Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320990877

Desain Lingkungan-binaan ("built-environment") di Indonesia dalam


menghadapi fenomena perkembangan teknologi di awal abad XXI

Article · November 2017

CITATION READS

1 17,105

1 author:

Fxbudi Pangarso
Universitas Katolik Parahyangan
14 PUBLICATIONS 2 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

fx.budiwidodo pangarso View project

research of townscape View project

All content following this page was uploaded by Fxbudi Pangarso on 10 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Desain Lingkungan-binaan (“built-environment”)
di Indonesia dalam menghadapi fenomena perkembangan
teknologi di awal abad XXI
Ir. FX.Budiwdodo Pangarso, MSP., IAP.
Lektor Kepala (Associate Professor) pada bidang Arsitektur Kota
Ahli Utama Perencana Kota (Sertifikat Keahlian no. 1.5.502.1.034.09.1024197 (2014-2017)
Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
Anastasia Anindyasarathi sP, ST.
“Project Architect” pada Konsultan Larascipta.

INTRODUKSI
Lingkungan-binaan (“built-environment”)1 adalah sebutan/istilah untuk kondisi suatu
area atau daerah yang telah ada sekelompok manusia yang tinggal dengan membangun tempat
tinggal berupa sosok bangunan/gedung dan infrastruktur pelengkapnya, sekalipun sederhana.
Sementara pemahaman mengenai desain (“design”), terkait erat dengan faktor perencanaan
(“planning”) sebagai tahap yang mendahuluinya dalam satu kesatuan proses pengembangan
(“development”). Oleh karena itu, pengertian desain lingkungan-binaan meliputi berbagai sektor
pembangunan yang didominasi pada perkara rancang-bangun pada aspek fisik-spasial, walaupun
eksistensi ragam artefak fisik itu tetap akan dipengaruhi oleh adanya kebijaksanaan, kesepakatan
publik (“consensus”), perilaku dan kebiasaan hidup manusianya.
Secara umum lingkungan binaan tersebut mewujud fisik berupa sebidang tapak rumah,
atau sekumpulan tapak rumah, area pedesaan, dan area perkotaan; yang secara spasial/keruangan
dapat berupa ruang-terbuka (“open-space”) dan ruang tertutup bangunan/gedung (“built-up area
/ building coverage”). Ruang Terbuka secara desainatif (“designative”)2 merupakan rekayasa
perpaduan antara faktor natural dan faktor buatan-manusia, dapat berupa ruang jalan dengan
ragam bentuk persimpangannya, sungai, kolam, telaga, pertamanan, halaman-rumah/gedung,
lapangan, alun-alun, dsb. Sementara Ruang Tertutup merupakan sosok rekayasa teknologis,
dapat berupa sosok Rumah-rumah dengan keragaman tipe
masing-masing, dan Gedung-gedung dengan keragaman
tampilan dan fungsi masing-masing.
Apabila ditengok ke belakang pada jaman pra
kemerdekaan, di kepulauan Nusantara ini telah ada fakta
SEGARAN desain lingkungan-binaan, yang mulai ditata sekitar tahun
1293 Masehi, yaitu saat Baginda “Sri Kertaradjasa
Djajawardhana” (Raden Widjaja) pendiri Kerajaan
Majapahit membuka hutan Terik, tepatnya di area situs kota
Trowulan saat ini.3 Desain lingkungan tersebut tampil dalam
sejumlah obyek, yaitu : Kanal, Waduk, Kolam, Sumur,
Gambar – 1 : Peta area kota Trowulan
Candi, dan Gapura.

1
http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/the-built-environment all the structures people have built when
considered as separate from the natural environment.
http://www1.uwindsor.ca/vabe/built-environment,The term built environment is used when referring to those surroundings
created for humans, by humans, and to be used for human activity.
Examples would include cities, buildings, urban spaces, walkways, roads, parks, etc. The study of the built environment is
interdisciplinary in nature and can include such disciplines as: visual arts, architecture, engineering, urban planning, history,
interior design, industrial design, geography, environmental studies, anthropology / sociology.
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/built-environment, an area where there are a lot of buildings. The city took on
the challenge to raise the quality of the built environment. the need for harmony between the built environment and the natural
world
2
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/designative. Definition of designative in English: adjective, Serving to
indicate or specify something: the designative meaning is very obvious
3
Majalah GATRA, 27 Maret 1999, hal.63; memberitakan hasil penelitian desertasi Dr.Ir.Bondan Hermanislamet, M.Sc.(alm),
dosen Teknik Arsitektur, UGM, 1999.
1/16
Gambar – 2 Kolam Segaran Trowulan
Luas kolam Pool area : 375 m x 175 m
Ketebalan dinding Wall thickness : 1,6 m
Kolam Segaran merupakan waduk penyimpanan air pada masa Majapahit. Sebenarnya, kolam ini memiliki banyak fungsi. Fungsi
lainnya adalah untuk tempat menjamu tamu dan pendingin suhu udara. Nama Segaran diambil dari kata “Segara” yang berarti laut dalam
bahasa Jawa karena ukurannya yang besar bagaikan laut. Kolam ini ditemukan oleh Henry Maclain Pont dan Kromodjojo Adinegoro
pada tahun 1926 dan telah dipugar sebanyak 3 kali. Kolam ini terletak di seberang Museum Majapahit dan sekarang hanya digunakan
untuk tempat rekreasi dan tempat upacara.
Sumber : google map & visittrowulan2013.tumblr.com/

Kilas historis desain lingkungan-binaan di kota Trowulan pada akhir abad XIII atau awal
abad XIV tersebut di atas, dapat disimak bahwa saat itu telah dikenali adanya pola perencanaan
lingkungan terpadu (“integrated planning”), yang mempertimbangkan secara proporsional antara
aspek fisik dan natural. Penelitian diatas telah menunjukkan bahwa pola perencanaan tata-ruang
perkotaan di Trowulan terpilah menjadi dua bagian, yaitu pola segi-empat (“grid”) untuk bagian
Pusat Kota yang berbasis pada budaya Kerajaan (Pemerintahan, Pengelola Wilayah) dan secara
luwes semakin kepinggiran kota berpola “sirkuler-organis”.
Disamping penataan kotanya, maka tata bentuk arsitektur bangunan/gedung kerajaan dan
kelengkapannya di pusat-kota didominasi bentuk geometrik, yang bercitra anggun, berwibawa
dan semakin menjauhi pusat-kota didominasi tata bentuk arsitektur organik yang sangat “ramah”
pada lingkungan natural. Komposisi komponen pusat-kotanya, sebagaimana kota yang memiliki
budaya “monarkhikal”4, yaitu adanya kompleks Karaton, Alun-alun (Ruang Terbuka Publik),
Sarana Peribadatan dan Pasar. Kondisi lingkungan seperti ini tentu harus dipahami sesuai situasi
pada abad XIV, karena luas area perkotaannya hanya sekitar 80 km2 saja.
Perkara tersebut adalah inspirasi awal mengenai prinsip dasar desain lingkungan-binaan
dan model aktual aplikasinya pada 6 (enam) abad yang lalu, saat teknologi masih sederhana,
jumlah penduduk masih relatif sedikit, dan kondisi masih didominasi faktor alami/natural.

4
http://www.merriam-webster.com/dictionary/monarchical. Full Definition of monarchical: of, relating to, suggestive of, or
characteristic of a monarch or monarchy; monarchical authority; a monarchical government
http://www.vocabulary.com/dictionary/monarchy; A monarchy is a country that is ruled by a monarch, and monarchy is this
system or form of government.; A monarch, such as a king or queen, rules a kingdom or empire. In aconstitutional monarchy,
the monarch's power is limited by a constitution. But in an absolute monarchy, the monarch has unlimited power. Monarchy is
an old form of government, and the word has been around a long time. It derives from Greek monarkhiā,
frommonarkhos "monarch."
2/16
PRINSIP DASAR DESAIN LINGKUNGAN-BINAAN

Sesungguhnya desain lingkungan-binaan itu merupakan tahap kedua setelah dilakukan


tahap perencanaan (“planning”) yang memuat serangkaian perkara, yaitu maksud, tujuan serta
sasaran; identifikasi ragam potensi dan sumber-daya yang ada; kesesuaian teknologi, material
dan pola manajemen pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Tahap perencanaan tersebut adalah
seperti yang dinyatakan oleh Prof.Lynch5 dalam bukunya Site Planning bahwa, “Site Planning is
the art of arranging structures on the land and shaping the spaces between, an art linked to
architecture, engineering, landscape architecture, and city planning. Its aim is moral and
esthetic; to make places which enhance everyday life – which liberate their inhabitans and give
them a sense of the world they live in”. Sementara Prof. Tom J.Bartuska6 dalam buku yang di
editnya “The Built Environment, A Collaborative inquiry into Design and Planning”, secara
sistematik mendefinisikan, bahwa “…the built environment define by four interrelated
characteristics, First, it is everything humanly created, modified, or constructed, humanly made,
arranged, or maintained. Second, it is creation of human minds and the result of human
purposes; it is intended to serve human needs, wants, and values. Third, much of it is created to
help us deal with, and to protect us from, the overall environment, to mediate or change this
environment for our comfort and well being. Last, that every component of the built environment
is define and shaped by context; each and all of the individual elements contribute neither
positively or negatively to the overall quality of environments and to human-environment
relationships.”
Apabila disimak dengan cermat dan mendalam atas kedua rumusan yang menjadikan
dasar bagi desain lingkungan-binaan, dapat diunduh intisarinya bahwa keseimbangan antara tiga
aspek lingkungan ini yaitu alam-natural, kehidupan budaya (kultur) manusia, dan kreasi
buatan manusia, layak dan harus di jadikan tujuan utamanya. Problematiknya adalah
bagaimana prinsip keseimbangan tersebut dapat direalisasikan, di kepulauan Nusantara ini, yang
ditandai dengan iklim tropis, bermusim penghujan dan kemarau, serta beragam budaya lokal
sebagai potensi dasarnya. Dengan demikian, contoh pola penataan lingkungan-binaan di wilayah
kota Trowulan diatas, telah mengekspresikan profesionalitas desain khas alam tropis, saat
pengaruh eksternal belum terlalu mempengaruhi pola pikir dan tindak berkebudayaan.
Fakta perencanaan dan desain yang berdisiplin menerapkan prinsip keseimbangan ketiga
aspek tersebut diatas, dan sampai saat ini masih dijalin dalam pemeliharan lingkungan alam dan
kultur kehidupannya antara lain adalah area Kampung Naga7 di Tasikmalaya, Jawa Barat; dan
area desa adat Penglipuran8, Bangli, Bali.

5
Kevin Lynch & Gary Hack, Site Planning, 3rd ed.1984, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts & London, England.
6
Wendy R.McClure and Tom J.Bartuska, The Built Environment, A Collaborative inquiry into Design and Planning, 2007, John
Willey & Sons, Hoboken, New Jersey.
7
http://travel.kompas.com/read/2013/09/18/0812396/Mengunjungi.dan.Mempelajari.Budaya.Kampung.Naga. Mengunjungi dan
Mempelajari Budaya Kampung Naga. Kampung Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kab. Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Yang unik letak kampung ini yang berada di lembah. Tidak hanya itu Kampung Naga ini ternyata masih
mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu. Uniknya adalah tata letak rumah dan arsitektur
yang khas, sesaat sebelum masuk kampung kita harus melapor terlebih dahulu dan di sini tidak ada plang Desa Wisata. Warga
kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu,
matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal-usul
kampungnya.
8
http://wisatabaliutara.com/2015/01/desa-penglipuran-desa-wisata-adat-bali.html/ Desa Penglipuran, Desa adat bali yang
sangat kental dengan kerukunan dan kebersamaan mereka. Desa ini berlokasi di kelurahan kubu, kecamatan bangli, kabupaten
bangli- Bali. Desa ini telah dianugrahi penghargaan kalpataru oleh pemerintah kabupaten bangli pada tahun 1995. Menurut
masyarakat sekitar, kata penglipuran diambil dari kata Pengeling Pura yang memiliki makna tempat suci yang ditujukan untuk
mengenang para leluhur. Membahas tentang leluhur, ternyata masyarakat yang tinggal di desa ini sangat menjun-jung tinggi
amanat dari para leluhur mereka. Terbukti dari terbentuknya desa penglipuran yang sangat mengutamakan kerukunan ini. Ciri
khas yang sangat menonjol dari desa ini adalah arsitektur bangunan tradisional di desa ini rata-rata memiliki arsitektur yang
sama persis dari ujung desa ke ujung lainnya.

3/16
Gambar – 3 Kawasan Kampung Naga, Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kampung Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Yang unik letak kampung
ini yang berada di lembah. Kampung Naga ini ternyata masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu.
Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang
mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Nenek moyang
Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah
Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh
masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. ---
Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang
lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan
lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak
menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan
dan keselarasan yang ada di daerah tersebut. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu.
Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap
ke utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman
sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat
rumah tembok atau gedung (gedong).
Sumber : http://www.maphill.com/ http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=29&lang=id
https://aristastar21.wordpress.com/makalah-kebudayaan-masyarakat-kampung-naga-2/
http://travel.kompas.com/read/2013/09/18/0812396/Mengunjungi.dan.Mempelajari.Budaya.Kampung.Naga.

Dari contoh fakta pertama ini dapat disimak, bahwa inilah sesungguhnya penerapan
prinsip dasar Desain Lingkungan-binaan yang patuh/disiplin dalam mengamalkan keseimbangan
antara potensi alami/natural (tanah, air dan vegetasi), potensi manusia dan aktivitasnya dalam bingkai
pola berkebudayaan, serta potensi kreasi buatan manusia (rumah dan infrastrukturnya). Eksistensi
teknologi yang saat ini semakin berkembang, telah tidak menggoyahkan kultur kehidupannya
dalam menata dan mendesain lingkungan-binaannya. Kampung Naga, menjadi sebuah artefak
fisik dan sosial-budaya yang “fenomenal” sepanjang waktu, yang akan selalu mengingatkan
kepada semua manusia penghuni jagad-raya ini, atas perlunya keseimbangan tiga perkara aspek
desain lingkungan-binaan.
Kelestarian lingkungan-binaan tersebut membutuhkan keteguhan sikap manusianya atas
kemajuan cara berpikir dan bertindak, yang tidak cepat tergiur dengan tawaran kenikmatan
ragawi. Upaya memelihara lingkungan-binaannya ternyata dikendalikan oleh pola pikir, bahwa
manusia merupakan bagian kecil yang harus cerdas berkesinambungan dengan alam sekitarnya.

4/16
Gambar – 4 : Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali.
Desa adat Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu di Kecamatan Bangli, Kabupaten Dati II Bangli. Luas desa adat
Penglipuran +/- 112 ha. Desa Adat Penglipuran terletak di kaki Gunung Batur pada ketinggian 700 meter dpl. Desa Adat
Penglipuran terletak +/- 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar. Pengembangan fisik desa dan
pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung. Tata ruang desa berkonsep
trimandala, dibagi ke dalam tiga ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak
ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut). Paling utara zona utama, berdiri bangunan suci pura
bernama Penataran tempat beribadah penduduk desa. Zona madya atau “ruang manusia” terdapat 76 kaveling pekarangan dan
rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu barat 38 dan timur 38. Setiap kaveling memiliki ukuran
800-900 meter persegi memanjang dari barat ke timur. Bagian paling selatan adalah nista mandala berupa tempat pemakaman
penduduk desa. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruang tidur, ruang tamu, dapur, balai-balai,
lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Bangunan tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas
berupa sirap bambu. Sekitar 40% dari luas wilayahnya merupakan hutan bambu. Dari sisi ekologis, hutan bambu berfungsi
vital untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa yang miring.
Sumber : http://www.maphill.com/ http://disbudpar.banglikab.go.id/index.php/baca-artikel/156/www.disbud.baliprov.go.id
http://majalahasri.com/

5/16
Fakta kedua dari contoh yang telah dianggap berhasil mendayagunakan dan memelihara
penataannya dengan prinsip dasar desain lingkungan-binaan. Serupa dengan fakta pertama, ada
perkara yang harus dipegang teguh, yaitu sikap budaya masyarakatnya yang tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai kultural, tidak mudah tergiur dengan produk kemajuan teknologi. Pemanfaatan
potensi sumber daya alam diperlakukan dengan sangat arif bijaksana, sesuai dengan kebutuhan
dasar kehidupan masyarakatnya. Perbedaan antara kedua contoh faktual tersebut adalah, secara
fisik, desain lingkungan-binaan fakta pertama ditata dengan kombinasi pola organik dan
geometrik; sedangkan fakta kedua diatur dengan kejelasan pola geometrik yang disesuaikan
dengan potensi geografis alamnya.
Fenomena faktual tersebut, tentu masih banyak tersebar di kepulauan Nusantara ini, yang
sejak sekitar abad XV tetap lestari sampai saat ini di awal abad XXI dalam memelihara
keseimbangan ketiga aspek sebagai prinsip dasar desain lingkungan-binaan. Ciri yang sangat
mendasar dari kelestarian ini adalah bahwa masyarakat yang menempatinya “diikat” dalam pola
budaya yang “homogen”, bila ditinjau dari faktor etnisitas, pandangan-hidup, spiritualitas atau
agamanya. Oleh karena itu, setelah dipandu mengenai eksistensi “tradisi-lokal” dalam lingkup
“modernitas-global”, seringkali dan hampir di setiap pedesaan tradisional, telah dikembangkan
menjadi laboratorium sosial-budaya dan laboratorium tata-ruang morfologis, atau lebih dikenal
sebagai “desa-wisata”. Tentu saja, pemerintah juga memberikan bantuan dari berbagai sektor
kebutuhan demi kesejahteraan kehidupan masyarakatnya.
Kondisi lingkungan-binaan tersebut diatas,sangat pantas dijadikan acuan dalam penataan
ruang perkotaan untuk situasi masyarakat yang ditandai dengan keragaman atau “heterogenitas”
latar belakang kehidupan warganya. Perkara yang harus dicermati adalah, model pendekatan
pola kehidupan sosial-budaya, melalui strategi desain9 “keserupaan benang-merah” yang dapat
diterima semua pihak (“stakeholders”).

DESAIN LINGKUNGAN-BINAAN
PADA ABAD XX-AN
Di kepulauan Nusantara (diartikan sebagai “nusa-antara”, pada sekitar abad XIII-XV )
yang lebih dikenal dengan nama Indonesia sebagai suatu negara kesatuan yang berdaulat sejak
tahun 1945, ditandai dengan 3 (tiga) model disain
lingkungan-binaan. Ketiga model penataan itu diawali
dengan yang disebut sebagai 1) pedesaan tradisional
dengan basis agrokultur, 2) lingkungan-binaan
dengan basis pusat kerajaan, dan 3) perkotaan
“benteng” dengan basis penjajahan/koloni Hindia-
Belanda (sejak abad XVII). Perkembangan fisik
masing-masing model selanjutnya tidak setara, karena
sangat tergantung geo-politik yang terjadi pada saat
itu.
Gambar – 5 : Bendung Riam Kanan, Kec.Ariano, Pedesaan tradisional perkembangannya
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. memang tidak sepesat lingkungan perkotaan, karena
Danau Riam Kanan adalah waduk buatan yang
dirancang-bangun sejak 1962. Membendung aliran 8 didominasi oleh adanya pengaruh “irama” alam dan
sungai yang bermata air dari Pegunungan Meratus. karakteristik normatif kultural yang tidak serta merta
Diresmikan oleh Presiden Suharto pada tahun 1973.
Dibuat dengan menenggelamkan sekitar 9 desa di areal mudah menerima perkembangan cara berpikir dan
seluas 9730 hektar. bertindak (teknologi). Fakta perkembangan yang
Sumber : http://pustaka.pu.go.id/new/infrastruktur-
bendungan-detail.asp?id=186 dapat dikenali adalah adanya pembangunan struktur
http://www.pegipegi.com/travel/ jaringan irigasi, termasuk didalamnya pembangunan
9
Barbara Faga, FASLA, Designing Public Consensus, 2006., John Wiley & Sons, Inc. – The role of the professional planners,
architects, landscape architects, urban designers, and angineers engaged in a serious process of public participations does not
begin with a meeting, not end with responses to the public demands. It begins professionals getting to know people in the
community prior to any of the meetings. It is advanced by a few early successes that demonstrate professional wisdom. Prior to
devisingrecommendations, it will require presentation of an overarching strategy, and then working to ensure that strategy is
accepted by all concerned.
6/16
beberapa waduk/bendungan yang secara fisik, menjadi titik perubahan desain lingkungan
sekitarnya. Pada umumnya lingkungan pedesaan yang dijadikan pengembangan pusat jaringan
irigasi berupa bendung, akan diikuti dengan peningkatan jaringan tenaga listrik atau penerangan
buatan, pola pertanian air (perikanan, dsb), dan pegembangan kegiatan kepariwisataan (jasa
maupun barang).
Demikian pengembangan bagi
lingkungan pedesaan secara tipologis.
Pembangunan prasarana dan sarana fisik
dan spasial ini dimulai sekitar tahun1960,
pada awal masa Pemerintahan Republik
Indonesia, dengan arahan kendali oleh
Presiden pertama (“founding fathers”),
Ir.Soekarno & wakilnya, Dr.Moh.Hatta.
Dampak dari pembangunan ini terfokus
pada penataan kembali lokasi baru bagi
pedesaan yang terkena proyek. Pola
penataan lingkungan-binaan baru ini,
biasanya dengan dilandasi kebijakan
publik berupa pendayagunaan lahan yang
tidak/kurang produktif atau sebagai daya
upaya pengembangan pola transmigrasi.
Pola desain lingkungan-binaan
baru yang tipologis dengan program
transmigrasi ini, sudah tentu dilandasi
dengan prinsip desain “keefektifan &
efisiensi” sebagai metoda dan proses
yang didominasi pada kelayakan dan
terpenuhinya kebutuhan dasar (“basic-
needs”10) untuk kehidupan keluarga pada
saat itu. Secara planimetris, pola desain
yang dapat disimak adalah “geometris”.
Apabila dikaji mendetail, polanya agak
serupa desainnya dengan model desa
adat wisata Penglipuran. Namun bedanya
kandungan spirit kultural yang mengikat
kebersamaan warganya beragam.
Lingkungan-binaan yang berbasis
pusat kerajaan atau “monarkhikal”11
tidak banyak ditemukan di Indonesia.
Satu-satunya daerah setingkat provinsi,
yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta12,
dengan kota Yogyakarta sebagai pusat
Gambar – 6 : Pedesaan di sekitar Bendung Riam Kanan.
Kesejahteraan pedesaan ini memanfaatkan dampak geografis atas
pemerintahannya yang dikepalai oleh Sri
pembangunan bendung untuk jaringan irigasi dan pembangkit tenaga listrik Sultan Hamengku Bawono (Raja/Sultan
Sumber : Google map
di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat).

10
PJ.Richards & MD.Leonor., ed., Target Setting for Basic Needs, International Labour Organisation, Geneva office, 1982.
11
http://www.vocabulary.com/dictionary/monarchy; A monarchy is a country that is ruled by a monarch, and monarchy is this
system or form of government.; A monarch, such as a king or queen, rules a kingdom or empire. In aconstitutional monarchy,
the monarch's power is limited by a constitution. But in an absolute monarchy, the monarch has unlimited power. Monarchy is
an old form of government, and the word has been around a long time. It derives from Greek monarkhiā,
frommonarkhos "monarch."
12
Undang-undang RI no.13 tahun 2012, tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
7/16
Selain Daerah Istimewa Yogyakarta, di wilayah negara Republik Indonesia ini terdapat pula
lingkungan-binaan yang berpola pada pusat “monarkhikal” juga yaitu Kasultanan Kasepuhan di
kota Cirebon, yang terbatas pada kawasan internal di lingkup Kasultanan saja, tidak memiliki
kewenangan pada wilayah perkotaannya. Mengenai perkara lingkungan-binaan dibawah kultur
“monarkhikal” ini, sudah tentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kultural yang terkandung
didalam kehidupan kemasyarakatannya. Secara khusus dapat diformulasikan pada kesempatan
lain atau pada riset yang masih sedang kami lakukan.
Lingkungan-binaan yang dikenal dengan sebutan perkotaan yang berbasis pada pola
“benteng” adalah model desain kota yang dikembangkan oleh pendatang yaitu pemerintahan
Hindia-Belanda. Model desain lingkungan-binaan yang “eksklusif” ini, pada saat setelah seluruh
wilayah kesatuan diproklamasikan pada tahun 1945, berada pada kewenangan pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pada kota-kota di Indonesia di awal
pemerintahannya dihadapkan secara garis besar pada dua pola desain, yaitu pola tata-kota yang
dibuat pada jaman kolonialisasi, dan pola tradisional yang berbasis pada “monarkhikal”.
Kedua pola besar desain perkotaan tersebut memiliki keserupaan dan juga perbedaan.
Keserupaan yang tampak adalah pada struktur penataan jaringan sirkulasinya, yaitu geometrik
pada area dataran dan penataan struktur organik pada area perbukitan, atau kombinasi keduanya
ketika lingkungan-binaan itu berada pada rupa lahan dengan kemiringan topografis berganti.
Sementara itu didapati 3 (tiga) perbedaan yang menyolok (“signifikan”), yaitu :
1) Pola desain struktur lingkungan-binaan “monarkhikal” atau tradisi lokal selalu didapati
Ruang Terbuka Publik yang berupa Alun-alun, dengan 4 (empat) elemen primer perkotaan,
seperti Kompleks Keraton, Kompleks Perkantoran Pegawai kota, Gedung Peribadatan, dan
Pasar. Pada desain lingkungan-binaan ex Hindia-Belanda tidak didapati struktur tatanan
seperti itu, kalaupun ada ruang terbuka, maka hanya berfungsi sebagai taman atau lapangan
olahraga dan tidak dilengkapi elemen primer tersebut.
2) Pola desain jaringan sirkulasi lingkungan tradisional, lebar jalan dibuat secukupnya dan
tidak terlalu lebar, dengan perpetakan lahan yang tidak terlalu besar, kecuali fasilitas publik
disekitar Alun-alun. Pola vegetasi lebih diutamakan pada halaman disetiap petak lahan privat
masing-masing; sementara vegetasi di ruang publik seringkali diberi predikat simbolik di
seputaran Alun-alun. Pada lingkungan Hindia-Belanda pada umumnya jaringan sirkulasi
dibuat lebar-lebar, bahkan didapati ruang jalan yang disebut sebagai “boulevard”, yang
dilengkapi dengan pola elemen vegetasi sebagai fungsi peneduh di hampir semua tepian
ruang jalan. Pola perpetakan lahannya juga luas (+/- 1000 m2), sedangkan elemen
bangunan/gedungnya berdiri tunggal yang biasanya dilengkapi bangunan samping, yang
seringkali disebut “pavilion” atau malah berdempetan satu sama lain pada fungsi pertokoan.
3) Perkembangan kedua pola besar struktur tata-ruang tersebut ditandai dengan “stagnasi”
pada lingkungan-binaan ex Hindia-Belanda dan perkembangan yang lambat pada pola
lingkungan-binaan tradisional. Semua itu pada umumnya disebabkan oleh perkembangan
aspek perekonomian negara dan masyarakat yang masih difokuskan pada pemenuhan akan
sandang dan pangan, sedangkan perkara papan (perumahan dan permukiman sebagai
“physical propperty”) baru dirintis sekitar tahun 1970an.
Kondisi keserupaan dan perbedaan tersebut yang memunculkan ragam fenomena
perkembangan aktivitas disekitarnya, yang secara langsung diakibatkan adanya aglomerasi
antara golongan ekonomi kuat atau golongan pengambil keputusan terhadap golongan ekonomi
lemah13. Kedua golongan pertama tersebut, pada umumnya memanfaatkan bangunan/gedung es
Gedung-gedung Hindia-Belanda dengan rupa arsitektur kolonial (“The Empire Style, de Stijl, es
Nouveau, dsb”), sementara golongan ketiga bertempat-tinggal di perkampungan kota, dengan
rupa arsitektur seadanya. Fenomena ini berlangsung secara gradual yang secara perlahan
mempengaruhi pola pemanfaatan lahan dan desain lingkungan perkotaan, dan memunculkan
adanya pemanfaatan lahan publik untuk kegiatan secara “informal” yang dikenal sebagai para
13
T.G. McGee, The Urbanization Process in the Third World., Bell & Hyman Ltd, 1971., Revolutionary Change and the Third
World City, A Theory of Urban Involution.
8/16
pedagang “kaki-lima” (PKL). Kawasan Pusat Kota khususnya ditandai dengan “percampuran”
tidak terarah (“chaos”) antara desain lingkungan yang ditata baik dan yang sembarangan.
Sampai dengan sekitar tahun 1996/1997 situasi pembangunan perkotaan ditandai dengan
kebijakan mengenai pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dikoordinasi
oleh Perumnas14, sebuah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang pengadaan
tanah permukiman dan pembangunan prasarana/sarana perumahan. Dampaknya adalah
perkembangan bentuk perkotaan melebar ke arah pinggiran (“fringe area”), dengan model desain
lingkungan-binaan yang berlandaskan “efisiensi & keefektifan” pemanfaatan lahan.

Gambar – 7 : Pola desain lingkungan permukiman dan tipikal rupa koridor di Perumnas Denpasar, Bali
Struktur Ruang Lingkungan-binaan yang berbasis pada “efisiensi & keefektifan”pemanfaatan lahan.
Sumber : Google Map & Google Street View 2015

Gambar – 8 : Model desain


lingkungan-binaan di awal
abad XX.
Kiri : Kota Manado
Kanan : Gedung & Bunderan
Taman Balai Kota Malang.
Sumber : google map.

14
http://www.perumnas.co.id/sejarah-perumnas/., Perusahan didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
1974, diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1988, dan disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 15
Tahun 2004 tanggal 10 Mei 2004. Sejak didirikan tahun 1974, Perumnas selalu tampil dan berperan sebagai pioneer dalam
penyediaan perumahan dan permukiman bagai masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Pada periode 1974-1982,
Perumnas memulai misinya dalam membangun perumahan rakyat menengah kebawah beserta sarana dan prasarananya.
Ribuan rumah di bangun di daerah Depok, Jakarta, Bekasi dan meluas hingga Cirebon, Semarang, Surabaya, Medan, Padang
dan Makassar. Pada 1983-1991, Perumnas selain membangun rumah sederhana juga mulai merintis pembangunan rumah
susun sederhana dengan tujuan mendukung program peremajaan perkotaan. Pada 1992-1998, Perumnas membangun hampir
50% dari total pembangunan rumah nasional. Melonjaknya produksi perumahan ini didorong oleh program pemerintah untuk
membangun 500.000 rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS)
9/16
Beberapa contoh/model desain lingkungan-binaan pada kota kolonial dan kota tradisional di
abad XX-an, dimana pola geometrik proporsional terhadap lingkungan sekitarnya, serta berskala
“humanitas” terhadap para pejalan kaki, terlepas dari keterbatasan kemajuan teknologi saat itu.

Gambar – 9 : Dua model desain


lingkungan-binaan yang di rancang
bangun oleh pemerintah Hindia-
Belanda awal abad XX atau sekitar
tahun 1918-1920 an
Pola geometrik proporsional
terhadap semua elemen lingkungan
perkotaan, yang memberi dampak
positif pada ranah pengalaman
estetika perkotaan dan kejelasan
prinsio arsitektur-kotanya.
Gambar atas : Taman Bunder Kota
Malang;
Gambar bawah : Taman Diponegoro
Kota Semarang.
Sumber : Google map / Google street
view 2015

10/16
DESAIN LINGKUNGAN-BINAAN
PADA AKHIR ABAD XX DAN AWAL ABAD XXI
Bagi Indonesia peralihan abad XX ke XXI ini tampaknya mendapat beberapa peristiwa
yang harus dicermati secara komprehensif setelah menjalani proses bernegara dan berbangsa
selama kurang lebih 70 tahun. Berbagai aspek kehidupan berbangsa mengalami cobaan yang
layak dikaji ulang agar proses membangun kesatuan dan persatuan semakin membaik. Oleh
karena aspek politik dan ekonomi terganggu, maka aspek fisik menerima konsekuensi logisnya.
Pembangunan bidang fisik-spasial arsitektur-kota pun terpengaruh karena proses perencanaan
dan desain lingkungan-binaan sangat dipengaruhi oleh baik-buruknya kebijakan dan konsensus
publik yang ditetapkan oleh pemerintah yang berwenang.
Namun sejak tahun 2000 telah ditetapkan beberapa produk hukum terkait dengan desain
lingkungan-binaan, yaitu diantaranya adalah :
1. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan
Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan.
2. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen
Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan.
3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN
GEDUNG
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28
tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
5. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN.
6. Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun 2006 tentang JALAN.
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung.
8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
9. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN
RUANG.
10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Rumah Susun Sederhana
Bertingkat Tinggi.
11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan.
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan.
13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan
bagian bagian JALAN.
15. Dan lain sebagainya, yang secara substansial terkait dengan eksistensi lingkungan-binaan
Produk kebijakan Pemerintah yang utama dalam kaitannya dengan desain lingkungan-
binaan adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan15; yang didalamnya telah ditetapkan secara
detail dan terperinci segala aspek, faktor, komponen dan elemen yang harus dipotensialkan,
dalam upaya mendesain lingkungan-binaan.

Selain perkara sejumlah landasan legalitas tersebut diatas, proses desain lingkungan-
binaan saat in, secara “universal” ada yang harus dipertimbangkan secara serius sebagai aspek
sekaligus fakta utama dalam era abad XXI ini, “mumpung” masih berada di awal abad ini, yaitu
perkara keberlangsungan ekosistem atau “sustainability”16. Terkait dengan prinsip

15
https://www.researchgate.net/profile/Fxbudi_Pangarso/ Pemahaman Pedoman RTBL (Rencana Tata Bangunan & Lingk)
16
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/sustainability., Meaning of “sustainability” in the English Dictionary
ENVIRONMENT, NATURAL RESOURCES - the idea that goods and services should be produced in ways that do not use
resources that cannot be replaced and that do not damage the environment: the ability to continue at a particular level for a
period of time. --- Michiel Schwarz & Joost Elffers.,:In the 20th century, our world was designed around modernist ideas and values. This
could be seen in our architecture, product design, business models, urban planning, and much more. With modernism came a fascination with
technology, modes of industrial production, a focus on material goods, underpinned by a particular idea of progress. But this century heralds a
cultural shift. Sustainism, in our view, represents a new mind-set that, like modernism before it, will turn out to define how we see our world,
what we value, and how we shape our living environment. It will become the new operating context for all of us.
11/16
“keberlanjutan ekosistem” ini, tokoh “sustainism” Schwarz menyampaikan begini “…Designers
and architects have been among the first to see the fundamental shifts we associate with
sustainism — for example, how perceptions of place have changed. The internet in particular
has given a new meaning to the local: almost every place in the world is globally connected,
24/7. We live in local worlds, but we are also global citizens….”
Tentu bila disimak, ketetapan substansial yang tersurat maupun tersirat pada serangkaian
peraturan-perundangan di negeri ini sudah secara sengaja memasukkan perkara keberlanjutan
ekosistem itu, akan tetapi seringkali pada aplikasi di lapangan tidak diterapkan atau pengawasan
kurang ditegakkan. Apabila seluruh warga negara negeri ini patuh terhadap ketentuan tersebut,
sebagai bagian kecil dari warga dunia tentu dapat secara pro-aktif menjaga kelestarian alam
semesta. Jadi benar sungguh, apa yang disampaikan Schwarz menjadi teguran keras bagi para
desainer, arsitek dan perencana-perkotaan, agar mengecek kembali dokumen perencanaan
maupun desainnya dapat menjamin keberlangsungan ekosistem.
Perkara “sustainability” ini memang menjadi dilematis dalam proses desain lingkungan,
oleh karena pada saat ini semua warga dunia telah di “manja”kan oleh perkembangan teknologi
apapun, yang akan berdampak pada “keterpaksaan” menggunakan atau menyediakannya semata
untuk memenuhi aktivitas yang disyaratkan sebagai “profesionalitas”. Beberapa contoh terkait
dengan desain lingkungan-binaan adalah :
1. Perencanaan jalan di perkotaan saat ini hampir selalu menyertakan ruang pejalan kaki yang
disebut sebagai “trotoir”, yang posisinya selalu lebih tinggi sekitar 20 cm dari muka jalan,
kemudian di bawah “trotoir” itu dibuat saluran air hujan. Problematiknya adalah 1) Perilaku
masyarakat untuk terbiasa membersihkan saluran tidak punya, karena sudah biasa dilayani.
2) Kalaupun ada yang bertugas, maka pelaksanaan tugasnya tidak rutin dilakukan. 3) Kalau
disimak dari arahan teknis membuat muka jalan harus “melengkung” sekitar 1% kearah
tepian jalan; akan tetapi sekarang perkara teknis ini tidak ada yang memperhatikan, bahkan
materialnyapun dari beton (bertulangkah?), yang sifat materialnya sulit dilengkungkan. 4)
Sifat beton memang tidak menyerap air, dan tidak lekang kena panas matahari,akan tetapi
bila terjadi retak rambut, maka sifat kekuatan beton “runtuh”; disamping memiliki tingkat
radiasi panas lebih tinggi daripada aspal. Pertanyaan yang relevan bagi keberlangsungan
ekosistem adalah, kapan lagi tepian jalan ada “bahu-jalan” yang berupa tanah berumput,
seperti saat awal abad XX dulu?
2. Bila ada ketentuan angka Koefisien Dasar Hijau = 30%, maka problematiknya rupa muka
lahan seperti apa sebesar 30% tersebut, apakah murni muka tanah yang hanya ditutupi
rumput ataukah mulai diberi material lain yang relatif tidak menyerap air.Pertanyaannya
adalah, mengapa penghuni rumah menjadi “takut” melihat tanah berumput?
Kedua contoh perkara desain ini dapat dilakukan dengan “niat” yang tinggi untuk memelihara
keberlangsungan proses alami, sebagaimana contoh di awal tulisan ini. Perkara yang dilematis
tentu dapat dijawab dengan cermat, karena ternyata yang berkehidupan sungguh akarab dengan
alam, justru menjadi obyek wisata, artinya hanya sebagai “tontonan” belaka. Bagaimana ini ?

Dalam menjelajahi kata kota perlu memahami beberapa kata kunci yaitu;
Pertama, adalah gagasan tentang Kota. Dalam bahasa Indonesia, kata Kota bermula sebagai
benteng. Daerah atau kawasan yang dilindungi dan dipertahankan, tempat kedudukan orang
penting dan berkuasa, pusat pemerintahan atau kerajaan. Dari pengertian yang khusus itu
kemudian berkembang dan mencakup pengertian Kota yang modern, yakni tempat kehidupan
orang banyak (kepadatan tinggi, di lingkungan yang terbatas) dengan berbagai keahlian khusus
(heterogen) yang bekerja sama didalam suatu hubungan organisasi tertentu. Seperti halnya
dengan definisi kebudayaan, maka untuk kota pun banyak dijumpai definisinya.
Para ahli belum sepakat, selain daripada kenyataan bahwa Kota itu berkitn dengan
masalah pengaturan penggunaan lahan. Akhirnya Rapoport (1979:32-34)17 berkesimpulan bahwa
17
RAPOPORT, Amos – 1979. “On the Cultural Origins of Settlements”, dalam Introduction to Urban Planning, New York:
McGrawHill, h.31-61
12/16
gagasan tentang kota tergantung pada pola budaya yang dianut atau dimiliki. Kesimpulan
Rapoport ini penting karena hal itu menunjukkan bahwa pengertian kota, ternyata dapat
disamaratakan begitu saja, apalagi kalau dikenakan pada masa awal peradaban manusia. Kini,
oleh kemajuan teknologi-komunikasi yang memungkinkan pengumpulan data pembanding yang
cukup banyak, telah dicapai keseragaman beberapa pengertian; misalnya pemahaman tentang
gejala “urbanism”.
Ada kota yang lahir oleh keinginan untuk menciptakan suatu keteraturan baru yang hanya
diujudkan melalui bentuk kekuasaan. Dan kekuasaan ini dapat tercipta hanya kalau ada “surplus”
(“economy of plenty”), yang dimungkinkan hanya kalau ada spesialisasi, atau pembagian kerja.
Pandangan seperti ini merupakan saripati teori lahirnya sebuah kota yang klasik, mengutamakan
kegiatan pertanian sebagai sumbernya. Itulah sebabnya, kota-kota lahir di daerah yang subur.

Kedua, adalah tentang Pusat Kota. Sejarah lahirnya kota-kota sebagai bagian dari peradaban
manusia, menunjukkan akan adanya hubungan antara gagasan “pusat” dengan kehidupan religius
(symbolism of “center” lihat: Eliade, 1969:27-51)18. Tampaknya, gagasan ini tidak dapat
dipertahankan tanpa penyertakan juga unsur-unsur alam (geografi dan/atau ekologi) dan juga
interaksi antara manusia dengan lingkungannya sendiri. Kondisi lingkungan dan jumlah
penduduk akan turut menentukan bentuk perwujudan akhir sebuah kota; mengapa candi-candi di
Jawa Timur lebih langsing daripada candi di Jawa Tengah merupakan contoh akan adanya
pengaruh hubungan itu (OngHokHam, 1983:169-180)19.
Pusat kota sama dengan pusat kekuasaan ( istana, masjid, atau kuil), tempat kedudukan
orang-orang penting dan penyimpanan bahan-bahan baku yang utama (pusa kota di mesopotamia
selalu mempunyai tandon air yang sangat besar). Dari titik itu memancar garis-garis pengaruh
yang pada hakikatnya berkehendak untuk mengatur dan mengelola demi kepentingan (dan
keselamatan) bersama. Dari situ pula muncul kata wasiat dalam peradaban manusia:
administrasi! Itu pula yang mengisyaratkan penguasaan tulis-menulis untuk lahirnya sebuah
kota. Dalam pustaka perancangan kota (urban design) yang modern, pengertian pusat kota ini
telah semakin semarak dan kompleks, serbaneka. Faktor yang dikandungnya semakin beragam,
kadang-kadang yang satu lebih dominan dari yang lainnya. Kadang menjadi sangat khusus
(Central Business District/CBD atau civic center/pusat pemerintahan), sehingga perwujudan
desain kotanya-pun khusus.

Ketiga adalah Alun-alun, lahan terbuka tempat berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pemerintahan dan kemasyarakatan mengambil tempat; itulah pusat kota! Menurut Haryoto
Kunto (1986:385ff)20 yang mengutip pembicaraannya dengan Van Romondt, kata alun-(alun)
berasal dari ombak atau gelombang laut yang menggambarkan banyaknya manusia yang
berkumpul di lahan terbuka itu. Alun-alun dapat juga dibandingkan dengan Agora di Yunani,
atau Forum di Romawi, yakni ruang terbuka tempat warga kota berinteraksi, dari kegiatan
ekonomi hingga dengan politik, atau juga terkait dengan ruang terbuka di tengah Bale Banjar
(kadang-kadang disertai Bale kulkul) yang didirikan orang Bali.
Ruang terbuka di tengah kawasan, seperti halnya dengan Alun-alun ini, merupakan “titik
nol” untuk berorientasi, tempat awal perwujudan gagasan imago mundi, idealisasi alam raya di
muka bumi. Manusia Renaisans mengabstraksikannya ke dalam diri “Aku” (ego) dan yang
kemudian membebaskannya dari alam benda (ontologis), seperti halnya juga tugu (axial mundi)
yang menandai dibebaskannya suatu lahan dari pengaruh kekuasaan roh jahat dan
menjadikannya lahan yang aman dan absah bagi kehidupan manusia. Dari sudut ini, kebiasaan
untuk menanam pohon beringin ditengahnya adalah suatu tindakan penegasan suatu
pengembangan rutialistik lebih lanjut.
18
ELIADE, Mircea – 1969. Image & Symbols, Studies in Religious Symbolism,New York: Sheed and Ward.
19
OngHokHam – 1983. Proses Kesenian Indonesia dari Masa ke Masa, dalam Rakyat dan Negara, Jakarta: Sinar Harapan,
h.169-180
20
KUNTO, Haryoto – 1989. Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia
13/16
Mengakhiri tulisan ini, mari disimak gambar-gambar desain lingkungan-binaan, bukan
berati yang terbaik akan tetapi biarkan menginspirasi kritis mana dan apa yang benar atau yang
keliru atas fakta lingkungan ini.

Gambar – 10 :
Dua model desain lingkungan-binaan perkotaan, kota berbasis tata-ruang ex Hindia-Belanda (gambar atas, kota
Surabaya); dan tata-ruang perkotaan berbasis “monarchical-values”, kota Yogyakarta.
Perhatikan ekspresi tata massa Bangunan/Gedung yang “berkompetitif” dalam ekspresi “modernitas” morphologis
pada model desain kota Surabaya. Perhatikan pula citra ekspresif dari kota yang berbasis “traditional-values” pada
lingkungan perkotaan kota Yogyakarta. Sumber : Google map 2015

14/16
Gambar – 11 : Pandanga ke Taman Diponegoro Semarang dari arah utara.
Perhatikan desain trotoir dan eksistensi fungsi taman publik kota. Sumber : google street view 2015

Gambar – 12 : Panorama lokal kota Banjarmasin, kota Ambon dan kota Manado.
Panorama tipikal desain Lingkungan-binaan di awal abad XXI, berbangunan tinggi, padat, “less of natural elements”.
Sumber : Google.com

Gambar – 13 : Model tipikal


pemanfaatan lahan yang dikendalikan
melalui ketentuan rasio lahan tertutup
bangunan dan lahan terbuka. Contoh ini
adalah Gedung Museum di kota Medan.
Sumber : Google.com

15/16
Gambar – 14 : Dua model Panorama desain koridor dengan determinasi geografis sungai, dipandang ke arah Gedung
Balaikota Surabaya (atas). Panorama Taman Balaikota Surabaya.
Dapatkah model desain ini menjadi contoh desain yang mendayagunakan basis “urban-sustainability”, sementara diberitakan Surabaya
Raih Penghargaan ASEAN Environment Sustainable City / Mei 28, 2011
Sumber : Google Street view 2015 dan SurabayaPost.

Dari gambar-gambar fenomenal diatas terasa bahwa menganalisis faktor-faktor yang


berpengaruh pada desain lingkungan-binaan terhadap desain arsitektural, dapat di dekati melalui
aspek spasial dan fungsional yang secara aktual eksis serta memiliki potensi baik untuk di
kembangkan. Kedua aspek
tersebut seolah bersaing satu
sama lain, walaupun keduanya
dalam kesatuan. Problematika
akan muncul ketika keduanya
tidak dapat didudukan secara
proporsional, yang ditandai
dengan kehilangan harmoni
dinamika totalitas kegiatan
pada area terkait. Kedudukan
aspek spasial dan aspek
fungsional, terhadap dinamika
kegiatan lingkungan perkotaan
dapat di simak dari matriks di
samping ini ini.

Terimakasih, Bandung 11 Februari 2016. / FX Budiwidodo Pangarso, dan rekan.

16/16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai