4.Tr Suppos - 12
4.Tr Suppos - 12
*perkembangan:
-dahulu untuk terapi lokal (laksatif, anti-hemoroid, antiseptik dll)
-berkembang untuk terapi sistemik.
*Sejak penemuan oleum cacao oleh Baume maka suppositoria mulai dapat
dibentuk menurut yang kita kehendaki.
1
Keuntungan dibuat suppositoria
*memungkinkan untuk terapi general atau sistemik.
*Karena diberikan secara rektal, beberapa obat dapat diabsorpsi
secara cepat dan masuk ke sirkulasi darah secara cepat pula,
--misalnya : KJ, salol, antipirin, lebih cepat diabsorpsi lewat
suppositoria daripada lewat oral sehingga cara ini dapat pula
digunakan dosis yang mirip dengan per oral.
2
Aksi suppositoria
Mekanik : misalnya : laksatif.
1. Didasarkan adanya benda asing dalam rektum sehingga mendorong
eksitasi mekanik dari mukosa.
2. Dengan suppositoria sangat higroskopik dengan basis gelatin-gliserin
atau Na-stearat gliserin, maka reaksi didasarkan atas osmosa, karena
suppositoria menyerap banyak air dalam rektum sehingga menaikkan
eksitasi.
3
Pemberian obat secara rektal mempunyai keuntungan a.l.:
1. Menghindari obat dari aksi enzim pencernakan untuk obat-obat
yang peka terhadap enzim (misal : K atau Na-bensilpenisilinat)
2. Obat-obat yang mengiritasi mukosa lambung dapat diberikan
bahkan pada konsentrasi yang tinggi (mis: sulfamid, aspirin,
fenilbutason dll)
3. Obat yang mempunyai bau dan rasa yang tidak enak kalau dipakai
peroral (misal : kreosot)
4
Absorpsi suppositoria
*beberapa obat secara rektal diabsorpsi lebih cepat d.p. secara oral.
*atropin, kloralhidrat, metilenblue, morfin, Na-salisilat akan
diabsorpsi lebih cepat bila diberikan secara rektal, sehingga
dosisnya dapat disesuaikan dengan secara oral.
*Absorpsi sediaan oral dan rektal bila dibandingkan dengan
menggunakan data urin, maka Na-salisilat dan aspirin mempunyai
kemanfaatan hayati yang sama pada pemberian oral maupun rektal.
Aspirin akan dilepaskan lebih cepat dari basis suppos. yang dapat
campur dengan air daripada kalau menggunakan basis berlemak.
5
*Kinetika pembebasan zat aktif dari sediaan rektal
-peleburan atau desagregasi,
-zat aktif berada dalam keadaan tersuspensi.
-adanya proses disolusi (dipengaruhi kadar + viskositas)
-zat aktif dalam keadaan larutan
-pengaruh koefisien partisi, zat aktif akan dibebaskan
-siap untuk diabsorpsi.
6
Gambar 1 : Langkah-langkah absorpsi rektal.
(Trublin, 1976)
7
*Absorpsi
-proses yang lebih cepat d.p. difusi obat dari basis ke cairan rektal.
-difusi obat kepermukaan absorpsi mempunyai kecepatan yang
terbatas dalam absorpsi rektal.
-pelepasan obat dari suppositoria tgt. pd sifat fisika-kimia basis.
*Menurut Ravaud:
10
Gambar 3 : Skema rektum
(Trublin, 1976)
11
*Perbandingan obat lewat di sirkulasi umum dan vena portae
Bucher dg supp Na-fosfat yang radioaktif menemukan bahwa
berdasarkan posisi dalam tidaknya suppositoria dalam rektum, maka
kadang-kadang ada sekitar 75% bahan radioaktif dalam sirkulasi
umum dan 25% dalam vena portae, atau kadang-kadang terdapat
perbandingan 50% - 50%
12
*Proses pelepasan z.a. dari suppositoria dengan basis sebagai berikut :
suppositoria
desa regasi
g
zat aktif dalam ba- zat aktif dalam bentuk
sis suppositoria suspensi dlm basis supp
Cs disolusi
14
Untuk mengetahui pelepasan z.a. dari basis suppositoria
-in-vivo
-in-vitro.
15
Beberapa cara penetapan secara in-vitro misalnya:
1. Metoda difusi pada gelose menggunakan piring petri dengan
diberi gelose untuk pembiakan bakteri tertentu sebagai standar.
Suppositoria yang berisi obat antibakteri dengan bermacam basis
dipotong, diletakkan diatas biakan tersebut dan diamati adanya
hambatan pertumbuhannya diketahui pelepasan obat tersebut.
2. Metoda difusi dalam air 37 C. Dengan menetapkan jumlah zat aktif
yang terlarut dalam air pada suhu 37 C yang diaduk dan ditetapkan
dengan interval waktu tertentu.
3. Dengan cara dialisa dengan mempergunakan membran cellophan
semipermeabel. Metoda ini menunjukkan hasil yang sangat baik
karena mirip dengan hasil pelepasan secara in-vivo yang didapat
dari berbagai formula suppositoria terutama dengan thiazinamin
dan indomethazin. Alatnya terdiri dari sel dialisa bentuk silindris
yang dicelupkan dalam air 37 C yaitu dengan termostat. Sirkulasi
dilakukan dengan pompa peristaltik.
16
*Penetapan kadar zat aktif dalam larutan dilakukan pada interval waktu
tertentu. Kinetika kecepatan pelarutan fungsi waktu dari zat aktif dapat
digambarkan.
18
C C
menit menit
Metoda in-vitro Metoda in-vivo
19
*kecepatan pelarutan obat dalam supp. in-vitro, dibagi menjadi 5 tipe:
1. Suppositoria diletakkan dalam labu atau gelas piala. (Wagner,
1971)
2. Menggunakan alat kecepatan pelarutan tablet yang didalam labu
terdapat basket kawat yang berputar sebagi tempat suppositoria
(Parrott, 1975)
3. Menggunakan membran yang dipasang antara ruang yang berisi
suppositoria dan reservoir (Carb, 1980)
4. Menggunakan kantung dialisa atau membran biasa, (Plaxo, 1967)
5. Menggunakan sistem aliran dimana suppositoria ditempatkan
diatas kawat kasa (Riegelman, 1958)
20
*Sebelum zat aktif diabsorpsi, maka pada umumnya sediaan suppositoria
atau massanya akan mengalami pelelehan terlebih dahulu.
21
Gambar 5 : Tube kapiler U
22
Pengaruh suhu leleh (desagregasi) dari suppositoria pada 37 C
26
KECEPATAN PELARUTAN
Difinisi:
1. Jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium
tertentu sebagai fungsi waktu.
2. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan
farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk
sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium.
27
Faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan:
28
2. Faktor alat yang digunakan dan kondisi percobaan.
Pada prinsipnya terdiri dari :
a. Sistem pengadukan
1. Sistem pengadukan dalam
a. Sediaan farmasi masuk kedalam pengaduk dan ikut berputar.
b. Sediaan farmasi berada didalam wadah dan diluar pengaduk.
c. metoda Huizinga yang mengisolasi sediaan suppositoria agar
tidak tersebut keseluruh medium, tetapi cukup zat yang
terlarut saja yang tersebur merata keseluruh medium.
29
3. Sistem aliran berkesinambungan.
gerakan dari cairan medium disebabkan adanya suatu pompa
(pompa peristaltik)
4. Sistem yang merupakan gabungan dari sistem pengadukan
luar dan sistem pengadukan berkesinambungan.
b. Suhu medium
pangaruh suhu terhadap kecepatan pelarutan cukup besar. Apabila
suhu naik, maka tenaga gerak molekul-molekul zat padat semakin
besar, sehingga menyebabkan lebih mudahnya terjadi proses difusi
melalui lapisan film kedalam larutan sehingga kecepatan pelarutan
semakin besar
30
c. Kondisi cairan medium.
1. jika tidak dikatakan lain maka cairan medium yang dipakai
adalah yang paling sederhana yaitu air.
2. juga dipakai HCl 0,1 N, medium yang sesuai dengan pH
lambung, cairan lambung buatan dan cairan yang komposisinya
lebih kompleks. Kondisi cairan medium harus dalam keadaan
sink.
d. Bentuk labu.
Perlu diperhatikan bentuk labu beserta pengaduknya sehingga
menghasilkan hidrodinamika yang baik. Selain itu perlu juga
menyesuaikan daya tampungnya.
31
3. Formulasi.
Formulasi untuk sediaan suppositoria dimulai dari pemilihan zat aktif
yang sesuai baik sifat fisika, kimia maupun farmakologinya, kemudian
pemilihan basis, selanjutnya disusun dan dipilih formulanya dan metoda
yang cocok. Setiap langkah dari proses ini dapat berpengaruh pada
kecepatan pelarutan.
4. Faktor-faktor lain
Yang tidak dapat dimasukkan dalam kelompok diatas:
-bentuk sediaan,
-lama penyimpanan,
-cara penyimpanan,
-jarak pengaduk dengan labu.
32
*Cara mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan:
1. Metoda klasik.
Metoda ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada
waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90 dsb. Karena
dengan metoda ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang
terjadi diluar titik tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan
jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.
33
2. Metoda Khan.
Metoda ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution effeciency
(DE) pada waktu tertentu.
t
Y dt
0
DE = x 100%
Y100.t
dimana : t
Y dt = luas daerah bawah kurva waktu t
0
34
Keuntungan menggunakan metoda DE adalah :
a. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud
dengan satu harga DE
b. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in-vitro dan in-
vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara
penggambaran percobaan in-vivo.
35
3. Metoda linearisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan :
a. Persamaan Wagner.
Metoda ini berdasarkan asumsi sebagai berikut :
1. Kondisi percobaan harus dalam keadaan sink, yaitu Cs >>>C
2. Proses pelarutan mengikuti reaksi orde I
3. Luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi
waktu
4. Kondisi proses pelarutannya non-reaktif
37
b. Persamaan Kitazawa.
Metoda ini mirip dengan persamaan Wagner, hanya saja disini
berdasarkan asumsi bahwa
1. harga luas permukaan spesifik (S) tetap
2. Kondisi percobaan dalam keadaan sink
3. Terdapat gradien konsentrasi (Cs-C)
100 (W - W) k.t
log ------------------ = 2 - --------
W 2,303
38
c. Persamaan Weibull
log - [ln(1-m)] = b log (t-Ti) - log a
dimana :
a = parameter skala, yaitu skala waktu pelarutan, harganya
tertentu, jika log-[ln(1-m)]= 1
b = parameter bentuk kurva dan merupakan angka arah
persamaan garis lurus, jika b < 1
bentuk kurva eksponensial, jika b > 1 bentuk kurva sigmoid.
39
BASIS SUPPOSITORIA
Lemak hidrofob : yang sama sekali tidak larut dalam air (misalnya oleum
cacao)
Lemak hidrofil : tidal larut dalam air, jisalnya oleum cacao ditambah
lanolin, campuran gliserida dengan indeks hidroksil yang tinggi.
40
Basis hidrosoluble : macam-macam campuran gelatin-gliserin dan PEG
(polietilenglikol) derivat p.e.o. (polietilenoksida).
41
7. Dapat menyebarkan atau me-repartisi obat secara homogen jumlah
obat yang ada baik dalam suppositoria pada lot fabrikasi yang sama
maupun untuk semua lot, dengan dapat menghindari fenomena
sedimentasi.
8. Dalam keadaan tertentu mampu menyerap obat dalam larutan air.
9. Dalam hal dimaksudkan untuk aksi sistemik, harus dapat
membebaskan obat dengan cepat dan sebanyak mungkin untuk
keperluan penyerapan obat
10. Bila yang dikehendaki aksi lokal, harus dapat membebaskan obat
secara lambat supaya dapat memberikan prolonged action in situ
Cat: Tidak ada basis suppositoria atau eksipien yang dapat memenuhi
syarat tersebut keseluruhan. Untuk memperbaiki ketidaksempurnaan
tersebut dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan tambahan
yang spesifik terhadap persyaratan yang dikehendaki.
42
SIFAT EKSIPIEN YANG BERPENGARUH PADA AKTIVITAS
TERAPI
43
Ad 1 : -Kecepatan obat yg dibebaskan dan diserap oleh mukosa langsung
berbanding dengan kelarutan obat dalam eksipien (koefisien partisi
obat antara eksipien dan sekret rektum).
Waktu (menit)
Eksipien Ttk.lbr(C)
I II III IV
46
*Makin tinggi titik lebur eksipien makin lama efek fisiologis yang terlihat.
*Ketika titik lebur jauh dari suhu badan binatang tersebut, tidak terlihat
adanya efek fisiologisnya.
47
% procain setelah 90 menit
suhu (C)
Eksipien jarak
t.l.cair t.l.jernih t.l.jernih+3 lebur
Ester as.lmk +glis. 31,6 (12%) 31,8 (66%) 34,8 (75%) 0,2
Oleum cacao 32,5 (1%) 34,1 (72%) 37,1 (63%) 0,6
Est.as.lmk +glis. 34,9 (5%) 36,8 (50%) 39,8 (68%) 1,9
Pentaeritriol 31,5 (1%) 36,3 (63%) 39,3 (70%) 4,8
Imhausen 35,5 (7%) 48,5 (30%) 51,5 (50%) 13,0
48
*Dari grafik dapat dinyatakan bahwa karakteristik lebur dari eksipien
lemak tidak mempunyai pengaruh yang banyak terhadap difusi zat aktif
yang lipofil (piramidon)
%
80
60
40
20
(OC)
28 30 32 34 36 38
49
Kecepatan lebur eksipien
*zat aktif dari suppositoria yang berada pada mukosa rektum hanya
terdifusi bila suppositoria meleleh total setelah kontak dengan mukosa.
*Metoda yang dibuat oleh Setnikar dan Fantelli bisa digunakan untuk
eksipien liposoluble maupun hidrosoluble.
50
Ad 3 : Pengaruh hidrofili, yang ditetapkan dengan adanya OH bebas.
Pengaruh ini tidak tetap.
51
Ad 4 : Pengaruh emulsif. Pada umumnya emulsif mempunyai pengaruh
terhadap difusi zat aktif dari suppositoria terutama adalah nilai HLB
dan jenis surfaktan serta konsentrasi.
52
-Konsentrasi mempunyai pengaruh sebagai berikut :
+pada suppositoria sulfisoksasol dengan oleum cacao, maka jika
konsentrasi surfaktan sangat rendah kecepatan difusi akan naik
dengan jelas.
53
Percobaan toleransi
55
BASIS SUPPOSITORIA
56
1. Basis lemak/lipofil.
a. Lemak alami murni :
1. Oleum cacao,
-diperoleh dari penekanan panas dari Theobroma cacao.
-Terdiri dari trigliserida jenuh dan tidak jenuh, yaitu :
trigliserida jenuh 2,6 %
oleo palmitin 3,7 %
oleo palmitostearin 57,0 %
oleo distearin 27,2 %
palmito diolein 7,4 %
sterodiolein 5,8 %
triolein 1,1 %
57
*Keuntungan paling banyak dari oleum cacao:
-karena karakteristik pelelehannya bagus,
-membebaskan dengan mudah zat aktif didalam rektum sehingga
banyak memberikan efektifitas pengobatan yang optimum.
-karena mudah patah pada suhu rendah, maka mudah dibuat dengan
cara kompresi.
*Kerugiannya adalah :
-terdiri dari gliserida asam lemak tidak jenuh yang cukup banyak
(asam oleat) yang merupakan penyebab terjadinya polimorfi,
-dengan pemanasan yang lewat tinggi akan terjadi penurunan titik
lebur
-untuk mengembalikan menjadi bentuk padat diperlukan waktu yang
lebih lama.
-Adanya banyak trigliserida juga menyebabkan minyak ini
mempunyai kemampuan menyerap air yang sangat rendah.
-Untuk memperbaiki kemampuan menyerap air ini dapat
58
ditambahkan sejumlah tertentu cera.
+Manurut Ravaud dalam suppositoria seberat 3 gram terdiri dari
3 % cera dapat ditambahkan 1 gram cairan.
+Penambahan 10% lanolin anhidrat, titik lebur menjadi 35 C
dan bisa ditambahkan cairan 0,5-0,6%.
+Diatas 10% lanolin masa menjadi lunak.
+Tambahan lain yang juga dapat digunakan adalah : Ca-oleat
3%, lecithin, cholesterol, garam-garam empedu, lanette
semuanya sebanyak 10%, memp. interval solidifikasi (titik
lebur - titik beku) yang agak panjang sehingga harus hati-hati
bila dipergunakan zat-zat yang tersuspensi.
59
2. Copraol (derivat minyak kopra),
-diperoleh dengan kompresi Cocos nucifera (koprahnya).
-Terdiri dari terutama gliserida asam miristat dan laurat dan
gliserida asam palmitat, oleat dan kaproat.
-Mempunyai titik lebur 24-37 C dengan titik beku 30 C.
-Mempunyai keuntungan dibanding dengan oleum cacao karena
mampu menyerap air lebih banyak (indeks air = 60)
61
c. Basis semi-sintetis
*produk yang komposisinya bermacam-macam
*dibuat mulai dari asam lemak jenuh atau gliserida minyak
vegetal yang dimurnikan, misalnya dengan cara esterifikasi
dengan gliserol atau PEG. Dari alkohol siklik yang
ditambahkan radikal asam lemak atau PEO (polietilenoksida).
*Dari alkohol asam lemak dengan menambahkan zat emulgator
supaya didapatkan sifat-sifat yang spesifik seperti : titik lebur,
hidrofili, stabilitas dan lain-lain.
62
Sebagai contoh adalah :
64
c. Suppocire (produksi Gattefosse).
+mempunyai komposisi yang mirip sebagai adeps solidus.
+Terdiri dari mono, di dan trigliserida asam lemak jenuh
asam kaproat (C-10) 6%
asam laurat (C-12) 40 %
asam miristat (C-16) 10 %
asam palmitat (C-16) 15 %
asam stearat (C-18) 28 %
asam oleat (C-18) 1%
65
d. Lain-lain/mirip
-Massupol yaitu trigliserida asam laurat ditambah sejumlah
kecil gliserol monostearat.
66
2. Basis alkohol asam lemak.
69
3. Basis hidrosoluble
*Pada umunya basis golongan ini lebih baik daripada basis lemak, karena
zat aktif akan langsung kontak dengan mukosa sehingga mudah
diabsorpsi.
Gel organik :
1. Gelatin-gliserin
Formula : I II III
Gelatin 13 10 10
Air 22 40 30
Gliserin 65 50 60
70
Pembuatan : gelatin + air + gliserin, dipanaskan diatas waterbath, setelah
mencapai 38 C, masukkan cetakan dan didinginkan.
72
2. DERIVAT PEG (polietilenglikol)
O-CH2)n-1 CH2OH
73
b. PEG.
HO O
O O OH
74
Zig-zag : polimer rendah
CH2 O CH2 OH
HO O
O O OH
75
Inkompatibilitas :
-PEG inkompatibel dengan sejumlah bahan yang dinyatakan dengan
berbagai reaksi :
+perubahan konsistensi,
+adanya warna,
+presipitasi.
Anionik :
-Mungkin terjadi presipitasi dengan larutan dalam air dari
(fenol, resorsinol dan fenobarbital);
-kemungkinan terjadi penaikan kelarutan (asam salisilat);
-perubahan konsistensi (suppositoria PEG dengan aspirin);
76
-mungkin pengurangan aktifitas obat (luminal) atau aksi
antiseptik (ester asam parahidroksibenzoat).
Antibiotika :
-beberapa antibiotika tetap aktifitasnya (kloramfenikol,
polimixin B, klortetrasiklina)
-beberapa lainnya menurun aktifitasnya (basithrasin, panisilina)
77
2.Ester sorbitan PEO (semua derivat PEO : tween, span,
brij, mirj dan lain-lain)
78
BAHAN TAMBAHAN PADA BASIS SUPPOSITORIA
*Viskositas
-Penggunaan basis yang terlalu cair pada suhu pembuatan
suppositoria dengan zat aktif yang tidak larut dapat menyebabkan
sedimentasi sehingga:
Pembagian obat yang tidak merata dalam lot fabrikasi,
sehingga terjadi ketidak seragaman dosis pada waktu
pengaliran medium kedalam cetakan.
Pengumpulan zat aktif pada dasar cetakan (pada ujung
suppositoria) jika proses sedimentasi terjadi pada waktu
pendinginan cetakan, walaupun dosis yang terkandung tiap
unit suppositoria sama.
79
*Maka dari itu basis yang ideal untuk menghindari hal-hal tersebut adalah
basis yang mempunyai sifat tiksotropi yang bisa membuat :
a. Suatu struktur tipe sol pada suhu pengadukan basis sebelum
dialirkan kedalam cetakan.
b. Suatu struktur tipe gel yang muncul cukup setelah pengaliran
medium kedalam cetakan.
80