51-Article Text-146-2-10-20190117
51-Article Text-146-2-10-20190117
Nomor : 2
Tahun : 2018
Radikalisme yang merasuki pesantren menurut Tan dapat dicegah dengan mendorong
pesantren menerapkan educative tradition guna mengembalikan pesantren pada wajah
aslinya, Islamic school with a smiling face, lembaga pendidikan Islam berwajah ramah.
Meski beberapa parameter educative tradition kontradiktif dengan tradisi pesantren yang
menjunjung tinggi kepatuhan total pada kiai, namun beberapa lainnya penting untuk
diterapkan, seperti mendorong santri-siswa pesantren berpikir kritis dan kreatif. Untuk
mewujudkan keduanya santri-siswa, pengelola lembaga pendidikan di bawah holding
institution pesantren seyogyanya mendesain pembelajaran yang dapat menghasilkan
siswa memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher-Order Thinking Skills/HOTS),
yakni tidak hanya puas pada hafalan dan pemahaman, namun juga mengarahkan
pembelajaran untuk menganalisis masalah dan konsep, mengevaluasi realitas lapangan
dan merumuskan problem solving atas masalah sosial. Ikhtiar ini diharapkan menjadi
solusi mencegah tekstualisme-fanatisme berpikir yang dapat menjangkit santri dan
alumni pesantren
menyemai pemikiran radikal.3 Data ini worldview6 karena juga menguasai ilmu
membelalak mata penulis karena agama yang komprehensif, ilmu
lembaga pendidikan Islam yang sacred pengetahuan dan teknologi, namun
harus menyandang stigma profan. Dua memiliki iman dan takwa yang kokoh,7
sisi mata uang yang seharusnya tidak sehingga diharapkan tidak memiliki
selayaknya bertemu dalam satu wajah. pemahaman keagamaan yang tekstual-
Sebagai pusat penyebaran Islam4 normatif-puritan.
damai sekaligus penyelenggara Agar lembaga-lembaga pendi-
pendidikan dan pengembangan ajaran dikan Islam memiliki wajah ramah,
Islam yang mengajarkan ilmu secara (Islamic school with a smiling face), Tan
holistik,5 pesantren memiliki peran yang merekomendasikan agar lembaga-
strategis. Apabila peran ini dikelola lembaga pendidikan Islam mengim-
dengan baik, maka luaran pesantren plementasikan educative tradition yang
tidak hanya orang-orang yang ’a>lim menurutnya merupakan konsep ideal
dalam ’ulu>mu al di>n saja, namun menjadi untuk memoderasi lembaga pendidikan
manusia yang memiliki competent Islam,8 yakni konsep pendidikan Islam
yang tidak mengajarkan siswanya untuk
3 Kompas, “BNPT Incar 19 Pondok Pesantren taklid (anti-totalistic), namun juga
Terindikasi Radikal,” KOMPAS.com, diakses 10
September 2016, mengajak siswa berpikir kritis dan
http://nasional.kompas.com/read/2016/02/02/21 rasional, dan memberikan otonomi
383281/BNPT.Incar.19.Pondok.Pesantren.Terindika
untuk berpikir yang didasari oleh
si.Radikal.
4 Klasifikasi spirit pesantren merupakan antitesis religious worldview dan menyadarkan
argumentasi peneliti Islam Indonesia sebelumnya, siswanya untuk memahami perbedaan
salah satunya terhadap argumen Cliffort Geetz.
Dhofier menilai Geertz tidak konsisten dalam sosio-kultur.9 Beberapa kriteria dalam
statemennya terhadap pesantren. Menurut Dhofier, konsep ini nampak cukup hiperbolik
Geertz menyatakan bahwa pesantren melahirkan dan tidak relevan dengan kultur
lulusan yang secara agresif ditanamkan etika untuk
hidup dengan bekerja mandiri dan berdikari dengan pesantren.
pekerjaan-pekerjaan non formal, namun di sisi lain Parameter anti-totalistic dalam
Geertz menuding bahwa pesantren mengajarkan
lembaga pendidikan Islam menem-
untuk fokus pada kuburan dan ganjaran karena
banyak mengalokasikan waktunya untuk mengirim patkan educative tradition memiliki
doa ke kuburan dan memperbanyak wirid, dzikir rekahan kelemahan digunakan untuk
dan sholawat untuk mendapat ganjaran. Menurut
Dhofier, Geertz juga tidak konsisten dalam melabeli membaca tradisi pesantren. Sebagai
orang-orang pesantren sebagai “the conservative
muslims”, karena di satu sisi dia melabelinya sebagai
kelompok “santri”, namun di sisi lain ia memberikan 6 Jasser Auda, Maqasid al-Syari’ah as Philosophy of
indikator bahwa “santri pesantren” juga menerima Islamic Law: A Systems Approach (London: The
sinkretisme yang menurutnya tidak Islami dan International Institute of Islamic Thought, 2007),
digunakan untuk melabeli kelompok “abangan”. 204.
Zamakhsyari Dhofier, “The Pesantren Tradition: a 7 Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial:
Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan
the Traditional Ideology of Islam in Java” (Disertasi, Aspirasi, 224.
Australia National University, 1980), xii–xvi. 8 Charlene Tan, Islamic Education and Indoctrination:
5Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: The Case in Indonesia (New York: Routledge, 2011),
Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan 91.
Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 224. 9 Ibid., xix dan 76.
Higher-Order Thinking. . . | 123
Kuning: Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi semacam ini idealnya diberikan pada pembelajaran
Pesantren,” Jurnal Ulumul Qur’an 3, no. 4 (1992): 74. di madrasah diniah, sekolah, dan madrasah di bawah
12 Ibid. holding institution pesantren, bukan dalam
13 Tan, Islamic Education and Indoctrination: The pembelajaran bandongan yang diasuh kiai. Dalam
Case in Indonesia, 91; Bandingkan dengan karya Tan pembelajaran terakhir, pembelajaran tetap
lainnya Charlene Tan, “Educative Tradition and dilakukan searah guna melestarikan tradisi takzim,
Islamic School in Indonesia,” Journal of Arabic and hormat dan patuh total pada kiai yang menjadi
Islamic Studies, no. 14 (2014): 48. sentra keilmuan pesantren.
124| | Vol 3 No 2 Tahun 2018
“elemen” yang berubah-ubah, sementara taksonomi Example in Testing,” dalam Technical Developments
tidak. Bloom telah menyusun taksonomi dalam tiga in Education and Automation, ed. oleh Magued
domain, yakni kognitif, afektif dan psikomotor. Iskander, Vikram Kapila, dan Mihammad A. Karim
Benjamin S. Bloom, ed., Taxonomy of Educational (Dordecht: Springer, 2010), 410.
Objectives: The Classification of Educational Goals, 20 Mary Mayesky, Creative Activities and Curriculum
Cognitive Domain 1 (New York: David McKay, 1956), for Young Children, Eleventh Edition (Stamford:
7 dan 17. Cengage Learning, 2015), 95.
Higher-Order Thinking. . . | 125
ketiga, berikut ini merupakan jenis-jenis kreatif hingga level create, menerapkan
gaya renang, kecuali... (level pengetahuan dengan memproduksi
1/remember/know), soal keempat, produk atau teori secara kreatif.23
dalam renang gaya dada, bagaimana Guru yang mengajar siswa agar
cara mengangkat kepala ketika kepala di memiliki HOTS, maka guru tidak hanya
bawah air? (level 2/understand), soal sekedar mengajarkan keterampilan
kelima, jelaskan, bagaimana koordinasi “khayalan” agar siswa dapat beradaptasi
lengan dan tungkai dalam renang gaya dengan kompetensi yang dibutuhkan
punggung! (level 2/understand), soal pasar, namun guru mengajar siswa
keenam, jelaskan perbedaan posisi start untuk menjadi “manusia,”24 karena
gaya kupu-kupu dan gaya bebas! (level mengajari siswa untuk memahami
2/understand). konten dan mengajari siswa untuk
Dengan desain pembelajaran dan berpikir merupakan dua tujuan
evaluasi seperti cerita alegoris di atas, pembelajaran yang berbeda. Keduanya
pertanyaan besar yang diajukan penulis menurut Zohar saling mendukung satu
adalah, pada akhir semester, apakah dengan lainnya karena keterampilan
siswa dapat berenang? Dan dapatkah berpikir tingkat tinggi membutuhkan
siswa menganalisis hingga mampu konten yang kaya untuk dipikirkan.25
menciptakan kreasi gaya renang yang Dalam pembelajaran yang
aerodinamis, cepat dan minim gesekan memfokuskan pada pengembangan
antara tubuh dan air? Bukan kapasitas keterampilan berpikir tingkat tinggi
penulis menganalisanya, namun penulis (HOTS), alih-alih hanya mendorong
ingin mengajak pembaca ikut gelisah, siswa memahami, menguasai dan
“merasakan” bahwa desain pembe- menerapkan materi, guru idealnya
lajaran yang selama ini mainstream memfokuskan perhatian untuk menge-
digunakan oleh guru masih jar higher-level skills, yakni level 4, 5
menghasilkan siswa yang hanya dan 6, karena menurut Williams,
memiliki LOT. sesungguhnya pemahaman (compre-
HOTS adalah keterampilan hension/understand) akan di dapat
berpikir pada level tinggi dilihat dari seiring dengan proses perumusan solusi
hirarki level proses kognitif Bloom yang atas masalah (systhesis/create), begitu-
dimodifikasi oleh Krathwohl, sebaga- pun juga penerapan (application /apply)
imana penulis paparkan dalam Bagan 2.
Taksonomi kognitif Bloom telah
diterima secara luas untuk mengem- 23 Groff dan Jones, Introduction to Knowledge
bangkan keterampilan kognitif siswa. Management: KM in Business, 134.
24 Susan M. Brookhart, How To Assess Higher-Order
Piramida kognitif Bloom merupakan Thinking Skill in Your Classroom (Alexandria: ASCD,
rangkaian keterampilan berpikir, 2010), 3.
25 Anat Zohar, Higher Order Thinking in Science
dimulai dari level understand
Classrooms: Students’ Learning and Teachers’
/knowledge, mengetahui dan meng- Professional Development, vol. 22, Science &
hafalkan, bergerak meningkat semakin Technology Education Library (Dordrecht: Springer
Science+Business Media, 2004), 42.
Higher-Order Thinking. . . | 127
Education: Roles in The Modernization of Muslim 30 Brookhart, How To Assess Higher-Order Thinking
Society,” Heritage of Nusantara: international Journal Skill in Your Classroom, 5.
of Religious Literature and Heritage volume 4, no. 1 31 Ibid., 42.
LOTS
LOTS
HOTS
1) agar siswa “memahami” 1) agar siswa
konsep cinta tanah air "menganalisis" ungkapan ruang angkasa.
yang terkenal sebagai
2) agar siswa menghafal
dan memahami "hadis" hadis cinta tanh air Siswa dibimbing untuk
cinta tanah air 2) agar siswa dapat
"memahami" kandungan merumuskan solusi hukum atas kendala
Asesmen:
hadis cinta tanah air
dengan kualitas terbaik astronot dalam melakukan salat karena
Kata tanya: apa, kapan,
sebutkan (level 1) jelaskan, mereka harus mengitari bumi 16 kali
kenapa, bedakan, Asesmen:
bagaimana (level 2) Probing level 4 sehari. Guru mengarahkan dan
mendampingi siswa agar dapat
merumuskan solusi hukum untuk
Bagan 4. Perbedaan antara desain menyelesaikan masalah salat di luar
pembelajaran dan evaluasi angkasa. (level 6/create).
pembelajaran level 1 dan 2 (LOTS) Tujuan: Tujuan:
LOTS
HOTS
dan level 4 (HOTS) 1) agar siswa “memahami”
konsep salat
1) agar siswa “memahami”
konsep salat
2) agar siswa 2) agar siswa
Ketiga, pengembangan desain “mempraktikkan” salat “mempraktikkan” salat
3) agar siswa
dan evaluasi pembelajaran dari hanya Asesmen: "merumuskan solusi
hukum" salat bagi astronot
sekadar menguasai (level 2) dan
Kata tanya: apa, kapan,
sebutkan (level 1) jelaskan,
kenapa, bedakan,
menerapkan materi (level 3) (LOTS) bagaimana (level 2)
Asesmen:
Rumuskan (level 6)
menuju pembelajaran yang bermuara
pada penciptaan solusi atas masalah
(level 6) (HOTS). Pada tahap ini, guru Bagan 5. Perbedaan antara desain
mengubah desain pembelajaran yang pembelajaran dan evaluasi
hanya mendorong siswa memahami pembelajaran level 1 dan 2 (LOTS)
teori menuju pembelajaran kreatif yang dan level 6 (HOTS)
menghasilkan produk atau program
original untuk menyelesaikan masalah D. PENUTUP
kontemporer. Penerapannya misalkan:
Dalam mempelajari materi salat, Pembelajaran yang mendorong
di samping Guru mengajak siswa santri-siswa pesantren belajar dengan
mengidentifikasi masalah yang mungkin berpikir tingkat tinggi memiliki misi
terjadi pada seorang antariksawan. untuk menghindarkan santri-siswa
Analisis berjalan seru dan banyak siswa pesantren dari radikalisme. Dengan
menyumbangkan kemungkinan masalah melakukan proses analisis, evaluasi dan
yang dialami awak pesawat antariksa mengkreasi solusi atas masalah sosial
dan awak stasiun luar angkasa ISS. Guru diharapkan siswa tidak hanya belajar
kemudian membantu siswa menemukan dengan menghafal dan memahami
satu masalah menarik tentang setiap informasi yang diterima.
bagaimana cara salat para antariksawan Dalam proses pembelajaran di
yang mengelilingi bumi setiap 92 menit. lembaga pendidikan madrasah diniah,
Siswa kemudian dimotivasi melakukan sekolah, dan madrasah di bawah
bahtsul masail untuk merumuskan naungan pesantren, santri-siswa
130| | Vol 3 No 2 Tahun 2018
Genci, Jan. “Knowledge Assessment: Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik
Practical Example in Testing.” Sosial: Mengedepankan Islam
Dalam Technical Developments in sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi.
Education and Automation, Bandung: Mizan, 2006.
disunting oleh Magued Iskander,
Vikram Kapila, dan Mihammad A. Tan, Charlene. “Educative Tradition and
Karim. Dordecht: Springer, 2010. Islamic School in Indonesia.”
Journal of Arabic and Islamic
Groff, Todd R., dan Thomas P Jones. Studies, no. 14 (2014).
Introduction to Knowledge
Management: KM in Business. ———. Islamic Education and
Amsterdam: Butterworth- Indoctrination: The Case in
Heinemann, 2003. Indonesia. New York: Routledge,
2011.
Kompas. “BNPT Incar 19 Pondok
Pesantren Terindikasi Radikal.” Williams, Mary, Madeleine Lively, dan
KOMPAS.com. Diakses 10 Jane Harper. “Higher Order
September 2016. Thinking Skills: Tools for
http://nasional.kompas.com/rea Bridging the Gap.” Foreign
d/2016/02/02/21383281/BNPT Language Annals 27, no. 3 (t.t.):
.Incar.19.Pondok.Pesantren.Terin 1994.
dikasi.Radikal.
Zohar, Anat. Higher Order Thinking in
Krathwohl, David R. “A Revision of Science Classrooms: Students’
Bloom’s Taxonomy: an Learning and Teachers’
Overview.” Theory Into Practice Professional Development. Vol. 22.
Volume 41, no. 4 (2002). Science & Technology Education
Library. Dordrecht: Springer
Mayesky, Mary. Creative Activities and Science+Business Media, 2004.
Curriculum for Young Children.
Eleventh Edition. Stamford:
Cengage Learning, 2015.