewan dan burung pemakan serangga.
Tanaman pula akan menjadi penyerap karbon (CO2) dan polusi udara yang dihasilkan dari ramainya
kendaraan.
Cekungan taman dibuat agar level taman bisa menjadi area retensi air hujan. Taman dengan
dibuat cekung seperti ini lebih memiliki fungsi ekologis dibanding taman/island pada umumnya yang
malah memiliki level lebih tinggi dari jalan, sehingga air tidak bisa mengalir ke resapan/taman dan
akhirnya disalurkan ke saluran air kota yang sebenernya tidak responsif terhadap perilaku air. Selain
itu, pada level tertentu disediakan pula saluran air yang menerus ke saluran kota agar air yang
tertampung di cekungan taman tidak berlebihan menggenang area taman. Pada area taman utama juga
memiliki kolam yang permanen sebagai tempat hidup bagi biota air sekaligus mengundang hewan
lainnya yang juga memiliki interaksi dalam hal rantai makanan atau lainnya.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
12

Gambar 12 gambar potongan; sistem hijau (atas) dan biru (bawah)


Sumber: dokumen pribadi (2022)

Pertimbangan akan ekosistem baru yang dibentuk juga dilakukan dalam merancang sistem
pencahayaan buatan ketika malam hari. Pencahayaan yang dibuat perlu mempertimbangkan kehidupan
hewan0hewan yang akan terganggu olehnya. Sehingga pencahayaan dibuat sedemikian rupa agar tidak
menyorot area-area penting yang akan mengganggu kehidupan hewan-hewan nokturnal. Pencahayaan
malam dibuat pada sisi luar elemen platform untuk meyinari bagian perimeter platform yang
membentuk sinar menerus yang memperkuat desain sebagai landmark. Cahaya tersebut dibuat pendek
dan tidak akan menyorot langsung ke pohon-pohon. Selain itu, area taman dalam menggunakan
pencahayaan di bagian bawah yang menyinari sebatas lantai dan area langkah-langkah manusia ketika
di dalamnya (lihat gambar 13).

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
13

Gambar 13 penampakan saat malam dan konsep pencahayaan buatan


Sumber: dokumen pribadi (2022)
5 KESIMPULAN

5.1 Manfaat Desain Prapatan Mandala

Prapatan Mandala merupakan sebuah desain dengan pendekatan baru untuk sebuah landmark
di persimpangan jalan di kota. Jika sebuah desain landmark dengan tipikal tugu pada umumnya hanya
memiliki fungsi visual dan nilai simbolis, Prapatan Mandala, dengan desain landmark yang bersifat
horisontal menawarkan sebuah desain landmark dengan manfaat di berbagai aspek. Berbasis tatanan
Mandala dengan alam sebagai elemen place-making utamanya, Prapatan Mandala memiliki nilai dan
manfaat pada aspek simbolis, pengalaman ruang, kualitas udara, sistem penghijauan, dan sistem air.

Gambar 14 aspek-aspek manfaat desain


Sumber: dokumen pribadi (2022)

Secara simbolis, Prapatan Mandala memiliki nilai filosofis bentuk dan ruang yang berasal dari
konsep Mandala, dimana Mandala merupakan nilai kearifan lokal nusantara sejak era Majapahit dan
diterapkan pula sebagai dasar perencanaan kota Trowulan. Alam secara keseluruhan yang dibentuk dari
kumpulan vegetasi, pepohonan, tanaman, dan komponen abiotik seperti tanah, batu, dan air, menjadi
manifestasi dari filosofis vertikalitas sebuah konsep Mandala. Alam ini lah yang menjadi substitusi dari
sebuah struktur tunggal vertikal yang biasanya pada tipikal tugu itu merupakan metafora dari bentuk
sebuah ikon atau nilai-nilai di daerahnya.
Secara pengalaman ruang, Prapatan Mandala memiliki kualitas pengalaman ruang yang lebih
baik dibanding desain landmark dengan tipikal tugu pada umumnya. Ditinjau dari teori Ching dan
Rahimi dkk., Prapatan Mandala menciptakan pengalaman ruang tersebut dari ruang horisontal yang
dibentuk dari kesinambungan material trotoar dan taman serta dari tajuk pohon-pohon yang membentuk
naungan di sekitarnya. Berdasarkan prinsip yang telah dikemukakan Rahimi dkk. pula, desain Prapatan
Mandala telah memenuhi prinsip-prinsip dalam penguatan sebuah pengalaman ruang. Prapatan
Mandala menyediakan ruang sekaligus mendorong aktivitas bagi manusia/pengguna dan menciptakan
ruang yang nyaman pula. Material bata juga telah memperkuat prinsip makna dan identitas ruang.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
14

Dengan menciptakan ekosistem baru dan unsur kehidupan lainnya seperti hewan dan tumbuhan,
Prapatan Mandala meningkatkan elemen interaksi dalam pembentukan pengalaman ruangnya.
Secara kualitas udara, taman di tengah tidak hanya membentuk pengalaman ruang bagi
manusia, tapi juga membuat kualitas udara di sekitarnya menjadi lebih bersih. Di tengah-tengah
ramainya kendaraan yang memproduksi karbon (CO2), taman tersebut menjadi oase bagi orang di
sekitarnya dengan menyerap karbon tersebut dan menghasilkan oksigen (O2). Secara sistem
penghijauan, dengan ditentukannya jenis tanaman dan pohon yang akan ditanam, taman tersebut
diharapkan dapat menciptakan sebuah ekosistem kehidupan baru. Hewan-hewan yang sebelummya
tidak hadir disana menjadi hadir kembali dan hidup harmonis dengan lingkungannya. Terakhir, secara
sistem air, taman dengan bentuk cekung ini dapat menjadi area retensi air hujan yang sekaligus bisa
menjadi ruang hidup bagi biota air, seperti ikan kecil dan hewan lainnya.

5.2 Multiplikasi Desain dengan Pendekatan Tatanan Mandala

Sebagai pendekatan desain, tatanan mandala dapat diterapkan pada desain landmark
persimpangan di kota-kota lain agar dapat menghijaukan kembali kota. Bayangkan bila banyak
infrastruktur abu/kota kita dapat kita integrasikan dengan konsep hijau. Banyak manfaat ekologis bagi
manusia dan alam yang dapat dirasakan sesuai dengan apa yang telah disampaikan dalam kesimpulan
desain ini. Pada dasarnya nilai tatanan Mandala sendiri merupakan nilai yang digali dari kearifan lokal
yang ada di kota-kota tradisional di Indonesia. Tentunya, di kota-kota lain dapat pula menyesuaikan
nilai lokal yang ada yang berkaitan dengan bagaimana penghormatan terhadap alam itu dilakukan oleh
masyarakatnya yang termanifestasi pada ruangnya. Yang terpenting ialah bagaimana mengadaptasi
nilai tersebut untuk bisa mengintegrasikan alam pada sebuah desain infrastruktur kota dalam merespon
isu ekologis yang sedang kita hadapi bersama.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367
15

References
Briz, J., Köhler, M., & Felipe, I. (2019). Multifunctional Urban Green Infrastructure. Madrid: Editorial
Agrícola Española S.A.
Ching, F. K. (2014). Architecture: Form, Space, & Order (4 ed.). Wiley.
Evitmalasari, M., Sasmito, A., & Rokhim, A. (2020). Evaluasi Rekayasa Lalu Lintas Simpang Empat
Bundaran Bersinyal Tugu Wisnu Surakarta. Jurnal Keselamatan Transportasi Jalan, 7(2), 105-
117. doi:10.46447/ktj.v7i2.286
Fadlillah, M. C. (2016, May 5). Tribunners. Retrieved from Tribunnews:
https://www.tribunnews.com/tribunners/2016/05/05/serunya-wisata-seribu-candi-sidoarjo
Fujimoto, S. (2008). Primitive Future. Inax.
Gehl, J. (2011). Life Between Buildings: Using Public Space. (J. Koch, Trans.) Island Press.
Global Designing Cities Initiative. (2016). Global Street Design Guide (1 ed.). Island Press.
Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities (1 ed.). Random House.
Jazuli, M. (2005, Desember). Mandala Pendidikan Seni. HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN
PEMIKIRAN SENI, 6(3).
Khan, J. A., & Varadarajan, D. (2016). APPLICATION OF BINDU AND MANDALA AS A MODEL
FOR CULTURAL AND SACRED ARCHITECTURE. JOURNAL OF ARCHITECTURE,
PLANNING & CONSTRUCTION MANAGEMENT, 6(1), 1-11.
Lynch, K. (1960). The Image of the City (1 ed.). The MIT Press.
Manggala, P. U. (2013). The Mandala Culture of Anarchy: The Pre-Colonial Southeast Asian
International Society. Journal of ASEAN Studies, 1(1), 1-13.
Montgomery, C. (2013). Happy City: Transforming Our Lives Through Urban Design. Farrar, Straus
and Giroux.
National Geographic Society. (2022, September 9). Delta. Retrieved February 22, 2023, from National
Geographic Society: https://education.nationalgeographic.org/resource/delta/
Nello-Deakin, S. (2019, April 25). Is there such a thing as a ‘fair’ distribution of road space? Journal
of Urban Design, 24(5), 698-714. Retrieved from
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13574809.2019.1592664
Rahimi, F. B., Levy, R. M., Boyd, J. E., & Dadkhahfard, S. (2018, September 5). Human behaviour and
cognition of spatial experience; a model for enhancing the quality of spatial experiences in the
built environment. International Journal of Industrial Ergonomics, 68(6), 245-255. Retrieved
from https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0169814118300295
Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture, Second Edition. (E. M. Wendt, Trans.) MIT Press.
Shakya, M. (2000, June). Basic Concepts of Mandala. Voice of History, XV(1), 81-88.
Sulistya, P. W., Pidjianto, B., Pudjianto, B., & I., A. K. (2014). EVALUASI KINERJA SIMPANG
BUNDARAN SOEDARTO DAN USULAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA. JURNAL
KARYA TEKNIK SIPIL, 3(1), 312-322.
Trancik, R. (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design. Wiley.
Whyte, W. H. (1980). The Social Life of Small Urban Spaces. New York: Project for Public Spaces.
Widodo, J. (2022, February 9). Pro Talks Series #2 - Paradigma Kota dan Arsitektur di Masa Depan:
Arsitektur sebagai Artefak Peradaban dalam Perspektif Istana Negara. Retrieved from Youtube:
https://www.youtube.com/watch?v=CFX3eqXGO-g
Yeang, K. (1995). Designing with nature: the ecological basis for architectural design. McGraw-Hill.
Yeang, K. (2009). STRATEGIES FOR GREEN DESIGN. International Conference on Sustainable
Building Asia, (pp. 46-51). Seoul.

TERAKREDITASI : 36/E/KPT/2019 Tesa Arsitektur Volume 19 | Nomor 2 | 2021


ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367

Anda mungkin juga menyukai