Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep pada 1 Januari 1945 pada
masa pendudukan jepang . Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu
Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982. Bakat kepenyairannya
ditemukan oleh Subagio Sastrowardojo.
Sejak tamat Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura,
Sumenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilalang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk
membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata
terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.
Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi
di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve
dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Beberapa sajaknya telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Zawawi Imron merupakan Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi
Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta,
UNHAS Makassar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di
ANtv. Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia
Tenggara (MASTERS) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Dia juga dikenal sebagai
Budayawan Madura.
Pada Juli 2012 Zawawi meluncurkan buku puisinya yang berjudul "Mata Badik Mata Puisi" di
Makassar, kumpulan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar.
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus
sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
Berikut beberapa karya-karya D. Zawawi Imron pada buku Bulan Tertusuk Ilalang
Bulan Tertusuk Lalang
bulan rebah
angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang
1978
aduh, paman!
kudaki punuk pundak sapimu
dengan secawan nira di tangan
untuk mengisi ruas nyawaku
wahai, bulan betah mengasuh kemarau
Senandung Nelayan
1976
Sungai Kecil
1980
1979
Kolam
1979
Nagasari
1978
Sapi Hitam
1979
Di Bukit Wahyu
Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu
manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga.
Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur,
waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan
riwa-yat, mengeja-ngeja desir darahku. ada selubung lepas
dariku, angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon
kenanga.
1979
Kerapan
1
saronen itu ditiup orang
darah langit jatuh di padang, hatimu yang ditapai menjadi
sarapan siang
biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah diangkut
orang ke sampan
2
tanduk yang dibungkus beludru itu jangan dibuka, nanti matahari
pecah olehnya
mendung, wahai mendung!
jangan curahkan tangismu
sebelum daun jati sempurna ranggasnya
maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul
dan kalau putus nadimu, jangan khawatir
denyutmu akan terus hidup di laut
3
sepasang sapi dengan lari yang kencang membawaku ke garis
kemenangan
arya wiraraja! perlukan aku menang
aku meloncat dan terjun di lapangan
aku tertidur dan mimpiku aneh,
kuterima piala
berupa sebuah tengkorak
yang dari dalam
berdentang sebuah lonceng
4
sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir tanpa tangis
suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji
larimu kencang melangkahi rindu sehingga topan senang
mengecup dahimu
jangan mungkir, bulan telah tidur dalam hatimu
bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong lehermu
bila kau tak sanggup berpacu lagi
dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu
5
soronen itu masih saja ditiup orang
embun terangkat, kaki-kaki mengalir
dari saujana ke saujana
tuhan!
tanah lapang itu tak seberapa jauh