net/publication/344789956
CITATIONS READS
0 1,163
2 authors, including:
Ni Ketut Agusintadewi
Udayana University
52 PUBLICATIONS 45 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ni Ketut Agusintadewi on 21 October 2020.
KONSEP ECOCITY:
MEMBANGUN JEMBATAN HARAPAN DAN KENYATAAN 1
Abstrak
Masalah utama perkotaan saat ini adalah degradsi lingkungan akibat pertumbuhan kota. Adanya opini
publik “HERE TODAY, GONE TOMORROW” mengharuskan para stakeholders berpartisipasi aktif
dalam perencanaan kota masa depan. Ecocity merupakan usaha untuk membangun kota secara holistik
melalui pendekatan ekologi untuk meningkatkan kualitas hidup penghuninya pada saat ini dan
memastikan bahwa generasi selanjutnya dapat memiliki kondisi kualitas hidup minimal serupa dengan
generasi sebelumnya. Tulisan ini hanyalah sebuah wacana yang menawarkan paradigma kekotaan dalam
konteks berkelanjutan sebagai bentuk kesadaran kita terhadap keterbatasan kemampuan alam sebagai
sistem penyangga kehidupan.
Kata kunci: ecocity, arsitektur berkelanjutan, daya dukung lingkungan, degradasi lingkungan
PRAWACANA
Masih segar dalam
Kota Denpasar masa depan?
ingatan kita ketika
beberapa tahun
yang lalu Kota
Jakarta teren-dam
air. Tengok-lah,
betapa dahsyat-nya
banjir ter-sebut.
Kali itu limpahan
air dalam sekejap
mampu meluluh-
lantahkan kota.
Mereka yang
sebelumnya bebas
dari banjir, kini
ikut terendam. Jalan Gatot Subroto, Jakarta 30 Januari 2002
(sumber: Kompas 10 Pebruari 2002)
Mengapa? Di sam-
ping alam Jakarta yang kurang bersa-habat, status Jakarta sebagai ibukota negara
menjadi magnet bagi siapa saja yang ingin mengadu nasib. Akibatnya pertambahan
penduduk menjadi tidak terkendali. Kontan saja pertambahan penduduk memicu
perubahan penggunaan lahan. Kebutuhan akan perumahan, fasilitas perekonomian, dan
fasilitas umum menggeser ruang terbuka kota. Akibatnya, salah satu fungsi ruang
1
Tulisan ini diperbarui dari tulisan yang berjudul “Arsitektur Berkelanjutan, Suatu Keharusan”, oleh
Ni Ketut Agusinta Dewi (2002), tidak diterbitkan.
terbuka sebagai resapan air mulai meluntur. Air hujan tidak lagi terserap ke dalam
tanah. Sebenarnya kondisi buruk ini kian diperparah oleh kebijakan penataan kota.
Ketidakkonsistenan pemerintah daerah memang terlihat di sana-sini, terutama di dalam
penentuan perijinan alih fungsi lahan dari lahan terbuka menjadi lahan tertutup atau
terbangun. 2
Bagaimanakah dengan ibukota kita di Pulau Bali ini? Akankah Kota Denpasar seperti
itu? Denpasar yang semakin berkembang pesat, terutama dampak dari industri
pariwisata di kawasan sekitarnya, telah berada dalam kondisi lampu kuning. Degradasi
lingkungan terjadi, tekanan masalah yang memerlukan tindakan nyata, lebih dari
sekedar pemikiran, semakin banyak bermunculan. Lalu, timbul pertanyaan. Apakah
hanya dengan berdalih demi pariwisata kita lukai lingkungan kita dengan tangan-
tangan kotor kita? Dapatkah kita menjaga Kota Denpasar yang notabene bagian dari
Pulau Leluhur kita ini dengan kesungguhan dan keikhlasan hati? Sudah cukup
cerdaskah kita memperlakukan kota ini agar kita tidak mengulangi kesalahan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Jakarta? Sudah pantaskah kita mewariskan ini
kepada penerus kita? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terus menghantui anak cucu
kita nanti jika sedari sekarang kita tidak menyadari untuk berusaha mencari jawabnya.
Barangkali ada baiknya, sesekali kita perlu menutup mulut kita, dan membiarkan
pikiran yang jernih dan kearifan hati berbicara. Semua jawaban itu ada di sana.
Tulisan ini hanyalah sebuah wacana yang menawarkan paradigma kekotaan dalam
konteks berkelanjutan sebagai bentuk kesadaran kita terhadap keterbatasan kemampuan
alam sebagai sistem penyangga kehidupan. Bahwasanya, segala sesuatu yang kita miliki
dan kelola saat ini hanyalah titipan dan pinjaman, bukanlah milik kita sepenuhnya.
Demikian juga dengan lingkungan kita.
2
Anung Wendyartaka (2002), “Jakarta Tenggelam” dalam Harian Umum Kompas Minggu 10 Pebruari
2002, hal. 32
3
Ni Ketut Agusinta Dewi (2002), “Pemberdayaan Arsitek: Pendidikan dan Lingkungan dalam Tautan
Perkembangan Ilmu Arsitektur” dalam Majalah Maestro Edisi Agustus 2002, Denpasar: FT Unud, hal.
29
Kondisi ini diamini oleh pendapat Richard Levins, seorang biolog dan pakar dalam teori
evolusi dan ekologi dari Universitas Harvard, yang mengatakan bahwa sains modern
sebenarnya telah mengecewakan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Menurut Levins, pencapaian sains memang sangat mengesankan, akan tetapi belum
menghasilkan saling pengertian di antara umat manusia dan penerapannya seringkali
justru sangat merugikan. Menurutnya pula bahwa tujuan sains yang senantiasa ingin
membuat kehidupan manusia agar lebih baik, namun ternyata intervensinya telah
mencapai tahap memasuki proses-proses yang rumit, sehingga justru menimbulkan
persoalan yang lebih buruk dan keluar dari tujuan semula. Selain itu, Levins
menyinggung tentang dampak negatif perkembangan disiplin ilmu di luar bidang
biologi, bahwasanya hasil-hasil perencanaan kota dan arsitektur modern telah gagal
menciptakan kota-kota yang menyenangkan untuk dihuni, terlebih dengan kehadiran
rancangan industri yang semakin menambah tekanan, keresahan, kerja berlebihan, dan
penggangguran. 4
Karya arsitektur (hasil penggubahan ruang dan bentuk) adalah produk kolektif. Wujud
yang mengubah bagian bumi menjadi lingkungan buatan manusia (built environment),
yang sejak awalnya bertujuan membuat kehidupan lebih baik. Dalam lingkungan hidup
manusia (human ecology), ada dua faktor yang erat kaitannya dengan arsitektur, yaitu:
(1) kebudayaan teknologis (technological culture), berupa perkembangan kebudayaan
dalam arti peralatan teknik dalam kehidupan dan (2) penggunaan sumber daya alam.
Kegagalan untuk mengaitkan arsitektur dengan pertimbangan penggunaan sumber daya
yang rasional sudah dimulai sejak jaman klasik, dengan arsitektur monumentalnya,
yang selalu diasosiasikan dengan perilaku semena-mena para orang kaya terhadap
sumber daya. 5 Timbul pertanyaan, apakah saat inipun para pemberi tugas, yang
sebagian besar orang kaya, masih juga berlaku semena-mena untuk pemenuhan
kebutuhan dan keuntungannya (secara sepihak dan besar-besaran) tanpa memperhatikan
daya dukung sumber daya alam yang masih tersisa? 6
Dalam hubungan yang saling mempengaruhi dalam konsep ekologi, setiap membangun
(act of building) akan mengubah lingkungan. Akibatnya semua bangunan (arsitektur)
akan mempunyai dampak pada sistem ekologi bumi dalam bentuk sebagai berikut: (1)
Bangunan mengambil sebagian ruang (spatially displaces) dari sebuah ekosistem
dengan wujud fisiknya. Pada akhirnya komposisi enerji dan materi bangunan akan
mengubah komposisi materi dan enerji ekosistemnya; (2) setelah masa pembangunan
selesai, pemakai lingkungan buatan (bangunan) ini akan memacu kegiatan manusia
lainnya dan pembangunan bangunan lainnya, yang akan mendatangkan dampak
lingkungan yang terus timbul (konsep The Second Cybernetics); (3) bangunan menguras
sumber daya bumi yang tidak terbarui dengan cara mengkonsumsi sumber daya enerji
dan materi dalam jumlah besar untuk perwujudannya, pengoperasiannya, dan
4
Kompas Online (1996), Sains Modern Lukai Umat Manusia, tersedia pada http://www.kompas.com/,
dikunjungi pada 8 Pebruari 2000
5
Brenda dan Robert Vale (1996), Green Architecture: Design for A Sustainable Future, London:
Thames and Hudson, hal. 7
6
Bayu Rachmad Wiseso (2000), “Menuju Desain yang Sadar Lingkungan dengan Konsep Sustainable
Architecture: Sebuah Pendekatan Ekologi”, dalam Jurnal Kilas Edisi Januari 2000, Jakarta: Jurusan
Arsitektur FT UI.
pembuangannya. Dan (4) bangunan menghasilkan luaran dalam jumlah besar, termasuk
enerji yang terbuang (panas) dan materi (zat polutan) selama perwujudannya,
pengoperasiannya, dan pembuangannya. Luaran ini akan merusak lingkungan dan
sumber daya. 7
Untuk itu, ada baiknya kita perlu juga melakukan pendekatan historis dari masa lalu
tentang nilai filosofis, sehingga dapat dilihat tingkat kompleksitas dan tumpang tindih
keadaan saat ini. 8 Pengaruh manusia, khususnya kepribadiannya, pada bangunan
primitif (vernakular) tidak sebanyak seperti yang ditemukan pada kebudayaan saat ini,
dan pengaruh seperti ini, bila ada, tidak individual, tapi secara berkelompok dan hanya
sebatas itu saja. Bangunan seperti ini mempunyai kecenderungan untuk membuat
keseimbangan dengan alam dan bukan mendominasinya (hubungan simbiosis). 9
Pengaruh manusia primitif terhadap lingkungannya sangat minimal, khususnya secara
individual. Bagi manusia primitif, para petani, hubungan manusia dengan alam, yaitu
dengan lingkungan adalah dekat, tidak ada perbedaan jelas antara manusia dengan alam.
Pandangan utama mereka adalah harmonisasi dengan alam, bukan konflik dan
penguasaan alam: konsep manusia/bukan manusia dalam masyarakat primitif di atas
segalanya adalah satu kesatuan (one of mutuality).
Namun kini, manusia seakan-akan bukan lagi bagian dari lingkungan, melainkan
merupakan penentunya. Keangkuhan tersebut tertuang dalam tindakannya yang
menguras sumber daya alam tanpa merasa wajib memelihara kembali. Salah satunya,
tercermin dari rancangan kota kita yang acapkali sewenang-wenang dan semau-maunya
memperlakukan habitat tempat kediaman dan lingkungannya. Tentu akan ada yang
menggugat, mengapa masalah ini masih saja dipersoalkan.
Makna konsep kata sustainability yang paling mendasar dan banyak disepakati adalah
yang pertama kali dirumuskan oleh Gro Harlem Brundlant pada tahun 1986. Dalam
bukunya “Our Common Future”, Brundlant mendefinisikan sustainability sebagai
“meeting the needs of the of the present generations without comprimising the ability of
future generations to meet their own needs”. Ada dua hal yang penting dalam konsep
7
Ken Yeang (1995), Designing With Nature: The Ecological Basis for Architectural Design, New
York; McGraw Hill, hal. 4
8
Amos Rapoport (1969), House Form and Culture, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Inc., hal. 11
9
Lihat Rapoport (1969) hal. 74. “Di sini manusia dan alam ada dalam taraf keseimbangan dan manusia
mengganggap dirinya bertanggung jawab kepada Tuhan, terhadap alam dan bumi, manusia sebagai
penjaga dan pemelihara alam”
ini yaitu: needs (kebutuhan) dan future generations (generasi mendatang). 10 Lalu, kata
tersebut diadopsi ke dalam wacana sustainable architecture (diterjemahkan menjadi
arsitektur berkelanjutan), dan akan lebih tepat dianggap sebagai suatu reaksi dari
kesadaran dan bukan sebuah petunjuk untuk bertahan hidup. Istilah ini menggambarkan
gerakan kesadaran akan enerji dan ekologi sebagai pendekatan untuk desain lingkungan
buatan, yaitu arsitektur. Istilah ini juga menjadi titik tolak untuk terciptanya kesadaran
yang tinggi akan lingkungan buatan dan kelangsungan hidup lingkungan alami dengan
memahami posisi manusia sebagai penjaga lingkungan hidup (steward).
10
Andrew Blowers (ed.) (1995), Planning for a Sustainable Environment, London: Earthscan
Publication Ltd., hal. x.
11
Wanita Subadra Abioso (1999), Kriteria Rancangan Arsitektur dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan, Tesis Riset, Bandung: Program Magister Arsitektur ITB, hal.5
12
Eko Budihardjo dalam Bayu Rachmad Wiseso (2000), “Menuju Desain yang Sadar Lingkungan
dengan Konsep Sustainable Architecture: Sebuah Pendekatan Ekologi”, Jurnal Kilas Edisi Januari
2000, Jakarta: Jurusan Arsitektur FT UI
Senada dengan hal ini, memunculkan aliran kedua: sustainable development (atau
pembangunan berkelanjutan), merupakan tindakan antisipatif atau usaha atas
penanggulangan kondisi-kondisi tersebut di atas yang saat ini telah menjadi
permasalahan internasional yang sangat mendesak dengan dua lontaran masalah utama
yang memerlukan kesungguhan pemikiran dan tindakan guna pemecahan lebih lanjut:
pertama, berlangsungnya proses-proses perluasan dan peningkatan kemiskinan; dan
kedua, berlangsungnya proses-proses penurunan kualitas lingkungan alam, yang terjadi
secara terus-menerus dengan sangat dramatis. 13
Apakah rancangan arsitektur lingkungan binaan kita sudah dapat memenuhi harapan
dalam konteks berkelanjutan tadi? Karena saat ini, siapa pun yang berhubungan dengan
pembangunan berkelanjutan akan dihadapkan pada dilema, bahwa di dalam masyarakat
yang tidak mengu-
City of Trees: Sendai City, Jepang
tamakan keberlang-
sungan dan kesehatan
sosial serta ekologi
untuk jangka panjang
akan dihadapkan pada
keputusan- keputusan
ekonomis, yang sebe-
narnya diharapkan
dapat membentuk
sustainability, namun justru akan kalah bersaing dengan keputusan-keputusan demi
keuntungan-ke-untungan jangka pendek. Dan sebagai anggota negara-negara di dunia
yang turut bertanggung jawab atas pembangunan berkelanjutan, baik sebagai bagian
dari jaringan ekosistem dunia maupun sebagai negara individu dengan segala aspek
kehidupan bernegaranya yang khas, kita perlu mendudukkan posisi pada kedua
permasalahan besar di atas untuk mulai turut berkiprah dalam menyelesaikan
permasalahan pembangunan, khususnya melalui bidang arsitektur. Dunia arsitektur
hendaknya lebih memperhatikan sistem kepranataan yang semakin mengokohkan
peranannya dalam pembangunan. Mengingat bahwa intensitas keterlibatan dan
tanggung jawab arsitek dalam permasalahan pembangunan berkelanjutan merupakan hal
yang mendesak.
13
Wanita Subadra Abioso, Op. Cit., hal. 2
Kota bukanlah suatu kesatuan yang statis, tetapi mengalami dinamika yang dipengaruhi
oleh faktor perubahan teknologi, ekonomi dan politik, permintaan dan penawaran.
Perdagangan dan pelayanan publik telah menyebabkan kota mengalami penambahan
fungsi, belum lagi perputaran finansial dan kebutuhan sumberdaya, termasuk
sumberdaya manusia. Pertambahan populasi penduduk membutuhkan pertambahan
enerji yang lebih banyak, selain juga peningkatan jumlah zat polutan/luaran.
Dalam konteks pertumbuhan kota akibat dari perkembangan teknologi dan pertumbuhan
penduduk, ecocity memiliki tujuan untuk mengatenuasi ecological footprints kota
dengan perencanaan yang peka
terhadap kebutuhan fisik kota dan
peka terhadap patrun
pembangunan sosial ekonomi
melalui efisiensi dan penekanan
konsumsi sumberdaya, dan
masyarakat merupakan pemain
yang paling penting dalam
pengambilan kebijakan. Dengan
kata lain, titik perhatian dari
semua perencanaan ini ada pada
faktor fisik (desain
kota/lingkungan), faktor sosial
Diagram 1. Siklus keseimbangan masukan-luaran
(sumber: www.ecocity/conceptsofecocity.htm, download 15 (kebijakan bidang lingkungan dan
Agustus 2005) pelaksanaannya), serta faktor
ekonomi (kebijakan bidang
ekonomi dan keberlanjutannya) terhadap keberlanjutan sumberdaya lingkungan. Konsep
ecocity menekankan pada strategi dan tindakan nyata, unit-unit kota yang berada pada
siklus masukan-luaran yang seimbang. 15
Hampir serupa dengan ini, Tom Turner dalam City as Landscape, menyebutkan ada
lima elemen konsep ecocity yang membuat kota menjadi berkelanjutan: 1) perencanaan
tata guna lahan; 2) perencanaan jaringan air; 3) perencanaan ruang terbuka hijau kota;
4) perencanaan jaringan transportasi; dan 5) ecobuilding. Dengan konsep ini,
diharapkan dapat menurunkan pasokan enerji dan material, dan juga dapat menurunkan
14
Ecocity Online (2005), Concepts of Ecocity, tersedia pada http://www.ecocity/conceptsofecocity.htm,
dikunjungi pada 15 Agustus 2005
15
Keseimbangan siklus ini sangat relatif di setiap belahan dunia, bergantung pada peningkatan kualitas
kehidupan secara swadaya. Di India, perencanaan Kota Auroville yang berdekatan dengan
Pondicherry telah sukses menerapkan konsep ini atas usaha Aurobindo, suatu komunitas spritual.
Mereka tidak menyebutnya dengan konsep ecocity, melainkan konsep ecovillage. Namun, dapatkah
konsep ecovillage disamakan dengan konsep ecocity? Bukankah keduanya memiliki konsep yang
sama?
MODERN CITY
INPUT OUTPUT
Energy Waste
Waste Polution
Material Water
Diagram 2. Diagram enerji kota modern (atas) dan diagram enerji ecocity (bawah)
(sumber: Kusumowidagdo, 2000, hal. 167)
16
Tom Turner (1995), “City as Landscape: A Postmodern View of Design and Planning” dalam
makalah Astrid Kusumowidagdo (2000), Ecocity Concept as Solution to Increase Environment
Quality in Surabaya, Prosiding Seminar Internasional Sustainable Environment Architecture 23-24
Oktober 2000, Surabaya: FTSP ITS, hal. 166
17
Ecocity Online (2005), Ecocity Case Study, tersedia pada http://www.ecocity/ecocitycasestudy.htm,
dikunjungi pada 15 Agustus 2005
Ecocity nampak bagus di atas kertas. Di negara seperti India, norma tradisi dan pola
hidup masih dipertahankan dan dipraktekkan, sehingga pengetahuan tradisional masih
berdasarkan hukum alam dan lingkungan. Maka perencanaan ecocity seharusnya
menjadi bagian yang menyatu antara proses tradisional dan modern untuk menghasilkan
pola hidup yang baru, yang lebih kaya dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam
implementasinya, kita hendaknya dapat menimimalkan kendala yang ada, antara lain:
1. Ketersediaan sumberdaya
a. Keterbatasan dana;
b. Keterbatasan sumberdaya manusia, terutama tenaga ahli.
2. Prosedural
a. Daya tahan terhadap perubahan peraturan, standar, atau perangkat hukum yang
sesuai;
b. pemantauan lingkungan dan proses pengukurannya.
3. Birokrasi atau ketidakluwesan institusi
a. kerangka kerja institusi yang kurang efisien;
b. tanggung jawab dan perhitungan tindakan sesuai kapasitas institusi.
4. Manajemen konflik
a. konflik kepentingan di antara para stakeholders;
b. kesulitan dalam pencapaian kesepakatan antara masyarakat dengan penentu
kebijakan.
5. Prediksi fluktuasi pasar
a. Ukuran tekanan intervensi politik pada mekanisme pasar bebas.
Lalu, pertanyaan besar buat kita: bagaimana dengan Kota Denpasar? Dapatkah kita
berharap dan bertindak nyata atas kondisi yang ada sekarang? Dapatkah kita bersinergi
dan bahu-membahu menghadapi tantangan Kota Denpasar masa depan? Tentu saja
dapat, namun semua membutuhkan kesungguhan dan proses yang panjang karena
semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
CATATAN AKHIR
One tought, every day at least, to hear a little song, read a good poem, see a
fine picture, and if were possible, to speak a few reasonable words
(Johan W. von Goethe)
Ecocity merupakan usaha untuk membangun kota secara holistik melalui pendekatan
ekologi untuk meningkatkan kualitas hidup penghuninya pada saat ini dan memastikan
bahwa generasi selanjutnya dapat memiliki kondisi kualitas hidup minimal serupa
dengan generasi sebelumnya.
Saat ini yang menjadi persoalan adalah sikap dan tindakan kita yang kerap kali kurang
tepat dalam memperlakukan lingkungan sebagai daya dukung
kota, baik secara sosial maupun ekologis, demi mencapai
keuntungan-keuntungan ekonomis jangka pendek semata. Hal
ini seringkali terjadi karena ketidaktahuan sebagian besar
masyarakat yang dipicu oleh tuntutan ekonomi yang sangat
mendesak. Namun yang sangat memprihatinkan adalah
ketidakpedulian pihak-pihak, termasuk para arsitek, yang
seharusnya mengerti dan dapat turut mengatasi masalah-
masalah penurunan kualitas lingkungan alam sebagai akibat dari sikap dan tindakan kita
yang kurang arif, yang justru memperparah keadaan.
Tampaknya tepat sekali apa yang tersirat dalam kata-kata bijak Johan W. von Goethe di
atas bahwa sebaiknya kita senantiasa melakukan hal-hal yang baik secara tepat waktu,
tepat tempat, dan tidak berlebihan.
the city can save the world!!!
DAFTAR PUSTAKA
1. Abioso, Wanita Subadra. 1999. Kriteria Rancangan Arsitektur dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan, Tesis Riset. Bandung: Program Magister Arsitektur ITB.
2. Blowers, Andrew (ed.) 1995. Planning for a Sustainable Environment, London: Earthscan
Publication Ltd.
3. Dewi, Ni Ketut Agusinta. 2002. “Pemberdayaan Arsitek: Pendidikan dan Lingkungan dalam
Tautan Perkembangan Ilmu Arsitektur” dalam Majalah Maestro Edisi Agustus 2002.
Denpasar: FT Unud, hal. 28-29.
4. Ecocity Online. 2005. Concepts of Ecocity, tersedia pada http://www.ecocity.com/, dikunjungi
pada 15 Agustus 2005
5. Kompas Online. 1996. Sains Modern Lukai Umat Manusia, tersedia pada
http://www.kompas.com/, dikunjungi pada 8 Pebruari 2000.
6. Kusumowidagdo, Astrid. 2000. Ecocity Concept as Solution to Increase Environment Quality in
Surabaya, Prosiding Seminar Internasional Sustainable Environment Architecture 23-24
Oktober 2000. Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, hal. 165-169.
7. Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Inc.
8. Vale, Brenda dan Robert Vale. 1996. Green Architecture: Design for A Sustainable Future.
London: Thames and Hudson.
9. Wendyartaka, Anung. 2002. “Jakarta Tenggelam” dalam Harian Umum Kompas Edisi Minggu
10 Pebruari 2002, hal. 32.
10. Wiseso, Bayu Rachmad. 2000. “Menuju Desain yang Sadar Lingkungan dengan Konsep
Sustainable Architecture: Sebuah Pendekatan Ekologi”, dalam Jurnal Kilas Edisi Januari
2000. Jakarta: Jurusan Arsitektur FT UI.
11. Yeang, Ken. 1995. Designing With Nature: The Ecological Basis for Architectural Design. New
York: McGraw Hill.