Anda di halaman 1dari 13

Penelitian

20 Abdul Moqsith

Tafsir atas Islam Nusantara


(Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi
Islam Nusantara)
Abd Moqsith
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 15412
moqsith@gmail.com
Diterima redaksi 19 Oktober, diseleksi 22 Oktober, dan direvisi 01 November 2016

Abstract Abstrak
This article tries to explain the basic Artikel ini mencoba menjelaskan pengertian
understanding of the term ‘Islam Nusantara’ dasar Islam Nusantara, sejarahnya dan
(Archipelagic Islam), including its history metodologi Islam Nusantara. Secara
and methodology. Academically, this akademis, artikel ini diacukan kepada
article bases its premis on the main referensi-referensi utama yang ditulis para
references written by Islamic scholars who pemikir Islam yang dalam kurun waktu lama
have been proposing the importance of menggagas pentingnya Islam didialektikkan
linking Islam Nusantara with the culture of dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
the people in the archipelago. By referring Dengan merujuk pada referensi itu akan
to those references, it is noticeable how tampak jelas bagaimana dialektika Islam
the dialectics of Islam and culture has dan budaya itu berlangsung sehingga
evolved in the making of a unique Islam membentuk Islam khas Nusantara. Satu
Nusantara. Since its inception, Islam tahun terakhir gagasan Islam Nusantara terus
Nusantara has become a heated discussion menjadi percakapan publik. Kontroversi
in the public discourse. Controversies and dan kesalahpahaman pun terjadi. Ada
misunderstandings have occurred with yang pro, di samping yang kontra. Di
those who support and against it. In the lingkungan NU muncul kelompok yang
circle of NU (Nahdhatul Ulama), there is a lebih sreg dengan Islam rahmatan lil‘alamin
group who prefer the term Islam rahmatan lil ketimbang Islam Nusantara. Tujuan artikel
‘alamiin than Islam Nusantara. This article ini adalah untuk meminimalisir tuduhan-
aims to minimize the negative accusation tuduhan negatif terhadap konsep Islam
against the concept of Islam Nusantara like Nusantara seperti; Islam Nusantara punya
the following phrases; Islam Nusantara has potensi menggerogoti ajaran pokok agama
the potency to gnawthe principle teachings Islam, atau Islam Nusantara dianggap
of Islam, or Islam Nusantara has deviated menyimpang dari Islam Ahlus Sunnah
from the teaching of Ahlus Sunnah Waljamaah.
Waljama’ah (Aswaja).
Kata kunci: Islam Nusantara, Dialektika,
Keywords: Islam Nusantara, Dialectics, Budaya, Tradisi, Wali Songo.
Culture, Tradition, Wali Songo.

HARMONI Mei - Agustus 2016


Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara) 21

Pengantar KH. Said Aqil Siradj menegaskan


bahwa Islam Nusantara bukanlah sekte
Sejak dicanangkan menjadi tema atau aliran baru dan tidak dimaksudkan
muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa untuk mengubah doktrin Islam.
Timur, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 Menurutnya, Islam Nusantara adalah
lalu, Islam Nusantara sebagai sebuah ide pemikiran yang berlandaskan pada
atau gagasan terus menjadi percakapan sejarah Islam yang masuk ke Indonesia
publik. Percakapan tentangnya begitu yang tidak melalui peperangan, tetapi
riuh. Ada yang menyoroti dari melalui kompromi terhadap budaya
sudut linguistik, tapi tak sedikit juga (Sahal, Ahmad, 2015: 15). Zainul Milal
yang mempertanyakannya secara Bizawie menegaskan bahwa Islam
epistemologis dan metodologis. Intinya, Nusantara adalah Islam yang khas
gagasan Islam Nusantara menimbulkan Indonesia, gabungan nilai Islam teologis
sikap pro dan kontra. Sejumlah buku dan dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya,
artikel pun ditulis untuk menjelaskan dan adat istiadat di tanah air. Bagi Bizawie,
gagasan Islam Nusantara tersebut. Islam Nusantara arif menyinergikan
Namun yang menarik, hingga artikel ini ajaran Islam dengan adat istiadat lokal di
ditulis Pengurus Besar Nahdhatul Ulama Nusantara (Bizawie, Zainul Milal, 2016:
(PBNU) sebagai penyelenggara Muktamar 3). Ini selaras dengan cara berfikir NU
tersebut tak mengeluarkan satu buku yang mendorong munculnya ekspresi
apapun tentang Islam Nusantara keberislaman yang toleran, damai, dan
Dengan ini, NU seakan ingin akomodatif terhadap budaya nusantara
menyerahkan definisi dan batasan (Sahal, Ahmad, 2015: 15). Selanjutnya,
termasuk metodologi Islam Nusantara bagaimana definisi, sejarah Islamisasi
ini ke masyarakat akademik. Dari sinilah Nusantara, dan metodologi Islam
cikal bakal kesalah-pahaman mengenai Nusantara, artikel ini coba membantu
Islam Nusantara bermula. Sejumlah menjelaskannya sehingga sejumlah
prasangka terus dilemparkan terutama kesalahpahaman perihal gagasan Islam
terhadap Ketua Umum PBNU, KH Said Nusantara itu bisa diminimalkan.
Agil Siradj. Kiai Said dituduh hendak
menciptakan agama baru dengan ide Islam
Nusantaranya. Bagi penentang Islam Pengertian Dasar Islam Nusantara
Nusantara jelas bahwa Islam tak perlu
Menarik, sebagian kiai membahas
dinusantarakan, justru Nusantaralah
Islam Nusantara dengan mengurai
yang harus diislamkan. Sebab, sekiranya
frase “Islam Nusantara” itu dari sudut
Islam (al-Qur’an) merupakan wahyu
gramatika bahasa Arab. Dalam sebuah
yang bersifat sakral dan universal, maka
forum diskusi di arena muktamar NU
budaya nusantara adalah produk manusia
di Jombang, Kiai Afifuddin Muhajir
yang profan dan partikular. Argumen
menjelaskan bahwa “Islam Nusantara” itu
mereka jelas, tak mungkin yang sakral
tarkib idhafi. Karena itu, Islam Nusantara
dan yang universal ditundukkan pada
memiliki tiga kemungkinan makna;
sesuatu yang profan dan yang partikular.
Pertama, Islam Nusantara bermaka
Justru yang harus dilakukan adalah
Islam yang dipahami dan dipraktekkan
sebaliknya; mengislamkan Nusantara.
kemudian menginternalisasi dalam
Sampai di sini, apa yang dikemukakan
kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah
pihak kontra itu tentu tak salah jika
pengertian Islam Nusantara dengan
dilihat dari sudut pandang agama Islam.
memperkirakan adanya huruf jar “fi”
Hanya pertanyaannya, bagaimana proses
pada frase Islam Nusantara (Islam fi
pengislaman Nusantara itu?
Nusantara).

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 2


22 Abdul Moqsith

Kedua, dengan memperkirakan Islam. Namun, sebagaimana diketahui,


huruf jar “ba`” di antara kata Islam dan sarung secara kultural telah menjadi
Nusantara, Islam bi Nusantara. Dengan simbol keislaman di tanah air. Hingga
ini, maka Islam Nusantara menunjuk sekarang, tradisi mengenakan sarung
pada konteks geografis, yaitu Islam itu terus dilestarikan oleh kalangan
yang berada di kawasan Nusantara. santri dan kaum nahdhiyyin. Bahkan, NU
Lalu, apa yang dimaksud Nusantara sering disebut sebagai “Organisasi Kaum
itu? [1]. Nusantara bisa merujuk pada Sarungan”.
wilayah Indonesia modern sekarang,
yaitu negara dengan gugusan pulau- Ketiga, pengertian Islam Nusantara
pulau besar dan kecil yang membentang dengan memperkirakan huruf jar
dari Sabang sampai Merauke. Indonesia “lam” yang mengantarai kata “Islam”
modern ini merupakan kelanjutan dari dan “Nusantara”. Dengan ini, “Islam”
wilayah kekuasaan penjajahan Belanda, tampak sebagai subyek, sementara
yang dikenal sebagai “Hindia Belanda” “Nusantara” adalah obyek. Dengan
atau Hindia Timur Belanda (Dutch East demikian, Islam Nusantara adalah
Indies). Walau begitu, cukup jelas bahwa pengejawantahan ajaran Islam kepada
Indonesia bukan hasil bentukan Belanda masyarakat Nusantara. Dahulu misalnya,
atau pemerintah penjajah. Indonesia para Wali Songo mendakwahkan ajaran
adalah hasil perjuangan melawan Islam yang ramah dan santun kepada
penjajahan itu (Madjid, Nurcholish, 2004: masyarakat Jawa. Nilai-nilai toleransi
9). [2]. Nusantara yang lebih besar dari dan kemanusiaan yang bercorak sufistik
Indonesia modern sekarang, mencakup itulah yang membentuk corak keislaman
Semenanjung Melayu, Kalimatan bagian yang berkembang di tanah air.
Utara, Mindanao, Thailand bagian Namun, yang penting diperhatikan
selatan, hingga Formusa dan Madagaskar. dari pengertian Islam Nusantara yang
Dua makna Islam Nusantara di atas ketiga adalah kenyataan bahwa tingkat
jelas menunjuk pada pengertian Islam penerimaan masyarakat Nusantara
Nusantara yang bersifat antropologis terhadap Islam tidaklah sama. Ada
dan sosiologis (Yusqi, M. Isom dkk, yang menerima ajaran Islam secara
2015: 5). Karena itu, jenis keislaman yang “kaffah” dan ada yang menerimanya
tumbuh dan berkembang di Nusantara secara “setengah-setengah”. Di sebagian
bisa berbeda dengan jenis keislaman masyarakat Islam Nusantara, ada
yang tumbuh dan berkembang di Timur keengganan untuk menerima Islam
Tengah. Dua makna Islam Nusantara secara “kaffah”, jika ajaran Islam itu
di atas meniscayakan kehadiran Islam memberangus tradisi masyarakat yang
terus-menerus yang berdialektika dengan sudah berjalan ratusan tahun. Salah
kebudayaan masyarakat Nusantara. satu peristiwa yang paling representatif
Dalam proses dialektika itu, tak jarang menggambarkan itu adalah pecahnya
Islam Nusantara berhasil menciptakan Perang Padri (1822-1823) di Sumatera
simbol-simbol keislaman baru yang tak Barat yang kemudian melahirkan satu
ada di kawasan Timur Tengah. Contoh tagline, “adat basandi syara’, syara’ basandi
yang bisa ditunjuk dengan mudah kitabullah” (adat bersendikan syara’ dan
adalah fenomena kebiasaan para santri syara’ bersendikan Alquran).
Nusantara mengenakan sarung. Padahal Perbedaan tingkat dan dosis
jelas, selain untuk kepentingan menurut penerimaan penduduk Nusantara
aurat, sarung itu tak pernah diteladankan terhadap ajaran Islam itu menyebabkan
Nabi Muhammad Saw. dan tak menunjuk Islam Nusantara pun tidak tunggal.
secara langsung pada ajaran universal Begitu juga sebaliknya, penerimaan Islam

HARMONI Mei - Agustus 2016


Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara) 23

terhadap keragaman budaya yang tersebar strategi kebudayaan. Dalam beberapa


di Nusantara tidaklah sama. Azyumardi kasus, Islam justru mengakomodasi
Azra menjelaskan, tingkat penerimaan budaya yang sedang berjalan di
Islam pada satu bagian atau bagian yang masyarakat Nusantara. Tradisi Sesajen
lainnya tergantung tidak hanya pada yang sudah berlangsung lama dibiarkan
waktu pengenalannya, melainkan juga berjalan untuk selanjutnya diberi makna
pada watak budaya lokal yang dihadapi baru. Sesajen dimaknai sebagai bentuk
Islam itu (Azra, Azyumardi, 2002: 17- kepedulian kepada sesama bukan sebagai
18 bandingkan dengan Yusqi, M. Isom, pemberian terhadap dewa. Begitu juga
2002: 7). Dari situ lahirlah ekspresi tradisi Nadran dengan mengalirkan satu
keberislaman yang plural. Ada Islam kerbau ke pantai Jawa tak dihancurkan,
Jawa, Islam Sasak, Islam Minang, Islam melainkan diubahnya hanya dengan
Bugis yang menunjukkan kebhinekaan membuang kepala kerbau atau kepala
Islam Nusantara. Perkembangan Islam sapi ke laut. Nadran tak lagi dimaknai
di Nusantara pun berbeda. Taufik sebagai persembahan kepada Dewa,
Abdullah mencatat sekurangnya ada melainkan sebagai wujud syukur kepada
empat macam model pertumbuhan dan Allah. Hasil bumi yang terhidang dalam
perkembangan Islam di Indonesia, yaitu upacara tak ikut dilarungkan ke laut, tapi
model Aceh, model Minang, model dibagi ke penduduk.
Goa, dan model Jawa (Abdullah, Taufik,
1987: 32; bandingkan dengan Wahid, Dalam menyampaikan ajaran Islam
Abdurrahman, 2007: 203). Wali Songo menggunakan cara-cara
persuasif, bukan konfrontatif. Anasir
Jika demikian, maka pertanyaan Arab yang tak menjadi bagian dari ajaran
berikutnya adalah apakah yang terjadi di Islam tak dipaksakan untuk diterapkan.
Nusantara itu Islamisasi Nusantara atau Sunan Kudus membangun mesjid dengan
Nusantaraisasi Islam? Ini jelas memiliki menara menyerupai candi atau pura.
makna yang berbeda. Sekiranya Islamisasi Memodifikasi konsep “Meru” Hindu-
Nusantara bermakna mengislamkan Budha, Sunan Kalijogo membangun
Nusantara, maka Nusantaraisasi Islam Ranggon atau atap mesjid dengan tiga
bermakna menusantarakan Islam, di susun, yang menurut Abdurrahman
mana Islam perlu menyesuaikan diri Wahid untuk melambangkan tiga tahap
dengan kenyataan-kenyataan sosial keberagamaan seorang muslim, yaitu
dan religius di Nusantara. Artinya, iman, islam, dan ihsan. Ini kearifan dan cara
Nusantara bukanlah satu entitas yang ulama dalam memanifestasikan Islam,
harus ditaklukkan untuk diselaraskan sehingga umat Islam tetap bisa ber-Islam
dengan ajaran Islam, melainkan Islamlah tanpa tercerabut dari akar tradisi mereka
yang perlu menyelaraskan diri dengan sendiri (Wahid, Abdurrahman, 2001: 118).
kehidupan Nusantara. Jika ditelusuri,
semuanya ini terkait dengan pola-pola Para Wali tak ragu meminjam
dakwah pada periode awal Islam di perangkat-perangkat budaya sebagai
Nusantara. perangkat dakwah. Sunan Kalijogo
menggunakan Wayang Kulit sebagai
media dakwah. Ia memasukkan kalimat
syahadat dalam dunia pewayangan. Doa-
Islamisasi Nusantara
doa, mantera-mantera, jampi-jampi yang
Islam masuk ke Nusantara tak biasanya berbahasa Jawa ditutupnya
menghancurkan seluruh kebudayaan dengan bacaan dua kalimat syahadat.
masyarakat. Wali Songo mendakwahkan Dengan cara ini, kalimah syahadat
Islam bahkan dengan menggunakan menjelma di hampir semua mantera-

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 2


24 Abdul Moqsith

mantera yang populer di masyarakat. sejak abad ke-13, tapi kenyataannya Islam
Alih-alih mengharamkan wayang dan betul-betul dipilih warga Nusantara
gamelan, para wali justru menggunakan secara luas baru pada periode Wali Songo.
keduanya sebagai sarana dakwah Islam. Ini berkah dari dakwah penuh perdamaian
Gamelan yang dipadukan dengan unsur- oleh para ulama. Jawa bisa diislamkan
unsur upacara Islam populer telah tanpa pertumpahan darah. Begitu juga
melahirkan tradisi Sekatenan di pusat- dengan dakwah damai yang dilakukan
pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, para ulama Nusantara lain di Sumatera
Demak, Yogyakarta, dan Solo. bagian utara, Kalimantan, Maluku, dan
lain-lain, bahkan hingga ke Malaka.
Yang paling spektakuler dari
dialektika antara Islam dan budaya lokal Cara-cara persuasif para ulama
itu adalah upacara peringatan untuk Nusantara dalam menyiarkan Islam
orang-orang yang sudah meninggal tersebut menjadi “trademark” Islam
dunia. Upacara itu dikenal dengan Nusantara, yaitu Islam yang sanggup
istilah Tahlilan (hari pertama sampai hari berdialektika dengan kebudayaan
ketujuh dari kematian, lalu diperingati masyarakat. Ajaran-ajaran Islam bisa
lagi pada hari ke 40, 100, dan 1000 hari). diserap masyarakat tanpa menumbangkan
Upacara seperti itu sulit ditemukan basis-basis tradisi masyarakat. Hubungan
contohnya pada zaman Nabi Muhammad Islam dan kebudayaan Nusantara adalah
Saw. Akan tetapi, menurut Nurcholish ‘alaqah jadaliyah (hubungan dialektik)
Madjid, itu adalah cara yang paling bukan ‘alaqah ikhdha’ (hubungan
efektif untuk menanamkan jiwa tauhid penundukan-subordinatif) oleh satu
dalam kesempatan suasana keharuan pihak pada pihak lain. Islam Nusantara
yang membuat orang menjadi sentimentil, sekali lagi lebih mendahulukan cara-cara
penuh perasaan, dan sugestif, gampang persuasif daripada konfrontatif, lebih
menerima paham atau pengajaran mengutamakan jalan damai ketimbang
(Madjid, Nurcholish, 1995: 551). Namun, jalan perang, walau dalam beberapa kasus
bagi kalangan Islam tradisional seperti perang tak terhindarkan terutama sejak
kaum nahdhiyyin, lebih dari sekedar kaum penjajah merampas kedaulatan
pendidikan tauhid, tahlilan juga berfungsi Nusantara.
untuk menghadiahkan pahala (ihda’ al-
tsawb) untuk orang yang sudah meninggal Dengan menggunakan cara
dunia. bil hikmah wal mau’izah al-hasanah
wal mujadalah bil husna, para ulama
Lepas dari itu, cara dakwah yang berhasil mengislamkan Nusantara.
ditempuh para ulama Nusantara ternyata Dengan dakwah seperti ini, penduduk
efektif dalam mengubah masyarakat. Nusantara -- meminjam bahasa al-
Dalam berdakwah, para ulama Nusantara Qur’an -- yadkhuluna fi dini Allah afwaja
sempurna mengamalkan firman Allah, (mereka berbondong-bondong masuk
ud’u ila sabili rabbika bil hikmah wal Islam). Mungkin benar, Islam masuk
maw’izhatil hasanah wa jadilhum billati hiya ke Nusantra sejak abad ke-13 Masehi.
ahsan. Jika dakwah dengan jalan hikmah Namun, yang memeluk Islam saat itu
dan mau’izhah hasanah tak menghasilkan diperkirakan hanya para pedagang dari
perubahan, maka jalan dialog yang luar, sementara penduduk asli Nusantara
dilakukan, bukan pentungan dan pedang masih memeluk agama-agama lama.
yang dihunjamkan. Berbagai sumber menyatakan bahwa
pemelukan Islam secara masif dari orang-
Dengan cara dan strategi dakwah orang Nusantara baru terjadi dua abad
yang demikian, Islam dianut banyak berikutnya, yaitu pada era Wali Songo.
orang. Islam memang masuk ke Indonesia

HARMONI Mei - Agustus 2016


Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara) 25

Keberhasilan dakwah wali songo itu para wali di Nusantara dulu. Menurut
mencengangkan dan menjadi renungan saya, jika itu yang menjadi narasi utama
para kiai NU dalam kurun waktu lama. Islam Nusantara, maka pro-kontra di
Tak sedikit dari mereka yang bertanya- atas tak diperlukan. Sebab, baik yang
tanya, apa yang istimewa dari dakwah pro maupun yang kontra sesungguhnya
para wali itu sehingga banyak orang tak sedang mempertentangkan sesuatu.
melepas agama lamanya dan berpindah Mereka hanya membicarakan sesuatu
ke agama baru, Islam. Setelah mempelajari dari ranah berbeda. Sekiranya kelompok
sejarah, para pengusung Islam Nusantara kontra Islam Nusantara berbicara pada
berkesimpulan bahwa dakwah para tataran normatif-ideal, maka para
wali itu mengikuti pola dakwah Nabi pengusung Islam Nusantara itu berbicara
Muhammad, di mana Islam disebarkan pada tataran riil-empiris. Tentu, sesuatu
dengan penuh rahmat dan kasih sayang. yang ideal itu tak boleh dibiarkan --
Para wali lebih mendahulukan cara dialog meminjam bahasa Kiai Afifuddin Muhajir
ketimbang konfrontasi. Masyarakat kerap -- “hanya menggantung di langit”. Sesuatu
dibiarkan menjalankan tradisi leluhurnya yang ideal itu harus dibawa ke ruang yang
sambil sedikit demi sedikit ajaran tauhid lebih realistis. Dalam konteks itu, para
diinjeksikan ke dalamnya. Memberantas wali tak ragu untuk “menusantarakan”
kemunkaran pun tak dilakukan dengan hal-hal tertentu dalam Islam.
cara-cara munkar (al-nahyu ‘an al-munkar
bi ghair al-munkar). Disebut “hal-hal tertentu”,
sebab tak semua hal dalam Islam bisa
Mengikuti pola turunnya dinusantarakan. Sebagaimana diketahui,
wahyu yang tak sekaligus, para sufi Islam memiliki dua jenis ajaran. Pertama,
Nusantara tak memaksa orang-orang adalah ajaran yang tetap tak berubah
yang baru masuk Islam untuk langsung (al-tsawabit). Aqidah adalah salah satu
melaksanakan syariat secara penuh. hal dari al-tsawabit tersebut. Umat Islam
Syariat Islam dijalankan setahap demi di manapun harus meyakini tentang
setahap mengikuti tingkat kesiapan keesaan Allah Swt, kenabian Muhammad
masyarakat. Sebagaimana dicontohkan Saw, dan kewahyuan Alqur’an Alkarim.
Nabi Muhammad, Islam didakwahkan Tak bisa dengan alasan budaya, umat
para wali itu secara bertahap (al-tadrij Islam Nusantara menolak ajaran tauhid-
fi al-tasyri’), tak memberatkan (‘adam monoteisme. Di mana pun berada,
al-haraj), dan tak banyak beban (taqlil syahadat umat Islam adalah sama,
al-takalif). Cara-cara ekstrim (tatharruf) asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu
dalam penyelesaian masalah dijauhi para anna Muhammadan Rasulullah. Dengan
wali. Menurut KH. Said Aqil Siroj, dalam ini jelas, tak ada akidah Islam Nusantara
menyebarkan Islam para sufi Nusantara yang distingtif dengan akidah umat Islam
berdiri di atas prinsip toleransi (tasamuh) lain.
dan moderatisme (tawassuth). Dengan
prinsip toleransi, Sunan Kudus pernah Contoh lain adalah soal shalat.
melarang umat Islam menyembelih Dalam pokok soal ini, Islam Nusantara tak
sapi khusus daerah Kudus Jawa Tengah masuk pada syarat dan rukun shalat. Tak
sebagai bentuk penghormatan terhadap bisa dengan alasan budaya, bacaan shalat
orang-orang Hindu yang memercayai diganti dengan tembang Nusantara.
kesucian binatang tersebut. Terkait shalat, yang bisa dinusantarakan
adalah soal tempat pelaksanaan shalat
Itulah kesimpulan para kiai ketika dan pakaian penutup aurat dalam shalat.
membaca metode dakwah dan melihat Umat Islam, misalnya, boleh membangun
ekspresi keberislaman yang diteladankan masjid dengan desain dan arsitektur

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 2


26 Abdul Moqsith

gereja atau pura. Begitu juga, soal bentuk daripada menarik kemaslahatan (dar’u
mukena dan pakaian yang menjadi al-mafasid muqaddam `ala jalbi al-mashalih),
penutup aurat seorang muslim dalam NU menerima Pancasila.
shalat. Dalam dua perkara itu, Islam
bisa berdialektika dengan kebudayaan. Begitu juga ketika sebagian umat
Di Jawa dan Madura, misalnya, laki-laki Islam Indonesia gamang apakah akan
muslim biasanya mengenakan sarung menerima konsep Hak Asasi Manusia
ketika shalat. Sunan Kudus membangun atau menolaknya. Para kiai berkumpul
mesjid menyerupai bentuk pura di Bali. dan bersepakat bahwa ada sub bahasan
di dalam kitab kuning yang bisa menjadi
Kedua, adalah ajaran yang tidak rujukan hak asasi manusia dalam Islam
tetap dan berubah (al-mutaghayyirat). yang disebut dengan al-kulliyat al-khams
Jenis ajaran kedua ini sebagian besar (lima pokok ajaran), yaitu memelihara
berada pada domain mu’amalah, siyasah jiwa (hifzh al-nafs), memelihara agama
(politik), dan ‘urf-ijtima’i (sosial-budaya). (hifzh al-din), memelihara akal (hifzh al-
Pada bidang ini, Islam sesungguhnya `aql), memelihara harta (hifzh al-mal),
lebih banyak bicara mengenai prinsip- memelihara kehormatan-keturunan (hifzh
prinsip etis-moral seperti tahqiq al- al-`irdh wa al-nasab). Lima ajaran pokok
‘adalah (mewujudkan keadilan), syura ini di samping didasarkan pada ayat-ayat
baynahum (musyawarah), ishlah dzati Alquran, juga dilandaskan pada pidato
al-bayn (perdamaian), mu’asyarah bi al- Nabi Muhammad Saw. pada Haji Wada’
ma’ruf (pergaulan yang baik), wujud al- yang memerintahkan umat Islam untuk
taradhi (adanya kerelaan), izalah al-dharar
menjaga jiwa, harta, dan kehormatan (inna
(menghilangkan kemudaratan), ‘adam al-
dima’akum wa amwalakum wa a’radhakum
ikrah (tak ada pemaksaan), dan ‘adam al-
haramun ‘alaikum kahurmati yawmikum
gharar (tak ada penipuan). Intinya, seluruh
hadzi wa syahrikum hadza wa baladikum
hal terkait relasi antar manusia, mulai dari
hadza).
lingkungan keluarga, masyarakat hingga
negara harus didasarkan pada prinsip Dengan paparan di atas, maka tak
menarik maslahat (jalbu al-mashlahah) dan seharusnya Islam Nusantara ditampik. Di
menolak mafsadat (dar’u al-mafsadah). era Indonesia modern, Islam Nusantara
Prinsip-prinsip itulah yang menjadi telah berhasil menjembatani sejumlah
acuan etis para pengusung Islam ketegangan antara Islam dan budaya,
Nusantara dalam merespons problem- Islam dan Negara Bangsa, Islam dan
problem sosial-ekonomi dan politik Pancasila, Islam dan Demokrasi, Islam
di masyarakat. Misalnya, ketika baru dan Hak Asasi Manusia. Keberhasilan
merdeka, Indonesia terjebak dalam dua ini bisa dicapai karena kecakapan Islam
pilihan sulit, menjadikannya sebagai Nusantara dalam meramu dalil normatif
negara Islam atau sebagai negara sekuler. Islam (fiqh al-nushush) dengan fakta-fakta
Jika yang satu memaksakan negara empirik di lapangan (fiqh al-waqi’). Dengan
Islam, maka yang lain memaksakan demikian, dalam mengoperasikan
negara sekular. Tarik menarik di antara Islam Nusantara, para ulama perlu
keduanya cukup keras hingga ditemukan memperhatikan nash al-Qur’an-hadits
satu traktat politik, Pancasila. Dengan dan konteks sosial-ekonomi-politik secara
Pancasila, Indonesia bisa selamat dari sekaligus. Dengan cara ini kiranya fatwa
ancaman perpecahan dan peperangan ulama Nusantara tak hanya membuahkan
sesama anak bangsa. Mengacu pada maslahat bagi umat Islam secara terbatas
kaidah fikih, menolak terjadinya di Indonesia, melainkan justru sebagai
kemafsadatan harus didahulukan rahmat bagi seluruh umat manusia.

HARMONI Mei - Agustus 2016


Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara) 27

Hanya saja, untuk pengembangan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, ada
gagasan Islam Nusantara ke depan tentu kekhawatiran sila pertama menimbulkan
membutuhkan perangkat metodologinya. kontroversi penafsiran, maka dengan
Dengan kehadiran metodologi itu, cepat Soekarno mengantisipasi melalui
maka pengusung Islam Nusantara akan pidato politiknya tanggal 1 Juni 1945.
tahu obyek dan wilayah garapan Islam Bung Karno berkata:
Nusantara. Metodologi yang ditawarkan
ini bukanlah metodologi baru. Ia adalah “Bukan saja bangsa Indonesia
penyederhanaan dari ushul fikih yang ber-Tuhan, tetapi masing-masing
disusun para ulama seperti Imam Syafii, orang Indonesia hendaknya ber-
Imam Ghazali, Imam Izzu al-Din ibn Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang
Abdi al Salam, al-Syathibi, dan lain-lain. Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa Al-Masih;
yang Islam menurut petunjuk Nabi
Metodologi Islam Nusantara Muhammad Saw.; orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut
Seperti dijelaskan pada paparan kitab-kitab yang ada padanya.
berikutnya, ide Islam Nusantara datang Tetapi, marilah kita semuanya
bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia ber-Tuhan. Hendaknya negara
hanya ingin membentuk tafsiran ajaran Indonesia ialah negara yang tiap-
yang sesuai dengan ajaran universal Islam tiap orangnya dapat menyembah
dan mencari cara bagaimana melabuhkan Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Islam dalam konteks budaya masyarakat Segenap rakyat hendaknya ber-
yang beragam. Upaya akademik pertama Tuhan secara kebudayaan, yakni
itu dalam ilmu ushul fikih disebut takhrij dengan tiada “egoisme agama”.
al-manath, sedangkan upaya kedua Dan hendaknya Negara Indonesia
disebut tahqiq al-manath. Penjelasan satu negara yang bertuhan” (Latif,
sederhananya demikian. Pertama, takhrij Yudi, 2014: 2-3; Aritonang, Jan,
al-manath sebagai kerja intelektual untuk 2000: 241; Bahar, Safroedin dkk
membuat tafsir Islam yang relevan
(eds.), 1995: 80-81).
dengan konteks zaman. Salah satu hasil
akademik dari kerja takhrij al-manath Bung Karno tampaknya hendak
ini adalah dirumuskannya Pancasila menyerahkan soal ketuhanan kepada
sebagai dasar negara Republik Indonesia. setiap umat beragama. Biarlah setiap
Penetapan Pancasila sebagai dasar umat merumuskan konsep ketuhanan
negara dicapai berdasarkan konsensus di sendiri-sendiri. Ketuhanan menurut
kalangan para pendiri bangsa (founding Islam dirumuskan umat Islam, begitu
fathers) setelah sebelumnya terjadi juga ketuhanan menurut Hindu, Budha,
perdebatan panjang di antara mereka. Kristen, Katolik, Konghucu dan Aliran
Nurcholish Madjid dengan meminjam Kepercayaan lain hendaknya dirumuskan
bahasa Alquran menyebut Pancasila umatnya masing-masing.
sebagai kalimah sawa’ atau common platform
yang merekatkan seluruh warga Negara Atas dasar itu, NU merumuskan
(Madjid, Nurcholish, 1995: 76). satu deklarasi tentang Pancasila termasuk
tentang sila Ketuhanan Yang Maha
Melalui penulusuran selintas bisa Esa. Dalam Muktamar NU ke 27 di
dikatakan bahwa yang menyebabkan Situbondo, pada 16 Rabi’ul Awwal 1404
Pancasila dengan cepat diterima seluruh
H/21 Desember 1983 M tahun 1983, NU
elemen bangsa, karena di dalam Pancasila
menyatakan:
itu terdapat sila bahkan sila pertama, yaitu

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 2


28 Abdul Moqsith

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Tentang keunikan Pancasila,


Negara Republik Indonesia bukanlah menarik memperhatikan penjelasan
agama, tidak dapat menggantikan Izzat Mufti (pejabat tinggi Arab saudi)
agama dan tidak dapat dipergunakan sebagaimana dikutip As’ad Said Ali.
untuk menggantikan kedudukan Dalam sebuah kunjungan ke Indonesia
agama; tahun 1980-an, setelah mendengarkan
penjelasan tentang Pancasila di Museum
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Satria Mandala, Izzat Mufti menyatakan
dasar Negara Republik Indonesia demikian:
menurut pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945, yang menjiwai “Arab Saudi menjadikan Alquran
sila-sila yang lain, mencerminkan dan Hadis sebagai landasan
tauhid menurut pengertian keimanan bernegara karena seluruh warganya
dalam Islam; adalah muslim. Indonesia yang
multiagama menjadikan Pancasila
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah sebagai dasar negara di mana sila
aqidah dan syariah, meliputi aspek pertamanya adalah Ketuhanan
hubungan manusia dengan Allah dan Yang Maha Esa. Itu keputusan
hubungan antar manusia; yang benar dan tidak bertentangan
dengan Islam” (Ali, As’ad Said,
4. Penerimaan dan pengamalan 2009: XI).
Pancasila merupakan perwujudan
dari upaya umat Islam Indonesia Dengan ini bisa dinyatakan bahwa
untuk menjalankan syariat agamanya. Pancasila merupakan hasil ijtihad (takhrij
al-manath) para pendiri bangsa Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari sikap Pancasila hanya ada di Indonesia, tidak
di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban ada di negara-negara lain. Ia dianggap
mengamankan pengertian yang benar paling relevan untuk menyatukan seluruh
tentang Pancasila dan pengamalannya bangsa yang menganut agama yang
yang murni dan konsekuen oleh semua berbeda-beda. Dengan perkataan lain,
pihak (Keputusan Musyawarah Alim Pancasila adalah semen yang merekatkan
Ulama Nahdlatul Ulama, Nomor II/ seluruh warga negara yang berbeda latar
MAUNU/1404/1983 tentang Pemulihan belakang agama, budaya, bahasa, etnis,
Khittah Nahdlatul Ulama 1926). dan suku.
Rumusan dekralasi itu bukan Kedua, yaitu tahqiq al-manath
hanya menunjukkan sikap politik NU yang dalam prakteknya bisa berbentuk
untuk terus bertumpu pada Pancasila, mashlahah mursalah, istihsan dan ‘urf.
melainkan juga merupakan penjelasan Dengan merujuk pada dalil, “apa yang
teologis NU kepada umat Islam mengapa dipandang baik oleh kebanyakan manusia,
umat Islam menerima Pancasila dan maka itu juga baik menurut Allah” (ma
mengapa juga mereka harus ikut merawat ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa ‘inda
Pancasila. KH As’ad Syamsul Arifin Allah hasanun), ulama Malikiyah tak ragu
(Pengasuh PP Asembagus Situbondo) menjadikan istihsan sebagai dalil hukum.
menyatakan bahwa mengamalkan Dan kita tahu, salah satu bentuk istihsan
Pancasila merupakan kewajiban bagi adalah meninggalkan hukum umum
semua umat (Feilard, Andree, 1999: 239). (hukm kulli) dan mengambil hukum
Dalam perkembangannya, penerimaan pengecualian (hukm juz’i).
NU terhadap Pancasila itu diikuti ormas-
Sekiranya istihsan banyak membuat
ormas Islam lain seperti Muhammadiyah.
hukum pengecualian, maka ‘urf sering

HARMONI Mei - Agustus 2016


Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara) 29

mengakomodasi kebudayaan lokal. kebudayaan masyarakat. Sejauh


Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu tradisi itu tak menodai prinsip-
bil ‘urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang prinsip kemanusiaan, maka ia bisa
ditetapkan berdasar tradisi “sama belaka tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika
kedudukannya” dengan sesuatu yang tradisi itu mengandung unsur yang
ditetapkan berdasar Alquran-Hadis). mencederai martabat kemanusiaan,
Kaidah fikih lain menyatakan, al-‘adah maka tak ada alasan untuk melestarikan.
muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber Dengan demikian, Islam Nusantara tak
hukum). Tentang ‘urf atau tradisi, Abdul menghamba pada tradisi karena tradisi
Wahab Khallaf membuat pernyataan memang tak kebal kritik. Sekali lagi, hanya
demikian: tradisi yang menghormati nilai-nilai
kemanusiaan yang perlu dipertahankan.
“Oleh karena itu, para ulama Sementara tradisi yang bertentangan
berkata: al-‘adat syari’ah dengan universalitas Islam, maka ia harus
muhakkamah (adat adalah syariat ditentang. Menurut Nurcholish Madjid,
yang dijadikan hukum). Dan adat Islam adalah agama yang menentang satu
kebiasaan (‘urf) dalam syara’ harus sikap yang secara a-priori memandang
dipertimbangkan. Imam Malik bahwa tradisi lelulur selalu baik dan
membangun banyak hukum dengan harus dipertahankan serta diikuti.
bertumpu pada perilaku penduduk Menurutnya, sikap kritis terhadap tradisi
Madinah. Imam Abu Hanifah dan inilah yang menjadi unsur penyebab
para ulama pendukungnya berbeda terjadinya transformasi sosial masyarakat
pendapat dalam soal hukum yang mengalami perjumpaan dengan
yang diakibatkan perbedaan Islam (Madjid, Nurcholish, 1995: 552).
adat kebiasaan mereka. Setelah
berdiam diri di Mesir, Imam Syafi’i Ini karena Islam berpendirian
mengubah sebagian pendapat bahwa tak boleh ada tradisi yang layak
hukumnya yang ditetapkan ketika dipertahankan sekiranya bertentangan
dia berada Baghdad. Ini karena dengan nilai-nilai kemanusiaan.
perbedaan tradisi (dua negeri itu). Penghormatan pada nilai-nilai
Karena itu, ia mempunyai dua kemanusiaan adalah soko guru hukum
pandangan hukum, yang lama Islam. Izzuddin ibn Abdis Salam dalam
(qaul qadim) dan yang baru (qaul Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam
jadid). Dan, dalam fikih Hanafi menyatakan, tercapainya kemaslahatan
banyak hukum yang didasarkan manusia adalah tujuan dari seluruh
pada adat kebiasaan. …. Karena itu, pembebanan hukum dalam Islam, innama
ada ungkapan-ungkapan populer, al-takalif kulluha raji’atun ila mashalihil
“al-ma’rufu ‘urfan ka al-masyruthi ‘ibad (Al-Salam, Izzu al-Din Ibn Abdi,
syarthan” (yang baik menurut adat Tanpa Tahun: Juz II, 72). Demikian
kebiasaan adalah sama nilainya pentingnya kemaslahatan tersebut, maka
dengan syarat yang harus dipenuhi); kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh
“al tsabit bi al-nash ka al-tsabiti bi al- teks Alquran-Hadis pun bisa dijadikan
nash” (apa yang ditetapkan oleh sebagai sumber hukum. Tentu dengan
tradisi sama nilainya dengan apa catatan, kemaslahatan itu tak dinegasi
yang ditetapkan berdasarkan nash nash Alquran-Hadis. Itulah mashlahah
Alquran atau Hadis (Khallaf, Abdul mursalah.
Wahab, 1968: 90).
Dengan demikian, jelas bahwa
Ini menunjukkan, betapa Islam dalam penerapan Alquran dan Hadis,
sangat menghargai kreasi-kreasi Islam Nusantara secara metodologis

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 2


30 Abdul Moqsith

bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu dahulu sebelum pembagian waris Islam
mashlahah mursalah, istihsan, dan ‘urf. dilakukan. Penyesuaian hukum ini
Tiga dalil itu dipandang relevan karena dijalankan masyarakat secara turun-
sejatinya Islam Nusantara lebih banyak temurun karena rupanya narasi keluarga
bergerak pada aspek ijtihad tathbiqi Islam di Indonesia berbeda dengan narasi
ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad keluarga Islam di Arab sana.
istinbathi tercurah pada bagaimana
Begitu juga, tak ada yang
menciptakan hukum (insya’ al-hukm),
membantah bahwa menutup aurat
maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek
adalah perintah syariat. Namun, di
penerapan hukum (tathbiq al-hukm).
kalangan para ulama terjadi perselisihan
Sekiranya ujian kesahihan ijtihad istinbathi
mengenai batas aurat. Ada ulama yang
dilihat salah satunya dari segi koherensi longgar, tapi ada juga ulama yang ketat
dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dengan menyatakan bahwa seluruh
dilihat dari korespondensinya dengan tubuh perempuan bahkan suaranya
aspek kemanfaatan di lapangan (Ghazali, adalah bagian dari aurat yang harus
Abdul Moqsith dalam Sahal, Ahmad, disembunyikan. Keragaman pandangan
2015: 106). ulama mengenai batas aurat tersebut tak
Contoh terang dari ijtihad tathbiqi ayal lagi berdampak pada keragaman
adalah kebijakan Khalifah Umar ibn ekspresi perempuan muslimah dalam
berpakaian. Beda dengan pakaian istri
Khattab yang tak memotong tangan para
para ustad sekarang, istri tokoh-tokoh
pencuri saat krisis, tak membagi tanah
Islam Indonesia zaman dulu terlihat
hasil rampasan perang, tak memberi
hanya memakai kain-sampir, baju kebaya,
zakat pada para muallaf. Ketika Khalifah
dan kerudung penutup kepala. Pakaian
Umar dihujani kritik karena kesukaannya
seperti itu hingga sekarang dilestarikan
mengubah-ubah kebijakan, ia menjawab,
salah satunya oleh istri almarhum Gus
“dzaka ‘ala ma qadhaina, wa hadza ‘ala ma
Dur, Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman
naqdhi” (itu keputusanku yang dulu dan ini
Wahid.
keputusanku yang sekarang). Perubahan
kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar
setelah memperhatikan perubahan situasi
Penutup
dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah
fikih menyebutkan, “taghayyur al-ahkam Dengan paparan ini, maka penting
bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa dikatakan. Pertama, kesalahpahaman
al-ahwal wa al-‘adat” (perubahan hukum sebagian orang tentang Islam Nusantara
mengikuti perubahan situasi, kondisi, tidak berdasar. Jika ada yang berkata
dan tradisi). Islam Nusantara ingin mengubah wahyu,
maka itu tidak benar. Sebab, umat Islam
Mengambil inspirasi dari kasus sekarang tak hidup di zaman wahyu.
Sayyidina Umar ibn Khattab tersebut, Pasca era pewahyuan, tugas umat
Islam Nusantara datang bukan untuk Islam adalah bagaimana menafsirkan
mengubah hukum waris Alquran dan mengimplementasikan wahyu
misalnya, namun bagaimana hukum waris tersebut dalam konteks masyarakat
itu diimplementasikan sekarang. Dalam yang terus berubah. Dalam kaitan itu,
kaitan implementasi itu, di Indonesia bukan hanya pluralitas penafsiran yang
misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu merupakan keniscayaan. Keragaman
harta rumah tangga yang diperoleh ekpresi pengamalan Islam pun tak
suami-istri secara bersama-sama. Harta terhindarkan. Itu bukan sebuah
gono-gini biasanya dipisahkan terlebih kesalahan, asal tetap dilakukan dengan

HARMONI Mei - Agustus 2016


Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara) 31

menggunakan metodologi yang bisa kehidupan bisa dicapai. Bukankah dalam


dipertanggungjawabkan. suasana damai, umat Islam bisa bekerja
lebih produktif dengan mengembangkan
Kedua, di tengah kecenderungan ilmu pengetahuan, memperbaiki
sebagian umat Islam untuk perekonomian umat, dan lain-lain.
mendakwahkan Islam dengan jalan Sebaliknya, dalam situasi kekerasan yang
kekerasan, maka “jalan damai Islam” tak berkesudahan, energi umat Islam akan
yang fondasinya telah diletakkan para terkuras untuk pekerjaan yang tak banyak
ulama Nusantara bisa dijadikan solusi gunanya bagi kepentingan izzul Islam wal
untuk menyelesaikan konflik dan muslimin, izzu Nusantara wa nusantariyyin,
ketegangan. Harapannya, melalui jalan izzu Indonesia wa indunisiyyin. Wallahu
damai ini kemajuan di berbagai aspek a’lam bish shawwab. [ꙍꙍ]

Daftar Pustaka

Abdul Wahab Khallaf, `Ilm Ushul al-Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da`wah al-Islamiyah, 1968.
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan,
Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
----------, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001.
Ahmad Sahal, “Prolog: Kenapa Islam Nusantara”, dalam Akhmad Sahal (ed.), Islam
Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, Bandung: Mizan, 2015.
Andree Feilard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS,
1999.
As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta: LP3ES, 2009.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002.
Izzu al-Din Ibn Abdi al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: Dar al-Jil,
Tanpa Tahun.
Keputusan Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama, Nomor II/MAUNU/1404/1983
Tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926.
M. Isom Yusqi dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka STAINU, 2015.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004.
----------, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia,
Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 76.
----------, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Panitia Muktamar NU, Hasil Muktamar Nahdaltul Ulama ke-27 Situbondo. Semarang:
Sumber Barakah, 1986.
Saafroedin Bahar dkk (eds.), Risalah Sidang BPUPKI & PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995.
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 2


32 Abdul Moqsith

Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, Bandung: Mizan, 2014, hl. 2-3;
Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
200, hlm. 241.
Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-
1945), Ciputat-Tangerang: Pustaka Compass, 2016.

HARMONI Mei - Agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai