Anda di halaman 1dari 40

Dosen Pengampuh : Dr. Yuliati, S.T., M.

Kes
Mata Kuliah : K3 Rumah Sakit

Makalah K3 Rumah Sakit


“Infeksi Nosokomial, Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
serta Cara Pelaporannya”

Disusun Oleh:
Kelompok 3
Putri Nabila Basri (14120210052)
Irmawati (14120210089)
Syafhira Ramadhani (14120210090)
Sitti Fatimah Assahra (14120210096)
Andi Resky Aisyah Bania B (14120210183)

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT,
karena atas berkah, rahmat dan karunia yang diberikan sehingga makalah
gizi ke mengenai Infeksi Nosokomial, Kecelakaan Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja serta Cara Pelaporannya, Tidak lupa pula kami kirimkan
shalawat dan taslim atas junjungan Nabiyullah Nabi Besar Muhammad
SAW yang menjadi Uswatun Hasanah dan Rahmatan Lil Alamin dalam
menegakkan Dinul Islam.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pengampu mata
kuliah, dan teman-teman yang menjadi motivator untuk memberikan
semangat dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikian makalah ini kami susun sebagai bahan masukan
perbaikan dan peningkatan derajat kesehatan. Saran dan kritik sangatlah
kami harapkan dari semua pihak yang bersifat membangun.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 22 April 2024

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerja merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap produksi, disamping faktor lain yang menunjang proses
produksi seperi keterampilan, waktu dan modal yang dimiliki. Sebagai
tenaga kerja, pekerja memiliki hak-hak pekerja yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan,
diantaranya adalah hak atas kesehatan pada dirinya. Tenaga kerja
sebagai salah satu aset penting yang dibutuhkan perusahaan dalam
menjalankan aktivitas produksinya. Kesehatan dan tenaga kerja
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, salah satunya
adalah pemenuhan gizi kerja yang sesuai dengan status gizi setiap
pekerja dan beban kerjanya untuk mencapai dan meningkatkan
efisiensi serta produktivitas kerja. (Ramadhanti, 2020)
Infeksi nosokomial atau disebut juga dengan Healthcare
Associated Infections (HAIs) adalah infeksi yang didapat pasien dari
rumah sakit, pada saat pasien menjalani proses perawatan. HAIs
pada umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang rawat inap
seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan
intensif, dan perawatan isolasi.
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan berhubungan dengan
hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja yang dimaksud
adalah kecelakaan yang terjadi karena pekerjaan atau pada waktu
melaksanakan pekerjaan.
Penyakit Akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini artefisial oleh
karena timbulnya di sebabkan oleh adanya pekerjaan. Kepadanya
sering diberikan nama penyakit buatan manusia (Manmade disease).
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Infeksi Nosokomial
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kecelakaan Kerja
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Penyakit Akibat Kerja
4. Bagaiaman Cara Pelaporan Infeksi Nosokomial, Kecelakaan
Kerja, serta Penyakit Akibat Kerja?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Infeksi Nosokomial
2. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Kecelakaan Kerja
3. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Penyakit Akibat
Kerja
4. Untuk mengetahui bagaimana Prosedur-prosedur Pelaporan
Infeksi Nosokomial, Kecelakaan Kerja serta Penyakit Akibat
Kerja
BAB II
PEMBAHASAN
1. Infeksi Nosokomial
A. Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau
cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun
sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di
rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama atau setelah
selesai seseorang itu dirawat disebut infeksi nosokomial. Infeksi
nosokomial merupakan kontributor penting pada morbiditas dan
mortalitas.
Nosokomial berasal dari kata Yunina noso yang berarti penyakit
dan komeo berarti rumah sakit. Infeksi nosokomial berarti infeksi yang
terjadi atau didapatkan pada saat proses pemberian pelayanan
kesehatan dalam kurun waktu 48 jam setelah dirawat baik itu dari
lingkungan ataupun alat medis yang digunakan untuk melakukan
tindakan medis dengan kriteri tidak ditemukan tanda-tanda klinis
infeksi tersebut dan tidak dalam masa inkubasi.
Infeksi nosokomial atau disebut juga dengan Healthcare
Associated Infections (HAIs) adalah infeksi yang didapat pasien dari
rumah sakit, pada saat pasien menjalani proses perawatan. HAIs
pada umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang rawat inap
seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan
intensif, dan perawatan isolasi. HAIs menurut WHO adalah infeksi
yang tampak pada pasien ketika berada di dalam rumah sakit atau
fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak tampak pada
saat pasien diterima di rumah sakit. Saat ini perhatian terhadap HAIs
di sejumlah rumah sakit di Indonesia cukup tinggi. HAIs menyebabkan
Length of Stay (LOS) bertambah 5-10 hari, angka kematian pasien
lebih tinggi 6% dibanding yang tidak mengalami HAIs.
B. Faktor Risiko terjadinya Infeksi Nosokomial
Penularan infeksi rumah sakit, sama dengan infeksi pada
umumnya, dipengaruhi oleh 3 faktor utama:
 Sumber penularan mikroorganisme penyebab
Di rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya
sumber penularan infeksi adalah penderita dan petugas tempat
pelayanan tersebut. Sumber infeksi lain adalah flora endogen
penderita sendiri atau dari benda-benda di lingkungan
penderita termasuk obat-obatan, dan alat kedokteran dan
devices yang terkontaminasi.
 Tuan rumah yang suseptibel
Tuan rumah bisa penderita yang sakit parah, orang-orang
tanpa gejala tetapi dalam masa inkubasi atau dalam window
period dari suatu penyakit, atau orangorang yang karier khronik
dari satu mikroba penyebab infeksi. Manusia mempunyai
tingkat kekebalan yang berbeda-beda terhadap infeksi,
tergantung pada usia, penyakit yang dideritanya, dan faktor lain
yang mungkin ada, misalnya karena sistem kekebalan
terganggu akibat pengobatan dengan obat-obat immuno
suooressant atau radiasi. Risiko infeksi juga lebih tinggi pada
penderita yang menjalani pembedahan dan narkose, dan pada
penderita yang tinggal di rumah sakit untuk waktu yang lama.
Alat yang dimasukkan ke tubuh penderita, misalnya kateter,
terutama bila digunakan dalam waktu yang lama, juga bisa
meninggikan risiko infeksi nosokomial.
 Cara penularan mikroorganisme
Penularan infeksi bisa melalui udara, kontak langsung
melalui sentuhan kulit atau lewat saluran cerna. Mikroba yang
sama bisa ditularkan melalui lebih dari satu rute penularan.
Penularan lewat udara secara langsung bisa juga terjadi
misalnya melalui droplet, atau melalui partikel debu dalam
udara di ruangan. Penularan lewat udara termasuk aerosol
yang bisa dihasilkan pada berbagai prosedur tindakan, antara
lain mencuci alat medis dan peralatan lain secara manual,
pembuangan sampah pada tempat sampah tanpa penutup.
Mikroorganisme yang dibawa dengan cara ini bisa disebarkan
oleh udara sampai jauh, melalui ventilasi atau mesin penyejuk
ruangan. Penyebaran lewat droplet bisa terjadi saat bersin,
batuk, berbicara, atau saat melakukan prosedur medis
misalnya bronkhopsi, dan mengisap. Jarak penyebaran droplet
ditentukan oleh kekuatan eksplotif dan gaya gravitasi, sedang
distribusi partikel udara ditentukan oleh gerakan udara. Kontak
kulit bisa langsung atau tidak langsung, dan biasanya
disebarkan oleh tangan atau via kontak dengan darah dan
bagian tubuh lain. Penyebaran infeksi bisa juga lewat commom
vehicle (makanan, air, obat-obatan, devices dan peralatan yang
terkontaminasi). Penularan melalui vektor (lewat nyamuk, lalat,
tikus dan binatang lain) mungkin bisa terjadi, walaupun jarang.
C. Macam-macam Infeksi Nosokomial
Macam-macam infeksi nosokomial adalah sebagai berkut:
 Hospital-Acuired Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated
Pneumonia (VAP)
HAP adalah pneumonia yang didapatkan di rumah sakit atau
tidak berada dalam masa inkubasi saat dirawat dan terjadi lebih
dari 48 jam setelah perawatan di rumah sakit. VAP didefinisikan
sebagai pneumonia yang terjadi >48 jam setelah intubasi
endotrakel. Kejadian HAP rerata 5-15 setiap 1000 kasus rawat
rumah sakit sedangkan di unit rawat intensif sekitar 25%
dimana 70-80% episode pneumonia ini terjadi pada saat
menggunakan ventilator. Umumnya penyebab pneumonia
nosokomial berasal dari bakteri flora endogen.
 Phlebitis
Phlebitis adalah peradangan pada dinding pembuluh darah
balik atau vena. Phlebitis merupakan inflamasi vena yang
disebabkan baik dari iritasi kimia maupun mekanik yang sering
disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Phlebitis
dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri,
kemerahan, bengkak, induasi, dan teraba mengeras di bagian
vena yang terpasang kateter intravena. Phlebitis berat hampir
selalu diikuti bekuan darah atau thrombus pada vena yang
sakit. Phlebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya
menjadi thrombophlebitis, perjalanan penyakit ini biasanya
jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian
diangkut dalam aliran darah dan masuk ke jantung maka dapat
menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa
menyumbat atrioventrikular secara mendadak dan
menimbulkan kematian. Phlebitis masih merupakan infeksi
tertinggi yang ada di rumah sakit swasta maupun pemerintah
yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor, seperti lokasi
pemasangan infus terletak pada vena metacarpal, kateter infus
yang besar dipasang pada vena yang kecil, kurangnya fiksasi
dan dekatnya persambungan selang kanul dengan persendian
lainnya sehingga terjadi phlebitis.
 Infeksi Saluran Kemih (ISK)
ISK adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen yang naik dari uretra ke kandung kemih dan
berkembang biak serta meningkat jumlahnya sehingga
menyebabkan infeksi pada ureter dan ginjal. Menurut WHO,
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah penyakit infeksi kedua
tersering pada tubuh sesudah infeksi saluran pernapasan dan
sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan per tahun. Infeksi saluran
kemih merupakan suatu keadaan patologis yang sudah sangat
lama dikenal dan dapat djumpai diberbagai pelayanan
kesehatan primer sampai subspesialistik. Infeksi ini juga
merupakan penyakit infeksi bakterial tersering yang didapat
pada praktik umum dan bertanggung jawab terhadap
morbiditas khususnya pada wanita dalam kelompok usia
seksual aktif.
 Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi luka operasi atau Surgical Site Infection (SSI) adalah
infeksi nosokomial ketiga yang paling sering dilaporkan,
terhitung 14-16% dari semua infeksi nosokomial diantara
pasien yang dirawat di rumah sakit menurut National
Nosocomial Infections Surveillance (NNIS). SSI bertanggung
jawab atas peningkatan morbiditas dan mortalitas terkait
dengan pembedahan. Luka bedah diklasfikasikan sebagai luka
bersih, terkontaminasi, bersih, dan kotor sesuai kriteria CDC.
Pemahaman yang baik terhadap faktor-faktor penyebab, akan
dapat mencegah terjadinya SSI.(30) SSI merupakan salah satu
kejadian buruk yang paling umum terjadi di rumah sakit
terhadap pasien yang menjali operasi atau tindakan bedah
rawat jalan, terlepas dari kemajuan prosedur pencegahan. LOS
pasien dengan SSI meningkat dari 4 hingga 32 hari
dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi pasca operasi.
Sekitar 25% pasien dengan SSI mengalami sepsis berat dan
dipindahkan ke ICU. SSI menyebabkan morbiditas, mortalitas,
dan beban keuangan yang signifikan.
 Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
Infeksi aliran darah primer adalah infeksi aliran darah yang
dapat timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang dicurigai
sebagai sumber infeksi.(27) Infeksi aliran darah primer atau
Bloodstream Infetion (BSI) adalah penyebab utama kematian
yang disebabkan untuk penyakit menular. Penyebab penting
BSI adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.(31)
Infeksi Aliran Darah atau BSI dapat terjadi pada pasien yang
menggunakan alat sentral intra vaskuler (CVC Line) setelah 48
jam dan ditemukan tanda atau gejala infeksi yang dibuktikan
dengan hasil kultur positif bakteri patogen yang tidak
berhubungan dengan infeksi pada organ tubuh yang lain dan
bukan infeksi sekunder, dan disebut sebagai Central Line
Associated Blood Stream Infection (CLABSI).
 Dekubitus
Ulkus dekubitus adalah cedera lokal pada kulit dan atau
jaringan di bawahnya yang biasanya menonjol, sebaga akibat
dari tekanan atau kombinasi tekanan dengan pergeseran.
Tekanan menyebabkan sirkulasi darah menjadi tidak lancar,
menyebabkan kematian sel, nekrosis jaringan dan akhirnya
berkembang menjadi ulkus. Faktor resiko dekubitus cukup
banyak diantaranya gangguan syaraf vasomotorik, sensorik
dan motorik, kontraktur sendi dan spastisitas, gangguan
sirkulasi perifer, malnutrisi dan hipoproteinemia, anemia,
keadaan patologis kulit pada gangguan hormonal (oedema),
laserasi dan infeksi, hygiene kulit yang buruk, inkontenensia
alvi dan urin, penurunan kesadaran. Proses penyembuhan luka
dekubitus membutuhkan waktu yang cukup lama daan menjadi
masalah yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas
hidup penderita, memperlambat program rehabilitasi penderita,
memperberat penyakit primer dan menimbulkan masalah
keuangan atau finansial keluarga karena harus mengeluarkan
biaya yang cukup besar untuk perawatan luka, selain itu
komplikasi yang lain berupa sepsis, sellulitis, infeksi kronis dan
kematian pada usia lanjut.
D. Dampak Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut:
a. Menyebabkan cacat fungsional dan permanen, stress
emosional, serta kematian.
b. Menyebabkan tingginya prevalensi HIV/AIDS pada negara
berkembang.
c. Meningkatnya biaya kesehatan di berbagai negara yang
tidak mampu, dengan meningkatkan lama perawatan di
rumah sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal, dan
penggunaan pelayanan lainnya.
d. Morbiditas, dan mortalitas semakin tinggi.
e. Adanya tuntutan secara hukum.
f. Penuruan citra rumah sakit.
Infeksi nosokomial berdampak terhadap:
 Pasien, dapat memperpanjang hari rawatan dengan
penambahan diagnosa sehingga dapat menyebabkan
kematian;
 Pengunjung, dapat menularkan kepada orang lain setelah
meninggalkan rumah sakit;
 Perawat, akan menjadi barier (pembawa kuman) yang
menularkan kepada pasien lain dan diri sendiri;
 Rumah sakit, menurunkan mutu pelayanan rumah sakit
hingga pencabutan ijin operasional rumah sakit.

E. Pengendalian Infeksi Nosokomial


Pengendalian merupakan kegiatan yang dilakukan setelah
seseorang terjangkit infeksi nosokomial, seperti memindahkan
pasien yang terjangkit ke ruang isolasi.(9) Pelaksanaan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan serta
masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus
penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan standar dan
berdasarkan transmisi.
1. Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama,
dirancang untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan
seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya, baik yang telah didiagnosis, diduga terinfeksi atau
kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi silang
sebelum pasien didiagnosis, sebelum adanya hasil pemeriksaan
laboratorium dan setelah pasien didiagnosis. Tenaga kesehatan
seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang
sampah dan lainnya juga berisiko besar terinfeksi. Oleh sebab
itu penting sekali pemahaman dan kepatuhan petugas tersebut
untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak
terinfeksi. Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC
merekomendasikan 11 komponen utama yang harus
dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu:
1) Kebersihan Tangan
Cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas
dengan air mengalir, dilakukan pada saat:
a) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh
pasien yaitu darah, cairan tubuh sekresi, eksresi, kulit
yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah memakai
sarung tangan.
b) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi
ke area lainnya yang bersih, walaupun pada pasien
yang sama. Indikasi kebersihan tangan:
a) Sebelum kontak pasien
b) Sebelum tindakan aseptik
c) Setelah kontak darah dan cairan tubuh
d) Setelah kontak pasien
e) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
2) Alat Pelindung Diri (APD)
a) Sarung tangan
Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu:
- Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu
melakukan tindakan invasif atau pembedahan.
- Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk
melindungi petugas pemberi pelayanan kesehatan
sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin
- Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu
memproses peralatan, menangani bahan-bahan
terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan
permukaan yang terkontaminasi. b)
b) Masker
Masker digunakan untuk melindungi wajah dan
membran mukosa mulut dari cipratan darah dan cairan
tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan udara yang
kotor dan melindungi pasien atau permukaan lingkungan
udara dari petugas pada saat batuk atau bersin. Terdapat
tiga jenis masker, yaitu:
- Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah
penularan melalui droplet.
- Masker respiratorik, untuk mencegah penularan
melalui airborne.
- Masker rumah tangga, digunakan dibagian gizi atau
dapur.
c) Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju
petugas dari kemungkinan paparan atau percikan darah
atau cairan tubuh; sekresi, ekskresi atau melindungi
pasien dari paparan pakaian petugas pada tindakan
steril.
d) Google dan perisai wajah
Untuk melindungi mata dan wajah dari percikan
darah, cairan tubuh, sekresi dan eksresi pada saat
tindakan operasi, pertolongan persalinan dan tindakan
persalinan, tindakan perawatan gigi dan mulut,
pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah, penangan
linen terkontaminasi di laundry, di ruang dekontaminasi
CSSD.
e) Sepatu Pelindung
Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah
melindungi kaki petugas dari tumpahan/percikan darah
atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat
kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar berfungsi
optimal.
f) Topi Pelindung
Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk
mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut
dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat/daerah steril
atau membran mukosa pasien dan juga sebaliknya untuk
melindungi kepala/rambut petugas dari percikan darah
atau cairan tubuh dari pasien.
3) Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien
Dalam dekontaminasi peralatan perawatan pasien dilakukan
penatalaksanaan peralatan bekas pakai perawatan pasien
yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh (pre-cleaning,
cleaning, disinfeksi, dan sterilisasi) sesuai Standar Prosedur
Operasional (SPO).
4) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain berupa upaya perbaikan kualitas udara, kualitas
air, dan permukaan lingkungan, serta desain dan konstruksi
bangunan, dilakukan untuk mencegah transmisi
mikroorgansime kepada pasien, petugas, dan pengunjung.
5) Pengelolaan Limbah
a) Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.
b) Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan
akhir (TPA).
c) Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator.
d) Limbah cair dibuang ke spoelhoek.
e) Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat
pembuangan/pojok limbah
6) Penatalaksanaan Linen
a) Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat SPO
penatalaksanaan linen
b) Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD
c) Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan
terkontaminasi cairan tubuh
d) Minimalkan penanganan linen kotor untuk mencegah
kontaminasi ke udara dan petugas yang menangani linen
tersebut
e) Linen yang terkontaminasi dengan darah atau cairan
tubuh lainnya harus dibungkus, dimasukkan kantong
kuning dan diangkut/ditransportasikan secara hati-hati
agar tidak terjadi kebocoran.
f) Buang terlebih dahulu kotoran
g) Pastikan alur linen kotor dan linen terkontaminasi sampai
di laundry TERPISAH dengan linen yang sudah bersih
h) Cuci dan keringkan linen di ruang laundry
i) Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius pada
linen dilakukan melalui 2 tahap yaitu menggunakan
deterjen dan Natrium hipoklorit (Klorin) 0,5%
7) Perlindungan Kesehatan Petugas
a) Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan
sabun/cairan antiseptik sampai bersih
b) Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa
luka atau tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir
c) Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan
kumur-kumur dengan air beberapa kali
d) Bila terpecik pada mata, cucilah mata denngan air
mengalir (irigasi) dengan posisi kepala miring ke arah
mata yang terpecik
e) Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan
bersihkan dengan air
f) Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan
dihisap dengan mulut
8) Penempatan Pasien
a) Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non
infeksius
b) Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi
infeksi penyakit pasien
c) Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat
bersama pasien lain yang jenis infeksinya sama dengan
menerapkan sistem cohorting
d) Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda
kewaspadaan berdasarkan jenis transmisinya
e) Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau
lingkungannya seyogyanya dipisahkan sendiri
f) Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya
melalui udara agar dibatasi di lingkungannya fasilitas
pelayanan kesehatan untuk menghindari terjadinya
transmisi penyakit yang tidak perlu kepada yang lain
g) Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan
pasien TB dalam satu ruangan tetapi pasien TB-HIV
dapat dirawat dengan sesama pasien TB
9) Kebersihan Pernapasan / Etika Batuk dan Bersin
Petugas, pasien dan pengunjung dengan gejala infeksi
saluran napas harus melaksanakan dan mematuhi langkah-
langkah sebagai beikut:
a) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan
atau lengan atas
b) Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian
mencuci tangan
10)Praktik Menyuntik yang Aman
Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap
suntikan, berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk
mencegah timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai
pada pasien lain. Spuit dan jarum suntik bekas pakai
dibuang ke tempatnya dengan benar.
11) Praktik Lumbal Pungsi yang Aman
Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih,
sarung tangan steril saat akan melakukan tindakan umbal
pungsi, anestesi spinal/ epidural/ pasang kateter vena
sentral.
2. Kewaspadaan berdasarkan Transmisi
Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan
kewaspadaan standar yang dilaksanakan sebelum pasien
didiagnosis dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis
kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai berikut:
1) Melalui kontak
Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan kulit
yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi. Kontak
tidak langsung adalah kontak dengan cairan sekresi pasien
terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan petugas yang
belum dicuci atau benda mati di lingkungan pasien. Hindari
menyentuh permukaan lingkungan lain yang tidak
berhubungan dengan perawatan pasien sebelum melakukan
aktivitas kebersihan tangan. Petugas harus menahan diri
untuk tidak menyentuh mata, hidung, mulut saat masih
memakai sarung tangan terkontaminasi/tanpa sarung
tangan.
2) Melalui droplet
Transmisi droplet terjadi ketika parikel droplet berukuran >5
μm yang dikeluarkan pada saat batuk, bersin, muntah,
bicara, selama prosedur suction, brokhoskopi, melayang di
udara dan akan jatuh dalam jarak <2 m dan mengenai
mukosa atau konjungtiva, untuk itu dibutuhkan APD atau
masker yang memadai, bila memungkinkan dengan masker
4 lapis atau yang mengandung pembunuh kuman.
3) Melalui udara (Airborne Precautions)
a) Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan
ventilasi mekanis di dalam suatu ruangan dengan
memperhatikan arah suplai udara bersih yang masuk
dan keluar.
b) Penempatan pasien TB yang belum pernah
mendapatkan terapi OAT, harus dipindahkan dari pasien
lain, sedangkan pasien TB yang telah mendapat terapi
OAT secara efektif berdasarkan analisis risiko tidak
berpotensi menularkan TB baru dapat dikumpulkan
dengan pasien lain.
c) Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan
penggunaan APD pada pasien, petugas dan pengunjung
penting dicantumkan di pintu ruangan rawat pasien
sesuai kewaspadaan transmisinya.
d) Ruang rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya
menggunakan runagan bertekanan negatif.

2. Kecelakaan Kerja
A. Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki
dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa dan
harta benda (Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker)
Nomor: 03/Men/1998).
Kecelakaan kerja menurut OHSAS (Occupational Health and
Safety Assessement Series) adalah kejadian yang berhubungan
dengan pekerjaan dan menyebabkan cidera atau kesakitan, dan
kejadian yang dapat menyebabkan kematian (Syarif, 2007).
Menurut para ahli:
1) Kecelakaan kerja adalah kecelakaan dan atau penyakit yang
menimpa tenaga kerja karena hubungan kerja di tempat kerja
(Ervianto, 2005).
2) Menurut Suma’mur (1981) dalam (Pratiwi, 2012) kecelakaan
kerja adalah kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja
pada perusahaan. Hubungan kerja yang dimaksud adalah
kecelakaan yang terjadi karena pekerjaan atau pada waktu
melaksanakan pekerjaan.
3) Menurut Rachman (1990) dalam (Pratiwi, 2012) kecelakaan
kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga, tidak
dikehendaki dan dapat menyebabkan kerugian baik jiwa
maupun harta benda. Berdasarkan definisi-definisi kecelakaan
kerja diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecelakaan adalah
kejadian di tempat kerja yang tidak disengaja dan menyebabkan
kerugian baik fisik, harta benda atau bahkan kematian.

B. Faktor-faktor Penyebab Kecelakaan Kerja


Terdapat tiga faktor peyebab kecelakaan kerja, yaitu faktor
manusia, faktor pekerjaan, dan faktor lingkungan, berikut
penjelasannya:

a. Faktor manusia
Faktor manusia adalah faktor penyebab kecelakaan kerja yang
berasal dalam diri manusia atau pekerja yang bersangkutan.
Faktor manusia terbagi atas beberapa hal, di antaranya:
- Umur
Faktor umur memiliki pengaruh cukup kuat terhadap kecelakaan
kerja, pekerja usia muda mengalami lebih banyak kecelakaan kerja
dibandingkan pekerja yang berusia lebih tua. Hal ini disebabkan
karena pekerja berusia tua yang lebih berpengalaman dalam
menangani suatu bidang pekerjaan.
- Tingkat pendidikan
Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung berpikir lebih
matang dan melihat dari segala aspek dalam memandang suatu
pekerjaan. Sementara itu, orang yang tingkat pendidikannya
rendah cenderung berpikir kurang matang dalm bertindak,
misalnya dengan tidak menggunakan APD.
- Pekerja kurang fokus
Dalam melaksanakan pekerjaan, para pekerja harus memiliki
kompetensi tinggi. Tak jarang kasus kecelakaan kerja terjadi akibat
pekerja lalai ketika mengoperasikan mesin dan alat berat.
- Pengalaman kerja
Semakin bertambahnya durasi pengalaman kerja, para pekerja
semakin mengenal dan memahami bidang pekerjaan mereka,
dengan demikian mereka lebih waspada dalam risiko kecelakaan
kerja.

b. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan dapat menyumbang tingginya angka kecelakaan
kerja. Faktor pekerjaan terdiri atas dua hal, yaitu giliran kerja (shift)
dan jenis pekerjaan. Berikut penjelasannya:
- Giliran kerja (shift)
Shift kerja adalah pembagian jam kerja secara bergiliran dalam
satu hari. Pekerja shift biasanya kurang mampu beradaptasi akibat
pergeseran waktu kerja yang konstan. Kondisi tersebut dapat
berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan kerja saat pekerja
tersebut menjalankan tugasnya.
- Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya
kecelakaan kerja. Pekerjaan yang mengandalkan fisik semakin
meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang membawa dampak kecelakaan kerja
terbagi menjadi tiga, yaitu lingkungan fisik, lingkungan kimia,
dan lingkungan biologi. Berikut adalah penjelasannya:
- Lingkungan fisik
Lingkungan fisik terbagi menjadi dua, yaitu pencahayaan dan
kebisingan.
Pencahayaan
Pencahayaan yang memadai dan sesuai dengan pekerjaan
akan menghasilkan produksi yang maksimal dan mengurangi
risiko terjadinya kecelakaan kerja.
- Kebisingan
Suara bising ditempat kerja dapat berpengaruh negatif
terhadap para pekerja. Hal ini terjadi karena kebisingan akan
menimbulkan gangguan komunikasi dan perasaan gelisah
dalam diri para pekerja.
- Lingkungan kimia
Lingkungan ini dapat menyebabkan risiko karena munculnya
gangguan kesehatan akibat polusi dan pencemaran.
- Lingkungan biologi
Lingkungan ini menimbulkan bahaya biologi, yaitu bahaya yang
ditimbulkan oleh gangguan dari makhluk hidup seperti
serangga, tumbuhan, hewan percobaan, dan lain-lain.
C. Jenis-jenis Kecelakaan Kerja
Menurut Suma'mur, secara umum kecelakaan kerja dibagi
menjadi dua golongan, yaitu:
1. Kecelakaan industry (industrial accident) yaitu kecelakaan yang
terjadi ditempat kerja karena adanya sumber bahaya atau
bahaya kerja.
2. Kecelakaan dalam perjalanan (community accident) yaitu
kecelakaan yang terjadi diluar tempat kerja yang berkaitan
dengan adanya hubungan kerja

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO),


kecelakaan akibat kerja ini diklasifikasikan berdasarkan 4 macam
penggolongan, yakni:
a. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan terjatuh, tertimpa benda,
tertumbuk atau terkena benda-benda, terjepit oleh benda,
gerakan-gerakan melebihi kemampuan, pengaruh suhu tinggi,
terkena arus listrik, kontak bahan-bahan berbahaya atau
radiasi.
b. Klasifikasi menurut penyebab
1) Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.
2) Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air.
3) Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas,
instalasi pendingin, alat-alat listrik, dan sebagainya.
4) Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak,
gas, zat-zat kimia, dan sebagainya.
5) Lingkungan kerja (diluar bangunan, di dalam bangunan dan
di bawah tanah)
c. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan: Patah tulang,
Dislokasi (keseleo), Regang otot (urat), Memar dan luka dalam
yang lain, Amputasi, Luka dipermukaan, Geger dan remuk,
Luka bakar, Keracunan-keracunan mendadak, Pengaruh
radiasi.
d. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh: Kepala,
Leher, Badan, Anggota atas, Anggota bawah, Banyak tempat,
Letak lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi tersebut.
D. Dampak Kecelakaan Kerja terhadap Kesehatan dan
Produktivitas Pekerja
Dampak kecelakaan kerja terhadap kesehatan dan
produktivitas kerja sangat serius. Kecelakaan bisa menyebabkan
cedera fisik dan mental yang memengaruhi kesehatan secara
keseluruhan. Selain itu, absensi akibat cedera dapat mengganggu
produktivitas dan mengakibatkan kerugian finansial bagi
perusahaan. Melalui pelatihan keselamatan dan implementasi
prosedur yang tepat, perusahaan dapat mengurangi risiko
kecelakaan dan meningkatkan kesehatan serta produktivitas
karyawan
Dampak kecelakaan kerja terhadap kesehatan dan
produktivitas pekerja meliputi:
- Cedera Fisik: Kecelakaan dapat menyebabkan cedera fisik
yang serius, mulai dari luka ringan hingga cedera parah
atau bahkan kematian, yang mempengaruhi kesehatan
secara langsung.
- Cedera Mental: Selain cedera fisik, kecelakaan kerja juga
dapat menyebabkan trauma dan stres mental, yang dapat
memengaruhi kesejahteraan mental pekerja.
- Pemulihan yang Memakan Waktu: Pekerja yang mengalami
kecelakaan mungkin memerlukan waktu yang lama untuk
pulih, yang dapat mengganggu produktivitas mereka dan
menyebabkan absensi dari pekerjaan.
- Biaya Medis: Kecelakaan kerja dapat menghasilkan biaya
medis yang tinggi, baik bagi pekerja maupun perusahaan,
tergantung pada tingkat cedera dan jenis perawatan yang
diperlukan.
- Gangguan Psikologis: Pekerja yang mengalami kecelakaan
mungkin mengalami gangguan psikologis seperti
kecemasan, depresi, atau stres post-trauma, yang dapat
mengganggu produktivitas mereka.
- Gangguan pada Kualitas Hidup: Kecelakaan kerja dapat
menyebabkan gangguan pada kualitas hidup pekerja
karena dampak fisik dan mentalnya, yang dapat
memengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan tugas-
tugas sehari-hari.
- Kehilangan Penghasilan: Pekerja yang terluka dalam
kecelakaan mungkin harus absen dari pekerjaan untuk
pemulihan, yang dapat mengakibatkan kehilangan
pendapatan dan mengganggu stabilitas keuangan mereka.
- Ketidaknyamanan di Tempat Kerja: Kecelakaan kerja dapat
meningkatkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran di
tempat kerja, membuat lingkungan kerja kurang produktif
dan menyenangkan bagi pekerja
3. Penyakit Akibat Kerja
A. Pengertian Penyakit Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja (PAK), menurut KEPPRES RI No. 22
Tahun 1993, adalah penyakit yang disebabkan pekerjaan atau
lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja terjadi sebagai pajanan
faktor fisik, kimia, biologi, ataupun psikologi di tempat kerja.
World Health Organization (WHO) membedakan empat
kategori Penyakit Akibat Kerja :
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya
Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan,
misalnya Karsinoma Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di
antara faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis
khronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang
sudah ada sebelumnya, misalnya asma.
Menurut Suma’mur (1985) penyakit akibat kerja adalah
setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan
kerja. Penyakit ini artefisial oleh karena timbulnya di sebabkan oleh
adanya pekerjaan. Kepadanya sering diberikan nama penyakit
buatan manusia (Manmade disease).

B. Jenis-jenis Penyakit Akibat Kerja


Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER01/MEN/1981 dan Keputusan Presiden RI No 22/1993
terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja yaitu sebagai berikut:
1. Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral
pembentukan jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis,
asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan
faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang
disebabkan oleh debu logam keras.
3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang
disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).
4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi
dan zat perangsang yang dikenal berada dalam proses
pekerjaan.
5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar
sebagai akibat penghirupan debu organik
6. Penyakit yang disebabkan oleh berillium atau
persenyawaannya yang beracun.
7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau
persenyawaannya yang beracun.
8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya
yang beracun.
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya
yang beracun.
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau
persenyawaannya yang beracun.
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya
yang beracun.
12. Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya
yang beracun.
13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya
yang beracun.
14. Penyakit yang disebabkan oleh flour atau persenyawaannya
yang beracun.
15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.
16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari
persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aromatik yang beracun.
17. Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya
yang beracun.
18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari
benzena atau homolognya yang beracun.
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam
nitrat lainnya.
20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia
atau keracunan seperti karbon monoksida, hidrogen sianida,
hidrogen sulfida atau derivatnya yang beracun, amoniak, seng,
braso dan nikel.
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-
kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi
atau syaraf tepi).
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang
bertekanan lebih.
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan
radiasi yang mengion.
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab
fisik, kimiawi atau biologik.
27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic,
bitumen, minyak mineral, antrasena, atau persenyawaan,
produk atau residu dari zat tersebut.
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau
parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki
resiko kontaminasi khusus.
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau
panas radiasi atau kelembaban udara tinggi.
31. Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk
bahan obat.
C. Faktor-faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Faktor-faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja (PAK) tergantung
pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja
ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor penyebab dapat
dikelompokkan dalam 5 golongan:
1. Golongan fisik : suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin),
tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang
kurang baik.
2. Golongan kimiawi : bahan kimiawi yang digunakan dalam
proses kerja, maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja,
dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut.
3. Golongan biologis : bakteri, virus atau jamur.
4. Golongan fisiologis : biasanya disebabkan oleh penataan
tempat kerja dan cara kerja.
5. Golongan psikososial : lingkungan kerja yang mengakibatkan
stress.
D. Dampak penyakit Akibat Kerja terhadap Kesehatan dan
Produktivitas Kerja
Dampak penyakit akibat kerja terhadap kesehatan dan
produktivitas pekerja dapat meliputi:
- Penurunan Kesehatan Fisik: Penyakit akibat kerja seperti
gangguan pernapasan, dermatitis, atau kerusakan organ
dapat secara signifikan mempengaruhi kesehatan fisik
pekerja.
- Penurunan Kesejahteraan Mental: Beberapa penyakit akibat
kerja, seperti stres kronis atau depresi terkait pekerjaan,
dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan mental
pekerja, yang berdampak pada produktivitas dan kualitas
hidup mereka.
- Absensi yang Berkepanjangan: Pekerja yang menderita
penyakit akibat kerja mungkin memerlukan waktu yang lebih
lama untuk pemulihan, menyebabkan absensi yang
berkepanjangan dan gangguan pada produktivitas.
- Biaya Medis yang Tinggi: Perusahaan mungkin harus
menanggung biaya perawatan kesehatan yang tinggi untuk
pekerja yang menderita penyakit akibat kerja, yang dapat
mengganggu keuangan perusahaan.
- Pengurangan Produktivitas: Penyakit akibat kerja dapat
mengganggu produktivitas pekerja karena gejala yang
mengganggu atau keterbatasan fisik yang mungkin terjadi.
- Ketidaknyamanan di Tempat Kerja: Penyakit yang terkait
dengan pekerjaan dapat menyebabkan ketidaknyamanan
atau gangguan di tempat kerja, mengganggu kenyamanan
dan fokus pekerja.
- Kehilangan Pengalaman dan Keterampilan: Jika penyakit
akibat kerja menyebabkan pekerja harus meninggalkan
pekerjaan, perusahaan dapat kehilangan pengalaman dan
keterampilan berharga, yang dapat mempengaruhi
produktivitas dan kemampuan untuk mencapai tujuan
bisnis.
- Ketidakpastian Karir: Pekerja yang menderita penyakit
akibat kerja mungkin menghadapi ketidakpastian karir,
seperti penurunan peluang promosi atau kesulitan untuk
mempertahankan pekerjaan mereka, yang dapat
mengganggu motivasi dan kesejahteraan mereka secara
keseluruhan.
5. Pelaporan Infeksi Nosokomial, Kecelakaan Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja
A. Tujuan Pelaporan
Pelaporan memiliki beberapa tujuan yang berbeda, tergantung
pada konteksnya. Secara umum, tujuan pelaporan adalah untuk
menyampaikan informasi secara jelas, akurat, dan tepat waktu
kepada pihak yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan
atau evaluasi. Ini bisa mencakup tujuan seperti transparansi,
akuntabilitas, pemantauan kinerja, atau kepatuhan terhadap
regulasi.

B. Prosedur Pelaporan Infeksi Nosokomial


Pelaporan Infeksi Nosokomial adalah laporan perbulan dan
triwulan kejadian infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien
ruang rawat inap dan laporan tersebut dikumpulkan dan dianalisa
oleh Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit melalui Tim
PPIRS/IPCN dan laporan diteruskan ke Direktur utama.
Tujuan pelaporan Infeksi Nosokomial agar Terpantaunya angka
Infeksi Nosokomial yang dapat digunakan sebagai indikator mutu
pelayanan di RS.
Adapun prosedur Pelaporan Infeksi Nosokomial yaitu:
1. Isi formulir harian indikator Mutu, Formulir rekap indikator mutu,
Rekapitulasi data pemantauan infeksi nosokomial, pelaporan
pelaksana pengendali infeksi nosokomial (positif) oleh IPCLN/
Pelaksana harian pengendalian infeksi setiap ruangan.
2. Laporan dikumpulkan kepada Tim PPIRS/IPCN setiap tanggal 5
tiap bulan.
3. Tim PPIRS/IPCN mengolah data.
4. Laporan Infeksi Nosokomial perbulan dilaporkan ke Direktur
kemudian di laporkan ke Dinas Kesehatan oleh RMK
5. Tim PPIRS/IPCN membuat Laporan Triwulan Infeksi
nosokomial kepada Ketua Panita Pengendalian Infeksi Rumah
Sakit untuk dianalisa (Infeksi Nosokomial)
6. Ka. Panitia PPIRS melaporkan kepada Direktur Utama
7. Tindak lanjut (disposisi)

C. Prosedur Pelaporan Kecelakaan Kerja


Laporan kecelakaan kerja ini memiliki peranan sangat
penting. Tidak ada suatu kejadian atau kecelakaan yang dapat
diabaikan. Setiap kecelakaan kerja baik kategori minor, sedang
maupun mayor harus dibuat laporannya secara menyeluruh.
Apabila kecelakaan kerja sudah terjadi, supervisor harus
memberikan respons dengan cepat. Supervisor harus menyusun
sebuah laporan kecelakaan kerja yang baik dengan memasukkan
semua data yang terkait.
Setiap pekerja yang mengalami kecelakaan kerja, baik
cedera kecil maupun cedera serius/ fatal, harus melaporkan
kejadian tersebut kepada atasannya (supervisor). Hal ini untuk
memudahkan dalam membuat laporan kecelakaan kerja.
Laporan kecelakaan perlu menyertakan semua informasi
penting tentang kecelakaan kerja atau near miss. Proses penulisan
laporan dimulai dari menemukan fakta dan diakhiri dengan
rekomendasi untuk mencegah kecelakaan serupa terjadi kembali
di masa mendatang.
Pembuatan laporan kecelakaan kerja melibatkan lima
langkah penting, di antaranya:
- Respons dengan segera
Bila memungkinkan, pekerja yang mengalami kecelakaan
harus melapor kepada atasan sesegera mungkin. Namun bila
pekerja tersebut harus segera mendapatkan perawatan medis,
rekan kerja yang melihat kejadian secara langsung bisa
melaporkannya kepada atasan.
Jika kecelakaan kerja terjadi, tanggung jawab pertama
supervisor adalah memastikan bahwa perawatan medis atau
pertolongan pertama sudah diberikan kepada korban. Ini untuk
menentukan apakah cedera yang dialami pekerja cukup serius
atau tidak dan tindakan medis apa yang dibutuhkan.
Selain itu, jika bahaya masih ada di area terjadinya
kecelakaan, supervisor juga perlu mengamankan lokasi kejadian
dan mengendalikan bahaya tersebut dengan segera. Perusahaan
Anda harus memiliki prosedur tanggap darurat yang baik jika
kecelakaan kerja terjadi.

- Temukan fakta
Begitu ada laporan kecelakaan kerja, korban sudah
mendapatkan pertolongan pertama atau perawatan medis, dan
tempat kejadian sudah dipastikan aman, investigasi kecelakaan
kerja di lokasi kejadian harus segera dilakukan oleh supervisor,
korban (bila memungkinkan), saksi ahli teknis (orang yang
mengetahui pekerjaan tersebut), dan departemen K3 (bila
diperlukan).
Investigasi kecelakaan harus dilakukan dengan cepat
setidaknya dalam waktu 1x24 jam setelah kejadian. Daftar yang
harus ditinjau ulang meliputi:
 Tanggal, waktu dan lokasi spesifik kecelakaan
 Nama korban, jabatan, departemen dan atasan yang
bersangkutan
 Nama dan data diri para saksi
 Kejadian-kejadian sebelum kecelakaan terjadi
 Tugas spesifik apa yang sedang dilakukan oleh korban pada
saat itu
 Kondisi lingkungan (misalnya lantai licin, pencahayaan tidak
memadai, kebisingan, dll.)
 Kondisi/ keadaan yang ada (termasuk tugas, peralatan,
perlengkapan, material, APD dll.)
 Luka/ cedera yang ditimbulkan (termasuk bagian tubuh yang
terluka dan penyebab dari cedera tersebut)
Jenis perawatan medis/ pengobatan untuk luka/ cedera
Gambar-gambar rekonstruksi kecelakaan
Kerusakan peralatan, material dan lain-lain.

- Tentukan urutan kejadian kecelakaan


Berdasarkan fakta yang ditemukan, saatnya supervisor
untuk menentukan urutan kejadian. Dalam laporan, jelaskan urutan
kejadian secara detail, termasuk:
a. Kejadian penyebab kecelakaan
Apakah pekerja berjalan, berlari, membungkuk, mengangkat,
mendorong, menggunakan alat, menangani bahan berbahaya dll.?

b. Kejadian pada saat kecelakaan


Apakah pekerja tertabrak benda atau terjebak/ terperangkap
di antara benda? Apakah pekerja jatuh pada tingkat yang sama
atau dari ketinggian? Apakah pekerja menghirup uap beracun atau
terkena percikan bahan kimia berbahaya?

c. Kejadian sesaat setelah kecelakaan


Apa yang pekerja lakukan: Memegang lututnya? Berjalan
pincang? Memegang lengannya? Mengeluh nyeri punggung?
Menutup luka berdarah dengan tangan?
Supervisor perlu juga mendeskripsikan bagaimana rekan
kerjanya merespons kecelakaan yang terjadi. Apakah mereka
segera memanggil bantuan, memberikan pertolongan pertama,
mematikan perlengkapan, memindahkan korban dll.
Untuk mendeskripsikan urutan kejadian, Anda dapat
menggunakan diagram atau menyertakan foto tentang kecelakaan
sehingga seseorang yang melihat laporan dapat dengan mudah
memahami dan membayangkan tentang apa yang sedang terjadi.

- Analisis kecelakaan
Setelah mengetahui bagaimana kecelakaan bisa terjadi,
Anda juga harus melakukan analisis mendalam mengenai
penyebab kecelakaan. Hal ini diperlukan untuk menentukan
tindakan perbaikan atau pengendalian kecelakaan yang efektif.
Penyebab kecelakaan kerja tersebut meliputi:
Penyebab utama (penyebab langsung), misalnya tumpahan
di lantai sehingga menyebabkan terpeleset dan terjatuh.
Penyebab sekunder (penyebab tidak langsung), misalnya
pekerja tidak menggunakan sepatu keselamatan yang sesuai
potensi bahaya atau membawa tumpukan barang yang
menghalangi pandangan.
Faktor lain yang berkontribusi, misalnya tidak ada rambu K3
di area kerja, kurangnya pelatihan pekerja, beban pekerjaan,
mengabaikan prosedur dll.

- Tentukan tindakan perbaikan secara komprehensif


Rekomendasi untuk tindakan perbaikan dapat mencakup
tindakan perbaikan secara langsung ataupun jangka panjang,
seperti:
 Pelatihan pekerja tentang prosedur bekerja aman
 Kegiatan pemeliharaan peralatan rutin untuk menjaga
kondisi operasi tetap baik
 Evaluasi prosedur kerja dengan rekomendasi perbaikan
 Melakukan analisa bahaya (job hazard analysis) untuk
mengevaluasi bahaya lain dalam pekerjaan tertentu dan
melatih pekerja terkait bahaya tersebut
 Rekayasa teknik untuk membuat pekerjaan jadi lebih aman
atau pengendalian administratif mungkin termasuk
mengubah cara melakukan pekerjaan, rotasi kerja dll.

D. Prosedur Pelaporan Penyakit Akibat Kerja


Prosedur pelaporan penyakit akibat kerja dapat berbeda-beda
tergantung pada kebijakan perusahaan dan peraturan pemerintah
setempat. Namun, langkah umumnya melibatkan:
 Mendapatkan Perawatan Medis: Pastikan untuk
mendapatkan perawatan medis yang diperlukan segera
setelah Anda menyadari adanya penyakit yang diduga
disebabkan oleh pekerjaan Anda.
 Menghubungi Atasan atau HR: Segera beri tahu atasan
atau departemen sumber daya manusia (SDM) tentang
kondisi Anda. Mereka akan memberikan informasi tentang
langkah-langkah selanjutnya dalam proses pelaporan.
 Mengisi Formulir Pelaporan: Biasanya, Anda akan diminta
untuk mengisi formulir pelaporan yang mencakup informasi
tentang gejala penyakit, waktu dan tempat terjadinya, serta
bagaimana pekerjaan Anda mungkin telah berkontribusi
pada penyakit tersebut.
 Pengajuan Formulir: Setelah mengisi formulir, serahkan
kepada atasan atau departemen SDM. Mereka akan
menindaklanjuti dengan mengirimkan formulir ke pihak yang
berwenang, seperti asuransi kesehatan atau badan regulasi
kerja.
 Tindak Lanjut: Ikuti petunjuk dari atasan atau departemen
SDM mengenai tindak lanjut yang mungkin diperlukan,
seperti pemeriksaan tambahan atau evaluasi risiko
lingkungan kerja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan
tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik.
Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah
sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama atau setelah
selesai seseorang itu dirawat disebut infeksi nosokomial. Infeksi
nosokomial merupakan kontributor penting pada morbiditas dan
mortalitas. Nosokomial berasal dari kata Yunina noso yang berarti
penyakit dan komeo berarti rumah sakit. Infeksi nosokomial berarti
infeksi yang terjadi atau didapatkan pada saat proses pemberian
pelayanan kesehatan dalam kurun waktu 48 jam setelah dirawat
baik itu dari lingkungan ataupun alat medis yang digunakan untuk
melakukan tindakan medis dengan kriteri tidak ditemukan tanda-
tanda klinis infeksi tersebut dan tidak dalam masa inkubasi.
 Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan berhubungan dengan
hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja yang dimaksud
adalah kecelakaan yang terjadi karena pekerjaan atau pada waktu
melaksanakan pekerjaan.
 Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan pekerjaan
atau lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja terjadi sebagai pajanan
faktor fisik, kimia, biologi, ataupun psikologi di tempat kerja.
 Pelaporan memiliki beberapa tujuan yang berbeda, tergantung
pada konteksnya. Secara umum, tujuan pelaporan adalah untuk
menyampaikan informasi secara jelas, akurat, dan tepat waktu
kepada pihak yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan
atau evaluasi. Ini bisa mencakup tujuan seperti transparansi,
akuntabilitas, pemantauan kinerja, atau kepatuhan terhadap
regulasi.

B. Saran
Dengan maraknya kecelakaan akibat kerja, peran perusahaan
seharusnya lebih ketat lagi dalam pelaksanaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja agar para pekerja aman dan perusahaan tidak
mengalami kerugian. Sedangkan para pekerja harus berhati-hati lagi
dalam bekerja dan dalam pemakaian alat. Jika hal ini sangat
diperhatikan maka dapat meminimalisir kecelakaan akibat kerja
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharja. (2011). Pedoman Pemenuhan Kecukupan Gizi Pekerja Selama
Bekerja. In Kementerian Kesehatan RI, 2010.
Fifitasari. (2023). Hubungan Asupan Makanan Dan Status Gizi Terhadap
Pekerja Wanita di PT. Abdi Raya Commerce. In Journal of
Engineering Research.
Hardinsyah. 2012. Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat.
Depok: UI.
Khairina, Desy. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengarunhi Status Gizi
pada Anak Usia Sekolah.
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122525-S+5254 Faktor-faktor-
Tinjauan+literatur.pdf
Kusdiantari, Eka. Pemenuhan Kebutuhan Kalori Kerja Pada
Penyelenggaraan Makanan Di Kantin Bina Guna Kimia Ungaran
(jurnal 102341509200909591). Jurnal 6568-13551-1-PB.pdf.
Kus Anna, Lusia. 2010. Menghitung Kebutuhan Cairan.
http://health.kompas.com/read/2010/09/04/12213122/Menghitung.Keb
utuhan.Cairan
Ramadhanti, A. A. (2020). Status Gizi dan Kelelahan terhadap
Produktivitas Kerja. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1),
213–218. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.251
Shafitra, M., Permatasari, P., Agustina, A., & Ery, M. (2020). Hubungan
Status Gizi, Pola Makan dan Aktivitas Fisik dengan Produktivitas
Kerja Pada Pekerja di PT Gatra Tahun 2019. Media Kesehatan
Masyarakat Indonesia, 19(1), 50–56.
https://doi.org/10.14710/mkmi.19.1.50-56

Anda mungkin juga menyukai