Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SEJARAH INDONESIA
PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
PADA MASA ORDE BARU

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

1. Ahmad Daerobi

2. Bagas Sadewo

3. Ferrel Putra Adrevi

4. Habib Rizkullah

5. Nazwa Azzahra .H.

SMA NEGERI 4 KOTA CIREBON

2022/2023

JL PERJUANGAN No 01, Karyamulya,

Kec. Kesambi, Kota Cirebon Prov. Jawa Barat


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia Pada
Masa Orde Baru ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam
semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya,
dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas Sejarah Indonesia. Kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia Pada Masa Orde Baru. Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu
dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat
dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia Pada Masa Orde Baru ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT,
dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah Kedatangan Bangsa
Inggris Di Indonesia ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Makalah..........................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Lahirnya Masa Orde Baru..............................................................3
2.2 Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi
Masa Orde Baru ............................................................................4
2.2.1 Stabiitasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar
Pembangunan.................................................................5
2.2.2 Stabilisasi Penyeragaman...............................................6
2.2.3 Penerapan Dwi Fungsi Abri...........................................7
2.2.4 Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru...................................8
2.3 Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi
Masa Orde Baru............................................................................10
2.4 Jatuhnya Masa Orde Baru.............................................................13
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................14
3.2 Saran.............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................16
LAMPIRAN..............................................................................................17

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Orde Baru merupakan sebuah era yang merupakan kelanjutan dari Orde Lama
yang telah berakhir. Orde Baru juga merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
memisahkan antara kekuasaan masa Soekarno (Orde Lama) dengan masa Soeharto.
Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.
Salah satu penyebab berakhirnya masa pemerintahan orde lama adalah meletusnya
Gerakan 30 September/PKI. Gerakan tersebut mendapat reaksi dari masyarakat luas dan
mengutuk pembunuhan besar-besaran yang telah dilancarkan PKI. Selain itu,
ketidaktegasan pemerintahan Soekarno dalam menangani partai berlandas ideologi
komunis tersebut, menyebabkan merosotnya legitimasi kekuasaan pemerintah. Melalui
Surat Perintah Sebelas Maret 1966 dan kemudian dikukuhkan dalam TAP MPRS
No.XXXIII/1967, kekuasaan akhirnya beralih dari tangan pemerintah Soekarno sebagai
penguasa Orde Lama ke pemerintahan Soeharto sebagai pemegang rezim Orde Baru.
Orde Baru kemudian menandai sebuah era pemerintahan baru di Indonesia pasca
pemberontakan PKI tahun 1965. Orde ini memiliki tekad dan komitmen yang sangat
kuat untuk menegakkan pemerintahan RI atas dasar Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana proses lahirnya masa Orde Baru.
2. Bagaimana stabilisasi politik dan rehabilitas ekonomi masa Orde Baru.
3. Bagaimana dampak kebijakan politik dan ekonomi masa Orde Baru.
4. Apa latar belakang dan penyebab jatuhnya masa Orde Baru.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana proses lahirnya masa Orde Baru
2. Untuk mengetahui bagaimana stabilisasi politik dan rehabilitasi ekonomi masa
Orde Baru

4
3. Untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan politik dan ekonomi masa
Orde Baru
4. Untuk mengetatahui apa latar belakang dan penyebab jatuhnya masa Orde Baru

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lahirnya Masa Orde Baru


Lahirnya era Orde Baru dilatar belakangi oleh runtuhnya Orde Lama. Tepatnya
pada saat runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh Soeharto. Orde Baru
lahir sebagai rezim yang ingin mengoreksi penyelewengan tehadap Pancasila sebagai
dasar negara dan UUD 1945 selama masa Orde Lama. Koreksi ini penting, karena
segala bentuk penyelewengan tersebut telah menyebabkan kemunduran di berbagai
bidang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Salah satu penyebab yang melatar
belakangi runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru adalah keadaan keamanan
dalam negara yang tidak kondusif pada masa Orde Lama. Terlebih lagi karena adanya
peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Hal ini menyebabkan presiden Soekarno
memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan di
Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Bagi bangsa
Indonesia Supersemar memiliki arti penting berikut:
1) Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru
2) Dengan Supersemar, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk
menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia
3) Lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945. Kedudukan Supersemar secara hukum semakin kuat setelah
dilegalkan melalui TAP MPRS No.XXXIII/1967. Sebagai pengemban dan
pemegang Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa langkah
awal seperti berikut:
a. Pada tanggal 12 Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan
membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya
b. Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat
dalam G 30 S/PK
c. Membersihkan MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari
pengaruh PKI dan unsur-unsur komunis.

6
Adapun langkah penting yang diambil pemerintah Orde Baru antara lain:
1. Membubarkan PKI dan menghancurkan PKI dan ormas-ormasnya
2. Konsolidasi pemerintah dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945
3. Menghapus dualisme dalam kepemimpinan nasional
4. Mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan
5. Menyelenggarakan pemilihan umum
6. Menyederhanakan partai politik
7. Melaksanakan sidang umum MPR 1973
8. Melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan

2.2 Stabilisasi Politik dan Rehabilitas Ekonomi Masa Orde Baru


Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang
Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai
pejabat presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS
mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan
indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai
menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan oleh
Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS
No.IX/1966), Stabilitas Ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/1966), dan Pemilihan Umum
(Tap MPRS No.X1/1966).
Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi
penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Di antara penyimpangan
tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri
yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang
telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi
dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi
tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat
Indonesia.

7
Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi Polkam, pemerintah Orde Baru
di bawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai
pendekatan keamanan (security approach), termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan
depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan
merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk lembaga-lembaga
stabilisasi seperti: Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi
Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (I Agustus
1970).
2.2.1 Stabilisasi politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan
nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama
melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk
Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I
dikenal dengan selatan Pancakrida Kabinet Pembangunan yang berisi :
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak
berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu)
2) Menyusun dan merencanakan Repelita:
3) Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971.
4) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis
habis sisa-sisa G30S/PRI dan setiap bentuk rongrongan penyelewenga,
serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945, dan
5) Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh
aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur
komunisme
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi
terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu
melaksanakan pemilihan umum (Pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan
‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai
berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.
Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok

8
Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan kelompok Islam fundamentalis (yang sering
disebut kaum ekstrim kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga
menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih mudah
dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.
2.2.2 Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde
Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan
alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam
pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh
Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada
di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang
pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta,
Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri
sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetya hag ikrar tersebut.
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetya Pancakarsa dengan
maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus
untuk mewujudkan lima cita-cita, yaitu
(1) Takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan
agama/kepercayaan
(2) Mencintai sesama manusia dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak
sewenang-wenang;
(3) Mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi:
(4) Demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah:
(5) Suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampaan orang
lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gonggong ed, 2005: 159).
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR. Akhirnya,
pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No ll/MPR/1978.
Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden

9
mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan
pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang
berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan
program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.
Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai
Demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui
penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat
terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian,
sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
2.2.3 Penerapan Dwi fungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai "jiwa, tekad dan
semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan
lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia baik
di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka
penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945." Berangkat
dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak
hanya dalam bidang Hankam namun juga non-Hankam. Sebaga kekuatan
hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah
yang bertugas di bidang kegiatan "melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia."
Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan
politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial
lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa
ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer
Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalain pelaksanaannya pada era
Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak
dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik

10
terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh
MPRS pada tahun 1968.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde
Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan
ditempatkannya militer di DPR. MPR, serta DPD tingkat provinsi dan
kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab
kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional
bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para anggota
ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar
serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari
mulai Jakarta sampai ke daerah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan
AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara
umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang
setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang
memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
2.2.4 Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru
Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi Polkam diperlukan untuk
pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang
diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang
konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dan kapasitasnya. Demikian pula sektor
pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak
mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir
Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2.358 Juta dollar AS. Dengan perincian
negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok
negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta). sisanya pada
negara-negara Asia dan badan-badan internasional.
Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada
Tap MPRS No XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan
diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal
nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik

11
dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar- benar
membantu perbaikan ekonomi rakyat.
Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang
dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau
mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran
Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu
pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri
sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun
pembangunan ekonomi berikutnya.
Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu,
pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan
mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Prancis (Paris Club), untuk
merundingkan hutang piutang negara, dan ke London, Inggris (London Club)
untuk merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai bukti keseriusan dan itikad
baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah Orde Baru sebelum
pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan
pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS
terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada
tahun 1958.
Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk
membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh
pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.
Sejalan dengan upaya diploması ekonomi, pada 10 Januari 1967
pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing (PMA). Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada
dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah
Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor
asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas
mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang
ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka,
selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi

12
dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja
akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang
terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
2.3 Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi
Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam
menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana
aman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah
terencana dengan baik dan hasilnya dapat terlihat secara konkret. Indonesia berhasil
mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi
kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti
dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi, dan angka
partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.
Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga
memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang
politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter. Presiden mempunyai
kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara
menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis.
Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan
publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil
untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri.
Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara termasuk kehidupan politik.
Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang
baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan.
Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai
negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng
untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk
didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat
yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.

13
Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang
menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini
disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/mengejar pada
pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya
korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak
dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat
rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya
akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini
berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia,
kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor
industri dan sektor pertanian.
Selain masalah-masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia
(HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah
melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty
International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan
beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur sebagai
pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations
Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke-77 dari
88 pelanggar HAM.
Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan
alasan tidak "fair"dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di
dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan
yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat
disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan
terlibat PKI pada tahun 1969-1979), Peristiwa Malari pada Januari 1974 yang berujung
pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 pada 5 Mei 1980.
Pada kurun waktu berikutnya, Pada tahun 1983-1988, terdapat dua peristiwa, yaitu
Peristiwa Penembakan Misterius-Petrus pada uli 1983. Peristiwa Tanjung Priok pada
September 1984. Pada kurun 1988-1993, terdapat Peristiwa Warsidi pada Februari
1989, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh pada 1989-1998, Santa Cruz pada

14
November 1991, Marsinah pada Mei 1993, Haur Koneng pada Juli 1993, dan Peristiwa
Nipah pada September 1993. Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi
Peristiwa Jenggawah pada Januari 1996, Padang Bulan pada Februari 1996, Freeport
pada Maret 1996, Abepura pada Maret 1996, Kerusuhan Situbondo pada Oktober 1996,
Dukun Santet Banyuwangi pada 1998, Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.
Dengan situasi politik dan ekonomi seperti di atas, keberhasilan pembangunan
nasional yang menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil meningkatkan Gross
National Product (GNP) Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal tahun 1980-an,
kemudian meningkat lagi sampai US$ 1.300 perkapita di awal dekade 1990-an, serta
menobatkan Presiden Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan" menjadi seolah tidak
bermakna. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi secara fundamental
pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah
yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa negara seperti di Riau, Kalimantan
Timur dan Irian Barat/Papua.
2.4 Jatuhnya Masa Orde Baru
Di balik kesuksesan pembangunan di depan, Orde Baru menyimpan beberapa
kelemahan. Selama masa pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) tumbuh subur. Kasus-kasus korupsi tidak pernah mendapat penyelesaian hukum
secara adil. Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga
menyebabkan ketidak adilan dan kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan daerah
terjadi kesenjangan pembangunan karena sebagian besar kekayaan daerah disedot ke
pusat. Akhirnya, muncul rasa tidak puas di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Papua.
Di luar Jawa terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan pendatang
(transmigran) yang memperoleh tunjangan pemerintah. Penghasilan yang tidak merata
semakin memperparah kesenjangan sosial. Pemerintah mengedepankan pendekatan
keamanan dalam bidang sosial dan politik. Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi.
Oposisi diharamkan rezim Orde Baru. Kebebasan pers dibatasi dan diwarnai
pemberedelan koran maupun majalah. Untuk menjaga keamanan atau mengatasi
kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan bersenjata. Misalnya, program
”Penembakan Misterius” (Petrus) atau Daerah Operasi Militer (DOM). Kelemahan
tersebut mencapai puncak pada tahun 1997–1998.

15
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter
tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring
dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin
merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan
sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul
demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah
perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya
empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat
mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan
Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar
sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto
berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi.
Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas
menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD,
UUAnti monopoli, dan UU Anti korupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi
belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet
Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden
B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya
Orde Reformasi.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Era Orde Baru di Indonesia, yang muncul setelah runtuhnya Orde Lama dan
Soekarno digantikan oleh Soeharto, memiliki dampak yang kompleks. Meskipun
berhasil menghadirkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, era
ini juga menimbulkan beberapa masalah yang mengakibatkan kejatuhan akhirnya.
Kebijakan politik yang otoriter, penekanan pada pertumbuhan ekonomi tanpa distribusi
yang merata, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi ciri Orde Baru.
Meskipun mencapai pencapaian ekonomi yang mengesankan, ketidakadilan,
kesenjangan sosial, dan pembatasan kebebasan politik menyebabkan ketidakpuasan di
kalangan masyarakat. Kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 terjadi karena krisis
ekonomi yang memburuk, protes mahasiswa yang semakin meningkat, serta tuntutan
reformasi dan perbaikan ekonomi dari berbagai kalangan. Kesimpulannya, Orde Baru di
Indonesia, meskipun berhasil dalam beberapa aspek pembangunan, juga memunculkan
sejumlah masalah yang menyebabkan kejatuhan rezim ini pada akhirnya.
3.2 Saran
Untuk membangun fondasi yang kuat bagi masa depan Indonesia, penting untuk
mempertimbangkan pelajaran dari masa lalu, khususnya runtuhnya Orde Baru pada
tahun 1998. Dalam proses ini, ada beberapa saran yang dapat diterapkan. Pertama,
mengutamakan demokrasi yang sehat dengan memfasilitasi partisipasi publik yang lebih
besar dan memelihara pluralisme dalam berpendapat. Kedua, pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme harus menjadi prioritas dengan menegakkan transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik. Ketiga, fokus pada pembangunan yang
berkelanjutan dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, serta mengurangi kesenjangan
sosial yang ada. Keempat, memperkuat lembaga-lembaga demokratis seperti pengadilan
independen dan badan penegak hukum. Kelima, mendengarkan aspirasi berbagai
kelompok masyarakat dan mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses
kebijakan. Terakhir, meningkatkan pendidikan politik serta kesadaran publik akan hak-
hak sipil, demokrasi, dan kebebasan berpendapat. Dengan menerapkan saran-saran ini,

17
Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih inklusif, demokratis, dan
berkeadilan bagi seluruh warganya.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Oktavia Ratna. 2012. Makalah Orde Baru. Diakses pada 17 November 2023 dari
https://www.academia.edu/9672840/Makalah_Orde_Baru
2. Silvia, Mega. 2022. 72 Penghargaan yang Pernah Diterima Soeharto Semasa
Karirnya Sebagai Militer dan Presiden RI. Diakses pada 19 November 2023 dari
https://www.google.com/amp/s/www.jatimnetwork.com/nasional/amp/pr-
432913467/72-penghargaan-yang-pernah-diterima-soeharto-semasa-karirnya-sebagai-
militer-dan-presiden-ri
3. Erdianto, Kristian. 2016. Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga
Melibatkan Soeharto. Diakses pada 19 November 2023 dari
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2016/05/25/07220041/
kontras-paparkan-10-kasus-pelanggaran-ham-yang-diduga-melibatkan-soeharto
4. Abdurakhman, dkk. 2018. Sejarah Indonesia. Bandung. Sarana Pancakarya Nusa.

19
LAMPIRAN

20
Prestasi atau perhargaan yang dicapai oleh Bapak Soeharto selama menjadi militer dan
presiden:
1. - : Stayalancana Perang Kemerdekaan I
2. - : Satyalancana Penegak
3. - : Independence Necklace
4. - : Bintang Kartika Eka Pakci Pratama
5. - : Darjah Utama Temasek
6. - : Satyalancana GOM IV
7. - : Satyalancana Perang Kemerdekaan II
8. - : Bintang Kartika Eka Pakci Utama (1)
9. - : The Avicena
10. - : Bintang Penghargaan dari Yaman
11. - : Satyalancana Satya Dharma
12. - : Bintang Pahlavi
13. - : Bintang Kartika Eka Pakci nararya (III)
14. - : The Raja Of The Order Of Sikatuna
15. - : Satyalancana Kesetiaan XXIV Tahun
16. - : Bintang Jalasena Utama (1)
17. - : Satyalancana GOM I
18. - : Bintang Sewindu APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia)
19. - : Satyalancana Teladan
20. - : Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama (1)
21. - : Bintang Satyalancana GOM II
22. - : Bintang Garuda
23. - : Satyalancana Wira Dharma
24. - : Bintang Bhayangkara Utama (1)
25. - : Satyalancana GOM III
26. 13 Januari 1963 : Bintang Dharma
27. 17 Agustus 1965 : Bintang Gerilya
28. 18 Februari 1991 : The Health for All
29. 18 Februari 1991 : Medali WHO
30. 19 Juni 1993 : Piagam "The Avicenna"
31. 19 Juni 1993 : Penghargaan Aviena
32. 1968 : Grand Clollier de L'Ordre National de L'Independence

21
33. 1968 : Grand Cordon Ordo Tertinggi Chysanthenum
34. 1968 : Bintang Grand Collier Of The Order Of Sheba
35. 1968 : Raja Ordo Sikutana
36. 1970 : Rajamitrabhorn Yang Paling Menguntungkan
37. 1970 : Rajamitrabhorn Yang Paling Menguntungkan
38. 1973 : Gross-Stern Des Ehreinzechnes Four Verdienste Um Die Republic
Oesterreich
39. 1973 : Grand Cordon Ordre de Leopold
40. 1974 : Knight Cross Of Order Of The Bath (GCB)
41. 1975: Ordo Bintang Besar Yugoslavia
42. 1977 : Bintang Badar
43. 1977 : Ommayad Zul Wusyah
44. 1977 : Warna Agung Sungai Nil
45. 1977 : Kalung Mubarak Al Kabir
46. 1980 : Grand Collar De La Order Americana De Isabel La Cotalica
47. 1981: Orde Garnd Mugunghwa
48. 1982 : Ordo Republik Sosialis Rumania, Kelas Satu
49. 1982 : Nisyam (1)
50. 1985 : Medali Dari Beras Menjadi Swasembada
51. 1986 : Perintah Al-Hussein Bin Ali
52. 1988 : Collar De La Order Del Liberatador
53. 1988 : Darjah Kerabat Mahkota Brunei
54. 1988 : Darjah Kerabat Diraja Perak Darul Ridwan
55. 1988 : Darjah Utama Seri Mahkota Negara (DMN)
56. 1989 : Piagam Global Stateman Award
57. 1989: Penghargaan Negarawan Global Medali
58. 1990 : Bintang Penghargaan Uni Emirat Arab
59. 1990 : Darjah Karabat Diraja Johor Darul Takzim
60. 22 Juli 1986 : Dari Beras Menuju Swasembada
61. 22 Nopember 1997 : The Order Of Good Hope
62. 27 Mei 1988 : Bintang Sakti
63. 27 Mei 1988 : Bintang Republik Indonesia Adipurna (1)
64. 27 Mei 1988 : Bintang Jasa Utama

22
65. 27 Mei 1988 : Bintang Mahaputera Adipurna
66. 27 Mei 1988 : Bintang Budaya Parama Dharma
67. 27-5-1988 : Bintang Republik Indonesia Adipurna
68. 28 Agustus 1970 : Grootkruis in de Orde Van De Nederlandse Leew
69. 29 Agustus 1997 : VI. UNDP (UNITED NATION DEVELOPMENT PROGRAM)
70. 29 Juli 1997 : Order of Yaroslav the Wise
71. 3 Desember 1971 : Bintang Yudha Dharma Utama
72. 8 Juni 1989 : The Population Award

Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto:


1. Kasus Pulau Buru 1965-1966
Soeharto dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Buru bertindak
sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang
disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtub.
Melalui keputusan Presiden Nomor 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando
Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).
Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang
menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke
pulau Buru. ("Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto", Komnas HAM
2003).
2. Penembakan misterius 1981-1985
"Hukuman mati" terhadap residivis, bromocorah, gali, preman tanpa melalui
pengadilan ini dikenal sebagai "penembakan misterius" yang terjadi sepanjang 1981-
1985.Dugaan bahwa ini merupakan kebijakan Soeharto dinilai Kontras terlihat jelas
dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981.
Soeharto mengungkapkan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang
sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga bagian dari
shocktherapy, sebagaimana diakui Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya (ditulis Ramadhan KH, halaman 389, 1989).
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan
tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur,

23
Jawa Tengah dan Bandung. (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; "Indonesia-
Extrajudicial Executions of Suspected Criminals").

24

Anda mungkin juga menyukai