Artinya:
(Jika kamu mendapat beban pekerjaan, sudah selesai dipikir, tentang seluk-beluknya kerja,
usaha untuk menyelesaikan, jika demikian haruslah serius, bekerja dengan penuh tanggung
jawab, agar tidak mengecewakan orang).
***
9. Tembang Pangkur
Tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur
(nasihat), pertemanan, dan cinta. Baik rasa cinta kepada anak, pendamping hidup, Tuhan dan
alam semesta.
Banyak yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai salah satu tembang yang
berbicara tentang seseorang yang telah menginjak usia senja, dimana orang tersebut mulai
mungkur atau mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian. Oleh karena itu sangat banyak
tembang-tembang macapat pangkur yang berisi nasihat-nasihat pada generasi muda.
Memiliki Guru Gatra: 8 baris setiap bait (Artinya tembang Pangkur ini memiliki 8
larik atau baris kalimat)
Memiliki Guru Wilangan: 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8 (Artinya baris pertama terdiri dari 8
suku kata, baris kedua berisi 11 suku kata, dan seterusnya)
Salah satu contoh tembang macapat pangkur yang populer di masyarakat adalah karya
KGPAA Mangkunegoro IV yang tertuang dalam Serat Wedatama, pupuh I, yakni :
Mingkar-mingkuring ukara
(Membolak-balikkan kata)
Akarana karenan mardi siwi
(Karena hendak mendidik anak)
Sinawung resmining kidung
(Tersirat dalam indahnya tembang)
Sinuba sinukarta
(Dihias penuh warna )
Mrih kretarta pakartining ilmu luhung
(Agar menjiwai hakekat ilmu luhur)
Kang tumrap ing tanah Jawa
(Yang ada di tanah Jawa/nusantara)
Agama ageming aji.
(Agama pakaian diri)
Dari tembang macapat pangkur diatas dapat ditafsirkan bahwa, perlu memilih dan
menggunakan kata-kata yang bijak dalam mendidik anak. Dari cara bertutur orang tua harus
bisa menjadi contoh yang baik, karena dengan kata-kata yang baik tentu akan lebih nyaman
untuk didengarkan.
Mendidik bisa melalui tembang yang dirangkai indah agar menarik, sehingga semua nasihat-
nasihat tentang ilmu luhur yang ada di tanah jawa dapat dihayati, dan agama bisa menjadi
salah satu ajaran dalam kehidupan diri.
Dalam serat Wedhatama pupuh I ini, KGPAA Mangkunegoro IV memberi sebuah gambaran
akan pentingnya manusia untuk selalu belajar agar dapat menguasai ilmu luhur. Yang
dimaksut dengan ilmu luhur dalam konteks kekinian tentu cerdas secara intelektual (IQ),
cerdas secara emosi dan spiritual (ESQ).
Cerdas secara intelektual berarti dia pandai dalam menggunakan logika-logika, sedangkan
cerdas secara emosi dan spiritual berarti ia mampu mengelola emosi, sikap, mampu
membawa diri, dan memiliki kesadaran tinggi atas dirinya dengan lingkungan dan Tuhannya.
Tembang macapat pangkur di atas hanya merupakan tembang pembuka dalam serat
Wedhatama Pupuh I Pangkur. Dalam bait-bait tembang berikutnya KGPAA Mangkunegoro
IV dengan jelas juga memberi gambaran tentang perbedaan orang-orang yang berilmu luhur
dengan orang yang kurang ilmu.
***
***
***
***
Megatruh atau megat/ pegat (berpisah) dan ruh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita,
terlepasnya Ruh/ Nyawa menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau
keabadian yang Celaka yaitu di Neraka).
Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut, artinya Setiap Jiwa Pasti Akan Mati.
Kullu Man Alaiha Faan, artinya Setiap Manusia Pasti Binasa.
Akankah kita akan menjumpai kematian yang indah (Husnul Khotimah) ataukah sebaliknya?
Seperti kematian Pujangga kita WS Rendra, disaat bulan sedang bundar-bundarnya (bulan
Purnama) ditengah malam bulan Syaban tepat pada tanggal 6 Agustus atau tanggal 15
Syaban (Nisfu Syaban).
Watak atau karakter tembang megatruh adalah tentang kesedihan dan kedukaan. Dimana
biasa untuk menggambarkan rasa putus asa dan kehilangan harapan.
Memiliki Guru Gatra: 5 baris setiap bait (Artinya tembang Pangkur ini memiliki 5
larik atau baris kalimat)
Memiliki Guru Wilangan: 12, 8, 8, 8, 8 (Artinya baris pertama terdiri dari 12 suku
kata, baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya)
***
Kata Pocung atau Pucung berasal dari kata pocong yang menunjukkan kondisi ketika
seseorang sudah meninggal maka ia akan dibungkus dengan kain putih atau dipocong
sebelum dikebumikan. Filosofi dari tembang pocong ini menunjukkan adanya sebuah ritual
untuk melepaskan kepergian seseorang.
Manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan/ mori
putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang
lahat, rumah terakhir kita didunia.
Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna, artinya Sesungguhnya kamu itu akan mati
dan mereka juga akan mati.
Memiliki Guru Gatra: 4 (Artinya tembang Pocung ini memiliki 5 larik atau baris
kalimat)
Memiliki Guru Wilangan: 12, 6, 8, 12 (Artinya baris pertama terdiri dari 12 suku kata,
baris kedua berisi 6 suku kata, dan seterusnya)
Memiliki Guru Lagu: u, a, i, a (Artinya baris pertama berakhir dengan vokal u, baris
kedua berakhir vokal a, dan seterusnya)
***
***
***
***