Anda di halaman 1dari 22

Makna Lagu Menthok (Tembang Jawa Tengah)

Tuesday, May 07, 2013 Pembelajaran Seni Musik, Tembang 2 comments


Salah satu lagu daerah Jawa Tengah yang sering menjadi bahan ajar Seni Budaya di MTs Negeri Babakan adalah tembang
yang berjudul Menthok. Alasan memilih Lagu ini menjadi bahan ajar karena mempunyai makna filosofi yang tinggi berupa
pesan moral bagi Peserta Didik dan Pengajarnya sendiri. Berikut ini lirik Tembang Daerah Jawa Tengah yang berjudul
Menthok:

Menthok... Menthok... Tak kandhani


Mung rupamu... Angisin - ngisini
Mbok yo ojo ngetok ono kandang wae
Enak - enak ngorok ora nyambut gawe
Menthok... Menthok... Mung lakumu...
Megal - megol nggawe ngguyu...

Menthok merupakan salah satu hewan berjenis unggas sepert

i Bebek dan dikenal dengan Itik. Menthok atau Itik dalam tembang Jawa Tengah tersebut digunakan untuk memberi sindiran
terhadap perilaku buruk manusia yang bersifat malas. Jika kita terjemahkan, maka lirik Tembang Menthok mempunyai arti kira
- kira seperti berikut ini:

Menthok (Itik)... Menthok (Itik)... Saya beri nasehat...


Ekspresi wajahmu (atau rupamu bisa juga diartikan "gayamu") ko memalukan...
Seharusnya jangan selalu berada di dalam kandang saja
Bersantai (enak - anakkan) tidur mendengkur tidak bekerja
Menthok (Itik)... Menthok (Itik)... Ko jalanmu
Megal - megol membuat orang tertawa.

Dicermati dari liriknya, kita pasti sudah tau makna atau pesan moral yang terkandung dalam lagu tersebut. Manusia harus
bersikap aktif, tidak hanya tidur, dan beraktifitas yang produktif. Tidur ataupun istirahat bisa dilakukan setelah bekerja dan
berkarya. Dalam bekerja-pun harus cekatan atau gesit agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Oleh karena itu, jika kita tidak ingin hidup seperti Menthok yang digambarkan dalam tembang tersebut, kita (manusia) jangan
bersifat malas. Kita harus bekerja keras dalam hidup, beraktifitas cepat dan tepat, serta berusaha untuk tidak mengandalkan
belas kasihan dari orang lain ataupun majikan.

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya:


mbang

 Makna Lagu Menthok (Tembang Jawa Tengah)


 Asmarandana - Tembang Jawa
 Pangkur - Tembang Jawa Tengah
 Gambuh - Tembang Jawa Tengah
 Sinom - Tembang Jawa Tengah
 Dhandang Gula - Tembang Jawa Tengah
 Tembang Jawa Tengah - Kinanthi
 Tembang Jawa Tengah - Pucung
 Makna Lir - Ilir (Lagu Daerah Jawa Tengah)
 Akord Terima Kasih (Guru) Ku
 Akord Hymne Guru (Pahlawan Pembangun Insan Cendekia)
 Akord Mars MTs N Model Babakan

mbelajaran Seni Musik

 Mars MTs N Model Babakan


 Makna Lagu Menthok (Tembang Jawa Tengah)
 Perbedaan antara Akord (Accord) dengan Kunci dalam Musik
 Jenis - Jenis Akord (Accord)
 Kolintang Minahasa Sebagai Media Pendidikan
 Musik Daerah Jawa Tengah
 Karakteristik Alat Musik Gamelan Jawa
 Mencari Bentuk Akord Gitar
 Bermain Piano (Electone) Online
 Bermain Drum Online
 Teka - Teki Silang Alat Musik Nusantara
 Alat Musik Sasando
 Paduan Suara
 Latihan Teknik Vokal Yang Baik
 Alat Musik Ukulele
 Pengetahuan Tentang Vokal
 Makna Lir - Ilir (Lagu Daerah Jawa Tengah)
 Alat Musik Gitar
 Lagu Daerah Nusantara
 Jenis Alat Musik

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Newer PostOlder PostHome

2 comments:

1.

leihan alb25 October 2013 at 20:22

"mbok yo ojo ngetok ono kandang wae" mungkin mahsudnya,


"jangan keluar, di kandanng saja".. itu menurut bahasa jawa semarang-jogja.

Reply

Replies

1.

Sri Kuncoro SP26 October 2013 at 07:26


Bisa berbagai persepsi, ya...?
Kalau saya punya interpretasi: Jangan hanya terlihat di rumah (kandang) saja, enak-enakan (bersantai)
tiduran (ngorok) tidak bekerja...

Terima kasih atas idenya...


Reply

Subscribe to: Post Comments (Atom)


PROFIL JEJARING SOSIAL

 POPULER
 MATERI
 ARSIP BLOG


Cara Membuat Anyaman Kertas
Anyam merupakan salah satu teknik pembuatan karya seni kriya tradisional nusantara. Teknik ini bisa dilakukan
secara manual menggunakan tan...


Membuat Batik Teknik Jumputan (Ikat Celup)
Jumputan merupakan salah satu jenis batik yang pembuatannya dilakukan dengan cara mengikat kencang di
beberapa bagian kain kemudian dicelup...
 Unsur - Unsur Seni Rupa
Karya seni rupa 2 (Dua) Dimensi akan menjadi lebih baik jika memenuhi unsur-unsur berikut ini: 1. Titik Titik
merupakan unsur seni rupa ya...


Membuat Sulak atau Kemoceng dari Tali Rafia
Sulak atau Kemoceng merupakan alat manual yang berfungsi untuk membersihkan debu pada benda dengan
cara dikibas-kibaskan. Alat ini biasanya...
 Perangkat Pembelajaran Seni Budaya MTs/SMP Kelas 8
Alhamdulillah.... Setelah sebelumnya Admin Sanggar Model memposting Perangkat Pembelajaran Seni Budaya
Kelas 7 SMP/MTs , akhirnya Perangkat...
 Apresiasi Terhadap Karya Seni Rupa
A. Pengertian Apresiasi Apresiasi berasal dari bahasa Inggris yaitu "appreciate" yang berarti menghargai atau
menilai. Secara ist...

LINK RUJUKAN
TAMPILAN POSTING ACAK


Latihan Band MTs N Babakan


Daftar Nilai Tes Blok 1 Kelas 9 Gasal 2013


Pelatihan Sablon MGMP Seni Budaya MTs Kabupaten Tegal


Hari Konsumen Nasional


Nilai Tes Blok II (UTS) Gasal SBK Kelas 9 I Tahun 2015


Nilai UTS Genap Kelas 8 FD 1 2013

SANGGAR SQUAD
DUKUNG KAMI DI FACEBOOK
TWITTER @SANGGAR_MODEL
IKUTI SANGGAR MELALUI E-MAIL

Submit
STATISTIK PENGUNJUNG

1273729

Menthok menthok

Menthok menthok tak kandhani


Saksolahmu angisi-isini
Mbok ya aja ngetok
Ana kandhang wae
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe
Menthok-menthok mung lakumu
Megal-megol gawe guyu

lagu ini dulu sering saya nyanyikan dan saya dengar di saat masih duduk di bangku SD. mungkin kawan kawan yang sewaktu
kecil tinggal di jawa timur dan tengah ingat dengan lagu ini.

20 tahun berlalu dan tiba tiba saja teringat lagi. dulu saya tak pernah tahu filosofi dibalik lagu ini. yang saya tahu lagu ini
tentang bebek dan konco konconya.

entah angin apa yang membawa saya tiba tiba ke romantisme masa lalu ini. lagu dolanan itu terasa sangat sarat makna sekali.

mungkin sebelum melebar, saya mau coba mengalih bahasakan menjadi bahasa indonesia. biar ngerti semua, ben adil.
mungkin kira kira seperti ini:

Menthok menthok tak kandhani : (menthog adalah panggilan halus untuk bebek)menthog menthog kuberitahu ya?
Saksolahmu angisi-isini : perilakumu itu kok bikin malu
Mbok ya aja ngetok : mbok ya jangan keliatan
Ana kandhang wae : di kandang saja
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe : enak enak tidur tidak bekerja
Menthok-menthok mung lakumu : menthog menthog gayamu itu
Megal-megol gawe guyu : megal megol bikin ketawa

kurang lebih sih begitu.

nah, sekarang masalah filosofi menurut saya dibalik lagu ini.


semua sepakat, bahwaJawa adalah bagian dari Indonesia serta bagian dari Nusantara. dan bangsa besai punya budaya dan
kekhasannya sendiri.

1.SANTUN yang MENUNTUN


sebagai bangsa timur kita memiliki kekhasan yang mungkin tak dimiliki bangsa lain. tutur kata yang tak menyakiti dalam
berkomunikasi, adalah salah satunya
menthog dipakai untuk mengganti kata bebek, yang mungkin terdengar kurang sopan. sebenernya ini pembelajaran bagus
agar dalam mengkritik memakai bahasa yang sopan dan tak menyakiti. terkadang yang terjadi sekarang adalah pokoknya
protes dulu, mikirnya belakangan. lah itu kan ngisin isini (memalukan). memalukan diri sendiri dan juga mempermalukan orang
lain. trus gunanya buat apa? wong yang rugi malah semuanya.

2. Jago Kandang

banyaknya protes yang terjadi kebanyakan ada tanpa tahu benar masalah masalah di seputar hal yang diprotes tersebut.
semua hanya dilihat dari satu sisi. sisi ego dan sisi “kandangnya” sendiri.

si “jago kandang” tak akan pernah besar.


ya kan besarnya di kandang, segitu gitu aja dunianya.
dan segitu gitu aja pemahamannya.

dibalik internet yang bisa memudahkan semua, dan teknologi serta jaman yang serba modern. sosial dalam arti yang
sebenarnya terasa lebih mewah dibandingkan dunia semu dan terbatas yang ibarat kandang untuk kita. “menyenangkan
tetapi membodohkan”

3. Bangun tidur

saya sendiri sebenernya hobi tidur, tidur menjadi tempat paling damai supaya otak ga gitu gitu amat bekerjanya. istirahat dulu.
poin yang saya tangkap dari “jangan tidur melulu, mulailah bekerja” entah kenapa lebih luas.
“tidur” saya ibaratkan sebagai kesadaran kita yang tertidur, yang mungkin selama ini kita hanya menjadi mesin atau robot,
yang mungkin hanya mengejar hasil thok, atau yang pulas ditimang ke”wah”an budaya lain dan konco konconya, yang pada
akhirnya mempercepat kehancuran identitas kita sebagai suatu bangsa.
kan ada ungkapan tuh

“cara cepat menguasai dan menghancurkan suatu bangsa, bunuh sejarah dan budayanya”

“kerja” pun seakan tak hanya sesempit arti kerja itu sendiri. yang hanya melakukan sesuatu untuk mencari uang, lalu membeli
makan, kenyang dan begitu seterusnya. ada ungkapan dalam bahasa jawa

kerjo iku kanggo ndholek jenang lan jeneng. ( kerja itu untuk mencari jenang yang manis dan nama )

jenang pastilah harta tapi jenang yang terlalu manis dan banyak dimakan berlebihan pun juga akan membuat muntah. wong
eneg kemanisan.

jeneng artinya nama. nama kalau boleh saya lebarkan maknanya adalah “kita ingin dinilai sebagai orang yang bagaimana”,
yang hanya mengejar “jenang”, “jeneng” atau “jeneng karena memberikan jenang yang enak untuk orang lain dan
bangsa ini”.

4. gayamu agawe guyu

gaya ya perlu, setiap identitas pasti perlu gaya, tapi kalo kebanyakan pastilah eneg orang ngeliatnya. saya akhirnya tersadar
sekarang dengan kalimat “seperlunya saja”. yang mungkin agak jarang saya temui di megapolitan ini. dimana kamu diliat dari
gayamu, dari sepatumu, dari duitmu, dari merk pakaianmu. dari pekerjaanmu dan konco konconya again. yang pada akhirnya
membuat kamu menjadi budaknya gaya. pada akhirnya kita lupa, bahwa manusia itu sendiri lebih berharga dari pada sekedar
gaya yang artificial juga. ada pepatah bagus seperti ini bunyinya:

“emas dalam tumpukan tai tetaplah emas, dan tai di tumpukan emas, tetaplah tai”
perenungan ini sebenernya pribadi, buat bekal anak cucu saya lah. kalau ada yang merasa terganngu dan tercolek ya saya
minta maaf.

dan belajar dari lagu dolanan ini, ada kalanya kita tak sadar bahwa kebijaksaan bangsa kita terdahulu ternyata dalam dan
berguna. rumput tetangga mungkin jauh lebih indah, tapi tetap itu bukan punya kita :)

salam nusantaraya

Lagu Dolanan (2)


Oktober 28, 2008 in budaya jawa, tembang | Tags: lagu dolanan, lagu dolanan anak, tembang jawa
Nyambung seratan wonten mriki lan wonten mriki ingkang nyerat babakan lagu dolanan anak jawi
ingkang sak punika sampun awis dipun panggihaken. Wonten ngandap punika wonten sak perangan
lagu dolanan ingkang saged dipun tambahaken. Lagu dolanan tambahan punika kula pendhet
saking mriki.

Emanipun ngantos sak punika kula dereng pinanggih lagu dolanan MP3 ingkang saged dipun-unduh
(download) saking internet. Mbok menawi wonten ingkang kagungan?

Sluku-sluku bathok
Sluku-sluku bathok
bathoke ela-elo
si romo menyang solo
oleh-olehe payung moda
tak jenthir ololobah
wong mati ora obah
yen obah medeni bocah
yen urip nggoleko dhuwit

Gotri nagasari
gotri legendri nogosari, ri
riwul iwal- iwul jenang katul, tul
tulen olen-olen dadi manten, ten
tenono mbesuk gedhe dadi opo, po
podheng mbako enak mbako sedeng, deng
dengklok engklak-engklok koyo kodok

Dayohe Teka
Ei.., dayohe teko,
Ei.., jerengno kloso,
Ei.., klosone bedah,
Ei.., tambalen jadah,
Ei.., jadahe mambu,
Ei.., pakakno asu,
Ei.., asune mati,
Ei.., guwangen kali,
Ei.., kaline banjir
Te Kate Dipanah
Te kate dipanah
Dipanah ngisor gelagah
Ana manuk konde-onde
Mbok sirbombok mbok sirkate
Mbok sirbombok mbok sirkate

Gek kepriye
Duh kaya ngene rasane
Anake wong ora duwe
Ngalor ngidul tansah diece
Karo kanca kancane
Pye pye pye pye ya ben rasakna
Pye pye pye pye rasakna dewe
Pye pye pye pye ya ben rasakna
Pye pye pye pye rasakna dewe

Pitik Tukung
Aku duwe pitik pitik tukung
Saben dina tak pakani jagung
Petok gok petok petok ngendok pitu
Tak ngremake netes telu
Kabeh trondol trondol tanpa wulu
Mondol mondol dol gawe guyu

Ilir-ilir
Lir ilir..lir ilir..tanduré wus sumilir Tak ijo royoroyo..taksengguh temantèn anyar
Cah angon.cah angon..pènèkké blimbing kuwi , Lunyu-lunyu ya pènèken kanggo masuh dodotira
Dodotira dodotira kumitir bedhah ing pinggir Dondomana jlumatana kanggo séba méngko soré
Mumpung padhang rembulané
Mumpung jembar kalangané Ya suraka..surak horéé

Kate – Kate Dipanah


Te kate dipanah
dipanah ngisor nggelagah
ana manuk ondhe ondhe
Mbok sir bombok bok sir kate
Mbok sir bombok mbok sir kate

Menthok – menthok
Menthok menthok tak kandhani
Saksolahmu angisi-isini
Mbok ya aja ngetok
Ana kandhang wae
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe
Menthok-menthok mung lakumu
Megal-megol gawe guyu

Kupu Kuwi
Kupu kuwi tak encupe
Mung abure ngewuhake
Ngalor-ngidul
Ngetan bali ngulon
Mrana-mrene mung sak paran-paran
Mbokya mencok tak encupe
Mentas mencok clegrok
Banjur mabur kleper

Cempa
Cempa rowa
Pakananmu apa rowa
Tuku gendhing ndhing ndhing ndhing
Rowang rawing wing wing wing
Bong kecebong jarane jaran bopong
Sing nunggangi Semar Bagong
Ecrek-enong ecrek-egung ecrek-enong ecrek-egung

Jago Kate
Jago kate te te te
Kukukluruk … kok
Amecece ce ce ce
Kukukluruk
Dibalang watu bocah kuncung
Keok … kena telehe
Njranthal … pelayune
Mari umuk mari ngece
Si kate katon nyekukruk
PADANG MBULAN
Yo, poro konco dolanan ning jobo
Padang mbulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelingake ojo podo turu sore

JAMURAN
Jamuran… jamuran…ya ge ge thok…
jamur apa ya ge ge thok…
Jamur payung, ngrembuyung kaya lembayung,
sira badhe jamur apa?

KODOK NGOREK
Kodok ngorek kodok ngorek ngorek pinggir kali
teyot teblung teyot teblungteyot teyot teblung
Bocah pinter bocah pinter besuk dadi dokter
bocah bodho bocah bodho besuk kaya kebo

KIDANG TALUN
Kidang talun
mangan gedang talun
mil kethemil…mil kethemil…
si kidang mangan lembayung

DONDHONG APA SALAK


dhondhong apa salak dhuku cilik cilik
gendong apa mbecak mlaku thimik thimik
adhik ndherek ibu tindak menyang pasar
ora pareng rewel ora pareng nakal
mengko ibu mesthi mundhut oleh-oleh
kacang karo roti adhik diparingi

PITIK TUKUNG
Aku duwe pitik, pitik tukung..
saben dina, tak pakani jagung
petok gogok petok petok ngendhog siji,
tak teteske…kabeh trondhol..dhol..dhol..
tanpa wulu..megal-megol.. gol.. gol.. gawe guyu…

JARANAN
jaranan-jaranan… jarane jaran teji
sing numpak ndara bei
sing ngiring para mantri
jeg jeg nong..jeg jeg gung
prok prok turut lurung
gedebug krincing gedebug krincing
prok prok gedebug jedher

GUNDHUL-GUNDHUL PACUL
Gundhul gundhul pacul cul, gembelengan
nyunggi nyunggi wakul kul, petentengan
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar

MENTHOK-MENTHOK
Menthok, menthok, tak kandani mung lakumu,
angisin-isini mbok yo ojo ngetok,
ono kandhang wae enak-enak ngorok,
ora nyambut gawe
menthok, menthok …
mung lakukumu megal megol gawe guyu

GAMBANG SULING
Gambang suling, ngumandhang swarane
tulat tulit, kepenak unine
uuuunine.. mung..nreyuhake ba-
reng lan kentrung ke-
tipung suling, sigrak kendhangane

SUWE ORA JAMU


Suwe ora jamu
jamu godong tela
suwe ora ketemu
ketemu pisan gawe gela

TAK LELO LELO LEDUNG


tak lelo lelo lelo ledung…
cup menenga aja pijer nangis
anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune
tak gadang bisa urip mulyo
dadiyo wanita utomo
ngluhurke asmane wong tua
dadiyo pendekaring bangsa
cup menenga anakku
kae bulane ndadarikaya ndas butho nggilani
agi nggoleki cah nangis
tak lelo lelo lelo ledung
cup menenga anakku cah ayu
tak emban slendang batik kawung
yen nangis mudak gawe bingung
tak lelo lelo ledung..

srengenge nyunar
srengenge nyunar kanthi mulyo
anginne midid klawan rena
manuk’e ngoceh ono ing witwitan
Kewane nyegrut ono ing pasuketan

kabeh podho muji Allah kang mulyo


kabeh podho muji Allah kang mulyo

Caos Komentar Mawi Plurk


Dalam falasaf Jawa yang berkaitan dengan kehidupan, dikenal adanya istilah:

1. 1. Sangkan Paraning Dumadi


2. Manunggaling Kawulo Gusti.
Falsafah ini mengajarkan kepada orang-orang Jawa untuk dapat membina dan
menjalani kehidupan sampai saat kematian nanti dengan sempurna. Bagaimana
bisa mempunyai atau memberikan sangkan (asal muasal) yang baik dan/atau agar
supaya bisa mencapai atau memperoleh paran (arah tujuan) yang agar
bisadumadi yaitu mendapat/mencapai kesempurnaan
Dalam presentasi ini, saya ingin membahas falsafah kehidupan dalam Budaya
Jawa dalam kaitannya dengan upaya bagaimana mencermati dan memahami
falsafah hidup ini agar dapat menjadi pedoman untuk mencapai kehidupan yang
lebih sejahtera dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Hidup di sini berarti
ganda yaitu hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat.

Kehidupan yang sempurna ini, dalam kehidupan dunia adalah memayu wahyuning
bawana (menjaga kelestarian kehidupan (pribadi dan manusia lain) dan
kelestarian bumi, agar dapat terus didiami oleh anak cucu kita di masa-masa
mendatang, dan setelah mati mencapai “manunggaling Kawulo Gusti” di mana ruh
kembali bersama Allah (yang berarti masuk surga).
Sebagaimana diawali dalam falsafah ini, setiap manusia akan mengalami tiga
tahapan kehidupan yaitu Metu–Manten-Mati.
Metu berarti lahir (atau sangkan), di mana dalam kelahiran ini dipandang sebagai
takdir karena bayi tersebut tidak bisa siapa orang tuanya dan di mana dia
dilahirkan.
Manten berarti menikah, di mana dengan menikah ini, dipandang bahwa
seseorang sudah tidak lagi hanya harus mempunyai beban tanggungjawab dan
kewajiban pribadi semata. Namun, dua manusia menyatukan kewajibannya
dalam upaya untuk memulai tahapan “memayu wahyuning bumi” (atau “hamemayu
hayuning bawana”} dan “manunggaling kawulo Gusti” yang sempurna.
Mati yang berarti akhir kehidupan manusia dan kembali kepada Sang Pencipta.

Tahapan dan Konsekwensi:


Dalam tahapan “Metu”, (yaitu sangkan atau asal kehidupan) pada awalnya
manusia belum mempunyai dan mengemban beban dan tanggungjawab untuk
menjalani kehidupan. Beban tanggungjawab dan kewajiban manusia diawali
dengan kemampuannya untuk memahami sejumlah aturan yang berlaku, baik
yang berlaku di keluarga, kemudian di lingkungan rumah, di lingkungan
ketetanggaan, di lingkungan sekolah, dan seterusnya. Seiring dengan bertambah
umur dan pengetahuan serta jaringan hubungannya dengan manusia-manusia
lain, maka semakin bertambah pula tanggungjawab dan kewajiban orang yang
bersangkutan. Beban tanggungjawab dan kewajiban manusia bertambah dan
semakin beranekaragam seiring dengan pertumbuhan kemampuannya untuk
berpikir dan memahami posisinya dalam kehidupannya bersama orang lain dan
dalam lingkungan fisik. Beban dan tanggung jawab manusia dalam masa “metu”
ini masih dipikul oleh kedua orang tua (yang sudah masuk dalam tahap “manten”
dan sanak kadang serta orang-orang yang berada di sekitar keberadaannya.
Dalam masa “metu” sampai dengan “manten” ini, pada awalnya, manusia hanya
“nglakoni” yaitu hanya menjalankan apa yang dipandangnya bisa atau boleh
dilakukannya. Dalam Bahasa Jawa, masa ini dianggap sebagai “saderma
nglampahi” atau sekedar menjalani, apa saja yang dipandangnya bisa dan boleh
dilakukan. Tidak ada konsekwensi beban tanggungjawab dan kewajiban, karena
masa ini semua seolah-olah sudah di atur dan tidak perlu bertanggung jawab.
Dalam tahapan ini, apa yang dialami seolah sudah terjadi dengan sendirinya dan
sudah menjadi nasib dan takdir Illahi.
Semakin dewasa (terutama kedewasaan dalam pemikiran) seseorang, yaitu
dewasa menjelang sampai dengan tahapan “manten”, maka “nglakoni” diganti
dengan “laku” atau berjalan menuju masa depan sesuai dengan “paran” yang
dipandang dapat menuju kesempurnaan hidup. “Laku” atau sering juga disebut
sebagai tahapan “lakon” ini membutuhkan tahu dan ilmu. Dari waktu ke waktu,
setiap manusia dianggap belajar untuk tahu yang menjadi pengetahuannya dan
belajar ilmu untuk berjalan menuju “paran” atau tujuan hidupnya. Sebagaimana
yng ditembangkan:
1. Ngelmu iku kelakone kanthi laku (Ilmu itu terjadinya disertai langkah atau perjalanan)
2. Lekase lawan kas (bermula dari kesungguhan hati – untuk tahu dan belajar)
3. Tegese kas nyantosani (kesungguhan bermakna menyentosakan –
memudahkan/membahagiakan)
4. Setya budya pangekese dur angkara (setia atau berketetapan hati untuk memperjuangkan
kebaikan dan menghilangkan yang jahat).
(diambil dari tulisan Afendy Hidayat, M.Phil.:”Sangkan Paraning Dumadi: Sebagai
Proses antara Lahir dan batin”, 19 September 2014.
Pada tahapan “manten” manusia mulai dibebani dengan tanggungjawab dan
kewajiban bersama, tidak lagi hanya sendiri-sendiri. Tahap “manten” ini
menandakan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan setuju untuk
menggabungkan, memadu, serta menyerasikan tangjawab dan kewajiban
masing-masing menjadi sebuah kesatuan yang harmonis, yaitu dalam kehidupan
berkeluarga dan berumahtangga. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa
tanggungjawab dan kewajiban sebagai laki-laki untuk suami menjadi lebur
dengan tanggungjawab dan kewajiban perempuan yang menjadi istrinya.
Tanggungjawab dan kewajiban laki-laki sebagai suami dari istrinya dan bapak
dari anak-anak2nya tetap harus dipikul dan dilaksanakan dengan baik. Demikian
pula dengan tanggungjawab dan kewajiban perempuan sebagai istri dari suami
dan ibu dari anak-anaknya tetap melekat pada perempuan. Tahap “manten”
berarti tambahan tanggungjawab dan kewajiban di samping menggabungkan,
memadu dan menyerasikan tanggungjawab laki-laki dan perempuan.
Sudah harus mulai jelas “paran” yang ingin dituju bersama pasangannya dalam
upaya untuk “memayu wahyuning bawana” dan mencapai kesempurnaan hidup.
Dalam hal “memayu wahyuning bawana” pasangan manusia dibebani
tanggungjawab untuk dapat memunculkan “wiji dadi kang bleger”, yaitu bibit
manusia atau melahirkan bayi yang sempurna lahiriah dan batiniah. Dalam
tahapan ini, bapak ibu diwajibkan untuk memberikan kecukupan lahir batin
dalam arti pangan sandang papan dan pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar
”wiji dadi” dapat tumbuh dengan baik dan sempurna (lahir batin serta
kemampuannya) yang pada waktunya nanti bisa menggantikan bapak ibunya
untuk bisa menghasilkan proses “metu” yang baik bagi anak-anaknya serta
mencapai “paran” atau tujuan menuju kesempurnaan dalam “memayu wahyuning
bawana” dan “manunggaling kawulo Gusti”. Dengan demikian, maka
kesinambungan kehidupan manusia dan alam untuk menunjang kehidupan
dapat terus dipertahankan dengan baik. “Wiji dadi” ini harus bisa tumbuh dengan
pengetahuan dan ilmu yang dapat mendukungnya untuk mencapai “paran” nya
sendiri dan bersama-sama orang lain. Dalam tahap ini, menurut pendapat saya
“mlampahi saderma” sudah tidak lagi dapat dilakukan sepenuhnya, karena
perjalanan hidup dan kehidupan harus disandarkan pada pengetahuan dan ilmu,
terutama dalam membuat catatan “lelaku” yang baik serta melahirkan,
menumbuhkan dan membimbing “wiji dadi” yang sempurna yang dapat tetap
“memayu wahyuning bawana”di kemudian hari. Sebagaimana biasanya kalau
“mlaku” atau berjalan, kita harus benar-benar mengamati langkah, jalan yang
akan dilangkahi, ke mana arah jalan yang ditempuh dan bagaimana cara kita
menjalani, serta tujuan dari perjalanan yang dilakukan ini. Bilamana kita tidak
berhati-hati berjalan, maka kita bisa jatuh, terjerembab, tersesat, dan tidak akan
sampai tujuan.
Dalam tahap ini, “mlampahi saderma” harus diartikan sebagai semua upaya untuk
mendapat dan mencapai “paran” yang diinginkan, harus dilakukan dengan sekuat
kemampuan dan sebaik-baiknya cara yang diketahui serta tanpa rasa putus asa
karena kegagalan yang dialami. Kegagalan karena upaya sekuat kemampuan,
dengan sebaik-baiknya cara dan tanpa rasa putus asa inilah yang dipandang
sebagai “nglampahi saderma” karena sudah menjadi keputusan dan kententuan
Illahi. Dalam konteks ini, “nglampahi saderma” berarti “nrima” karena memang
sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa.
Peran falsafah hidup “sangkan paran dumadi”, adalah manusia harus memilih dan
menentukan tujuan hidupnya dengan bekal pengetahuan dan ilmu serta
pemikiran dan perenungan yang mendalam guna menjalani kehidupan dengan
kerja kerja sebatas kemampuan tertinggi, mencari jalan yang terbaik, tanpa kenal
lelah dan putus asa, serta terus belajar dan memahami kegagalan-kegalan yang
pernah di alami bilamana ada agar tidak terulang kembali.
Dalam tahapan “mlaku” ini, manusia sudah harus siap “lelaku” yaitu mencatatkan
apa saja yang sudah dilakukan dalam kehidupan tahap-tahap sebelumnya.
“Lelaku” ini berisikan catatan dari semua hal yang dilakukan dalam tahapan-
tahapan sebelumnya, dan merupakan bekal untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Tentunya bekal ini harus kita buat sendiri dan harus kita peroleh sendiri, sebisa
mungkin tanpa perlu membebani orang lain (anak dan sanak kadang). Hal ini
dikarenakan dalam pengertian “sangkan paran dumadi”, manusia mempunyai
“lakon” (“laku” dan “lelaku”) sendiri-sendiri dalam membuat catatan
kehidupannya sendiri ini. “Lelaku” inilah yang menjadi bekal dalam menghadap
Sang Pencipta dan yang menentukan apakah bisa mencapai kesempurnaan
dalam “manunggaling kawulo Gusti”
Kesadaran “Sangkan Paran Dumadi”:
Dalam proses yang dijalani dalam konteks ”sangkan paran” ini, terdapat proses
dialog antara raga dan jiwa, antara lahir dan batin, yaitu olah rasa yang berawal
dari pengetahuan dan ilmu serta bermuara di hati. Rasa di sini bukanlah
perasaan, namun lebih kepada “penggalih” atau “manah” (lihat buku Mulyono
1982:58; dan Afendy Widayat, 2014:6), yaitu pemikiran dan perenungan yang
mendalam berdasar kepada “eneng” (tenang dalam berpikir tanpa adanya campur
tangan perasaan dan nafsu), “ening” (bening dan jernih tanpa punya prasangka
buruk dan dugaan), “awas” (teliti dan waspada dan melihat, mengetahui dan
menimbang) dan “eling” (bahwa semua akan terwujud atau terjadi atas kehendak
Illahi). “Paran” yang ingin dicapai harus direncanakan secara seksama berdasar
pada pola pemikiran “eneng”, “ening”, “awas” dan “eling” ini. Sedangkan upaya
untuk mencapai “paran” yang diinginkan harus dilakukan dengan tekad yang
kuat, kerja keras, tekun, gigih, tanpa kenal putus asa.
Dalam budaya Jawa, banyak diketahui pepatah dan petuah yang memberikan
kearifan dalam upaya kita bisa mencapai “paran dumadi“ demi ”manunggaling
kawulo Gusti” Sebagai contoh:
1. “Urip iku Urup”: hidup itu seharusnya menyala, menerangi, yang berarti hidup itu
hendaknya memberi manfaat kepada orang lain di sekitar kita”.
2. “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta Dur Hangkoro”: Harus mengusahakan
keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka,
serakah, iri hati, dan kikir serta aniaya.
3. “Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan”: Jangan mudah tertekan
terkena tekanan batin (“distressed”) manakala musibah menimpa, jangan sedih manakala
kehilangan.
4. “Ojo ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman”: Jangan terpaku atau
terkungkung dengan kedudukan, kekayaan materi dan kepuasan duniawi.
5. “Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka”: jangan merasa paling pandda
agar tidak salah paran, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
6. “Ojo milik barang kang melok, ojo mangro mundak kendho”: Janga tergiur oleh hal-hal
yang tampak mewah, cantik, indah, dan jangan berfikir gamang atau plin-plan agar tidak
kendor niat dan semangat kerja.
7. “Alang-alang dudu lalin aling, marganing kautaman”: Persoalan kehidupan bukan
penghambat jalan menuju kesempurnaan.
8. “Sopo weruh ing panuju sasat sugih pager wesi”: Dalam kehidupan, siapa punya cita-cita
luhur jalannya seakan tertuntun.
9. “Ngeli namung ora keli”: Hidup itu harus menyesuaikan diri dengan jaman, namun tidak
hanyut oleh arus kemajuan jaman semata. Ini erat kaitannya dengan pepatah “jamane
jaman edan, sing ora edan ora keduman. Namung sing paling becik tetep wong waras”.
Budaya Jawa mengajarkan kita agar tetap mempunyai pola pemikiran “kang eneng,
ening, awas, lan eling”.
10. “Becik tithik, ala ketoro”: kebaikan akan pasti tercatat sedangkan keburukan pasti akan
terbuka, membimbing agar kita selalu berbuat baik dan menjauhi yang bersifat aniaya.
Sedemikian saratnya budaya Jawa ini dengan kearifan. Bahkan kearifan ini
diajarkan sejak masih kanak-kanak dengan berbagai lagu “dolanan”. Seperti
misalnya:
MENTHOK
- Menthok-menthok tak kandhani, mung solahmu angisin-isini ((Menthok-menthok aku
nasehati, perilakumu memalukan.
- Bokya aja ndheprok, ana kandhang wae (Jangan hanya diam dan duduk, di
kandang saja)
- Enak-enak ngorok, ora nyambut gawe (Enak-enak mendengkur, tidak bekerja)
- Methok-menthok, mung lakumu megal-megol gawe guyu (Menthok-menthok,
jalanmu meggoyangkan pantat membuat orang tertawa)
Syair tembang dolanan ‘Menthok’ mengandung makna bahwa seseorang itu
perlu memiliki sikap rendah hati, dan mau instrospeksi diri. Sebagai manusia kita
tidak

boleh sombong, dan harus tetap menghargai orang lain. Sebab, semua ciptaan
Allah memiliki

kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ibarat ‘menthok’, binatang yang


penampilannya jelek, tidak menarik, suka tidur, dan malas-malasan pun masih
bermanfaat

bagi orang lain, karena mampu membuat orang lain tertawa atas kelucuan
tingkahnya. Karena

itu, sebaiknya kita jangan segan untuk melihat kekurangan diri sendiri dan tidak
mudah

merendahkan orang lain atas kekurangannya. Tembang ini juga menyampaikan


pesan bahwa
sebaiknya kita tidak bermalas-malasan, karena itu bukan sifat yang baik. (diambil
dari Dr. Farida Nugrahani: “Reaktualisasi Tembang Dolanan Jawa dalam Rangka
Peembentukan Karakter Bangsa (Kajian Semiotik)” Program Pascasarjana
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo).
Masih banyak lagi lagu-lagu “dolanan” untuk anak-anak yang menyiratkan ajaran-
ajaran etika dan moral sejak dini.
Kesimpulan:
“Sangkan Paran Dumadi” sebagai falfasah hidup orang Jawa, membing manusia
untuk tidak “sak paran-paran” karena semua harus ada tujuan yang jelas,
keinginan untuk mencapai sesuatu yang sempurna, baik untuk diri sendiri, anak,
sanak kadang dan orang lain. Budaya Jawa juga mengajarkan untuk bekerja
keras, tekun, tidak kenal lelah maupun putus asa. Prinsip “nrimo mergo isaku
mung ngene” tidak ada dalam ajaran budaya Jawa karena ini menunjukkan
watak malas berpikir dan berkerja. Falsafah hidup dalam budaya Jawa
mengajarkan kita untuk memikirkan dengan seksama serta merencanakan
kehidupan guna mencapai kesempurnaan hidup tanpa perlu mengeluh atau
“ndersulo” karena semua apa yang dicapai, apa yang dimiliki, dan apa yang
dinikmati adalah hasil dari “mlaku” diri sendiri demi kebutuhan “lelaku”. Semua
tetap dalam garis keputusan Illahi agar dapat mencapai kesempurnaan dalam
“manunggaling kawulo Gusti”.
Dengan semakin majunya jaman dan keaneragaman cara dan jalan menuju
tujuan hidup yang sempurna (“paran kang dumadi”), semakin banyak tersedia.
Proses untuk belajar dan pembelajaran dalam mencari jati diri guna memilih cara
dan menentukan tujuan hidup juga semakin luas dan terbuka. Peran falsafah
hidup “sangkan paran dumadi”, hanya dapat dicapai dengan bekal pengetahuan
dan ilmu serta pemikiran dan perenungan yang mendalam berdasar kepada
“eneng”, “ening”, “awas” dan “eling” sert akan memudahkan mencapai
“manunggaling kawulo Gusti” dengan hidup yang lebih sejahtera dan lebih bahagia.
Sebagai contoh, agar supaya dapat memberikan pendidikan formal kepada anak
dengan baik, orang tua dapat merencanakan tabungan pendidikan anak sejak
dini, sehingga sewaktu anak membutuhkan biaya sekolah, orang tua tidak lagi
dipusingkan dengan mencari dana. Untuk bisa mendapatkan bahan-bahan
belajar dan pembelajaran, dapat dilakukan melalui sambungan internet. Semisal
pun kita belum mempunyai pekerjaan tetap, masih bisa ikut program tabungan
untuk masa tua atau masa pensiun. Bahkan, bila saatnya tiba, di mana harus
memasuki “manunggaling kawulo Gusti”, tersedia pula program yang dapat
memberikan biaya untuk pemakaman dan uang duka cita, sehingga tidak
membebani anak dan sanak kadang.
Semua program ini tidak perlu mahal dan memerlukan banyak biaya. Hanya
memerlukan perencanaan yang matang dan keberhati-hatian dalam mencermati
dan menyikapi berbagai program yang ada. Program-program yang ada
dimaksudkan untuk dapat membantu meningkatkan kesejahteraan bersama

Hal ini bisa tercapai oleh karena adanya program-program kelompok pengikut, di
mana sejumlah orang bergabung secara bersama-sama mengikuti suatu program
pilihan tertentu sesuai dengan kebutuhan kelompok yang bersangkutan.
Menthok – menthok

Menthok menthok tak kandhani


Saksolahmu angisi-isini
Mbok ya aja ngetok
Ana kandhang wae
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe
Menthok-menthok mung lakumu
Megal-megol gawe guyu

lagu ini dulu sering saya nyanyikan dan saya dengar di saat masih duduk di bangku SD. mungkin kawan kawan yang sewaktu
kecil tinggal di pulau jawa timur dan tengah ingat dengan lagu ini.

20 tahun berlalu dan tiba tiba saja teringat lagi. dulu saya tak pernah tahu filosofi dibalik lagu ini. yang saya tahu lagu ini
tentang bebek dan konco konconya.

entah angin apa yang membawa saya tiba tiba ke romantisme masa lalu ini. lagu dolanan itu terasa sangat sarat makna sekali.

mungkin sebelum melebar, saya mau coba mengalih bahasakan menjadi bahasa indonesia. biar ngerti semua, ben adil.
mungkin kira kira seperti ini:

Menthok menthok tak kandhani : (menthog adalah panggilan halus untuk bebek) menthog menthog kuberitahu ya?
Saksolahmu angisi-isini : perilakumu itu kok bikin malu
Mbok ya aja ngetok : mbok ya jangan keliatan
Ana kandhang wae : di kandang saja
Enak-enak ngorok ora nyambut gawe : enak enak tidur tidak bekerja
Menthok-menthok mung lakumu : menthog menthog gayamu itu
Megal-megol gawe guyu : megal megol bikin ketawa
kurang lebih sih begitu.

nah, sekarang masalah filosofi menurut saya dibalik lagu ini.


semua sepakat, bahwaJawa adalah bagian dari Indonesia serta bagian dari Nusantara. dan bangsa besai punya budaya dan
kekhasannya sendiri.

1.SANTUN yang MENUNTUN


sebagai bangsa timur kita memiliki kekhasan yang mungkin tak dimiliki bangsa lain. tutur kata yang tak menyakiti dalam
berkomunikasi, adalah salah satunya
menthog dipakai untuk mengganti kata bebek, yang mungkin terdengar kurang sopan. sebenernya ini pembelajaran bagus
agar dalam mengkritik memakai bahasa yang sopan dan tak menyakiti. terkadang yang terjadi sekarang adalah pokoknya
protes dulu, mikirnya belakangan. lah itu kan ngisin isini (memalukan). memalukan diri sendiri dan juga mempermalukan orang
lain. trus gunanya buat apa? wong yang rugi malah semuanya.

2. Jago Kandang

banyaknya protes yang terjadi kebanyakan ada tanpa tahu benar masalah masalah di seputar hal yang diprotes tersebut.
semua hanya dilihat dari satu sisi. sisi ego dan sisi “kandangnya” sendiri.

si “jago kandang” tak akan pernah besar.


ya kan besarnya di kandang, segitu gitu aja dunianya.
dan segitu gitu aja pemahamannya.

dibalik internet yang bisa memudahkan semua, dan teknologi serta jaman yang serba modern. sosial dalam arti yang
sebenarnya terasa lebih mewah dibandingkan dunia semu dan terbatas yang ibarat kandang untuk kita.“menyenangkan
tetapi membodohkan”

3. Bangun tidur

saya sendiri sebenernya hobi tidur, tidur menjadi tempat paling damai supaya otak ga gitu gitu amat bekerjanya. istirahat dulu.
poin yang saya tangkap dari “jangan tidur melulu, mulailah bekerja” entah kenapa lebih luas.
“tidur” saya ibaratkan sebagai kesadaran kita yang tertidur, yang mungkin selama ini kita hanya menjadi mesin atau robot,
yang mungkin hanya mengejar hasil thok, atau yang pulas ditimang ke”wah”an budaya lain dan konco konconya, yang pada
akhirnya mempercepat kehancuran identitas kita sebagai suatu bangsa.
kan ada ungkapan tuh

“cara cepat menguasai dan menghancurkan suatu bangsa, bunuh sejarah dan budayanya”

“kerja” pun seakan tak hanya sesempit arti kerja itu sendiri. yang hanya melakukan sesuatu untuk mencari uang, lalu
membeli makan, kenyang dan begitu seterusnya. ada ungkapan dalam bahasa jawa

kerjo iku kanggo ndholek jenang lan jeneng. ( kerja itu untuk mencari jenang yang manis dan nama )
jenang pastilah harta tapi jenang yang terlalu manis dan banyak dimakan berlebihan pun juga akan membuat muntah. wong
eneg kemanisan.

jeneng artinya nama. nama kalau boleh saya lebarkan maknanya adalah “kita ingin dinilai sebagai orang yang bagaimana”,
yang hanya mengejar “jenang”, “jeneng” atau “jeneng karena memberikan jenang yang enak untuk orang lain
dan bangsa ini”.

4. gayamu agawe guyu


gaya ya perlu, setiap identitas pasti perlu gaya, tapi kalo kebanyakan pastilah eneg orang ngeliatnya. saya akhirnya tersadar
sekarang dengan kalimat “seperlunya saja”. yang mungkin agak jarang saya temui di megapolitan ini. dimana kamu diliat dari
gayamu, dari sepatumu, dari duitmu, dari merk pakaianmu. dari pekerjaanmu dan konco konconya again. yang pada akhirnya
membuat kamu menjadi budaknya gaya. pada akhirnya kita lupa, bahwa manusia itu sendiri lebih berharga dari pada sekedar
gaya yang artificial juga. ada pepatah bagus seperti ini bunyinya:

“emas dalam tumpukan tai tetaplah emas, dan tai di tumpukan emas, tetaplah tai”

perenungan ini sebenernya pribadi, buat bekal anak cucu saya lah. kalau ada yang merasa terganngu dan tercolek ya saya
minta maaf.

dan belajar dari lagu dolanan ini, ada kalanya kita tak sadar bahwa kebijaksaan bangsa kita terdahulu ternyata dalam dan
berguna. rumput tetangga mungkin jauh lebih indah, tapi tetap itu bukan punya kita :)
salam nusantaraya

Anda mungkin juga menyukai