Anda di halaman 1dari 28

JOURNAL READING

Resurgence of Diphtheria in North Kerala, India, 2016:


Laboratory Supported Case-Based Surveillance Outcomes

Pembimbing:
dr.Arsi Widyastriastuti, Sp.A

Oleh :
Raihana Zahra Ichsani
201620401011093

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RS BHAYANGKARA KEDIRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
Pendahuluan

Universal Immunization Program (UIP)/Program Imunisasi Universal


bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit yang
dapat dicegah vaksin / Vaccine Preventable Diseases (VPD) ke tingkat yang
tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Laboratorium yang mendukung surveilans VPD merupakan alat penting untuk


menyediakan informasi real-time mengenai kejadian VPD dan mengukur
kemajuan yang dicapai oleh program imunisasi.
Kerala meluncurkan surveilans VPD berdasarkan kasus yang didukung
laboratorium, termasuk difteri, dengan dukungan dari WHO pada bulan
April 2015.

Kasus yang dicurigai dilaporkan oleh jaringan pelapor baik fasilitas


kesehatan sektoral publik maupun swasta. Mekanisme telah diperkuat
untuk investigasi kasus, pelaporan, dan pengelolaan data

Sistem ini telah digunakan untuk penanganan kasus dan intervensi


kesehatan masyarakat yang efektif dalam menanggapi kasus dan wabah
difteri yang teridentifikasi.

Spesimen dikumpulkan dan dikirim ke laboratorium negara bagian dan


referensi untuk konfirmasi dan pengawasan molekuler
Sebagai bagian dari program nasional, peningkatan kapasitas dan penguatan sistem telah
dilakukan untuk dua laboratorium yang diidentifikasi di negara bagian Kerala untuk melakukan
diagnosis laboratorium mengenai difteri sesuai peraturan WHO  State Public Health Laboratory
(SPHL),Thiruvananthapuram, and Microbiology department at Government Medical College, Kozhikode.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

informasi epidemiologi yang dihasilkan melalui sistem

surveilans dan pemanfaatannya untuk tindakan.


Bahan dan Metode
 Analisis data surveilans yang tersedia dari sistem surveilans

VPD di negara bagian Kerala

 Sumber data membuat daftar pelaporan, formulir


penyelidikan kasus, dan laporan laboratorium

 Sesuai dengan standar protokol sistem surveilans VPD, kasus

dilaporkan melalui jaringan situs pelaporan.


Alur Penelitian

Data Daftar pelaporan, form investigasi kasus, laporan laboratorium


Surveilance dianalisis

Kasus diberi ID unik dan tidak ada informasi pribadi yang


digunakan untuk analisis
Tes Biokimia
Pengumpulan swab tenggorok Standar

Konfirmasi isolat Corynobacterium diphtheriae Tes ELEK

PCR Real Time


Isolat dikarakterisasi dengan seluruh genom - berbasis metode
pengurutan multilokus

Bentuk investigasi kasus dan hasil laboratorium dicatat secara


elektronik
Metode Laboratorium untuk Identifikasi Difteri

 Kultur swab tenggorokan diolah dan isolat yang diidentifikasi oleh kultur

menggunakan 5% agar darah domba dan Serum Tellurite agar. C. diphtheriae


koloni yang dikonfirmasi dengan tes Cystinase tumbuhnya koloni hitam dengan
lingkaran coklat pada agarTinsdale (DIFCO, USA).

 Spesies ini selanjutnya dikonfirmasikan dengan pengujian biokimia berdasarkan

pemanfaatan glukosa, dekstrosa, sukrosa, gula maltosa yang diikuti oleh uji
nitrat dan urease (Fisher Scientific, MA, USA)
Uji Toksisitas  Modified Elek’s Test
 Media agar Elek dengan serum bovine 20% bayi baru lahir  menguji dua

strain uji dan tiga strain kontrol pada satu plate.

 Strip antitoksin (500 U / ml, VINS Bioproducts Ltd., Hyderabad, India)

ditempatkan di tengah plate dan diinkubasi pada suhu 37° C selama 24 dan 48
jam

 Pada 24 jam menggunakan pelat sumber cahaya yang sesuai, diamati untuk garis

identifikasi precipitin antara strain uji dan strain kontrol positif kuat dan lemah.
Real – Time PCR Detection
 DNA diekstraksi menggunakan QIAamp DNA blood mini kit (QIAGEN,

Jerman).

 Gen target meliputi rpoB untuk C. diphtheriae, C. ulcerans, dan fragmen gen

toksa C. diphtheriae.

 Susunan reaksi PCR termasuk 95° C selama 10 menit; diikuti 45 siklus 95° C

selama 15 detik, dan 60° C selama 30 detik. C. diphtheriae Ct memotong nilai


positif (min 31,24 & maks 34,06), untuk C. ulcerans (min 28,96 & maks
31,12), dan untuk toxA (min 31,05 & max 35,03)
Whole Genome Sequencing-Based Multi-Locus Sequence
Typing (MLST)

 Seluruh DNA genom diekstraksi

 DNA yang dimurnikan  pembuatan library fragmens menggunakan Ion Plus

fragmen library kit (Ion Torrent; Life Technologies, USA). Rangkaian genetik

dilakukan dengan menggunakan rangkaian ION Torrent PGM (Thermo Scientific

Fisher Corp., AS) dengan 400 bp kimia.

 Urutan Baku dibaca dirangkai menggunakan alat SPAdes 5.0.0.0 yang disematkan

pada server torrent Ion.


 Profil rangkaian multi-lokus isolat diprediksi dari keseluruhan rangkaian genetik

oleh alat MLST 1.8 dari Center for Genomic Epidemiology server

 Lokasi alel Sequences Types (STs) yang tidak diketahui  PUBMLST.

 Analisis klon dari ST yang diidentifikasi dilakukan oleh perangkat lunak

eBURST
Hasil

 Setelah memulai surveilans VPD di Kerala, 533 kasus telah

diidentifikasi di 11 kabupaten pada tahun 2016

 Lonjakan pelaporan kasus Difteri dicurigai diketahui dari Mei

2016 dan jumlah keseluruhan 527 kasus terjadi pada periode 31


Mei 2016 sampai 30 November 2016

 Gambar 1 dan 2 (slide berikutnya) menunjukkan distribusi waktu

dan tempat dari 527 kasus ini.


 Kasus pertama, dilaporkan pada tanggal 31 Mei, berasal dari blok Tanur di

distrik Malappuram

 Segera setelah pelaporan kasus difteri meningkat di bagian utara Kerala dengan

jumlah kasus maksimum dari distrik Malappuram (n = 229) diikuti oleh


Kozhikode (n = 190), Kannur (n = 64), Wayanad (n = 16), Palakkad (n = 15),
Thrissur (n = 4), Kasargod (n = 3)

 Enam kasus dilaporkan dari tiga distrik di Kerala Selatan, masing-masing dua

dari Alappuzha, Ernakulam, danThiruvanant


 Gambar 2 menunjukkan kurva epi kasus Difteri untuk tiga distrik, Malappuram,

Kozhikode, dan Kannur, yang memiliki jumlah kasus tertinggi

 Kurva berbentuk lonceng khas diperhatikan Malappuram dan Kozhikode hampir

dimulai, mencapai puncak, dan menyusut pada saat bersamaan

 Kasus di Kannur dimulai 3-4 minggu kemudian dan menunjukkan beberapa

puncak dalam durasi waktu yang sama


Jumlah kasus positif untuk sampel yang diterima dari berbagai pusat ditunjukkan pada Tabel
4. Analisis MLST untuk isolat 21 C. diphtheriae dari SPHL, Trivandrum mengungkapkan
keragaman di antara STs. 9 STs ST-50, ST-295, ST-377, ST-405, ST-408, ST-466, ST-468,
ST-469, dan ST-470 terlihat di isolat, dengan mayoritas STs baru, ST-405 (n = 7) dan ST-
466 (n = 4), masing-masing. STs ST-50, ST-295, ST-408, ST-468, ST-469, dan ST-470
terlihat pada satu isolat masing-masing dan dua isolat milik ST yang tidak diketahui diajukan
untuk dimasukkan ke dalam C. diphtheriae PubMLST database.
Diskusi
 Total kasus difteri yang dilaporkan di Kerala 2016  92% di 3 distrik di Kerala
utara; Malappuram, Kozhikode, dan Kannur. Wabah di daerah ini bisa jadi karena
adanya rendahnya cakupan imunisasi. Laporan media menunjukkan bahwa
penerimaan vaksin adalah masalah yang diperhatikan di beberapa bagian
masyarakat di Kerala utara.
 Kurva epi, 22-48 minggu  setelah Malappuram  Kozhikode dan Kannur
sebagian besar terpengaruh
 Kurva epi Kozhikode hampir tumpang tindih dengan Malappuram  bagian
dari kejadian yang sama
 Kurva bergelombang Kannur mungkin disebabkan oleh beberapa eksposur
populasi rentan di kabupaten ini selama periode 25-43 minggu.
 Data surveilans  pergeseran kasus difteri pada remaja dan orang dewasa  bisa karena

rendahnya cakupan imunisasi di daerah tersebut atau berkurangnya imunitas setelah


infeksi alami atau vaksinasi sebelumnya

 Kesempatan untuk menyediakan layanan imunisasi untuk melindungi remaja dan orang

dewasa harus diwujudkan, seperti pada usia sekolah, usia kehamilan, dll

 Vaksinasi tetanus toxoid (TT) sudah menjadi bagian dari jadwal imunisasi untuk remaja

(10 dan 16 tahun) dan kehamilan wanita.

 Mengganti vaksinasi TT dengan vaksin Td (TT dan dosis rendah difteri toxoid) memiliki

potensi untuk memberikan perlindungan terhadap difteri pada program imunisasi (16).
 Distribusi kasus melalui jenis kelamin  pada usia sekolah (laki-laki >>

perempuan)  usia 18 tahun (perempuan >> laki-laki)

 Berdasarkan agama dari kasus difteri menunjukkan bahwa kebanyakan dari

mereka berada dalam komunitas Muslim (69%)

 Proporsi kasus difteri di kalangan umat Islam >> (Malappuram 83%,

Kozhikode 61%, dan Kannur 52%)


 Kasus difteri di Kerala  2016  cakupan DTP3  >85% (87% pada tahun

2007-2008 dan 93% pada tahun 2012-2013)

 3 distrik di Kerala yaitu; Malappuram, Kozhikode, dan Kannur  kasus difteri

2016  cakupan DTP3 masing-masing 89, 97, dan 95% sesuai dengan DLHS4.

 Muslim di daerah ini enggan memberikan vaksinasi kepada anak-anak mereka

 Pemerintah harus menargetkan intervensi (mencakup booster) dalam


meningkatkan penerimaan vaksin di kalangan umat Islam melalui keterlibatan
pemimpin agama, orang berpengaruh di masyarakat, dan institusi pendidikan.
 Konstitusi STAGI dan partisipasi kedua sektor publik / swasta secara efektif

mengambil tindakan tepat dan tepat waktu, seperti pemberian obat


chemoprophylaxis danTd, untuk mengurangi penyebaran difteri di masyarakat

 Keterlibatan Departemen Pendidikan sangat berperan dalam vaksinasi Td di

sekolah

 Difteria biasanya memiliki angka fatalitas kasus dalam kisaran 5-10%, namun

CFR yang lebih tinggi telah didokumentasikan di banyak bagian dunia. Wabah
difteri yang dilaporkan di Assam pada tahun 2015 mendokumentasikan 20%
CFR
 Wabah difteri  periode peningkatan keragaman genom organisme secara

bersamaan

 Investigasi terperinci mengenai informasi genom dari C. diphtheriae setelah

wabah akan membantu dalam menganalisis keragaman genetik dan dinamika


transmisi dari gen potensial yang terlibat dalam virulensi dan pengembangan
resistensi terhadap antimikroba
 Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi rangkaian generasi

berikutnya telah memungkinkan penyelidikan organisme yang cepat dan


terperinci dan membantu dalam mengidentifikasi klonalitas dan transmisi strain,
yang terlibat dalam infeksi

 Penerapan tipe metode yang tepat sangat penting tidak hanya pada investigasi

wabah untuk memantau evolusi dan penyebaran klon epidemi C. diphtheriae


tetapi juga dalam memahami dan memprediksi epidemi.
Kesimpulan
 Surveilans VPD  didukung o/ Laboratorium  alat penting untuk

menyediakan informasi real-time mengenai kejadian VPD dan melakukan


tindakan segera untuk mengurangi penyebaran dan angka kematian

 Data surveilans menghasilkan bukti tentang perubahan epidemiologi difteri yang

membantu program ini tidak hanya untuk mengambil intervensi yang


ditargetkan tetapi juga untuk merumuskan kebijakan vaksin
 Studi saat ini di Kerala menyoroti kebutuhan untuk memperkuat pengawasan

VPD yang didukung laboratorium di seluruh negara

 Selanjutnya, data surveilans molekuler Difteri yang dihasilkan melalui dukungan

laboratorium telah memberi wawasan tentang variasi strain dan pola transmisi

 Studi lebih lanjut mengenai mekanisme invasi, dinamika transmisi penyakit,

variasi regangan, dan struktur populasi C. diphtheriae diperlukan

 Difteri sebagai patogen yang muncul yang semakin penting di seluruh dunia,

sangat penting untuk melakukan tindakan yang tepat untuk mengendalikan


penyakit ini.
Terimakasih 

Anda mungkin juga menyukai