Anda di halaman 1dari 80

SUPPOSITORIA

*Suppositoria: sediaan farmasi yang mempunyai konsistensi padat atau


semi padat, mudah meleleh atau melarut dalam air/cairan, mempunyai
bentuk oval atau torpedo (yang cocok untuk pemakaian) yang
pemakaiannya dimasukkan rektum.

*perkembangan:
-dahulu untuk terapi lokal (laksatif, anti-hemoroid, antiseptik dll)
-berkembang untuk terapi sistemik.

*Semula pemakaiannya dalam bentuk sederhana misalnya dengan


mencampur bahan tumbuh-tumbuhan dan sabun yang jika dipergunakan
secara rektal dimaksudkan untuk menstimulasi refleks dari defeakasi.

*Sejak penemuan oleum cacao oleh Baume maka suppositoria mulai dapat
dibentuk menurut yang kita kehendaki.
1
Keuntungan dibuat suppositoria
*memungkinkan untuk terapi general atau sistemik.
*Karena diberikan secara rektal, beberapa obat dapat diabsorpsi
secara cepat dan masuk ke sirkulasi darah secara cepat pula,
--misalnya : KJ, salol, antipirin, lebih cepat diabsorpsi lewat
suppositoria daripada lewat oral sehingga cara ini dapat pula
digunakan dosis yang mirip dengan per oral.

2
Aksi suppositoria
Mekanik : misalnya : laksatif.
1. Didasarkan adanya benda asing dalam rektum sehingga mendorong
eksitasi mekanik dari mukosa.
2. Dengan suppositoria sangat higroskopik dengan basis gelatin-gliserin
atau Na-stearat gliserin, maka reaksi didasarkan atas osmosa, karena
suppositoria menyerap banyak air dalam rektum sehingga menaikkan
eksitasi.

Aksi topikal : dilakukan terhadap mukosa dengan bermacam-macam


substansi, misal vaso konstriktor, antiinflamasi pada haemoroid dan
anthelmentiasis intestinal.

Aksi sistemik/general walaupun tidak bisa 100% menghindari barier


hepatik, namun dapat diperoleh dalam beberapa hal aksi yang lebih
cepat dari peroral bahkan ada yang sama cepat dengan cara
parenteral.

3
Pemberian obat secara rektal mempunyai keuntungan a.l.:
1. Menghindari obat dari aksi enzim pencernakan untuk obat-obat
yang peka terhadap enzim (misal : K atau Na-bensilpenisilinat)
2. Obat-obat yang mengiritasi mukosa lambung dapat diberikan
bahkan pada konsentrasi yang tinggi (mis: sulfamid, aspirin,
fenilbutason dll)
3. Obat yang mempunyai bau dan rasa yang tidak enak kalau dipakai
peroral (misal : kreosot)

*faktor yang mempengaruhi absorpsi obat perrektal (suppositoria)


-sifat kimia-fisika dari eksipien atau basisnya, mulai dari sejak
pemakaian melalui rektum sampai penyerapannya.
-sifat kimia fisika obatnya

4
Absorpsi suppositoria
*beberapa obat secara rektal diabsorpsi lebih cepat d.p. secara oral.
*atropin, kloralhidrat, metilenblue, morfin, Na-salisilat akan
diabsorpsi lebih cepat bila diberikan secara rektal, sehingga
dosisnya dapat disesuaikan dengan secara oral.
*Absorpsi sediaan oral dan rektal bila dibandingkan dengan
menggunakan data urin, maka Na-salisilat dan aspirin mempunyai
kemanfaatan hayati yang sama pada pemberian oral maupun rektal.
Aspirin akan dilepaskan lebih cepat dari basis suppos. yang dapat
campur dengan air daripada kalau menggunakan basis berlemak.

*Faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dari suppositoria


-fisiologi anorektal,
-basis suppositoria,
-pH pada tempat absorpsi,
-pKa obat,
-derajat ionosasi dan kelarutan dalam lemak.

5
*Kinetika pembebasan zat aktif dari sediaan rektal
-peleburan atau desagregasi,
-zat aktif berada dalam keadaan tersuspensi.
-adanya proses disolusi (dipengaruhi kadar + viskositas)
-zat aktif dalam keadaan larutan
-pengaruh koefisien partisi, zat aktif akan dibebaskan
-siap untuk diabsorpsi.

*absorpsi rektal meliputi 3 tahap :


1. Pelelehan bentuk sediaan karena temperatur badan.
2. Difusi zat aktif dari basis yang meleleh. Dalam hal ini viskositas dan
koefisien partisi sangat berpengaruh.
3. Penetrasi dari zat aktif yang larut lewat sel epitel dari mukosa
membran. Hal ini tergantung dari sifat fisika-kimia zat aktif.

6
Gambar 1 : Langkah-langkah absorpsi rektal.
(Trublin, 1976)

7
*Absorpsi
-proses yang lebih cepat d.p. difusi obat dari basis ke cairan rektal.
-difusi obat kepermukaan absorpsi mempunyai kecepatan yang
terbatas dalam absorpsi rektal.
-pelepasan obat dari suppositoria tgt. pd sifat fisika-kimia basis.

Faktor-faktor fisika tersebut meliputi :


1. Ukuran partikel obat.
2. Pengaruh surfaktan pada cairan mukosa yang dikeluarkan di sekitar
permukaan absorpsi.
3. Ikatan obat dengan basis.

*Menurut Ravaud:

obat lewat vena haemorroidal bg bawah dan tengah dari rektum ke


vena ileal vena cava inferior jantung tanpa lewat hati.
8
Gambar 2: Skema sirkulasi disekitar rektum
(Ravaud, 1936)
9
*dapat dimengerti kalau obat mudah didestruksi oleh hati, akan lebih aktif
diberikan per rektal dp per oral.

*beberapa penelitian mengatakan bariere hepatik tidak dapat dihindarkan


secara keseluruhan dengan cara per rektal.

*Rektum terdiri dari 2 bagian,


-bagian ujung sekitar 5-6 cm (ditemukan sphincter)
-bagian atas disebut ampul rektal.
-dua bagian tersebut dipisahkan oleh otot anus.

10
Gambar 3 : Skema rektum
(Trublin, 1976)

11
*Perbandingan obat lewat di sirkulasi umum dan vena portae
Bucher dg supp Na-fosfat yang radioaktif menemukan bahwa
berdasarkan posisi dalam tidaknya suppositoria dalam rektum, maka
kadang-kadang ada sekitar 75% bahan radioaktif dalam sirkulasi
umum dan 25% dalam vena portae, atau kadang-kadang terdapat
perbandingan 50% - 50%

12
*Proses pelepasan z.a. dari suppositoria dengan basis sebagai berikut :

suppositoria

desa regasi
g
zat aktif dalam ba- zat aktif dalam bentuk
sis suppositoria suspensi dlm basis supp

Cs disolusi

zat aktif yang larut


Co dalam basis
Cp pembebasan
Cp pembebasan

zat aktif bebas zat aktif bebas


dalam medium dalam medium

Co = kadar semula dlm basis. Cp = koefisien partisi basis-medium


Cs = koefisien kelarutan. = viskositas (basis+zat aktif)
13
*Pembebasan z.a. dari supp. tgt faktor:
1. Konsentrasi mula-mula zat aktif dalam basis (Co)
2. Kelarutan zat aktif (Cs) dalam basis dan dalam medium.
3. Koefisien partisi zat aktif dalam basis-medium
4. Viskositas (basis+zat aktif)

14
Untuk mengetahui pelepasan z.a. dari basis suppositoria
-in-vivo
-in-vitro.

Beberapa cara penetapan secara in-vivo misalnya :


1. Suatu determinasi yang biasanya dilakukan pada kelinci yang
mengamati respons biologik. Misalnya saja karena pemberian obat
dengan bermacam-macam basis suppositoria (metoda Charonnat)
atau waktu latent sebelum terlihat adanya efek fisiologik (metoda
Neuwald).
2. Determinasi pada manusia, yaitu jumlah obat/zat aktif dalam
plasma setelah pemberian obat dalam suppositoria dengan
bermacam-macam basis suppositoria atau determinasi dari obat
dalam organ-organ tertentu dengan menggunakan obat yang dilabel
dengan radioaktif.

15
Beberapa cara penetapan secara in-vitro misalnya:
1. Metoda difusi pada gelose menggunakan piring petri dengan
diberi gelose untuk pembiakan bakteri tertentu sebagai standar.
Suppositoria yang berisi obat antibakteri dengan bermacam basis
dipotong, diletakkan diatas biakan tersebut dan diamati adanya
hambatan pertumbuhannya diketahui pelepasan obat tersebut.
2. Metoda difusi dalam air 37 C. Dengan menetapkan jumlah zat aktif
yang terlarut dalam air pada suhu 37 C yang diaduk dan ditetapkan
dengan interval waktu tertentu.
3. Dengan cara dialisa dengan mempergunakan membran cellophan
semipermeabel. Metoda ini menunjukkan hasil yang sangat baik
karena mirip dengan hasil pelepasan secara in-vivo yang didapat
dari berbagai formula suppositoria terutama dengan thiazinamin
dan indomethazin. Alatnya terdiri dari sel dialisa bentuk silindris
yang dicelupkan dalam air 37 C yaitu dengan termostat. Sirkulasi
dilakukan dengan pompa peristaltik.

16
*Penetapan kadar zat aktif dalam larutan dilakukan pada interval waktu
tertentu. Kinetika kecepatan pelarutan fungsi waktu dari zat aktif dapat
digambarkan.

Gambar 4 : Sel dialisa


(Kerkhoffs dan Huizinga, 1971)
17
4. Dengan mengalirkan cairan pada volume tertentu melalui
suppositoria yang ditempatkan dalam tabung dengan kecepatan
tertentu atau ditempatkan dalam basket yang berputar, kemudian
cairan dianalisis tiap interval waktu tertentu.

5. Setnikar dan Fantelli menggunakan silinder gelas yang berisi air


dengnan suhu 37 C berputar mengelilingi sepanjang kantung
dialisa selulosa yang berisi suppositoria kemudian ditentukan saat
pencairannya atau pelelehannya. Jumlah zat yang terlarut dalam
medium fungsi waktu (menit) secara in-vitro dan in-vivo dapat
digambarkan sebagai berikut :

18
C C

menit menit
Metoda in-vitro Metoda in-vivo

19
*kecepatan pelarutan obat dalam supp. in-vitro, dibagi menjadi 5 tipe:
1. Suppositoria diletakkan dalam labu atau gelas piala. (Wagner,
1971)
2. Menggunakan alat kecepatan pelarutan tablet yang didalam labu
terdapat basket kawat yang berputar sebagi tempat suppositoria
(Parrott, 1975)
3. Menggunakan membran yang dipasang antara ruang yang berisi
suppositoria dan reservoir (Carb, 1980)
4. Menggunakan kantung dialisa atau membran biasa, (Plaxo, 1967)
5. Menggunakan sistem aliran dimana suppositoria ditempatkan
diatas kawat kasa (Riegelman, 1958)

20
*Sebelum zat aktif diabsorpsi, maka pada umumnya sediaan suppositoria
atau massanya akan mengalami pelelehan terlebih dahulu.

*Untuk mengetahui suhu pelelehan massa atau sediaan suppositoria ini


dapat dilakukan dalam beberapa metoda, yaitu:

1. Pengukuran suhu leleh atau titik lebur dari massa suppositoria.


Metoda tube kapiler U (USP XVIII, 1970). Masa suppositoria
dimasukkan kedalam tuba kapiler U, yang dilengkapi dengan
termometer yang menempel pada tube kapiler U. Metoda ini
sangat tepat untuk masa suppositoria dengan zat aktif yang larut.

21
Gambar 5 : Tube kapiler U
22
Pengaruh suhu leleh (desagregasi) dari suppositoria pada 37 C

a. Metoda Munzel (Farmakope Helvetika).

Gambar 6 :Pengukur suhu leleh (Munzel)


23
b. Metoda Krowczynski. Dengan metoda ini suppositoria didapatkan dalam
kondisi relatif yang hampir sama dengan rektum.
c.

Gambar 7 : Pengukur suhu leleh (Krowczynski)


24
c. Metoda Setnikar-Fantelli. Metode ini mendekati kondisi rektum,
dimana suppositoria diletakkan dalam kantong membran selofan.

Gambar 8 : Pengukur suhu leleh (Setnikar-Fantelli)


25
d. Metoda
Erweka. Suppositoria diletakkan dalam tempat dibawah beban
dimana ruangan tersebut mempunyai suhu 37 C

Gambar 9 : Pengukur waktu leleh. (Erweka tipe SBT)

26
KECEPATAN PELARUTAN

Difinisi:
1. Jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium
tertentu sebagai fungsi waktu.

2. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan
farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk
sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium.

3. Dalam hal suppositoria ini tentunya bisa diartikan sebagai mass-


transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan
obat dari sediaan suppositoria kedalam medium penerima.

27
Faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan:

1. Faktor kimia-fisika zat aktif.


a. Faktor yang mempengaruhi kelarutan :
1. Polimorfi.
2. Zat padat yang berupa asam/basa atau garamnya serta pengaruh
pH medium.

b. Faktor yang mempengaruhi luas kontak muka padatan cairan:


1. Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel zat padat.
2. Luas kontak muka atau luas permukaan spesifik zat padat (S)

28
2. Faktor alat yang digunakan dan kondisi percobaan.
Pada prinsipnya terdiri dari :

a. Sistem pengadukan
1. Sistem pengadukan dalam
a. Sediaan farmasi masuk kedalam pengaduk dan ikut berputar.
b. Sediaan farmasi berada didalam wadah dan diluar pengaduk.
c. metoda Huizinga yang mengisolasi sediaan suppositoria agar
tidak tersebut keseluruh medium, tetapi cukup zat yang
terlarut saja yang tersebur merata keseluruh medium.

2. Sistem pengadukan luar


cairan medium akan bergerak karena adanya perputaran dari
wadahnya.

29
3. Sistem aliran berkesinambungan.
gerakan dari cairan medium disebabkan adanya suatu pompa
(pompa peristaltik)
4. Sistem yang merupakan gabungan dari sistem pengadukan
luar dan sistem pengadukan berkesinambungan.

b. Suhu medium
pangaruh suhu terhadap kecepatan pelarutan cukup besar. Apabila
suhu naik, maka tenaga gerak molekul-molekul zat padat semakin
besar, sehingga menyebabkan lebih mudahnya terjadi proses difusi
melalui lapisan film kedalam larutan sehingga kecepatan pelarutan
semakin besar

30
c. Kondisi cairan medium.
1. jika tidak dikatakan lain maka cairan medium yang dipakai
adalah yang paling sederhana yaitu air.
2. juga dipakai HCl 0,1 N, medium yang sesuai dengan pH
lambung, cairan lambung buatan dan cairan yang komposisinya
lebih kompleks. Kondisi cairan medium harus dalam keadaan
sink.

d. Bentuk labu.
Perlu diperhatikan bentuk labu beserta pengaduknya sehingga
menghasilkan hidrodinamika yang baik. Selain itu perlu juga
menyesuaikan daya tampungnya.

31
3. Formulasi.
Formulasi untuk sediaan suppositoria dimulai dari pemilihan zat aktif
yang sesuai baik sifat fisika, kimia maupun farmakologinya, kemudian
pemilihan basis, selanjutnya disusun dan dipilih formulanya dan metoda
yang cocok. Setiap langkah dari proses ini dapat berpengaruh pada
kecepatan pelarutan.

4. Faktor-faktor lain
Yang tidak dapat dimasukkan dalam kelompok diatas:
-bentuk sediaan,
-lama penyimpanan,
-cara penyimpanan,
-jarak pengaduk dengan labu.

32
*Cara mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan:

1. Metoda klasik.
Metoda ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada
waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90 dsb. Karena
dengan metoda ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang
terjadi diluar titik tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan
jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

33
2. Metoda Khan.
Metoda ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution effeciency
(DE) pada waktu tertentu.
t
Y dt
0
DE = x 100%
Y100.t

dimana : t
Y dt = luas daerah bawah kurva waktu t
0

Y100.t = luas bidang pada kurva yang menunjukkan semua


zat aktif telah terlarut pada waktu t.

34
Keuntungan menggunakan metoda DE adalah :
a. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud
dengan satu harga DE
b. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in-vitro dan in-
vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara
penggambaran percobaan in-vivo.

35
3. Metoda linearisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan :
a. Persamaan Wagner.
Metoda ini berdasarkan asumsi sebagai berikut :
1. Kondisi percobaan harus dalam keadaan sink, yaitu Cs >>>C
2. Proses pelarutan mengikuti reaksi orde I
3. Luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi
waktu
4. Kondisi proses pelarutannya non-reaktif

Persamaan Wagner adalah sebagai berikut :


100 (W - W)
ln ----------------- = A - k.t
W
dimana :
W~ = bobot zat padat tertinggi yang dapat terlarut
W = bobot zat padat yang terlarut pada waktu t
k = tetapan kecepatan pelarutan
36
t = waktu
A = tetapan yang mengandung faktor-faktor kelarutan, luas permukaan
spesifik dan tetapan kecepatan pelarutan pada awal proses (to)

37
b. Persamaan Kitazawa.
Metoda ini mirip dengan persamaan Wagner, hanya saja disini
berdasarkan asumsi bahwa
1. harga luas permukaan spesifik (S) tetap
2. Kondisi percobaan dalam keadaan sink
3. Terdapat gradien konsentrasi (Cs-C)

Persamaan Kitazawa adalah sebagai berikut :

100 (W - W) k.t
log ------------------ = 2 - --------
W 2,303

38
c. Persamaan Weibull
log - [ln(1-m)] = b log (t-Ti) - log a

dimana :
a = parameter skala, yaitu skala waktu pelarutan, harganya
tertentu, jika log-[ln(1-m)]= 1
b = parameter bentuk kurva dan merupakan angka arah
persamaan garis lurus, jika b < 1
bentuk kurva eksponensial, jika b > 1 bentuk kurva sigmoid.

39
BASIS SUPPOSITORIA

Klasifikasikan basis supp. : basis lemak : hidrofob


hidrofil
basis hidrosoluble

Basis lemak : terdiri dari bermacam-macam lemak natural dalam keadaan


murni, minyak-minyak hidrokarbon, lemak campuran dari hasil sintesa
seperti mono, di dan tri-gliserida asam lemak.

Lemak hidrofob : yang sama sekali tidak larut dalam air (misalnya oleum
cacao)

Lemak hidrofil : tidal larut dalam air, jisalnya oleum cacao ditambah
lanolin, campuran gliserida dengan indeks hidroksil yang tinggi.

40
Basis hidrosoluble : macam-macam campuran gelatin-gliserin dan PEG
(polietilenglikol) derivat p.e.o. (polietilenoksida).

*Dalam fabrikasi suppositoria, basis supositoria diharapkan mempunyai


sifat sebagai berikut :
1. meleleh pada suhu badan dan melarut atau terdispersi dalam
sekret/cairan rektum.
2. secara fisiologis inert, artinya bebas dari aksi terapi, kecuali kalau
dimaksudkan untuk suppositoria laksatif.
3. bebas dari toksisitas terutama tidak mengiritasi mukosa rektum dan
mempunyai sifat lemah pada perabaan.
4. Dapat mempertahankan konsistensi pada suhu penyimpanan dan
tetap stabil selama penyimpanan.
5. Pada pembuatan baik dengan pelelehan maupun dengan cetak
tekan dapat mempunyai bentuk yang baik dan tidak menempel
dinding cetakan.
6. Kompatibel dengan obat yang ditambahkan.

41
7. Dapat menyebarkan atau me-repartisi obat secara homogen jumlah
obat yang ada baik dalam suppositoria pada lot fabrikasi yang sama
maupun untuk semua lot, dengan dapat menghindari fenomena
sedimentasi.
8. Dalam keadaan tertentu mampu menyerap obat dalam larutan air.
9. Dalam hal dimaksudkan untuk aksi sistemik, harus dapat
membebaskan obat dengan cepat dan sebanyak mungkin untuk
keperluan penyerapan obat
10. Bila yang dikehendaki aksi lokal, harus dapat membebaskan obat
secara lambat supaya dapat memberikan prolonged action in situ

Cat: Tidak ada basis suppositoria atau eksipien yang dapat memenuhi
syarat tersebut keseluruhan. Untuk memperbaiki ketidaksempurnaan
tersebut dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan tambahan
yang spesifik terhadap persyaratan yang dikehendaki.

42
SIFAT EKSIPIEN YANG BERPENGARUH PADA AKTIVITAS
TERAPI

*secara in-vitro maupun in-vivo dapat diketahui peraran sifat kimia-fisika


eksipien thd pelepasan obat yg kontak dengan mukosa rektum.
1. Kemampuan melarutkan dari eksipein terhadap zat aktif.
2. Sifat pada waktu melebur, terutama kecepatan melebur dan
dispersinya (membentuk larutan)
3. Hidrofili, untuk jenis-jenis eksipien lemak dengan adanya grup
OH- bebas yang ada pada mono dan digliserida.
4. Sifat autoemulsi, artinya sifat mudah dan cepatnya teremulsi dalam
air/sekret pada rektum.
5. Viskositas dan juga tendensinya membentuk gel yang kurang lebih
rigid/kaku dalam tektum.

43
Ad 1 : -Kecepatan obat yg dibebaskan dan diserap oleh mukosa langsung
berbanding dengan kelarutan obat dalam eksipien (koefisien partisi
obat antara eksipien dan sekret rektum).

Ad 2 : Dari sifat pada peleburan basis suppositoria, pengaruh yang paling


jelas pada kecepatan difusi zat aktif adalah titik lebur dan kecepatan
lebur dari basis suppositoria.

Titik lebur : Bahan lemak yang dipergunakan sebagai eksipien dalam


fabrikasi suppositoria dapat dikarakterisasi dengan 3 tipe titik lebur :
a. Titik lebur asenden : suhu dimana lemak yang diisikan kedalam
suatu kolon kapiler menaik karena dorongan air dari pengangas.
b. Ttitik lebur cair : suhu dimana bahan mulai menca-ir/mangalir.
c. Titik lebur jernih : suhu dimana bahan tersebut berubah menjadi
tranlusid.
44
Selain itu dapat juga dikarakterisasi dengan titik tetes.
*Seperti telah diketahui bahwa eksipien lemak untuk suppositoria harus
melebur pada suhu dibawah suhu yang biasa terdapat pada rektum (36,2 -
37,6 C menurut Setnikar dan Fantelli) supaya zat aktif dapat berdifusi
dengan mudah pada rektum dan lalu diabsorpsi oleh mukosa.

*Neuwald dan kawan-kawan meneliti pengaruh titik lebur dari


suppositoria terhadap efek fisiologis dari zat aktif (Natrium
heksobarbital) diberikan kepada kelinci. Efek fisiologis yang dimaksud
adalah :

1. Binatang menjadi sulit menggerakkan anggota belakang.


2. Binatang menjadi sulit menggerakkan anggota depan.
3. Tendensi binatang tersebut membiarkan kepala jatuh kebawah.
4. Tendensi binatang tersebut membiarkan jatuh bagian decubitus
lateral.
45
Hasilnya adalah sebagai berikut :

Waktu (menit)
Eksipien Ttk.lbr(C)
I II III IV

Ol.cacao 32,0-32,5 3,75 4,3 5,2 5,85


Witepsol H 35,5-36,0 4,8 5,7 6,7 7,8
Witepsol E 36,5-37,0 7,3 8,0 8,8 10,0
Witepsol 39a 38,5 17,0 18,0 19,0 20,0
Witepsol ES 42,5-43,0 tak terlihat efeknya.

46
*Makin tinggi titik lebur eksipien makin lama efek fisiologis yang terlihat.

*Ketika titik lebur jauh dari suhu badan binatang tersebut, tidak terlihat
adanya efek fisiologisnya.

*difusi melalui membran pada suhu yang berbeda dipengaruhi:


-titik lebur cair
-titik lebur jernih
-suhu +3
-interval lebur/jarak lebur

47
% procain setelah 90 menit

suhu (C)
Eksipien jarak
t.l.cair t.l.jernih t.l.jernih+3 lebur

Ester as.lmk +glis. 31,6 (12%) 31,8 (66%) 34,8 (75%) 0,2
Oleum cacao 32,5 (1%) 34,1 (72%) 37,1 (63%) 0,6
Est.as.lmk +glis. 34,9 (5%) 36,8 (50%) 39,8 (68%) 1,9
Pentaeritriol 31,5 (1%) 36,3 (63%) 39,3 (70%) 4,8
Imhausen 35,5 (7%) 48,5 (30%) 51,5 (50%) 13,0

48
*Dari grafik dapat dinyatakan bahwa karakteristik lebur dari eksipien
lemak tidak mempunyai pengaruh yang banyak terhadap difusi zat aktif
yang lipofil (piramidon)

%
80
60
40
20
(OC)
28 30 32 34 36 38

49
Kecepatan lebur eksipien

*zat aktif dari suppositoria yang berada pada mukosa rektum hanya
terdifusi bila suppositoria meleleh total setelah kontak dengan mukosa.

*dipengaruhi oleh interval pelelehan terutama jika dimaksudkan untuk


aksi sistemik.

*Penentuan waktu pelelehan sebaiknya tidak hanya untuk eksipien murni


saja tetapi juga masa suppositoria (eksipien + obat).

*Metoda yang dibuat oleh Setnikar dan Fantelli bisa digunakan untuk
eksipien liposoluble maupun hidrosoluble.

50
Ad 3 : Pengaruh hidrofili, yang ditetapkan dengan adanya OH bebas.
Pengaruh ini tidak tetap.

-percobaan dengan procaiN klorhidrat dan piramidon menunjukkan


bahwa penambahan gugus OH pada eksipien menurunkan difusi zat
aktif yang hidrosoluble,

-sebaliknya sedikit pengaruhnya terhadap zat aktif liposoluble.

-Tetapi Neuwald menemukan sebaliknya dimana natrium


heksobarbital diresorpsi lebih cepat pada kelinci dengan
menggunakan eksipien dengan indeks hidroksil yang tinggi.

51
Ad 4 : Pengaruh emulsif. Pada umumnya emulsif mempunyai pengaruh
terhadap difusi zat aktif dari suppositoria terutama adalah nilai HLB
dan jenis surfaktan serta konsentrasi.

-Pada suppositoria dengan aminofilina, surfaktan dengan HLB <11


agaknya tidak banyak berpengaruh

-diatas harga HLB tersebut penaikan kecepatan difusi tersebut sangat


jelas.

-Dengan kloralhidrat-ephedrin harga tersebut berkisar 9 dan


mempunyai kelakuan yang sama dengan aminofilina.

-Jenis surfaktan seperti derivat sorbitan kurang banyak pengaruhnya


dibandingkan PEG, ester asam lemak, eter alkohol asam lemak

52
-Konsentrasi mempunyai pengaruh sebagai berikut :
+pada suppositoria sulfisoksasol dengan oleum cacao, maka jika
konsentrasi surfaktan sangat rendah kecepatan difusi akan naik
dengan jelas.

+Jika konsentrasi surfaktan dinaikkan kecepatan difusi tidak lagi


proporsional bahkan pada suatu konsentrasi kecepatan difusi
akan sangat dikurangi.

53
Percobaan toleransi

*Beberapa eksipien yang dapat menyebabkan aksi iritasi pada mukosa


rektum, yang ditandai adanya perasaan membakar dan adanya dorongan
suppositoria. Beberapa zat aktif atau campuran zat aktif dapat pula
merupakan penyebab dari rasa tersebut sehingga dalam formulasi bahan-
bahan yang dipakai dapat diperkirakan terlebih dahulu.

*Duchene-Marullaz pernah menunjukkan adanya iritasi tersebut dengan


percobaan pada binatang (anjing).

*Ternyata ada korelasi antara formula dengan hasil percobaan tersebut.

*Sebagai contoh ditunjukkan adanya iritasi aspirin pada mukosa rektum


yang ternyata diperkuat adanya antihistamin dan ephedrin.

*Percobaan pada anjing dilakukan sebagai berikut :


54
-Sejumlah binatang dibagi dalam beberapa lot masing-masing dengan
3 binatang

-dipergunakan 4 suppositoria tiap hari selama 10 hari.

-Adanya touble (rasa terdorong dari suppositoria dan lebih sering


adanya diarhe) dicatat dan diadakan evaluasi.

-Ketidak toleransian komplit akan tercatat gejala-gejala tersebut sejak


hari pertama untuk ketiga anjing tersebut sehingga akan didapatkan
skore 30.

55
BASIS SUPPOSITORIA

Basis suppositoria dapat dibagi 3 jenis :


1. Basis lemak/lipofil.
2. Basis teremulsi.
3. Basis hidrosoluble/hidrofil.

Note: Sebenarya sulit dibedakan antara basis lipofil dan teremulsi


mengingat banyak bahan lemak yang karena komposisinya
mempunyai sifat sebagai emulgator atau memang kedalamnya
ditambahkan emulgator atau surfaktan.

56
1. Basis lemak/lipofil.
a. Lemak alami murni :
1. Oleum cacao,
-diperoleh dari penekanan panas dari Theobroma cacao.
-Terdiri dari trigliserida jenuh dan tidak jenuh, yaitu :
trigliserida jenuh 2,6 %
oleo palmitin 3,7 %
oleo palmitostearin 57,0 %
oleo distearin 27,2 %
palmito diolein 7,4 %
sterodiolein 5,8 %
triolein 1,1 %

57
*Keuntungan paling banyak dari oleum cacao:
-karena karakteristik pelelehannya bagus,
-membebaskan dengan mudah zat aktif didalam rektum sehingga
banyak memberikan efektifitas pengobatan yang optimum.
-karena mudah patah pada suhu rendah, maka mudah dibuat dengan
cara kompresi.

*Kerugiannya adalah :
-terdiri dari gliserida asam lemak tidak jenuh yang cukup banyak
(asam oleat) yang merupakan penyebab terjadinya polimorfi,
-dengan pemanasan yang lewat tinggi akan terjadi penurunan titik
lebur
-untuk mengembalikan menjadi bentuk padat diperlukan waktu yang
lebih lama.
-Adanya banyak trigliserida juga menyebabkan minyak ini
mempunyai kemampuan menyerap air yang sangat rendah.
-Untuk memperbaiki kemampuan menyerap air ini dapat

58
ditambahkan sejumlah tertentu cera.
+Manurut Ravaud dalam suppositoria seberat 3 gram terdiri dari
3 % cera dapat ditambahkan 1 gram cairan.
+Penambahan 10% lanolin anhidrat, titik lebur menjadi 35 C
dan bisa ditambahkan cairan 0,5-0,6%.
+Diatas 10% lanolin masa menjadi lunak.
+Tambahan lain yang juga dapat digunakan adalah : Ca-oleat
3%, lecithin, cholesterol, garam-garam empedu, lanette
semuanya sebanyak 10%, memp. interval solidifikasi (titik
lebur - titik beku) yang agak panjang sehingga harus hati-hati
bila dipergunakan zat-zat yang tersuspensi.

59
2. Copraol (derivat minyak kopra),
-diperoleh dengan kompresi Cocos nucifera (koprahnya).
-Terdiri dari terutama gliserida asam miristat dan laurat dan
gliserida asam palmitat, oleat dan kaproat.
-Mempunyai titik lebur 24-37 C dengan titik beku 30 C.
-Mempunyai keuntungan dibanding dengan oleum cacao karena
mampu menyerap air lebih banyak (indeks air = 60)

3. Derivat stearat dari minyak palm


-diperoleh dengan kompresi dari daging buah (seperti koprah)
dari beberapa species palm terutama Elaeis guinensis.
-Yang dipergunakan untuk suppositoria adalah minyak yang
telah dihilangkan cairannya.
-Terdiri terutama trigliserida asam palmitat, asam stearat.
-Diantara produk komersial dari golongan ini adalah Cebes (dari
Aarhus Denmark) atau Supponal. Keuntungannya : murah,
dapat menyerap cairan lebih banyak, sampai 50 %
60
b. Hidrogenated oil
*didapat dari minyak vegetal seperti : arachidis, coton, coco
dirubah dengan cara hidrogenasi.
*Konsistensi seperti asam stearat, stabil dan interval solidifikasi
nya pendek.
*Sebagai produk komersial dikenal : Suppositol (dari
hidrogenasi minyak coco). Minyak arachidis hidrogenasi :
berupa putih, hampir tak berbau. Terdiri terutama trigliserida
asam lemak jenuh (palmitat, stearat, arachidat) dan sejumlah
produk hidrogenasi dari gliserida asam oleat, linoleat.
*Titik lebur 35-36 C.
*Titik beku/solidifikasi 26 C (jadi interval solidifikasinya cukup
panjang).
*Basis ini baik untuk pembuatan suppositoria dengan cara
peleburan, tidak perlu diberi minyak pembasah karena
kemampuan kontraksinya bagus.

61
c. Basis semi-sintetis
*produk yang komposisinya bermacam-macam
*dibuat mulai dari asam lemak jenuh atau gliserida minyak
vegetal yang dimurnikan, misalnya dengan cara esterifikasi
dengan gliserol atau PEG. Dari alkohol siklik yang
ditambahkan radikal asam lemak atau PEO (polietilenoksida).
*Dari alkohol asam lemak dengan menambahkan zat emulgator
supaya didapatkan sifat-sifat yang spesifik seperti : titik lebur,
hidrofili, stabilitas dan lain-lain.

62
Sebagai contoh adalah :

1. Adeps solidus. (adeps naturalis/gliserida semisintetis).


-Dibuat dari esterifikasi asam lemak jenuh dengan panjang C
antara 10-18 dengan gliserol yang berlebih.
-Didapat campuran dari tri, di dan mono ester dari gliserol.
-dilakukan pemurnian dan desodorisasi.
-Adeps solidus berupa masa putih, dapat dipatahkan, hampir tak
berbau, tak berwarna, halus, waktu dipanaskan menjadi cairan
tak berwarna atau sedikit kuning.

Sebagai contoh adalah :


a. Witepsol (atau disebut Imhaysen/Witten).
+Banyak sekali variasi dari witepsol,
+mempunyai karakterisasi baik sifat kimia-fisika maupun
kompatibilitasnya terhadap obat dan untuk macam tujuan
pengobatan.
63
b. Estarinum.
+mirip dengan witepsol.
+Terdiri dari mono, di dan tri gliserida asam lemak jenuh
dengan jumlah C antara 12-18.
+Dimulai dari minyak palm dan kemungkinan ditambah
dengan monogliserida dari asam lemak jenuh sebagai
emulgator w/o.
+Penggunaannya didasarkan atas sifat-sifatnya seperti pada
witepsol.

64
c. Suppocire (produksi Gattefosse).
+mempunyai komposisi yang mirip sebagai adeps solidus.
+Terdiri dari mono, di dan trigliserida asam lemak jenuh
asam kaproat (C-10) 6%
asam laurat (C-12) 40 %
asam miristat (C-16) 10 %
asam palmitat (C-16) 15 %
asam stearat (C-18) 28 %
asam oleat (C-18) 1%

+Jenis suppocire bermacam-macam dan dikategorikan


seperti masse standard (perbedaan karena karakteristik
lebur),
masse hidrofil (perbedaan kemampuan menyerap air 10-
15 %),
masse special (perbedaan tergantung pada kondisi
formula).

65
d. Lain-lain/mirip
-Massupol yaitu trigliserida asam laurat ditambah sejumlah
kecil gliserol monostearat.

66
2. Basis alkohol asam lemak.

-Paling dikenal dengan nama Dehydag (produksi Henkel).


-Dibedakan dlm kelompok Dehydag I & II dan Dehydag G
-Dehydag I & II terdiri alkohol asam lemak spesial dan
lemak terhidrogenasi karena sifatnya yang dapat menyerap
air sampai 40 %, dapat untuk membuat suppositoria yang
terdiri dari bermacam-macam zat baik padat, semi-padat
maupun cair.

-Dehydag G : terdiri paling banyak adalah kondensasi


alkohol asam lemak dengan C 10-18. Didapat dari reaksi
Guebert. Terdiri dari surfaktan nonionik dari cera carnauba
pada konsentrasi rendah. Dengan berbagai perbandingan
komposisi akan didapat titik lebur yang berbeda menurut
kehendak kita.
67
2. Basis yang mempunyai kemampuan mengemulsi tinggi
Untuk menaikkan kapasitas absorpsi air atau mudahnya teremulsi dalam
cairan rektum, ditambahkan emulsifying agent. Menurut Vandenbussche :
I. Emulgator o/w :
Lecithin dari telur dan lecithin vegetal : 3-5 %
Trietanolamin stearat : 3-5 %
Na-stearat : 1 %
Na-laurilsulfat : 1 %
Tween-60 : 5 %

II. Emulgator w/o


Adeps lanae : 3 %
Cholesterol : 2 %
Setil alkohol : 5 %
Gliserol monostearat : 3 %
Gliserol monooleat : 3 %
Arlacel-C : 3 %
68
III. Emulgator kompleks/autoemulsi.
Lanette SX : 10 %
Glis. monostrt : PEG 400 monostrt (9:1): 10 %
Strl alkohol : PEG 400 monosrrt (9:1) : 10 %
Asam stearat : Na-stearat (4:1) : 10 %

69
3. Basis hidrosoluble

Basis ini dibagi dalam 2 golongan :


1. Gel organik : gelatin, pektin, agar
2. PEG.

*Pada umunya basis golongan ini lebih baik daripada basis lemak, karena
zat aktif akan langsung kontak dengan mukosa sehingga mudah
diabsorpsi.

Gel organik :
1. Gelatin-gliserin
Formula : I II III
Gelatin 13 10 10
Air 22 40 30
Gliserin 65 50 60

70
Pembuatan : gelatin + air + gliserin, dipanaskan diatas waterbath, setelah
mencapai 38 C, masukkan cetakan dan didinginkan.

*Kalau kita mempergunakan gelatin yang tidak mempunyai spesifikasi


tertentu, maka akan ada risiko inkompatibilitas.

*Kerugian ini dapat diatasi dengan menggunakan Pharmagel A & B yang


dipilih menurut pH substansi sehingga dipilih yang berlawanan muatan
dengan Pharmagel. Misalnya : borax yang dengan gliserin bereaksi asam
maka dipilih pharmagel A yang kompatibel dengan zat yang bersifat asam.
Secara umum pharmagel A digunakan untuk zat-zat yang bersifat kationik,
sedangkan pharmagel B untuk zat-zat bersifat anionik., asal variasi pH
tidak merubah karakteristiknya.

*Basis ini terutama digunakan untuk laksatif karena aksinya terhadap


peristaltik intestinal. Kekurangan basis ini antara lain :
71
Mempunyai aktifitas sendiri, adanya gliserin menimbulkan laksatif dan
iritan pada mukosa rektum
Konservasi/pengawetan sulit, karena merupakan kultur media terutama
Micrococcus roseus sehingga timbul warna rose/oranye dan jamur.
Digunakan chlorometoksilenol dan heksilresorsinol 0,1 %.
Tidak dapat campur dengan banyak obat dengan adanya gelatin (tanin,
garam-garam logam berat) dan gliserin (misalnya adanya borax,
inaktifasi penisilina)

72
2. DERIVAT PEG (polietilenglikol)

a. Postonal ND (Hoechst) merupakan polimerisasi

etilenoksida. n CH2 - CH2 HOCH2(CH2-

O-CH2)n-1 CH2OH

-Strukturnya menyerupai PEG-3500


-terdiri sebagian besar PEG 4000 dan sebagian kecil PEG 300 dan
PEG 6000.
-Basis ini jarang dipakai karena disolusi dalam cairan rektum lambat,
mengiritasi mukosa rektum, inkompatibel dengan banyak obat.

73
b. PEG.

HO O

CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 BM < 1000 : cair

CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 BM > 1000 : padat

O O OH

-larut dalam air dan pelarut organik klasik : alkohol, metanol,


aceton, kloroform dan lain-lain. Kelarutannya dalam air
tergantung strukturnya :

74
Zig-zag : polimer rendah

HO CH2 CH2 O CH2

CH2 O CH2 OH

Kelog : polimer tinggi (hidratasi rendah)

HO O

CH2 CH2 CH2 CH2 CH2

CH2 CH2 CH2 CH2 CH2

O O OH
75
Inkompatibilitas :
-PEG inkompatibel dengan sejumlah bahan yang dinyatakan dengan
berbagai reaksi :
+perubahan konsistensi,
+adanya warna,
+presipitasi.

Ada 3 tipe inkompatibel : dengan halogen, zat organik, antibiotika.

Halogen : KJ dengan PEG terjadi endapan.

Anionik :
-Mungkin terjadi presipitasi dengan larutan dalam air dari
(fenol, resorsinol dan fenobarbital);
-kemungkinan terjadi penaikan kelarutan (asam salisilat);
-perubahan konsistensi (suppositoria PEG dengan aspirin);
76
-mungkin pengurangan aktifitas obat (luminal) atau aksi
antiseptik (ester asam parahidroksibenzoat).

Antibiotika :
-beberapa antibiotika tetap aktifitasnya (kloramfenikol,
polimixin B, klortetrasiklina)
-beberapa lainnya menurun aktifitasnya (basithrasin, panisilina)

Zat-zat yang mirip PEG

1. Polimer campuran EO dan PO (propilenoksida)


contoh : pluronic
HO-(CH2-O-CH2)b- (CH2-O-CH2)a- (CH2-O-CH2)c - H
perbedaannya terletak pada proporsi a, b dan c.

77
2.Ester sorbitan PEO (semua derivat PEO : tween, span,
brij, mirj dan lain-lain)

3.Hidrosoluble : tylose, CMC, Sabun (Na-stearat)

78
BAHAN TAMBAHAN PADA BASIS SUPPOSITORIA

*Disamping basis yang telah disebutkan sebelumnya, kepada suppositoria


sering ditambahkan bahan lain yang terutama untuk menaikkan
viskositas, mencegah autooksidasi dan untuk pewarnaan.

*Viskositas
-Penggunaan basis yang terlalu cair pada suhu pembuatan
suppositoria dengan zat aktif yang tidak larut dapat menyebabkan
sedimentasi sehingga:
Pembagian obat yang tidak merata dalam lot fabrikasi,
sehingga terjadi ketidak seragaman dosis pada waktu
pengaliran medium kedalam cetakan.
Pengumpulan zat aktif pada dasar cetakan (pada ujung
suppositoria) jika proses sedimentasi terjadi pada waktu
pendinginan cetakan, walaupun dosis yang terkandung tiap
unit suppositoria sama.

79
*Maka dari itu basis yang ideal untuk menghindari hal-hal tersebut adalah
basis yang mempunyai sifat tiksotropi yang bisa membuat :
a. Suatu struktur tipe sol pada suhu pengadukan basis sebelum
dialirkan kedalam cetakan.
b. Suatu struktur tipe gel yang muncul cukup setelah pengaliran
medium kedalam cetakan.

Bermacam-macam bahan tambahan dapat dipergunakan untuk maksud-


maksud tersebut.

Diantaranya yang cukup efektif adalah :


-gliserol monosrearat,
-Al-monostearat,
-bentonit,
-aerosil.

80

Anda mungkin juga menyukai