Anda di halaman 1dari 31

Chain of Survival

Maria Putri Sari Utami, S.Kep.,Ns., M.Kep.


Medical Surgical Nursing Department

Chain of survival adalah rantai kelangsungan hidup manusia


yang mengarah kepada pasien yang tidak sadar atau henti jantung
sehingga menjadi survive yang lebih baik.
Chains of survival terdiri dari mengenal secara dini korban henti
jantung, segera menghubungi ambulans (early acces), melakukan
CPR (early CPR), memberikan defibrilasi secepat mungkin
(early defibrillation), memberikan bantuan hidup lanjut yang
efektif dan memberikan perawatan pasca henti jantung yang
terintegrasi (early advance care) (Travers, et al, 2010).

Penanganan cardiac arrest menggunakan prinsip chains of


survival yang dikeluarkan oleh American Heart Association
(AHA) 2010, dan jika terjadi diluar rumah sakit penggunaannya
dengan menggunakan pendekatan Emergency Medical Services
(EMS).

Chain of Survival Intra Hospital Setting vs Pre Hospital setting


In Hospital Cardiac Arrests (IHCAs) vs Out-Hospital Cardiac Arrests (OHCAs)

Out-Hospital Cardiac Arrests (OHCAs)


Patients with OHCA depend on elements within the community for support.
Penolong awam harus mengetahui tanda dan gelaja terjadinya cardiac arrest,
call for help, dan memulai CPR dan melakukan defibrilasi awal sampai tim
EMS datang dan membawa pasien ke rumah sakit.
Idealnya, semua korban OHCA menerima CPR dan defibrilasi secara standar.
Jika CPR dan defibrilasi tidak dilakukan hingga tim EMS datang, kesempatan
korban bertahan hidup lebih rendah.

Menurut Faferman (2007), sejumlah penelitian sekarang mengkonfirmasi


kesempatan terbaik untuk bertahan hidup tergantung pada dua faktor yaitu
bystander cardiopulmonary resuscitation (CPR) dan defibrilasi.

CPR adalah link penting yang masih lemah dalam chain of survival untuk
serangan jantung diluar rumah sakit (OHCA) (Vaillancourt, Stiell, Wells,
2008).

Public Access Defibrilation (PAD)

Kalau di Indonesia, PAD dinamakan Automated External Defibrillator (AED).


Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: KP 541 tahun 2014
mengenai fasilitas di Bandar Udara Internasional dalam Pasal 14 menyebutkan
bahwa salah satu standar bandara internasional adalah harus ada ketersediaan AED.
Begitu pula di stasiun kereta api berdasarkan Peraturan Menteri Perbungan Nomor
47 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan
Kereta Api disebutkan bahwa saaat ini sedang diupayakan penambahan fasilitas
berupa AED di stasiun-stasiun besar untuk menolong seseorang dengan serangan
jantung (Hermanto, 2014).
Di Wilayah D.I Yogyakarta kita bisa menemukan keberadaan AED di Bandara Adi
Sucipto.
Sedangkan di fasilitas umum lainnya seperti di pusat perbelanjaan maupun sekolahsekolah di wilayah ini maupun di Indonesia keberadaan AED masih jarang kita
jumpai.

In Hospital Cardiac Arrests (IHCAs)


Pasien dengan IHCA lebih tergantung pada pengawasan dan
pencegahan cardiac arrest.
Ketika cardiac arrest terjadi, informasi dan respon yang cepat
harus menghasilkan interaksi dari berbagai multidisiplin, seperti
dokter, perawat, terapis pernafasan, dan lainnya. Tim ini harus
memiliki kualitass CPR yang tinggi, defibrilasi cepat, dan
bantuan kardiovaskuler.

The classic resuscitation Chain of Survival concept linked the community to


EMS and EMS to hospitals.
Tetapi pasien dengan kegawatdaruratan jantung, dapat memasuki sistem
perawatan di salah satu poin yang berbeda.

Early acces

Tahapan chains of survival yang harus dilakukan menurut Travers et al (2010)


adalah yang pertama mengenal korban henti jantung secara cepat dan
menghubungi ambulans (early acces).
Kecepatan mengenali tanda-tanda henti jantung dan segera menghubungi
ambulans (EMS) adalah faktor penentu pertama kesuksesan resusitasi dan
defibrilasi pasien henti jantung (Suharsono dan Ningsih, 2009).

Penolong harus mengetahui informasi mengenai tanda pasien


henti jantung seperti korban tidak sadar dan tidak bernapas atau
bernapas tetapi tidak normal. Setelah menentukan bahwa korban
tersebut dalam kondisi henti jantung selanjutnya menghubungi
ambulans (Travers, et al., 2010)

Rantai
kedua
adalah
cardiopulmonary
resuscitation (Early CPR) dengan penekanan
pada kompresi.
CPR merupakan aspek fundamental dari tindakan
resusitasi pada korban henti jantung.
CPR harus dilakukan oleh semua penolong:
Tanpa memperhatikan tingkat kemampuan
penolong; Karakteristik korban; Sumber daya
yang tersedia.

CPR yang seharusnya diberikan kepada korban


henti jantung adalah CPR yang berkualitas tinggi
(Travers, et al., 2010).

C-A-B

CPR yang dilakukan oleh bystander CPR sebelum kedatangan tim


penyelamat telah terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup
setelah serangan jantung diluar rumah sakit (out-of-hospital).
Survei yang dilakukan oleh Hertlizt, et al., (2005) terhadap pasien
serangan jantung diluar rumah sakit yang ada di Swedia sebanyak
29.711 pasien, 36% di antaranya menerima CPR dari orang awam
sebelum kedatangan tim penyelamat.
CPR yang dilakukan oleh orang awam sebelum kedatangan tim
kesehatan dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan
henti jantung

Rantai ketiga adalah pemberian defibrilator secepat mungkin


(Rapid Defibrilator). Defibrilasi merupakan faktor penting dalam
menentukan keberhasilan penanganan henti jantung karena
defibrilasi diberikan dengan tujuan untuk mengembalikan ritme
jantung ke kondisi normal. Pentinganya defibrilasi dini diberikan
pada korban henti jantung karena 85% kasus terjadi di luar rumah
sakit.

Pengertian Defibrilator Alat Pacu Jantung


Defibrilator atau kerap disebut juga sebagai alat pacu jantung adalah alat yang
digunakan untuk memberikan pertolongan kepada pasien serangan jantung.
Tindakan ini dilakukan degan cara memberikan terapi energi listrik dengan
jumlah tertentu pada jantung pasien
Defibrilasi dilakukan dengan menempelkan elektrode pada alat defibrilator ke
dada pasien untuk memberikan kejut jantung. Dengan alat pacu jantung
diharapkan dapat membangun kembali irama sinus normal jantung yang
tadinya mengalami gangguan

Rantai keempat adalah bantuan hidup lanjut yang


efektif (Advanced Life Support)

Rantai kelima perawatan pasca henti


jantung (post cardiac arrest care)

Tahap ini bertujuan untuk mengembalikan kualitas hidup pasien dan


meminimalkan kerusakan neurologis

Targeted Temperature Management


Induced Hypotermia
Untuk melindungi otak dan organ lainnya, hipotermia harus diatur pada pasien setelah
mendapatkan Return of Spontaneous Circulation (ROSC).
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa hipotermia meningkatkan fungsi neurologis
pda pasien koma.
Penelitian pada tikus, durasi hipotermia yang pendek ( 1 jam) dicapai < 10 sampai 20
menit setelah ROSC lebih bermanfaat jika dibandingkan hipotermia yang tertunda.

Suhu : 32-34o C (89, 6 oF-93,2 oF)


Durasi yang optimal : minimal 1 - 24 jam sesegera mungkin
Indikasi :
1. Pada pasien dewasa yang koma dengan ROSC setelah out-of-hospital VF
cardiac arrest
2. Pada pasien dewasa koma dengan ROSC setelah cardiac arrest di rumah sakit
Metode yang digunakan adalah:
3. Cooling blankets and frequent application of ice bags.
4. Iced isotonic fluid (500mL to 30 mL/kg of saline 0,9% or Ringers lactate)
Pengukuran:
5. Esophageal thermometer
6. Bladder Catheter in nonanuric patients
7. Pulmonary artery Catheter

Anda mungkin juga menyukai