Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah Arsitektur Hijau 2016

GREEN ARCHITECTURE: BEHIND THE WORDS

Clarissa Tanika*1, Dr. Ir. Arif Kusumawanto, MT2


1
Mahasiswa Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Universitas Gadjah Mada
2
Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanan, Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK
Arsitektur Hijau merupakan salah satu upaya yang dicetuskan oleh para arsitek beserta pemerintah
untuk menghadapi permasalahan-permasalahan ekologikal yang terjadi di lingkungan sekitar dan
berpotensi untuk semakin memburuk apabila dibiarkan begitu saja. Di balik tersohornya konsep
tersebut, masih ada beberapa bagian masyarakat yang mengalami kesalahpahaman akan konsep
Arsitektur Hijau, meskipun alasan awal konsep ini memang benar-benar mulia demi kebaikan
bersama. Masih ada yang menduga bahwa pengembangan arsitektur hijau ini digunakan untuk
kepentingan golongan tertentu. Selain itu, kesalahpahaman tidak hanya terjadi pada masyarakat
saja, melainkan pada tubuh arsitek sendiri. Yang mana konsep Arsitektur Hijau ini hanya sekedar
dimaknai sebagai arsitektur dengan imbuhan “hijau”. Dalam tugas ini, akan didiskusikan apa saja
yang sebenarnya terjadi dibalik konsep Arsitektur Hijau ini.

PENDAHULUAN
Dunia saat ini tengah menghadapi krisis global yang menyangkut kelangsungan hidup
semua orang. Berkonteks terhadap lingkungan, permasalahan yang terjadi tidak hanya bersumber
pada permasalahan dari dimensi ekologikal saja, dimensi sosio-ekonomi juga ikut ambil bagian
dalam memicu munculnya isu lingkungan urban tersebut:

*Corresponding Author:
Clarissa Tanika
Program Studi Arsitektur
Departemen Arsitektur dan Perencanaan
Universitas Gadjah Mada
NIM : 14/364093/TK/41892
Email : edv.clarissatanika@gmail.com
Masalah dalam dimensi ekologikal:
- Desertifikasi dan pengikisan tanah, serta ancaman tanah longsor
- Berkurangnya rasio open spaces terutama pada wilayah perkotaan
- Banjir yang disebabkan oleh maraknya pembangunan urban dan naiknya permukaan laut
- Berbagai macam polusi, seperti polusi air, udara, tanah, dsb
- Berkurangnya lahan terbuka hijau yang menyebabkan peningkatan water run-off dari
storm water berakibat pada meluapnya sungai dan aliran air
Masalah dalam dimensi sosio-ekonomi:
- Desain urban yang buruk, yang menyebabkan munculnya masyarakat marginal dan
terkucil
- Kemacetan lalu lintas, menyebabkan polusi udara dan polusi suara, terbuangnya waktu dan
meningkatkan tingkat stress penduduk
- Pembangunan pemukiman yang tidak padat (pemukiman pribadi milik individu) atas nama
golongan tertentu
- Kecenderungan desain yang tidak memperhatikan konteks lingkungan termasuk iklim
(seolah-olah melawan alam sekitar)
- Ketidakadilan subsidi dari pemerintah

Arsitek, yang juga didukung oleh pemerintah, kemudian mencetuskan konsep Arsitektur
Hijau atau dapat disamakan juga dengan istilah Sustainable Architecture untuk mencoba
menanggulangi resiko kerusakan yang berkelanjutan. Upaya ini tidak dapat langsung dilakukan
secara besa-besaran, namun dengan sedikit demi sedikit mengubah regulasi dan bentuk-bentuk
fisik pembangunan untuk mendukung lingkungan yang efisien dalam penggunaan energi dan
ramah lingkungan.
Konsep Arsitektur Hijau ini memang terdengar begitu mulia dan menjanjikan namun,
masih ada beberapa bagian dari masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung atau bahkan tidak
meyakini konsep ini secara bersama-sama baik disadari maupun tidak.
DISKUSI

Ambiguities

“ Sustainable Development as paths of social, economic and political progress that meets the
needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own
needs … ”

Begitulah deskripsi dari Sustainable Development (dapat dikaitkan dengan konsep


Arsitektur Hijau) yang disampaikan oleh para arsitek, pakar dan juga pemerintah kepada khalayak
umum dalam mensosialisasikan gerakan tersebut.
Ungkapan ini kemudian mendatangkan banyak pertanyaan dari masyarakat, apakah
maksud dari konsep ini sudah tepat. Sementara pertanyaan tersebut belum terjawab, masyarakat
belum dapat menaruh kepercayaan sepenuhnya akan rencana perombakan yang dicanangkan oleh
pihak-pihak terkait.
Ambiguitas yang dirasakan oleh masyarakat dapat terlihat dari makna kata needs pada
deskripsi sebelumnya. Needs ini seharusnya bermakna kebutuhan dalam konteks kebaikan
emosional dan spiritual manusia. Namun, kemudian muncul arti lain di tengah masyarakat yang
mengacu pada kekayaan material. Apakah konsep ini sebenarnya hanya bermaksud untuk
memperkaya golongan tertentu? Apakah konsep ini justru hanya sebagai sarana pembodohan
masyarakat dengan iming-iming kesejahteraan untuk kepentingan individu atau golongan? Tentu
saja kemudian masyarakat mulai lebih menitik beratkan pada makna yang kedua karena memang,
dalam sebuah rencana perombakan lingkungan kerugian akan dirasakan begitu nyata di awal dan
dampak baik dari konsep Arsitektur Hijau ini tidak dapat langsung dirasakan secara instan.
Tidak dipungkiri juga bahwa needs ini juga menjadi bahan perbincangan dalam
masyarakat tentang konteksnya. Needs yang dibutuhkan oleh masyarakat pada wilayah yang satu
akan berbeda dengan masyarakat pada wilayah lainnya, begitu juga dalam wilayah kenegaraan,
perbedaan needs ini kemudian akan sangat signifikan antara lokasi yang satu dan yang lain.
Kemudian muncul pertanyaan lain, ketika regulasi berkonsep Arsitektur Hijau seolah
dipublikasikan secara mendunia, apakah ketentuan ini akan cocok di seluruh dunia. Karena tidak
seharusnya regulasi tersebut kemudian dipukul rata.
Selain itu, istilah development atau pembangunan juga menimbulkan pro kontra di tengah
masyarakat. Jujur saja, kata development atau pembangunan dalam benak kita masing-masing
sebagai warga yang berkutat di dalam ranah arsitektur, cenderung memiliki konotasi yang negatif
dimana yang terbayang dalam pemikiran kita adalah proses berdirinya gedung-gedung bertingkat
di atas lahan-lahan hijau yang telah diratakan dengan tanah, kemudian ditutup rapat dengan
paving-paving monokrom untuk menimbulkan kesan rapi dan tertata. Tak terbayang bagaimana
dalam benak masyarakat umum yang mungkin konotasinya akan lebih negatif dari pemikiran
sebelumnya.

A Hidden Agenda
Maraknya gerakan ini juga menjadi salah satu pendukung munculnya prasangka buruk di
tengah masyarakat. Masyarakat umum samar melihat adanya dua kubu yang seolah memiliki satu
visi dan misi dalam Arsitektur Hijau namun dalam kenyataannya memberikan makna yang
sepenuhnya berbeda terhadap konsep tersebut.
Yang lebih dikhawatirkan adalah adanya agenda tersembunyi dari kubu sosial-ekonomi-
politik. Dimana arti dari konsep ini dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk
menguntungkan dirinya sendiri misal dalam sisi ekonomi, kedudukan dan popularitas.
Gebrakan lingkungan yang seharusnya dilaksanakan untuk memperbaiki kehidupan akan
sekedar dijadikan sebagai tameng untuk pihak tertentu sehingga kemungkinan terjadinya
keputusan semena-mena dalam pembangunannya tidak dapat dipungkiri lagi.

“Green Stickers”
Arsitektur Hijau atau Sustainable sudah menjadi “tren wajib” bagi para desainer, arsitek
dan planner. Yang sangat disayangkan, sebagian dari mereka mengambil ide tersebut mentah-
mentah tanpa mendalami maknanya terlebih dahulu. Konsep tersebut dicantumkan begitu saja
dalam desain bangunan mereka agar dapat lebih menjual di pasaran. Sangat nyata terasa, kata
”Arsitektur Hijau” atau “Sustainable” hanya sebagai tempelan untuk mempercantik presentasi
produk mereka.
Bahkan, beberapa yang sudah diikuti dengan niatan nyata untuk memperbaiki
lingkungan, perhitungannya masih belum cukup untuk memecahkan semua permasalahan yang
ada, padahal permasalahan lingkungan sangat lah kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya pemahaman dan pengetahuan dari individu tersebut.
Salah satu studi kasus yang dapat dijadikan contoh adalah pembangunan Aswan Dam
yang terletak di Mesir. Bendungan ini dibangun dengan visi lingkungan yang cukup banyak yaitu,
untuk membendung Sungai Nil; mendukung rencana pengembangan Mesir menuju negara
modern; menciptakan sistem irigasi yang efisien; menyimpan cadangan air untuk kebutuhan
agrikultural tahunan; serta sebagai penyalur aliran air untuk kepentingan pembangkit listrik tenaga
air (hydroelectric power station).
Kesalahan paling umum dari bendungan ini adalah pemilihan desain yang terpaku pada
standar negara barat tanpa memperhatikan konteks lain dalam lingkungan aslinya. Seperti yang
kita ketahui, konsep Arsitektur Hijau ini tidak dapat dipukul rata pada semua wilayah dan kondisi.
Memang, pada awal operasionalnya, Aswan Dam menunjukkan berbagai keuntungan untuk
masyarakat di sekitarnya, seperti meningkatnya potensi agraris dari segi pertanian di Mesir dan
terlihatnya kontribusi dari pembangkit listrik tenaga air dalam penyediaan energi untuk konsumsi
masyarakat sehari-hari. Namun, setelah beberapa lama, muncul permasalahan baru yang tidak ada
sebelumnya. Seolah keberadaan bendungan ini mengacaukan ekosistem lingkungan di sekitarnya
dan tentunya permasalahan ini luput dari pandangan dan perhitungan arsitek dan timnya.
Permasalahan yang muncul antara lain, tertutupnya drainage alami dan lahan-lahan fertile akibat
pembangunan; meningkatnya volume dan aliran air di Sungai Nil, berdampak pada pengikisan
tanah di tepi sungai; meningkatnya kadar garam yang berasal dari Laut Mediterranian;
meningkatnya persentase water loss pada Danau Nasser akibat penguapan dan perembesan air;
terancamnya monument arkeologi oleh banjir; maraknya malaria dan bilharzia; serta tersingkirnya
90.000 penduduk asli Mesir dan Sudan dari pemukiman aslinya.

Mentality
Pada dasarnya, kesalahan yang terjadi dalam penggunaan bangunan-bangunan bercap
Arsitektur Hijau ini tidak hanya bersumber dari perhitungan bangunan yang kurang matang
melainkan, kesalahan dalam fokus pembangunannya. Selama ini, pembangunannya terlalu
difokuskan pada perubahan fisik saja, padahal upaya perubahan dalam dimensi sosialnya juga
perlu diperhatikan karena mental pengguna juga penting dalam keberlangsungan sebuah fungsi
gedung. Akan percuma jikalau sebuah bangunan sudah didesain dengan sangat matang namun
penggunanya tidak memiliki mental yang cukup untuk menggunakannya sesuai tujuan awal.
Bayangan yang salah dalam pandangan masyarakat adalah salah satu hal yang seharusnya
segera disosialisasikan dan diperbaiki. Kebanyakan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan,
masih berpikir bahwa Arsitektur Hijau atau segala bangunan yang berkonsep Sustainable akan
mengharuskan mereka untuk kembali pada model arsitektur yang tradisional maupun vernakular.
Sehingga, dalam benak mereka akan tergambar suasana bangunan yang kuno dan tidak nyaman
tanpa adanya teknologi-teknologi yang selama ini sudah menyokong kehidupan mereka. Hal
tersebut juga sekali lagi didukung oleh kesalahpahaman beberapa arsitek yang menerapkan
pemikiran yang sama.
Kurangnya pemahaman antara arsitek dan pemilik atau pengguna juga menjadi salah satu
penyebab gagalnya fungsi “hijau” dalam sebuah bangunan. Pemilik atau pengguna tidak memiliki
pengetahuan cukup mengenai keunggulan bangunannya sendiri, sehingga kemudian keputusan-
keputusan yang diambil justru merusak nilai “hijau” yang sudah ditanamkan dalam desain
bangunan tersebut. Hal semacam ini dapat dilihat pada kejadian yang menimpa The Gherkin
(Foster & Partners, 2003). Di mana pada desain awal, The Gherkin diimpikan dapat memberikan
sirkulasi udara alami bagi pengguna di dalamnya. Desain open-floorplan yang tadinya untuk
mendukung sistem sirkulasi tersebut kemudian dihalangi dengan pemasangan partisi-partisi kaca
karena alasan keamanan dan privasi. Komponan tambahan ini menyebabkan tidak berfungsinya
sistem sirkulasi udara alami secara permanen.
Selain itu, mendarah dagingnya mental konsumerisme menjadi salah satu hal yang fatal
dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konteks Arsitektur Hijau ini. Di saat bangunan sudah
didesain sedemikian rupa agar efisien dalam penggunaan energinya, kemudian pemilik dan
pengguna justru menyalahgunakan keuntungan tersebut didorong oleh mental konsumerisme
dengan justru semakin sering memboroskan energi dalam bangunan tersebut. Anggapan bahwa
gedung yang mereka gunakan sudah efisien energi membuat mereka merasa aman dari taraf
pemborosan energi. Dengan perilaku seperti itu, penyediaan bangunan berkonsep Arsitektur Hijau
akan menjadi sia-sia karena tidak terjadinya perubahan tingkat konsumsi energi yang signifikan
oleh masyarakat, malah bisa jadi akan membengkak dari persentase sebelumnya.
KESIMPULAN

Konsep Arsitektur Hijau sudah seharusnya bukan hanya menjadi unsur tambahan dalam
bangunan, tapi menjadi kewajiban bagi tiap bangunan demi terwujudnya kelangsungan hidup
bersama yang lebih nyaman. Jika ditarik garis besar dari kesalahpahaman yang ada, semua
permasalahan sebelumnya muncul karena kurangnya komunikasi dari berbagai pihak. Komunikasi
ini seharusnya menjadi jembatan atau sarana untuk memahami satu sama lain, baik dari pihak
perencana dan pelaksana Arsitektur Hijau (arsitek, desainer, planner dan pemerintah) maupun
masyarakat umum (berupa pemilik dan pengguna fasilitas)

Komunikasi ini sangat penting untuk meluruskan visi dan misi bersama yang pada
akhirnya nanti akan menjadi pondasi utama dalam melaksanakan upaya tersebut. Kebutuhan
komunikasi ini tidak dapat dipungkiri lagi, mengingat antara pihak yang satu maupun yang lainnya
tidak bisa dipisahkan dan harus bekerja sama sesuai dengan perannya masing-masing jika memang
misi utama dari gerakan Arsitektur Hijau ini adalah untuk memperbaiki lingkungan hidup bersama.

DAFTAR PUSTAKA

James Steele. 1997. Sustainable Architecture: Principles, Paradigms, and Case Studies. Edisi 8.
New York: McGraw-Hill.

Williams, Colin C. dan Graham Haughton. 1994. Perspectives Towards Sustainable


Environmental Development. Aldershot: Avebury.

Thorpe, Ann. 2012. Architecture and Design Versus Consumerism: How Design Activism
Confronts Growth. New York: Earthscan.

Mehaffy, Michael dan Nikos Salingaros. 2013. “Why Green Architecture Hardly Ever Deserves
the Name”. http://www.archdaily.com/396263/why-green-architecture-hardly-ever-
deserves-the-name. Diakses Rabu, 7 September 2016 pukul 20.12 WIB.

Ghani, Fatima. 2012. “Issues in Sustainable Architecture and Possible Solutions”. International
Journal of Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS Vol. 12 No. 01.
http://www.ijens.org/vol_12_i_01/124601-9595-ijcee-ijens.pdf. Diakses Rabu, 7 September
2016 pukul 20.27 WIB.

Gerwin, Marcin. 2012. “The Social Factor in Sustainable Architecture”.


http://permaculturenews.org/2012/05/15/the-social-factor-in-sustainable-architecture/.
Diakses Kamis, 8 September 2016 pukul 19.31 WIB.

Maggie. 2003. “I Don’t Want to Hear About Green Buildings Any More”.
http://www.livingneighborhoods.org/library/conversations/sustainability.htm. Diakses
Jumat, 9 September 2016 pukul 07.09 WIB.

Anda mungkin juga menyukai