Anda di halaman 1dari 3

Review Buku

PATRON-LAISSEZ FAIR: POLA KEPEMIMPINAN KIAI DI PESANTREN


Zahrotul Jannah
Mahasiswi Program Pascasarjana Semester I B Institut Ilmu Keislaman
Annuqayah (INSTIKA)

Judul buku : Model Kepemimpinan Kiai Pesantren


Penulis : Dr. H. Machfud, M.Pd.I
Penerbit : Pustaka Ilmu Yogyakarta
Tahun Terbit : 2020
Cetakan :I
ISBN : 978-623-7066-75-0
Tebal Buku :XIV+148 halaman
Ukuran Buku :14,5 x 21 cm

Kiai dan pesantren merupakan dua dari 5 unsur penting dalam penting yang
saling berkaitan. Pesantren merupakan sebuah Lembaga yang melingkupi
Pendidikan keagamaan, suasana religius dan tatanan keorganisasian. Sedangkan
Kiai merupakan dimensi paling penting yang memiliki otoritas tertinggi.
Pembahasan tentang pesantren dan kiai tidak akan pernah ada habisnya. Namun,
secara singkat, model kepemimpinan dan relasi antara kiai dan pesantren dikupas
lengkap dalam buku yang berjudul “Model Kepemimpinan Kiai Pesantren”.

Secara umum, pola kepemimpinan kiai di pesantren berupa patron-clien dan


Laissez Faire. Pada model yang pertama, kiai atau pimpinan memiliki otoritas
sangat tinggi sedangkan santri merupakan pihak yang tidak memiliki daya
apapun. Kiai bebas memerintahkan dan mengambil keputusan apapun sedangkan
santri hanya memiliki tugas untuk manut. Dari model ini sikap ta’dzim pada kiai
tumbuh dengan sangat subur. Namun hal ini tidak bisa dimaknai dengan asal.
Model kepemimpinan ini juga merupakan manifestasi dari rasa terima kasih yang
Review Buku

sangat besar kepada guru karena telah mengajari berbagai disiplin ilmu dan
kesediaan kiai dalam mendidiknya. Pada masa kolonial, istilah patron sering kali
digunakan untuk perbudakan dari penjajah pada masyarakat Indonesia kala itu.

Model kepemimpinan yang kedua (Laissez Faire ) tidak memiliki tatanan


organisasi yang sangat tajam. Sehingga antara kiai dan santri memiliki
kesempatan untuk bertukar ide. Namun bukan berarti sikap ta’dzim snatri tidak
ada di sini. Mereka tetap melaksanakan semua hal atas persetujuan dari kiai yang
notabene sebagai pengasuh di sebuah pondok pesantren. Kedua model ini pun
dapat dikolaborasikan dengan menjadikan kiai atau pengasuh sebagai pemegang
otoritas tertinggi dan santri sebagai pihak yang manut, namun tetap bisa bertukar
ide ketika dibutuhkan. Dengan demikian tak jarang musyawarahatau rapat antar
kiai (pengasuh) diadakan utnuk menemukan simpulan akhir dalam
mengembangkan dan memajukan pesantren

Kiai pesantren sebagai pimpinan atau pihak yang memiliki otoritas tinggi
perlu memiliki beberapa kriteria. Di antaranya adalah kemampuan kepemimpinan
atau leadership sehingga kiai dapat megordinir dan memantau berjalannya
aktivitas pesantren. Selain itu juga dapat menemukan ide-ide untuk menyelesaikan
permasalahn yang ada; kemampuan dalam bidang fiqih, ilmu alat, akhlak-tasawuf,
ilmu-ilmu lainnya karena berperan sebagai guru atau pengajar;

Kemampuan superior inilah yang membuat kiai memiliki karisma baik di


daerah pesantren maupun di luar. Dewasa ini, kiai-kiai pesantren juga terjun
langsung atas keberlangsungan keberagaman di masyarakat. Hal ini juga terjadi
pada masa rasulullah dan para sahabat yang memimpin masyarakat dari berbagai
hal. Kiai pesantren tidak ahany bertanggung jawab atas pemahaman keagamaan
santri atau masyarakat pesantren. Akan tetapi, juga memimpin dalam bidang yang
lain. Di antaranya adalah sosial, politik, pendidikan dan sebagainya. Dukungan
dari masayarakat ini tiada lain karena kiai memiliki daya tarik tersendiri yang
lahir dari kemapanan dalam bidang keilmuan, keagamaan dan moral.
Review Buku

Buku setebal 148 halaman ini mengajak pembaca untuk menyelami system
kepemimpinan yang ada di pesantren. Penulis bukan hanya menjelaskan
managemen yang diterapkan, tapi juga membahasnya dari segi budaya dan social
kemasyarakatannya. Hal ini dapat menarik minat pembaca untuk lebih
memahamami peran kiai di pesantren. Buku ini sangat cocok dibaca oleh
kalangan masyarakat pesatren, tenaga pendidik, pelajar dan berbagai lapisan
masyarakat.

Pada buku ini pula terdapat beberapa hal yang menjadi kekurangan dari
buku ini, yakni Bahasa yang dituangkan terlalu baku dan terkesan berat. Sehingga
menciptakan rasa sedikit bosan. Selain itu ada beberapa kesahan ketik. Misalnya
pada halaman 67 tertulis kata “monoteisnme”, sedangkan yang dimaksud adalah
kata “moniteisme”. Selain itu, ada sebuah kata yang memiliki perbedaan penulisa
antara satu halaman dengan halaman yang lainnya. Yakni pada halaman 58
tertulis “Laissez Faire”, sedangkan pada halaman 60 tertulis “laizez faire”.

Untuk rating penilaian 1-10 buku ini menempati urutan ke 6. Pembahasan


dalam buku ini sudah menjawab pertanyaan tentang peran atau otoritas Kiai di
pesantren. Walau begitu, dalam hal kepenulisan perlu adanya perbaikan dari segi
gaya Bahasa dan pengetikannya.

Anda mungkin juga menyukai