Kota Pusaka Berbasis Komunitas
Kota Pusaka Berbasis Komunitas
005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
ABSTRAK
Pelestarian dan pengelolaan pusaka merupakan hal yang penting untuk menjamin keberlanjutan
pusaka untuk generasi mendatang. Pelestarian dan pengelolaan pusaka di Indonesia seringkali tidak
dilakukan secara bersama-sama antara pemangku kepentingan dan komunitas sehingga pelestarian
dan pengelolaanya tidak berhasil, padahal keterlibatan komunitas dapat menjamin keberhasilannya.
Penelitian ini bertujuan menelusuri mengenai pengelolaan pusaka berbasis komunitas berdasar
kajian penelitian terdahulu sekaligus mengetahui tahapan yang dilakukan dalam pelestarian dan
pengelolaan berbasis komunitas. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur
referensi mengenai pusaka dan komunitas. Hasil kajian menunjukan ada tiga tahapan yang
dilakukan yaitu; peningkatan kesadaran pusaka komunitas, keterlibatan komunitas dalam kebijakan
dan kerja sama komunitas dan pemangku kepentingan. Ketiganya dilakukan untuk mencapai tujuan
pelestarian dan pengelolaan pusaka berkelanjutan.
Kata Kunci: pelestarian, pengelolaan, pusaka, komunitas
ABSTRACT
Heritage conservation and management is important to ensure heritage sustainability for future
generations. Heritage conservation and management in Indonesia is often not carried out jointly
between stakeholders and the community so it is not successful, even though community
involvement can guarantee its success. This study aims to explore community-based heritage
management based on previous research studies as well as find out the steps taken in community-
based conservation and management. The method used in this article is a reference literature study
on heritage and community. The results of the study showed that there were three stages carried out
namely; increasing awareness of community heritage, community involvement in policy and
community and stakeholder cooperation. All three are carried out to achieve the goal of preservation
and sustainable management of heritage.
Keywords: preservation, management, heritage, community
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 263
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 264
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 265
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274
sama, atau dalam pengelolaan pusaka, Tenggara Timur. Dalam konteks kehidupan
disatukan oleh keberadaan pusaka tersebut. masyarakat adat suku Boti sejak dini
Ketiga, komunitas saling mendukung untuk dikenalkan bagaimana praktik pengelolaan
mencapai tujuan bersama. Sehingga, lingkungan berbasis kearifan lokal yang
komunitas sebenarnya memiliki kekuatan dilakukan oleh keluarga, orang tua dan
untuk melakukan suatu kegiatan pengelolaan kerabat terdekat, sehingga pengaruh dari
terutama apabila disatukan oleh batasan hal-hal tersebut makna lain tertanam di
geografis pusaka yang sama. Akan tetapi, dalamnya dan menjadi aliran pengalaman.
Komunitas lokal jarang dianggap sebagai Pengalaman ini kemudian akan terakumulasi
penjaga jangka panjang yang keberadaan dalam pengetahuan, yang kemudian akan
dan keberhasilanya secara intrinsik terkait digunakan oleh mereka untuk menjadi acuan
dengan pelestarian dan pengembangan situs dalam melakukan tindakan sehari-hari
pusaka (Kyriakidis, 2019). Padahal potensi (Abdussamad, 2022). Oleh karena itu,
komunitas sangatlah besar, mengingat masyarakat adat Boti dapat terus menjadi
bahwa komunitas lokal merupakan penghuni pelestarian alam secara turun-temurun.
atau masyarakat terdekat dengan pusaka. Melestarikan alam pusaka sudah menjadi
Seringkali, pengelolaan pusaka yang bagian kehidupan masyarakat adat sehari-
dilakukan tanpa melibatkan komunitas terasa hari.
sebagai pengelolaan yang artificial (N.A.A. Dalam sebuah penelitian yang
Aziz, 2022). dilakukan oleh Fidler et al. (2022)
Pengelolaan pusaka berbasis menyatakan bahwa kawasan yang dijaga
komunitas adalah suatu pendekatan yang dan dilestarikan oleh masyarakat adat dan
melibatkan partisipasi aktif komunitas lokal komunitas lokal di perairan antara Maluku
dalam pemeliharaan, pengembangan, dan dan Papua menunjukan jumlah biomassa
pemanfaatan pusaka. Dari literatur yang yang lebih tinggi daripada yang dikelola oleh
ditelaah dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah dan swasta (aktor luar kawasan).
pendekatan pelestarian dan pengelolaan Komunitas dan masyarakat adat yang terlibat
pusaka berbasis komunitas dilakukan dalam aktif menjaga kawasan nyatanya
beberapa tahapan. memberikan dampak yang lebih besar.
Masyarakat adat yang melestarikan kawasan
Kesadaran Komunitas Pusaka saujana akan berperan lebih aktif untuk
Membangun kesadaran komunitas bersama-sama menjaga pusaka, daripada
tentang pentingnya memelihara dan hanya menetapkan aturan dan larangan
melestarikan pusaka adalah Langkah awal seperti yang dilakukan pemerintah pada
terpenting dalam pengelolaan pusaka kawasan pusaka (Fidler et al., 2022).
berbasis komunitas (Al Haija, 2011; Kesadaran komunitas mengenai
Kyriakidis, 2019; Li & Hunter, 2015). pelestarian juga menjadi penyelamatan
Komunitas perlu menyadari bahwa pusaka saujana dari kerusakan. Pusaka
pelestarian pusaka akan memberi saujana merujuk pada merupakan produk
keuntungan bagi komunitas itu sendiri. kreativitas manusia dalam merubah bentang
Keuntungan ekonomi, sosial dan adanya alam dalam waktu yang lama sehingga
keberlanjutan budaya akan muncul dengan didapatkan keseimbangan kehidupan antara
terjaganya pusaka di kawasan tersebut alam dan manusia (Adhisakti et al, 2017).
(Bolici, 2020; Ngulube, 2018). Salah satunya adalah Desa Nglanggeran,
Beberapa contoh mengenai Kabupaten Gunung Kidul. Pada desa ini
meningkatkan keasadaran masyarakat akan terdapat beberapa situs pusaka yaitu,
pusaka Adanya masyarakat adat yang masih Gunung Api Purba, Kampung Pitu, dan juga
terus menjaga keasliaan alam, budaya dan kekayaan pusaka budaya melalui kegiatan
arsitektur bangunan rumah mereka secara budaya tradisional masyarakat, misalnya
turun temurun menjadi bukti bahwa Rasulan yang dilakukan sebagai bentuk
masyarakat Indonesia telah memiliki syukur setelah panen berhasil dilakukan.
kesadaran sebagai pelestari pusaka. Akan tetapi, warga Nglaggeran sendiri
Sebagai contoh masyarakat Nagari awalnya tidak menganggap kawasanya
Minangkabau, yang sudah menjalankan menarik sehingga lebih banyak yang
sistem nagari secara turun temurun, dan meninggalkan kampung dan juga melakukan
tetap melestarikan rumah adat sebagai perusakan alam dengan mengambil batu dan
bagian dari kehidupan mereka. Begitu pula menebang pohon disekitar Gunung Purba.
halnya dengan masyarakat adat Boti, Karang Taruna Desa Nglanggeran
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa (Organisasi Pemuda Bukit Putra Mandiri)
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 266
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
menyadari jika kondisi ini terus berlanjut akan (Kelompok Sadar Wisata) Nglanggeran.
menimbulkan kerusakan lingkungan yang Kegiatan yang dibangun oleh komunitas
berdampak negatif bagi kehidupan nyatanya menjadi suatu gerakan nyata upaya
masyarakat. Berbagai kegiatan peningkatan pelestarian yang berhasil menjaga
kesadaran masyarakat terus dilakukan oleh keberlanjutan situs pusaka dan saujana juga
karang taruna. Atas dasar itulah, Pemerintah meningkatkan pemberdayaan masyarakat
Desa Nglanggeran memercayakan lokal.
pengelolaan lahan seluas 48 ha untuk Dari dua pembahasan diatas
dikelola Karang Taruna Bukit Putra Mandiri. disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat
Karang Taruna sebagai sebuah komunitas merupakan langkah awal dalam pengelolaan
lokal kemudian melakukan serangkaian pusaka berbasis komunitas. Peningkatan
kegiatan untuk pelestarian, dimulai dari kesadaran masyarakat dapat berasal dari
penyadaran, pengkapasitasan dan masyarakat sendiri atau dari pihak lain/
pemberian daya (Wahyuni, 2018). komunitas pemerhati yang kemudian
Penyadaran dilakukan melalui sosialisasi memberikan edukasi mengenai pentingnya
dan inovasi oleh Karang Taruna Putra Bukit pelestarian dan pengelolaan pusaka oleh
Mandiri untuk menyadarkan masyarakat masyarakat lokal dan komunitas.
akan potensi desa Desa Nglanggeran, yaitu
sebagai desa wisata. Setelah tumbuh Kesadaran komunitas pusaka
kesadaran masyarakat akan potensi desa, kemudian dibagi menjadi 4 hal, pengetahuan
kemudian dilakukan pengkapasitasan. dasar, kesadaran mengenai metode
Pengkapasitasan pengelola desa wisata pelestarian, makna dan nilai penting pusaka
dilakukan melalui pelatihan seputar dan kegunaan dan manfaat melestarikan
pengelolaan desa wisata. Masyarakat yang pusaka. Keempat hal ini menjadi modal bagi
telah mempunyai kapasitas kemudian diberi komunitas untuk melakukan pelestarian dan
daya untuk mencapai kemandirian. pengelolaan pusaka. Dengan adanya
Kemandirian dilakukan dengan pengelolaan kesadaran masyarakat yang mumpuni,
dana-dana bantuan yang didapat untuk tahapan pengelolaan pusaka berikutnya
kegiatan pelestarian dan ekonomi. Hasilnya akan mudah dilakukan. Setelah munculnya
pada tahun 2018, Desa Nglaggeran kesadaran maka perlu keterlibatan dan
mendapat pengharga desa wisata pemberdayaan atau kerjasama dengan
berkelanjutan terbaik di ASEAN. Komunitas pemangku kepentingan.
Karang Taruna yang menjadi penggerak
utama pelestarian pusaka saujana
Nglagerran kini menjadi Pokdarwis
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 267
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274
Keterlibatan Komunitas dalam Kebijakan pengelolaan pusaka (Cots, 2011; Li & Hunter,
Pengelolaan kawasan pusaka harus 2015).
dilakukan secara terintegrasi dengan Salah satu contoh studi mengenai
pengembangan komunitas lokal yang keterlibatan komunitas dalam kebijakan
berbasis pada partisipasi dan interaksi terjadi di Penang. Penang Heritage Trust
berkelanjutan antara tempat, masyarakat yang beranggotakan masyarakat lokal, aktor
dan pengunjung/ pengguna (Al-hagla, 2010; pelestari dan Lembaga sosial telah
Cina’ et al., 2019). Keterlibatan komunitas membuktikan peranya dalam melestarikan
dalam pengelolaan pusaka terbukti kawasan pusaka Penang. Penang Heritage
menunjukan efektifitas dalam keberlanjutan Trust menggunakan pendekatan bottom-up
ekonomi dan social pusaka (Dormaels, 2016; untuk menentang prioritas pembangunan
Yang, 2014). Manajemen partisipatif dan negara dan melestarikan identitas lokal yang
pelibatan aktor lokal akan membantu dilecehkan oleh rezim yang berkuasa pada
menjaga komunitas tetap hidup dan dinamis masa awal pembentukanya (Cheng, Li, & Ma,
secara ekonomi (Dormaels, 2016) dan 2014). Penang Heritage Trust menyusun
memandang pusaka budaya tidak hanya agenda pelestarian, mengumpulkan dana,
sebagai sisa atau bangunan tak bergerak, menggerakan pelestarian di kawasan,
tetapi sebagai konstruksi sosial yang terkait mencegah demolisi hingga menentukan
dengan makna simbolis kolektif pusaka oleh pusaka yang memiliki nilai penting bagi
kelompok sosial. Syarat utama mendorong masyarakat Penang. Penang Heritage Trust
partisipasi dalam pengelolaan pusaka kota juga merupakan komunitas yang
adalah kemauan politik untuk mendengarkan memasukan Penang dalam daftar Situs
dan memasukkan semua pemangku Pusaka Dunia. Tidak hanya kelompok-
kepentingan, untuk mengidentifikasi kelompok komunitas yang berperan dalam
mekanisme membangun kepercayaan dan proses tersebut, Penang Heritage Trust juga
menghasilkan hasil sebagai imbalan atas berfokus menjadikan pelestarian sebagai
kolaborasi (Bernhard et al., 2020; Dormaels, bagian dari hidup masyarakat hingga
2016; Li dan Hunter, 2015; Olsson et al., mendapatkan kepercayaan untuk melawan
2020; Yang, 2014). Hal ini menunjukan atau bahkan menghadapi pemerintah. Saat
bahwa keterlibatan komunitas menjadi kunci ini, Penang Heritage Trust merupakan
dalam keberlanjutan pusaka. Keterlibatan sebuah Lembaga non-pemerintah yang
komunitas yang kemudian berkolaborasi memprakarsai banyak kegiatan dan aksi
dengan pemangku kepentingan akan pelestarian di Penang serta berkerjasama
menjadikan pusaka lestari. dengan pemerintah dalam melestarikan
Arnstein (1969) dan Cole, (2006) kawasan pusaka Penang (Cheng et al.,
menggambarkan keterlibatan komunitas 2014). Penang Heritage Trust sebagai
dalam beberapa tingkatan. Tingkatan sebuah komunitas telah berada pada
pertama adalah non-partisipatif, artinya tingkatan ketiga dalam keterlibatan
komunitas tidak dilibatkan dan pengelolaan pengelolaan pusaka.
sepenuhnya ada pada pemangku Komunitas masyarakat lokal
kepentingan (Arnstein, 1969). Pada tingkatan perkotaan di Indonesia juga nyatanya
ini komunitas tidak memiliki peran apapun, memberikan kontribusi terhadap pengelolaan
hal ini seringkali memicu pergesekan antara kawasan pusaka di perkotaan. Misalnya
komunitas dan pemangku kepentingan. keterlibatan komunitas dalam penentuan
Tingkatan kedua adalah keterlibatan kriteria nilai penting pusaka di Kota Medan
minimum. Pada tingkatan ini komunitas (Fitri et al., 2019). Dalam tulisanya, Fitri et al.
terlibat dlam hal-hal sederhana dan formal, ( 2019), menjelaskan belum adanya kriterian
seperti menghadiri seremonial, dimintai nilai penting penentuan atau penetapan
konsultasi dan diskusi (Cole, 2006; Cots, pusaka yang jelas dan terukur di Kota
2011). Sedangkan tingkatan ketiga adalah Medan, sehingga perlu adanya penentuan
keterlibatan aktif. Pada tingkatan ini, yang jelas, salah satunya dilihat dari sudut
komunitas mulai berdaya, mampu pandang komunitas. Fitri et al. (2019)
mengungkapkan pendapat, terlibat aktif menyatakan peranan penting komunitas
dalam pengelolaan, hingga bermitra dengan pada awal penentuan niali penting untuk
pemangku kepentingan. Tingkatan penetapan pusaka akan meningkatkan
keterlibatan yang semakin besar sebenarnya keterikatan komunitas terhadap pusaka, baik
merupakan modal sosial, meningkatkan benda maupun tak benda, nantinya. Hasil
oprasional dan menurunkan biaya penelitian telah membuktikan bahwa kriteria
penilaian signifikansi pusaka dapat
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 268
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 269
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274
pusaka. Artinya, pemangku kepentingan dan jumlah besar cukup berhasil diatasi dengan
komunitas bekerja sama dan bersinergi kolaborasi yang efisien antara kota dan
sesuai ranah masing-masing. Pelestarian penduduk setempat yang telah akrab dengan
dan pengelolaan pusaka tidak akan berjalan machizukuri partisipatif (Watanabe, 2006).
baik tanpa adanya kerja sama antara Di Indonesia sendiri, merupakan
komunitas dan pemangku kepentingan (Noor negara yang memiliki banyak aset pusaka
Azramalina Abdul Aziz et al., 2022). baik di kawasan perkotaan dan kawasan
Misalnya, adanya kebijakan mengenai non-perkotaan. Komunitas di Indonesia mulai
kawasan pusaka seperti pengurangan pajak menggeliat pada tahun 1987, ditandai
bangunan pusaka, akan berpengaruh pada berdirinya Paguyuban Pelestari Budaya
bagaimana komunitas masyarakat Bandung. Selanjutnya tumbuh organisasi di
melestarikan bangunan pusaka yang mereka daerah lain seperti Paguyuban Pusaka Jogja
miliki. Kerjasama antara komunitas dan (Jogja Heritage Society) tahun 1991,
pemangku kepentingan merupakan Yogyakarta Heritage Trust (1992), Badan
keterlibatan komunitas pada tingkat tertinggi. Warisan Sumatra (1998), Badan Warisan
Kerja sama yang ada dapat berbentuk Sumatra Barat (1999), dll. Komunitas
banyak hal seperti penataan kawasan, pelestari yang muncul di kota-kota sebagai
program kebudayaan, pengelolaan asset sebuah pergerakan yang banyak
melalui skema kemitraan public privat, dan mempersoalkan mengenai perubahaan
namyak lagi. pusaka perkotaan serta pengelolaanya
Salah satu pergerakan komunitas (Adishakti, 2014). Pergerakan pelestarian
pelestari yang paling terkenal adalah oleh komunitas terus berkembang di
Machizukuri Jepang. Pada akhir 1960-an dan Indonesia hingga pada tahun 2002 terbentuk
awal 1970-an, machizukuri Jepang Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia
mengorganisir kegiatan yang berlangsung di (JPPI). JPPI kemudian bekerjasama dengan
berbagai tempat untuk menghadapi ICOMOS Indonesia dan Kementrian
ancaman lingkungan. Dalam banyak protes Kebudayaan dan Pariwisata untuk
dan kerusuhan yang dimulai serentak di mendeklarasikan Piagam Pelestarian
seluruh dunia pada tahun 1960-an, Pusaka Indonesia di tahun 2003.
machizukuri muncul sebagai filosofi ideal Keberadaan piagam ini memiliki arti yang
berdasarkan diskusi lokal tentang perbaikan sangat penting untuk pelestarian pusaka di
lingkungan, gaya hidup, dan komunitas Indonesia karena merupakan piagam
(Satoh, 2019). Pada tahun 1981, Kobe pertama yang dapat menjadi pedoman moral
adalah kota pertama yang mengadopsi dan etika pelestarian, serta disusun oleh
peraturan machizukuri (jôrei) di Jepang dan berbagai pihak dan lintas disiplin ilmu
mengembangkan sistem baru yang (Adishakti, 2016). Untuk mengawal
menggabungkan tiga alat perencanaan pelaksanaan piagam dan pengembangan
penting yang akan memudahkan partisipasi pelestarian pusaka, dibentuk Badan
machizukuri. Alat pertama adalah dewan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada
machizukuri (kyôgikai), yang mewakili tahun 2004. BPPI ini kemudian menjadi satu
penduduk daerah tersebut lingkungan. Yang komunitas berbadan hukum yang banyak
kedua adalah sistem yang menyediakan membantu komunitas lokal untuk
layanan profesional, dibayar oleh kota, berkegiatan pelestarian, hingga memberi
adanya dewan machizukuri untuk acara masukan untuk kebijakan, program, dan
machizukuri, terutama untuk perencanaan. panduan kepada pemerintah (Adishakti,
Alat ketiga adalah struktur prosedural di 2016; Wijayanto, 2016). Keberadaan BPPI
mana kota akan secara resmi menerima dan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)
proposal machizukuri (teian) dari dewan menunjukan adanya kerja sama antara
machizukuri mana pun dan akan komunitas dan pemangku kepentingan. JKPI
mengembangkan perjanjian machizukuri sendiri merupakan wadah yang terdiri dari
(kyôtei) dengannya yang pada akhirnya akan para walikota, bupati yang kotanya masuk
diterapkan. Ketentuan partisipatif intensif dalam Kota Pusaka Indonesia. JKPI sebagai
semacam ini tidak ada dalam sistem nasional wadah pemangku kepentingan terus bekerja
perencanaan kota menurut undang-undang sama dengan BPPI untuk menghasilkan
pada saat itu - juga tidak ada saat ini. Ini kebijakan, rencana aksi pengelolaan pusaka
terbukti menjadi sistem yang sangat efektif dan program-program pelestarian.
dalam proses rekonstruksi di kemudian hari, Dari pembahasan diatas mengenai
setelah Gempa Kobe tahun 1995, karena kerja sama antara komunitas dan pemangku
tantangan perencanaan rekonstruksi dalam kepentingan, ada beberapa poin penting
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 270
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 271
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274
agenda? The case of the monastic Blackburn, K. (2015). The Rise of Malaysian
community of Mount Athos. Heritage Non-Governmental
Conservation and Management of Organizations (1969–2005). Journal
Archaeological Sites, 15(1), 59–75. of the Malaysian Branch of the Royal
https://doi.org/10.1179/1350503313 Asiatic Society, 88(2 (309)), 51–76.
Z.00000000047 JSTOR. Retrieved from JSTOR.
Al-hagla, K. S. (2010). Sustainable urban Bolici, R. (2020). Reusing built heritage.
development in historical areas using Design for the sharing economy.
the tourist trail approach: A case Research for Development, (Query
study of the Cultural Heritage and date: 2022-07-18 14:02:46), 315–
Urban Development (CHUD) project 324. https://doi.org/10.1007/978-3-
in Saida, Lebanon. Cities, 27(4), 030-33256-3_29
234–248. Cheng, E. W., Li, A. H. F., & Ma, S. (2014).
https://doi.org/10.1016/j.cities.2010. Resistance, Engagement, and
02.001 Heritage Conservation by Voluntary
Arnstein, S. R. (1969). A Ladder Of Citizen Sector: The Case of Penang in
Participation. Journal of the Malaysia. Modern Asian Studies,
American Institute of Planners, 35(4), 48(3), 617–644. JSTOR. Retrieved
216–224. from JSTOR.
https://doi.org/10.1080/0194436690 Chitty, G. (Ed.). (2016). Heritage,
8977225 Conservation and Communities:
Aziz, N.A.A. (2022). The Comparison of the Engagement, participation and
Best Practices of the Community- capacity building (0 ed.). Routledge.
Based Education for Living Heritage https://doi.org/10.4324/9781315586
Site Conservation. Lecture Notes in 663
Civil Engineering, 161(Query date: Cina’, G., Demiröz, M., & Mu, Q. (2019).
2022-09-14 13:33:32), 1–8. Participation and conflict between
https://doi.org/10.1007/978-981-16- local community and institutions in
2329-5_1 conservation processes: The case of
Aziz, Noor Azramalina Abdul, Ariffin, N. F. M., Novara Old Town. Journal of Cultural
Ismail, N. A., Ismail, S., Alias, A., & Heritage Management and
Utaberta, N. (2022). The Comparison Sustainable Development, 9(2),
of the Best Practices of the 134–148.
Community-Based Education for https://doi.org/10.1108/JCHMSD-05-
Living Heritage Site Conservation. In 2018-0038
L. Yola, U. Nangkula, O. G. Cole, S. (2006). Information and
Ayegbusi, & M. Awang (Eds.), Empowerment: The Keys to
Sustainable Architecture and Achieving Sustainable Tourism.
Building Environment (pp. 1–8). Journal of Sustainable Tourism,
Singapore: Springer Singapore. 14(6), 629–644.
https://doi.org/10.1007/978-981-16- https://doi.org/10.2167/jost607.0
2329-5_1 Cots, E. G. (2011). Stakeholder social capital:
Bakar, A. A., Osman, M. M., Bachok, S., & A new approach to stakeholder
Ibrahim, M. (2014). Analysis on theory. Business Ethics: A European
Community Involvement Level in Review, 20(4), 328–341.
Intangible Cultural Heritage: Malacca https://doi.org/10.1111/j.1467-
Cultural Community. Procedia - 8608.2011.01635.x
Social and Behavioral Sciences, 153, Dormaels, M. (2016). Participatory
286–297. management of an urban world
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014 heritage site: The Table de
.10.062 Concertation du Vieux-Québec.
Bandarin, F. (2019). Reshaping Urban Journal of Cultural Heritage
Conservation. In A. Pereira Roders & Management and Sustainable
F. Bandarin (Eds.), Reshaping Urban Development, 6(1), 14–33.
Conservation (pp. 3–20). Singapore: https://doi.org/10.1108/JCHMSD-11-
Springer Singapore. 2014-0038
https://doi.org/10.1007/978-981-10- Elyanta, M. (n.d.). Peran Komunitas Aleut
8887-2_1 dalam Pelestarian Bangunan Cagar
Budaya Kota Bandung.
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 272
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 273
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 274
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005
Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license
Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 275