Anda di halaman 1dari 13

DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.

005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN PUSAKA


BERBASIS KOMUNITAS: KAJIAN TEORITIK

Ristya Arinta S1, Laretna T Adishakti2


1 Program Studi Doktor Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1Program Studi Arsitektur, Universitas Trisakti, Jakarta
2 Program Studi Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Surel: 1 ristya.arinta@trisakti.ac.id;

Vitruvian vol 12 no 3 Juni 2023


Diterima: 10 04 2023 | Direvisi: 30 05 2023 | Disetujui: 13 06 2023 | Diterbitkan: 30 06 2023

ABSTRAK
Pelestarian dan pengelolaan pusaka merupakan hal yang penting untuk menjamin keberlanjutan
pusaka untuk generasi mendatang. Pelestarian dan pengelolaan pusaka di Indonesia seringkali tidak
dilakukan secara bersama-sama antara pemangku kepentingan dan komunitas sehingga pelestarian
dan pengelolaanya tidak berhasil, padahal keterlibatan komunitas dapat menjamin keberhasilannya.
Penelitian ini bertujuan menelusuri mengenai pengelolaan pusaka berbasis komunitas berdasar
kajian penelitian terdahulu sekaligus mengetahui tahapan yang dilakukan dalam pelestarian dan
pengelolaan berbasis komunitas. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur
referensi mengenai pusaka dan komunitas. Hasil kajian menunjukan ada tiga tahapan yang
dilakukan yaitu; peningkatan kesadaran pusaka komunitas, keterlibatan komunitas dalam kebijakan
dan kerja sama komunitas dan pemangku kepentingan. Ketiganya dilakukan untuk mencapai tujuan
pelestarian dan pengelolaan pusaka berkelanjutan.
Kata Kunci: pelestarian, pengelolaan, pusaka, komunitas

ABSTRACT
Heritage conservation and management is important to ensure heritage sustainability for future
generations. Heritage conservation and management in Indonesia is often not carried out jointly
between stakeholders and the community so it is not successful, even though community
involvement can guarantee its success. This study aims to explore community-based heritage
management based on previous research studies as well as find out the steps taken in community-
based conservation and management. The method used in this article is a reference literature study
on heritage and community. The results of the study showed that there were three stages carried out
namely; increasing awareness of community heritage, community involvement in policy and
community and stakeholder cooperation. All three are carried out to achieve the goal of preservation
and sustainable management of heritage.
Keywords: preservation, management, heritage, community

PENDAHULUAN merupakan salah satu negara dengan aset


pusaka yang tersebar diseluruh daerah.
Pusaka yang ditinggalkan dari masa lalu
Namun, masalah-masalah pusaka masih
memegang peranan penting dalam
banyak dialami di daerah-daerah di
kehidupan bermasyarakat saat ini. Pusaka
Indonesia.
menjadi saksi dan bukti kejadian-kejadian
Salah satu masalah pusaka yang
penting di masa lalu sekaligus juga
banyak dialami daerah di Indonesia berkaitan
berpotensi menjadi bagian perkembangan
dengan pelestarian dan pengelolaan pusaka.
masyarakat. Pusaka merupakan kekayaan
Pelestarian dimaknai sebagai berbagai
arsitektur yang harus dilestarikan baik oleh
upaya untuk merawat, menjaga dan
pemerintah maupun masyarakat. Indonesia

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 263
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274

memperpanjang usia dari pusaka. Adishakti (2003), peran komunitas dalam


Sedangkan pengelolaan pusaka merupakan pelestarian pusaka oleh Bakar et al., (2014);
kegiatan menyeluruh meliputi perencanaan, Blackburn,(2015); Cina’ et al., (2019);
pelaksanaan, pengelolaan kegiatan hingga Elyanta, n.d.; Fitri et al., (2019); Winandari et
pemasaran pusaka. Pelestarian dan al., (2022), akan tetapi, kajian teorititis
pengelolaan pusaka di Indonesia seringkali mengenai hal tersebut masih sangat sedikit
tidak dilakukan secara bersama-sama antara dilakukan, lebih banyak mengenai peran
pemangku kepentingan dan komunitas komunitas dalam pengelolaan pusaka.
sehingga pelestarian dan pengelolaanya Terutama mengenai keberhasilan
tidak berhasil. Padahal peran komunitas pengelolaan pusaka di Indonesia masih
akan menjamin keberhasilan pada belum banyak dibahas secara menyeluruh,
pelestarian dan pengelolaan pusaka baik komunitas tingkat lokal, daerah maupun
terutama pada kawasan pusaka yang masih nasional.
dihuni/ditinggali oleh masyarakat (Wijesuriya,
2015).
Gerakan pelestarian berbasis METODOLOGI
masyarakat/komunitas menjadikan
Metodologi yang digunakan adalah
komunitas sebagai inti dari pelestarian
kajian literatur. Kajian literatur meninjau
berdampingan dengan situs pusaka.
secara kritis pengetahuan, gagasan atau
Komunitas ini, yang disebut sebagai
temuan pada literatur atau naskah akedemik
“komunitas inti”, dipandang sebagai bagian
yang telah diterbitkan, yang kemudian
tak terpisahkan dari pusaka, dan dengan
merumuskan secara teoritis untuk topik
demikian jelas dibedakan dari kelompok
tersebut (Cooper, 2010). Literatur yang
masyarakat lain yang terlibat dalam
digunakan adalah literatur yang dapat secara
kehidupan pusaka, sering disebut sebagai
teoritis memberikan gambaran mengenai
“komunitas yang lebih luas” (Poulios, 2014, p.
pelestarian berbasis komunitas serta praktek
21). Pendekatan berbasis komunitas
pelestarian berbasis komunitas yang baik
merupakan sebuah pendekatan yang
berhasil.
diperkenalkan oleh UNESCO sebagai
Hasil kajian literatur kemudian
sebuah pendekatan pelestarian berbasis
dianalisis dan dirumuskan menjadi beberapa
manusia (people centred approach). Pusaka
poin atau Langkah-langkah yang bisa
bukan hanya merujuk pada aset nyata atau
dilakukan dalam melakukan pengelolaan dan
tangible akan tetapi juga pada aset
pelestarian berbasis komunitas. Hal ini dapat
intangible. Pusaka benda dan tak benda
menjawab tujuan penelitian yang dilakukan
diwarisi dari nenek moyang kita dan
mengenai bagaimana agar pengelolaan dan
diwariskan kepada keturunan kita, termasuk
pelestarian pusaka berbasis komunitas
tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial,
berhasil dilakukan.
ritual dan acara perayaan, pengetahuan dan
praktik tentang alam dan alam semesta, dan
pengetahuan dan keterampilan yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
berkaitan dengan keahlian (UNESCO, 2019).
Lantas, bagaimana keterlibatan Pusaka, Pengelolaan dan Komunitas
komunitas dalam pengelolaan pusaka? Sebelum mengetahui mengenai
Apakah komunitas sebagai aktor tunggal pendekatan pengelolaan berbasis
dalam proses pelestarian? Dan bagaimana komunitas, perlu pemahaman awal terlebuh
tingkat keberhasilanya? Melalui makalah ini dahulu mengenai pusaka, pelestarian dan
akan dilakukan studi literatur mengenai pengelolaan serta komunitas pusaka itu
pendekatan pelestarian berbasis keterlibatan sendiri. Pusaka menurut Oxford Dictionary
komunitas, serta contoh baik yang telah berarti property yang diwariskan atau
dilakukan di Indonesia dan mancanegara. peninggalan. Sedangkan menurut LeBlanc
Artikel ini bertujuan menelusuri mengenai (1993) pusaka merujuk pada apa pun yang
pengelolaan pusaka berbasis komunitas ingin dipertahankan, dijaga untuk generasi
berdasar kajian penelitian terdahulu berikutnya. Pusaka merupakan sesuatu yang
sekaligus menelusuri penerapan nyata, berwujud maupun tak berwujud,
pengelolaan pusaka berbasis komunitas mungkin diteruskan atau diwariskan serta
yang baik. Penelitian mengenai pengelolaan diakui oleh masyarakat memiliki nilai
pusaka berbasis komunitas memang telah (ICOMOS, 1982; Ville de Montréal, 2005).
banyak dilakukan antara lain pelestarian Pusaka juga memiliki nilai khusus bagi
pusaka dan komunitas Kotagede oleh masyarakat yang menimbulkan keinginan

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 264
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

untuk menjaga, melindungi, mengadopsi, menjelaskan bahwa pusaka harus dikaitkan


mempromosikan dan menyebarluaskan dengan budaya dalam pengelolaannya
pusaka. Sehingga pusaka secara umum sebagai satu kesatuan, lebih khususnya
merupakan peninggalan aset dari alam budaya yang berkembang pada masyarakat
maupun buatan manusia yang memiliki nilai yang berdiam dikawasan pusaka.
penting untuk generasi berikutnya. pengelolaan pusaka merupakan suatu
Karena adanya nilai-nilai penting proses yang kompleks yang melibatkan
dalam pusaka, perlu ada tindakan banyak pemangku kepentingan dan
melestarikan dan mengelola pusaka tersebut tantangan. Penting untuk mempertahankan
sehingga dapat berkelanjutan. Pelestarian keaslian dan integritas pusaka, serta
didefinisikan sebagai semua upaya yang melibatkan masyarakat dalam proses
dirancang untuk memahami warisan budaya, pengelolaan agar pusaka budaya tersebut
mengetahui sejarah dan maknanya, dapat terjaga dan diakses oleh masyarakat.
memastikan perlindungan materialnya dan Lantas, bagaimana memahami komunitas
sebagaimana diperlukan, penyajian, pusaka? Apakah setiap masyarakat yang
pemulihan, dan peningkatannya (ICOMOS, berperan dalam pengelolaan adalah
1965). Disiplin pelestarian pusaka memiliki komunitas pusaka?
tujuan mendasar untuk melestarikan warisan Secara etimologi, komunitas berarti
fisik masa lalu dari kerusakan dan di masa kelompok organisme (orang dan sebagainya)
kini (Jokilehto, 1994, 2011; Poulios, 2014). yang hidup dan saling berinteraksi di dalam
Pelestarian dimaknai tidak lagi sekadar daerah tertentu. Komunitas disatukan
“membekukan” suatu bangunan atau oleh rasa saling memiliki, adanya iakatan
kawasan yang berkarakteristik khusus, satu sama lain dan berkeyakinan bahwa
melainkan cara pusaka memperkuat kebutuhan para anggota akan terpenuhi
identitasnya dan menjadi model bagi proses selama para anggota memiliki berkomitmen
pertumbuhan perkotaan yang lebih luas untuk terus bersama-sama (McMillan &
(Bandarin, 2019, p. 5). Pelestarian juga Chavis, 1986). Kesamaan rasa inilah yang
berkaitan dengan perawatan dan memperkuat komunitas untuk terus bersama
pengembangan berkelanjutan suatu tempat dan memiliki satu tujuan. Cohen (1985: 12)
sedemikian rupa sehingga signifikansinya berpendapat bahwa komunitas melibatkan
dipertahankan atau diungkapkan dan masa dua hal yang saling berkaitan yakni anggota
depannya dibuat aman (Kerr, 2013, p. 2). dari sebuah kelompok yang memiliki sesuatu
Pelestarian pusaka semakin luas dan yang sama dengan yang lainnya; dan
komprehensif di masa sekarang, bukan kegiatan yang membedakan mereka secara
hanya tindakan, upaya mencegah kerusakan signifikan dari kelompok lainnya.
akan tetapi termasuk penjagaan masa Dalam sudut pandang pengelolaan
depannya. Hal ini menunjukan bahwa pusaka, komunitas didefinisikan sebagai
pelestarian pusaka lebih pada tindakan aktif sekelompok individu dengan keterikatan
penjagaan pusaka termasuk didalamnya pribadi, atau dipengaruhi oleh pusaka.
pengelolaan agar pusaka dapat Komunitas tersebut dapat berupa penduduk
berkelanjutan. dan pemerhati di dalam atau di dekat
Pengelolaan pusaka atau pusaka kawasan pusaka, atau mereka yang memiliki
budaya merupakan proses pelestarian, minat atau perhatian khusus tentang lokasi
pengembangan, dan pemanfaatan benda- tertentu, seperti LSM/badan amal,
benda bersejarah atau kultural, termasuk masyarakat amenitas, epistemik, atau
artefak, dokumen, bangunan, tempat komunitas lain dengan pengetahuan atau
bersejarah, dan warisan budaya yang tidak pengalaman khusus tentang tempat tersebut
benda. Tujuan dari pengelolaan pusaka (Chitty, 2016). KOmunitas ini juga memiliki
adalah untuk memastikan bahwa warisan kekuatan sebagai satu kesatuan yang saling
budaya yang berharga tersebut tetap terjaga, mendukung dan menghasilkan keputusan-
dikelola dengan baik, dan dapat diakses oleh keputusan komunal (Mann, 2000).
masyarakat (Alexopoulos, 2013). Dengan demikian, dari pengertian
Pengelolaan pusaka juga diartikan sebagai komunitas didapati beberapa hal penting
penerapan teknik pengelolaan untuk yang merupakan ciri komunitas. Pertama,
melestarikan dan mengembangkan sumber komunitas harus memiliki pandangan, rasa,
daya budaya agar tetap menjadi bagian dari dan kesamaan yang membentuk mereka
pusaka yang memiliki nilai dan manfaat menjadi sekumpulan manusia yang memiliki
jangka panjang bagi masyarakat umum arti. Kedua, komunitas dapat disatukan
(Ngulube, 2018). Lebih lanjut Ngulube (2018) dengan adanya batasan geografis yang

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 265
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274

sama, atau dalam pengelolaan pusaka, Tenggara Timur. Dalam konteks kehidupan
disatukan oleh keberadaan pusaka tersebut. masyarakat adat suku Boti sejak dini
Ketiga, komunitas saling mendukung untuk dikenalkan bagaimana praktik pengelolaan
mencapai tujuan bersama. Sehingga, lingkungan berbasis kearifan lokal yang
komunitas sebenarnya memiliki kekuatan dilakukan oleh keluarga, orang tua dan
untuk melakukan suatu kegiatan pengelolaan kerabat terdekat, sehingga pengaruh dari
terutama apabila disatukan oleh batasan hal-hal tersebut makna lain tertanam di
geografis pusaka yang sama. Akan tetapi, dalamnya dan menjadi aliran pengalaman.
Komunitas lokal jarang dianggap sebagai Pengalaman ini kemudian akan terakumulasi
penjaga jangka panjang yang keberadaan dalam pengetahuan, yang kemudian akan
dan keberhasilanya secara intrinsik terkait digunakan oleh mereka untuk menjadi acuan
dengan pelestarian dan pengembangan situs dalam melakukan tindakan sehari-hari
pusaka (Kyriakidis, 2019). Padahal potensi (Abdussamad, 2022). Oleh karena itu,
komunitas sangatlah besar, mengingat masyarakat adat Boti dapat terus menjadi
bahwa komunitas lokal merupakan penghuni pelestarian alam secara turun-temurun.
atau masyarakat terdekat dengan pusaka. Melestarikan alam pusaka sudah menjadi
Seringkali, pengelolaan pusaka yang bagian kehidupan masyarakat adat sehari-
dilakukan tanpa melibatkan komunitas terasa hari.
sebagai pengelolaan yang artificial (N.A.A. Dalam sebuah penelitian yang
Aziz, 2022). dilakukan oleh Fidler et al. (2022)
Pengelolaan pusaka berbasis menyatakan bahwa kawasan yang dijaga
komunitas adalah suatu pendekatan yang dan dilestarikan oleh masyarakat adat dan
melibatkan partisipasi aktif komunitas lokal komunitas lokal di perairan antara Maluku
dalam pemeliharaan, pengembangan, dan dan Papua menunjukan jumlah biomassa
pemanfaatan pusaka. Dari literatur yang yang lebih tinggi daripada yang dikelola oleh
ditelaah dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah dan swasta (aktor luar kawasan).
pendekatan pelestarian dan pengelolaan Komunitas dan masyarakat adat yang terlibat
pusaka berbasis komunitas dilakukan dalam aktif menjaga kawasan nyatanya
beberapa tahapan. memberikan dampak yang lebih besar.
Masyarakat adat yang melestarikan kawasan
Kesadaran Komunitas Pusaka saujana akan berperan lebih aktif untuk
Membangun kesadaran komunitas bersama-sama menjaga pusaka, daripada
tentang pentingnya memelihara dan hanya menetapkan aturan dan larangan
melestarikan pusaka adalah Langkah awal seperti yang dilakukan pemerintah pada
terpenting dalam pengelolaan pusaka kawasan pusaka (Fidler et al., 2022).
berbasis komunitas (Al Haija, 2011; Kesadaran komunitas mengenai
Kyriakidis, 2019; Li & Hunter, 2015). pelestarian juga menjadi penyelamatan
Komunitas perlu menyadari bahwa pusaka saujana dari kerusakan. Pusaka
pelestarian pusaka akan memberi saujana merujuk pada merupakan produk
keuntungan bagi komunitas itu sendiri. kreativitas manusia dalam merubah bentang
Keuntungan ekonomi, sosial dan adanya alam dalam waktu yang lama sehingga
keberlanjutan budaya akan muncul dengan didapatkan keseimbangan kehidupan antara
terjaganya pusaka di kawasan tersebut alam dan manusia (Adhisakti et al, 2017).
(Bolici, 2020; Ngulube, 2018). Salah satunya adalah Desa Nglanggeran,
Beberapa contoh mengenai Kabupaten Gunung Kidul. Pada desa ini
meningkatkan keasadaran masyarakat akan terdapat beberapa situs pusaka yaitu,
pusaka Adanya masyarakat adat yang masih Gunung Api Purba, Kampung Pitu, dan juga
terus menjaga keasliaan alam, budaya dan kekayaan pusaka budaya melalui kegiatan
arsitektur bangunan rumah mereka secara budaya tradisional masyarakat, misalnya
turun temurun menjadi bukti bahwa Rasulan yang dilakukan sebagai bentuk
masyarakat Indonesia telah memiliki syukur setelah panen berhasil dilakukan.
kesadaran sebagai pelestari pusaka. Akan tetapi, warga Nglaggeran sendiri
Sebagai contoh masyarakat Nagari awalnya tidak menganggap kawasanya
Minangkabau, yang sudah menjalankan menarik sehingga lebih banyak yang
sistem nagari secara turun temurun, dan meninggalkan kampung dan juga melakukan
tetap melestarikan rumah adat sebagai perusakan alam dengan mengambil batu dan
bagian dari kehidupan mereka. Begitu pula menebang pohon disekitar Gunung Purba.
halnya dengan masyarakat adat Boti, Karang Taruna Desa Nglanggeran
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa (Organisasi Pemuda Bukit Putra Mandiri)

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 266
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

Gambar 1. Konstruksi Kesadaran Pusaka


Sumber: Penulis

menyadari jika kondisi ini terus berlanjut akan (Kelompok Sadar Wisata) Nglanggeran.
menimbulkan kerusakan lingkungan yang Kegiatan yang dibangun oleh komunitas
berdampak negatif bagi kehidupan nyatanya menjadi suatu gerakan nyata upaya
masyarakat. Berbagai kegiatan peningkatan pelestarian yang berhasil menjaga
kesadaran masyarakat terus dilakukan oleh keberlanjutan situs pusaka dan saujana juga
karang taruna. Atas dasar itulah, Pemerintah meningkatkan pemberdayaan masyarakat
Desa Nglanggeran memercayakan lokal.
pengelolaan lahan seluas 48 ha untuk Dari dua pembahasan diatas
dikelola Karang Taruna Bukit Putra Mandiri. disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat
Karang Taruna sebagai sebuah komunitas merupakan langkah awal dalam pengelolaan
lokal kemudian melakukan serangkaian pusaka berbasis komunitas. Peningkatan
kegiatan untuk pelestarian, dimulai dari kesadaran masyarakat dapat berasal dari
penyadaran, pengkapasitasan dan masyarakat sendiri atau dari pihak lain/
pemberian daya (Wahyuni, 2018). komunitas pemerhati yang kemudian
Penyadaran dilakukan melalui sosialisasi memberikan edukasi mengenai pentingnya
dan inovasi oleh Karang Taruna Putra Bukit pelestarian dan pengelolaan pusaka oleh
Mandiri untuk menyadarkan masyarakat masyarakat lokal dan komunitas.
akan potensi desa Desa Nglanggeran, yaitu
sebagai desa wisata. Setelah tumbuh Kesadaran komunitas pusaka
kesadaran masyarakat akan potensi desa, kemudian dibagi menjadi 4 hal, pengetahuan
kemudian dilakukan pengkapasitasan. dasar, kesadaran mengenai metode
Pengkapasitasan pengelola desa wisata pelestarian, makna dan nilai penting pusaka
dilakukan melalui pelatihan seputar dan kegunaan dan manfaat melestarikan
pengelolaan desa wisata. Masyarakat yang pusaka. Keempat hal ini menjadi modal bagi
telah mempunyai kapasitas kemudian diberi komunitas untuk melakukan pelestarian dan
daya untuk mencapai kemandirian. pengelolaan pusaka. Dengan adanya
Kemandirian dilakukan dengan pengelolaan kesadaran masyarakat yang mumpuni,
dana-dana bantuan yang didapat untuk tahapan pengelolaan pusaka berikutnya
kegiatan pelestarian dan ekonomi. Hasilnya akan mudah dilakukan. Setelah munculnya
pada tahun 2018, Desa Nglaggeran kesadaran maka perlu keterlibatan dan
mendapat pengharga desa wisata pemberdayaan atau kerjasama dengan
berkelanjutan terbaik di ASEAN. Komunitas pemangku kepentingan.
Karang Taruna yang menjadi penggerak
utama pelestarian pusaka saujana
Nglagerran kini menjadi Pokdarwis

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 267
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274

Keterlibatan Komunitas dalam Kebijakan pengelolaan pusaka (Cots, 2011; Li & Hunter,
Pengelolaan kawasan pusaka harus 2015).
dilakukan secara terintegrasi dengan Salah satu contoh studi mengenai
pengembangan komunitas lokal yang keterlibatan komunitas dalam kebijakan
berbasis pada partisipasi dan interaksi terjadi di Penang. Penang Heritage Trust
berkelanjutan antara tempat, masyarakat yang beranggotakan masyarakat lokal, aktor
dan pengunjung/ pengguna (Al-hagla, 2010; pelestari dan Lembaga sosial telah
Cina’ et al., 2019). Keterlibatan komunitas membuktikan peranya dalam melestarikan
dalam pengelolaan pusaka terbukti kawasan pusaka Penang. Penang Heritage
menunjukan efektifitas dalam keberlanjutan Trust menggunakan pendekatan bottom-up
ekonomi dan social pusaka (Dormaels, 2016; untuk menentang prioritas pembangunan
Yang, 2014). Manajemen partisipatif dan negara dan melestarikan identitas lokal yang
pelibatan aktor lokal akan membantu dilecehkan oleh rezim yang berkuasa pada
menjaga komunitas tetap hidup dan dinamis masa awal pembentukanya (Cheng, Li, & Ma,
secara ekonomi (Dormaels, 2016) dan 2014). Penang Heritage Trust menyusun
memandang pusaka budaya tidak hanya agenda pelestarian, mengumpulkan dana,
sebagai sisa atau bangunan tak bergerak, menggerakan pelestarian di kawasan,
tetapi sebagai konstruksi sosial yang terkait mencegah demolisi hingga menentukan
dengan makna simbolis kolektif pusaka oleh pusaka yang memiliki nilai penting bagi
kelompok sosial. Syarat utama mendorong masyarakat Penang. Penang Heritage Trust
partisipasi dalam pengelolaan pusaka kota juga merupakan komunitas yang
adalah kemauan politik untuk mendengarkan memasukan Penang dalam daftar Situs
dan memasukkan semua pemangku Pusaka Dunia. Tidak hanya kelompok-
kepentingan, untuk mengidentifikasi kelompok komunitas yang berperan dalam
mekanisme membangun kepercayaan dan proses tersebut, Penang Heritage Trust juga
menghasilkan hasil sebagai imbalan atas berfokus menjadikan pelestarian sebagai
kolaborasi (Bernhard et al., 2020; Dormaels, bagian dari hidup masyarakat hingga
2016; Li dan Hunter, 2015; Olsson et al., mendapatkan kepercayaan untuk melawan
2020; Yang, 2014). Hal ini menunjukan atau bahkan menghadapi pemerintah. Saat
bahwa keterlibatan komunitas menjadi kunci ini, Penang Heritage Trust merupakan
dalam keberlanjutan pusaka. Keterlibatan sebuah Lembaga non-pemerintah yang
komunitas yang kemudian berkolaborasi memprakarsai banyak kegiatan dan aksi
dengan pemangku kepentingan akan pelestarian di Penang serta berkerjasama
menjadikan pusaka lestari. dengan pemerintah dalam melestarikan
Arnstein (1969) dan Cole, (2006) kawasan pusaka Penang (Cheng et al.,
menggambarkan keterlibatan komunitas 2014). Penang Heritage Trust sebagai
dalam beberapa tingkatan. Tingkatan sebuah komunitas telah berada pada
pertama adalah non-partisipatif, artinya tingkatan ketiga dalam keterlibatan
komunitas tidak dilibatkan dan pengelolaan pengelolaan pusaka.
sepenuhnya ada pada pemangku Komunitas masyarakat lokal
kepentingan (Arnstein, 1969). Pada tingkatan perkotaan di Indonesia juga nyatanya
ini komunitas tidak memiliki peran apapun, memberikan kontribusi terhadap pengelolaan
hal ini seringkali memicu pergesekan antara kawasan pusaka di perkotaan. Misalnya
komunitas dan pemangku kepentingan. keterlibatan komunitas dalam penentuan
Tingkatan kedua adalah keterlibatan kriteria nilai penting pusaka di Kota Medan
minimum. Pada tingkatan ini komunitas (Fitri et al., 2019). Dalam tulisanya, Fitri et al.
terlibat dlam hal-hal sederhana dan formal, ( 2019), menjelaskan belum adanya kriterian
seperti menghadiri seremonial, dimintai nilai penting penentuan atau penetapan
konsultasi dan diskusi (Cole, 2006; Cots, pusaka yang jelas dan terukur di Kota
2011). Sedangkan tingkatan ketiga adalah Medan, sehingga perlu adanya penentuan
keterlibatan aktif. Pada tingkatan ini, yang jelas, salah satunya dilihat dari sudut
komunitas mulai berdaya, mampu pandang komunitas. Fitri et al. (2019)
mengungkapkan pendapat, terlibat aktif menyatakan peranan penting komunitas
dalam pengelolaan, hingga bermitra dengan pada awal penentuan niali penting untuk
pemangku kepentingan. Tingkatan penetapan pusaka akan meningkatkan
keterlibatan yang semakin besar sebenarnya keterikatan komunitas terhadap pusaka, baik
merupakan modal sosial, meningkatkan benda maupun tak benda, nantinya. Hasil
oprasional dan menurunkan biaya penelitian telah membuktikan bahwa kriteria
penilaian signifikansi pusaka dapat

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 268
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

Gambar 2. Peningkatkan Keterlibatan Komunitas Pusaka


Sumber: Penulis

ditetapkan dengan melibatkan masyarakat komunitas bukan hanya sebagi penggerak


lokal atau pemangku kepentingan secara pelestarian akan tetapi juga menjembatani
umum yang tidak dikategorikan sebagai pelestarian antara pemilik bangunan dan
spesialis atau ahli. Terkait proses listing, pemerintah. Pemilik aset pusaka lebih
penelitian ini menemukan tipologi nilai yang banyak berinteraksi dengan komunitas-
didasarkan pada nilai sosiokultural, komunitas pelestari mengenai pengelolaan
sedangkan nilai ekonomi tidak termasuk aset yang mereka miliki. Hal ini menjadikan
dalam penilaian signifikansi pusaka dalam kegiatan pengelolaan dan pelestarian di
dokumen negara. Artinya komunitas ternyata Lasem selalu berjalan dinamis.
lebih mementingkan nilai sosiokultural Keterlibatan komunitas terhadap
sebagai aspek utama penentuan kriteria kebijakan di banyak kasus pusaka Indonesia
pusaka. seringkali hanya berada pada tingkatan
Keterlibatan komunitas juga terbukti minimum dan belum pada tingkatan
meningkatkan pemanfaatan ulang bangunan partisipatif. Komunitas inti maupun lokal
pusaka di kawasan Lasem. Winandari et al., seringkali hanya dimintai persetujuan
(2022) menyatakan meningkatnya kebijakan tetapi belum terlibat dalam
keterlibatan komunitas yang ada di Lasem penentuan kebijakan tersebut. Dalam kajian
sebagai penggerak pelestarian, yang dilakukan terkait keterlibatan, ada
meningkatkan penggunaan kembali beberapa hal yang dapat meningkatkan
bangunan-bangunan pusaka di Lasem. Para keterlibatan komunitas dalam penentuan
pemilik bangunan melakukan konsultasi kebijakan seperti pada gambar 2.
rancangan melalui jaringan komunitas
Yayasan Lasem Heritage, sebelum Kerjasama Komunitas dan Pemangku
melakukan perbaikan atau renovasi Kepentingan
rumahnya. Yayasan Lasem Heritage juga Meningkatkan kerjasama antara
melakukan pengawasan terhadap masyarakat lokal dan pemangku
pembangunan terhadap proses kepentingan dalam pengelolaan pusaka
pembangunan yang dilakukan pemerintahm sangat penting untuk memastikan bahwa
di kawasan Lasem, khususnya ketika pengelolaan pusaka berjalan dengan baik
pelaksanaannya tidak mengindahkan dan berkelanjutan. Pemangku kepentingan
temuan artefak penting dari masa lalu, dapat memberikan dukungan keuangan,
yang seharusnya dilindungi (Winandari et teknis, dan lainnya kepada masyarakat
al., 2022). Pada kasus Lasem, peran dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 269
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274

pusaka. Artinya, pemangku kepentingan dan jumlah besar cukup berhasil diatasi dengan
komunitas bekerja sama dan bersinergi kolaborasi yang efisien antara kota dan
sesuai ranah masing-masing. Pelestarian penduduk setempat yang telah akrab dengan
dan pengelolaan pusaka tidak akan berjalan machizukuri partisipatif (Watanabe, 2006).
baik tanpa adanya kerja sama antara Di Indonesia sendiri, merupakan
komunitas dan pemangku kepentingan (Noor negara yang memiliki banyak aset pusaka
Azramalina Abdul Aziz et al., 2022). baik di kawasan perkotaan dan kawasan
Misalnya, adanya kebijakan mengenai non-perkotaan. Komunitas di Indonesia mulai
kawasan pusaka seperti pengurangan pajak menggeliat pada tahun 1987, ditandai
bangunan pusaka, akan berpengaruh pada berdirinya Paguyuban Pelestari Budaya
bagaimana komunitas masyarakat Bandung. Selanjutnya tumbuh organisasi di
melestarikan bangunan pusaka yang mereka daerah lain seperti Paguyuban Pusaka Jogja
miliki. Kerjasama antara komunitas dan (Jogja Heritage Society) tahun 1991,
pemangku kepentingan merupakan Yogyakarta Heritage Trust (1992), Badan
keterlibatan komunitas pada tingkat tertinggi. Warisan Sumatra (1998), Badan Warisan
Kerja sama yang ada dapat berbentuk Sumatra Barat (1999), dll. Komunitas
banyak hal seperti penataan kawasan, pelestari yang muncul di kota-kota sebagai
program kebudayaan, pengelolaan asset sebuah pergerakan yang banyak
melalui skema kemitraan public privat, dan mempersoalkan mengenai perubahaan
namyak lagi. pusaka perkotaan serta pengelolaanya
Salah satu pergerakan komunitas (Adishakti, 2014). Pergerakan pelestarian
pelestari yang paling terkenal adalah oleh komunitas terus berkembang di
Machizukuri Jepang. Pada akhir 1960-an dan Indonesia hingga pada tahun 2002 terbentuk
awal 1970-an, machizukuri Jepang Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia
mengorganisir kegiatan yang berlangsung di (JPPI). JPPI kemudian bekerjasama dengan
berbagai tempat untuk menghadapi ICOMOS Indonesia dan Kementrian
ancaman lingkungan. Dalam banyak protes Kebudayaan dan Pariwisata untuk
dan kerusuhan yang dimulai serentak di mendeklarasikan Piagam Pelestarian
seluruh dunia pada tahun 1960-an, Pusaka Indonesia di tahun 2003.
machizukuri muncul sebagai filosofi ideal Keberadaan piagam ini memiliki arti yang
berdasarkan diskusi lokal tentang perbaikan sangat penting untuk pelestarian pusaka di
lingkungan, gaya hidup, dan komunitas Indonesia karena merupakan piagam
(Satoh, 2019). Pada tahun 1981, Kobe pertama yang dapat menjadi pedoman moral
adalah kota pertama yang mengadopsi dan etika pelestarian, serta disusun oleh
peraturan machizukuri (jôrei) di Jepang dan berbagai pihak dan lintas disiplin ilmu
mengembangkan sistem baru yang (Adishakti, 2016). Untuk mengawal
menggabungkan tiga alat perencanaan pelaksanaan piagam dan pengembangan
penting yang akan memudahkan partisipasi pelestarian pusaka, dibentuk Badan
machizukuri. Alat pertama adalah dewan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada
machizukuri (kyôgikai), yang mewakili tahun 2004. BPPI ini kemudian menjadi satu
penduduk daerah tersebut lingkungan. Yang komunitas berbadan hukum yang banyak
kedua adalah sistem yang menyediakan membantu komunitas lokal untuk
layanan profesional, dibayar oleh kota, berkegiatan pelestarian, hingga memberi
adanya dewan machizukuri untuk acara masukan untuk kebijakan, program, dan
machizukuri, terutama untuk perencanaan. panduan kepada pemerintah (Adishakti,
Alat ketiga adalah struktur prosedural di 2016; Wijayanto, 2016). Keberadaan BPPI
mana kota akan secara resmi menerima dan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)
proposal machizukuri (teian) dari dewan menunjukan adanya kerja sama antara
machizukuri mana pun dan akan komunitas dan pemangku kepentingan. JKPI
mengembangkan perjanjian machizukuri sendiri merupakan wadah yang terdiri dari
(kyôtei) dengannya yang pada akhirnya akan para walikota, bupati yang kotanya masuk
diterapkan. Ketentuan partisipatif intensif dalam Kota Pusaka Indonesia. JKPI sebagai
semacam ini tidak ada dalam sistem nasional wadah pemangku kepentingan terus bekerja
perencanaan kota menurut undang-undang sama dengan BPPI untuk menghasilkan
pada saat itu - juga tidak ada saat ini. Ini kebijakan, rencana aksi pengelolaan pusaka
terbukti menjadi sistem yang sangat efektif dan program-program pelestarian.
dalam proses rekonstruksi di kemudian hari, Dari pembahasan diatas mengenai
setelah Gempa Kobe tahun 1995, karena kerja sama antara komunitas dan pemangku
tantangan perencanaan rekonstruksi dalam kepentingan, ada beberapa poin penting

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 270
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

yang menjadi amatan. Pertama, perlunya merupakan pelestari-pelestari pusaka,


komitmen dua pihak, komunitas dan misalnya warga kampung adat dan suku-
pemangku kepentingan, untuk menjalani suku di Indonesia. Penelitian dapat terus
kesepakatan. Artinya usulan program, dikembangkan untuk lebih memahami
kebijakan, peraturan, arahan yang dihasilkan bagaimana model kerja samayang paling
bersama disepakati untuk dijalankan sesuai antara komunitas pelestari dengan
keduanya. Hal ini penting untuk menjaga pemangku kepentingan.
keharmonisan dalam kerja sama. Kedua,
komunitas dan pemangku kepentingan Saran/Rekomendasi
memiliki pembagian peran yang jelas dan Studi ini masih merupakan kajian
saling melengkapi. Ketiga, pada kasus di teoritik mengenai pelestarian dan
Indonesia, komunitas yang bekerja sama pengelolaan pusaka berbasis komunitas.
dengan pemangku kepentingan masih Penelitian dengan fokus yang lebih
didominasi komunitas di tingkat nasional. mendalam akan memberikan gambaran lebih
Sehingga perlu adanya peningkatan kerja baik dan nyata mengenai komunitas pusaka.
sama komunitas lokal dengan pemangku Penelitian ini menggunakan berbagai contoh
kepentingan baik lokal maupun nasional kota di Indonesia dan mancanegara, akan
untuk mencapai pusaka berkelanjutan. lebih bermanfaat jika ada studi mengenai
salah satu kasus di Indonesia dengan
KESIMPULAN DAN SARAN pembahasan yang lebih mendalam.
Kesimpulan
Pengelolaan pusaka berbasis
DAFTAR PUSTAKA
komunitas, dapat disimpulkan sebagai
sebuah pengelolaan pusaka yang melibatkan Abdussamad, Z. (2022). Konstruksi Sosial
komunitas lokal dapat menjadi solusi yang Pengelolaan Lingkungan Alam
efektif untuk menjaga pusaka budaya dan Berbasis Kearifan Lokal Pada
sejarah suatu daerah. Dalam pengelolaan Masyarakat Adat Suku Boti.
pusaka berbasis komunitas, komunitas lokal Universitas Muhammadiyah Malang,
memiliki peran yang penting dalam merawat, Malang.
memelihara, dan mengelola pusaka tersebut. Adishakti, L. T. (2003). From Local
Selain itu, komunitas juga terlibat dalam Community Experiences to Common
proses pengambilan keputusan mengenai Understanding on Heritage
penggunaan dan pemeliharaan pusaka, Conservation in Indonesia. (1).
sehingga dapat memperkuat rasa memiliki Adishakti, L. T. (2014). Kota Pusaka sebagai
dan kepedulian terhadap pusaka budaya Pembangkit Ekonomi Kreatif di
yang dimiliki. Hasil kajian teoritis menunjukan Indonesia. Retrieved from
adanya tiga tahapan yang harus dilakukan https://chc.ft.ugm.ac.id/wp-
untuk mencapai pengelolaan pusaka content/uploads/sites/397/2020/04/2
berbasis komunitas; peningkatan kesadaran 014-Adishakti-Kota-Pusaka-Buku-
masyarakat, keterlibatan masyakat dalam Putih-.pdf
kebijakan dan kerja sama komunitas dengan Adishakti, L. T. (2016). Pengantar
pemangku kepentingan. Ketiganya dilakukan Pelestarian Pusaka. Retrieved from
bertahap dan menyeluruh, baik komunitas https://chc.ft.ugm.ac.id/wp-
dan pemangku kepentingan harus memiliki content/uploads/sites/397/2020/04/2
tujuan yang sama yaitu pusaka yang 016-PENGANTAR-PELESTARIAN-
berkelanjutan. Hasil kajian juga menunjukan PUSAKA-1.pdf
manfaat yang luar biasa dalam pelestarian Adishakti, L. T. (2017). Pelestarian &
pusaka berbasis komunitas, yang paling Pengelolaan Kota Pusaka. Jakarta:
dirasakan adalah dengan terjaminya Pusat Pengembangan Kawasan
keberlanjutan pusaka dari generasi ke Perkotaan BPIW, Kementerian
generasi seperti yang dilakukan masyarakat Pekerjaan Umum dan Perumahan
Jepang melalui machizukuri yang sudah Rakyat.
digagas sejak tahun 1960 dan masih berjalan Al Haija, A. A. (2011). Jordan: Tourism and
hingga saat ini. conflict with local communities.
Penelitian dengan tema pelestarian Habitat International, 35(1), 93–100.
pusaka berbasis komunitas tentu masih https://doi.org/10.1016/j.habitatint.20
sangat perlu diperdalam dan dieksplorasi 10.04.002
apalagi dengan melihat fakta bahwa Alexopoulos, G. (2013). Management of
masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu living religious heritage: Who sets the

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 271
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274

agenda? The case of the monastic Blackburn, K. (2015). The Rise of Malaysian
community of Mount Athos. Heritage Non-Governmental
Conservation and Management of Organizations (1969–2005). Journal
Archaeological Sites, 15(1), 59–75. of the Malaysian Branch of the Royal
https://doi.org/10.1179/1350503313 Asiatic Society, 88(2 (309)), 51–76.
Z.00000000047 JSTOR. Retrieved from JSTOR.
Al-hagla, K. S. (2010). Sustainable urban Bolici, R. (2020). Reusing built heritage.
development in historical areas using Design for the sharing economy.
the tourist trail approach: A case Research for Development, (Query
study of the Cultural Heritage and date: 2022-07-18 14:02:46), 315–
Urban Development (CHUD) project 324. https://doi.org/10.1007/978-3-
in Saida, Lebanon. Cities, 27(4), 030-33256-3_29
234–248. Cheng, E. W., Li, A. H. F., & Ma, S. (2014).
https://doi.org/10.1016/j.cities.2010. Resistance, Engagement, and
02.001 Heritage Conservation by Voluntary
Arnstein, S. R. (1969). A Ladder Of Citizen Sector: The Case of Penang in
Participation. Journal of the Malaysia. Modern Asian Studies,
American Institute of Planners, 35(4), 48(3), 617–644. JSTOR. Retrieved
216–224. from JSTOR.
https://doi.org/10.1080/0194436690 Chitty, G. (Ed.). (2016). Heritage,
8977225 Conservation and Communities:
Aziz, N.A.A. (2022). The Comparison of the Engagement, participation and
Best Practices of the Community- capacity building (0 ed.). Routledge.
Based Education for Living Heritage https://doi.org/10.4324/9781315586
Site Conservation. Lecture Notes in 663
Civil Engineering, 161(Query date: Cina’, G., Demiröz, M., & Mu, Q. (2019).
2022-09-14 13:33:32), 1–8. Participation and conflict between
https://doi.org/10.1007/978-981-16- local community and institutions in
2329-5_1 conservation processes: The case of
Aziz, Noor Azramalina Abdul, Ariffin, N. F. M., Novara Old Town. Journal of Cultural
Ismail, N. A., Ismail, S., Alias, A., & Heritage Management and
Utaberta, N. (2022). The Comparison Sustainable Development, 9(2),
of the Best Practices of the 134–148.
Community-Based Education for https://doi.org/10.1108/JCHMSD-05-
Living Heritage Site Conservation. In 2018-0038
L. Yola, U. Nangkula, O. G. Cole, S. (2006). Information and
Ayegbusi, & M. Awang (Eds.), Empowerment: The Keys to
Sustainable Architecture and Achieving Sustainable Tourism.
Building Environment (pp. 1–8). Journal of Sustainable Tourism,
Singapore: Springer Singapore. 14(6), 629–644.
https://doi.org/10.1007/978-981-16- https://doi.org/10.2167/jost607.0
2329-5_1 Cots, E. G. (2011). Stakeholder social capital:
Bakar, A. A., Osman, M. M., Bachok, S., & A new approach to stakeholder
Ibrahim, M. (2014). Analysis on theory. Business Ethics: A European
Community Involvement Level in Review, 20(4), 328–341.
Intangible Cultural Heritage: Malacca https://doi.org/10.1111/j.1467-
Cultural Community. Procedia - 8608.2011.01635.x
Social and Behavioral Sciences, 153, Dormaels, M. (2016). Participatory
286–297. management of an urban world
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014 heritage site: The Table de
.10.062 Concertation du Vieux-Québec.
Bandarin, F. (2019). Reshaping Urban Journal of Cultural Heritage
Conservation. In A. Pereira Roders & Management and Sustainable
F. Bandarin (Eds.), Reshaping Urban Development, 6(1), 14–33.
Conservation (pp. 3–20). Singapore: https://doi.org/10.1108/JCHMSD-11-
Springer Singapore. 2014-0038
https://doi.org/10.1007/978-981-10- Elyanta, M. (n.d.). Peran Komunitas Aleut
8887-2_1 dalam Pelestarian Bangunan Cagar
Budaya Kota Bandung.

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 272
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

Fidler, R. Y., Ahmadia, G. N., Amkieltiela, https://doi.org/10.1108/JCHMSD-08-


Awaludinnoer, Cox, C., Estradivari, 2014-0027
… Harborne, A. R. (2022). Mann, M. (2000). The community tourism
Participation, not penalties: guide: Exciting holidays for
Community involvement and responsible travellers (1st. ed).
equitable governance contribute to London, England ; Sterling, Va:
more effective multiuse protected Earthscan.
areas. Science Advances, 8(18), McMillan, D. W., & Chavis, D. M. (1986).
eabl8929. Sense of community: A definition and
https://doi.org/10.1126/sciadv.abl89 theory. Journal of Community
29 Psychology, 14(1), 6–23.
Fitri, I., Ahmad, Y., & Ratna, N. (2019). Local https://doi.org/10.1002/1520-
Community Participation in 6629(198601)14:1<6::AID-
Establishing the Criteria for Heritage JCOP2290140103>3.0.CO;2-I
Significance Assessment of the Ngulube, P. (Ed.). (2018). Handbook of
Cultural Heritage in Medan. Kapata Research on Heritage Management
Arkeologi, 15(1), 1. and Preservation: IGI Global.
https://doi.org/10.24832/kapata.v15i https://doi.org/10.4018/978-1-5225-
1.523 3137-1
ICOMOS. (1965). International Charter For Poulios, I. (2014). The past in the present: A
The Conservation And Restoration living heritage approach, Meteora,
Of Monuments And Sites (The Greece. London: Ubiquity Press.
Venice Charter 1964). ICOMOS, Satoh, S. (2019). Evolution and methodology
Paris. Retrieved from of Japanese machizukuri for the
https://www.icomos.org/charters/ven improvement of living environments.
ice_e.pdf Japan Architectural Review, 2(2),
ICOMOS, C. (1982). Charter for the 127–142.
preservation of Quebec’s Heritage. https://doi.org/10.1002/2475-
Jokilehto, J. (1994). Authenticity: A general 8876.12084
framework for the concept. Nara UNESCO. (2019). Living Heritage and
Conference on Authenticity in Education. UNESCO.
Relation to the World Heritage Ville de Montréal. (2005). Heritage Policy.
Convention. Presented at the Nara Wahyuni, D. (2018). Strategi Pemberdayaan
Conference on Authenticity, Nara, Masyarakat Dalam Pengembangan
Japan. Nara, Japan: UNESCO. Desa Wisata Nglanggeran,
Jokilehto, J. (2011). A history of architectural Kabupaten Gunung Kidul. Aspirasi:
conservation (Repr). London: Jurnal Masalah-Masalah Sosial,
Routledge. 9(1), 83–100.
Kerr, J. S. (2013). Conservation plan: A guide Watanabe, S. J. (2006). Machizukuri in
to the preparation of conservation Japan: A historical perspective on
plans for places of European cultural participatory community-building
significance (Seventh edition). initiatives. In Cities, Autonomy, and
Australia: Australia ICOMOS, Decentralization in Japan
International Council on Monuments (Reprinted, pp. 128–138). Abingdon:
and Sites. Routledge.
Kyriakidis, E. (2019). A community Wijayanto, P. (2016). Building The Notion of
empowerment approach to heritage Heritage City in Indonesia: The Role
management: From values of Local Group Communities.
assessment to local engagement. Presented at the The Heritage of
Abingdon, Oxon ; New York, NY: Ancient And Urban Sites: Giving
Routledge. Voice to Local Priorities, Singapore.
LeBlanc, F. (1993). Is Everything Heritage? Singapore.
ICOMOS Canada Bulletin, 2(2), 2–3. Wijesuriya, G. (2015). Living Heritage.
Li, Y., & Hunter, C. (2015). Community ICCOROM.
involvement for sustainable heritage Winandari, M. I. R., Wijayanto, P., Safitri, R.
tourism: A conceptual model. Journal A., Bhirawa, B., Fitrianto, A. W., &
of Cultural Heritage Management Ischak, M. (2022). Pengaruh
and Sustainable Development, 5(3), Gerakan Pelestarian Pusaka
248–262.

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 273
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan | Vol.12 No.3 Juni 2023 : 263-274

Terhadap Adaptasi Bangunan


Bersejarah di Kota Lasem. 20.
Yang, R. J. (2014). An investigation of
stakeholder analysis in urban
development projects: Empirical or
rationalistic perspectives.
International Journal of Project
Management, 32(5), 838–849.
https://doi.org/10.1016/j.ijproman.20
13.10.011

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 274
DOI : dx.doi.org/10.22441/vitruvian.2023.v12i3.005

Copyright ©2023 Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan p-ISSN : 2088-8201 e-ISSN : 2598-2982
This is an open access article under the CC BY-NC license

Ristya Arinta S. dan Laretna T. Adishakti, Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Pusaka Berbasis
Komunitas: Kajian Teoritik 275

Anda mungkin juga menyukai