Zakira Utari 04020180349 Dyah Novita 04020180350 Fitriyani Naharuddin 04020180351 Widya Astuti Nur Astamah 04020180352 Sri Wahyuni 04020180355 A. Yasmine Safira Unayzah04020180356 Alfira Nurhapsari R. 04020180357 Andi Rifqah Azizah Dzaky 04020180358 A. FAKTOR INTERNAL MASYARAKAT Secara internal, ada sejumlah faktor yang memengaruhi terjadi pergeseran praktik hukum adat dalam pola-pola kehidupan masyarakat bahkan bisa lebih cepat lagi proses perubahan hukum adat, di antaranya sebagai berikut: 1. KESADARAN HUKUM MASYARAKAT Searah dengan gerak sejarah yang dahulu, kini, dan akan datang tentunya akan terjadi pergeseran praktik hukum adat dalam pola-pola kehidupan masyarakat. Ada yang mampu bertahan dan ada pula yang menghilang. Hukum adat yang mampu bertahan adalah bidang-bidang hukum yang bersifat privat dan sensitif, menyentuh wilayah-wilayah budaya serta keyakinan masyarakat. Dan, jika berbicara lebih kepada nilai kearifan, maka hukum adat sejatinya pantas tergerus oleh perbahan ruang dan waktu, yang berubah hanyalah praktik hukumnya saja. Saat ini masyarakat Indonesia berada di tengah perubahan sosial. Perubahan sosial yang terjadi memasuki suatu babak baru yang di kenal dengan modernisasi dan pembangunan. Demikian pula pergeseran yang terjadi dalam suatu Lebensraum masyarakat hukum adat beserta regulasi yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat tersebut mengindikasikan terjadinya deulayatisasi, baik di sebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Sementara yang bersifat netral, semata-mata berkaitan dengan urusan publik, tidak memiliki daya berlaku lagi. Di sini perlu di uraikan lagi bahwa niscaya akan terjadi pula perubahan sifat hukum dari sensitif menjadi netral apabila telah rontok seluruh jalinan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. A. FAKTOR INTERNAL MASYARAKAT Menurut perspektif sosiologis, hukum adalah hasil refleksi (filosofis) masyarakat terhadap pengalaman- pengalaman empirisnya yang terjadi pada masa lalu. Komunikasi intrasubjektif antar-anggota masyarakat, aksternalisasi dan internalisasi nilai-nilai atau norma-norma yang hidup saling menjalin membentuk lembaga (pranata) hukum dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Pengejawantahan nilai-nilai dalam suatu lembaga di sini di batasi pada lembaga hukum menjadi dasar bagi masyarakat untuk menaati lembaga yang bersangkutan, karena lembaga tersebut mengikat (bersifat normatif). Konsep di atas menjadi di anggap titik tolak tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Hukum menjadi patokan dalam bertingkah laku, sesuai dengan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum di artikan sebagai persepsi hukum dari seorang individu atau masyarakat terhadap hukum, sebagaimana SoerjonoSoekantomengkonsepsikan bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai- nilai yang terdapat di dalam diri manusia dan masyarakat tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang di harapkan ada. Penekanannya adalah pada sisi nilai-nilai atau tentang fungsi hukum, dan bukan pada penilaian hukum terhadap kejadian bersangkutan. Kesadaran hukum merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses. Konsepsi tersebut mengarahkan term “hukum” pada hukum yang berlaku dan hukum yang di cita-citakan (Ius Constitutum dan Ius Constituendum), meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Misalhnya, antara hukum Islam dan hukum adat dengan peraturan perundang-undangan. Walaupun kedua sistem hukum yang di sebutkan pertama tidak memiliki bentuk formal, kedua sistem hukum (lembaga) tersebut berlaku dan menjadi dasar pertimbangan masyarakat untuk menentukan tindakan-tindakan hukumnya. Tindakan hukum masyarakat tersebut, tidaklah berkaitan dengan perundang-undangan, tetapi dengan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jadi, masyarakat menjalankan atau menaati hukum bukan karena adanya paksaan melainkan karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri yang telah di internalisasikan. A. FAKTOR INTERNAL MASYARAKAT Dengan demikian, kesadaran hukum menjadi pedoman bagi penegakan hukum dan ketaatan hukum ( efektivitas hukum). Hal ini berarti bahwa kesadaran hukum masyarakat menjadi parameter utama dalam proses penataan hukum. Bukan karena rasa takut akan sanksi melainkan karena kesadaran bahwa hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sehingga hukum harus di taati. Ada melalui beberapa indikator yang masing-masing merupakan suatu proses penahapan dalam menentukan terbentuknya suatu kesadaran hukum dalam masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, yaitu:
A. Pengetahuan hukum (Law Awareness).
B. Pemahaman hukum (Law Acquaintance). C. Sikap hukum (Legal Attitude). D. Pola perilaku hukum (Legal Behavior).
Pengetahuan hukum adalah tingkat pengetahuan (kognisi) seseorang mengenai beberapa
perilaku tertentu yang di atur oleh hukum. Pengetahuan ini biasanya tidak secara langsung di bentuk melalui norma- norma hukum melainkan melalui norma-norma agama, sehingga individu yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa terdapat klausul-klausul imperatif yang sama antara norma agama dan hukum. Misalnya dalam sebuah keluarga, orang tua mengajarkan anaknya tentang batasan antara larangan dengan kewajiban, menurut hukum agama bahwa membunuh, mencuri, dan berjudi adalah perbuatan terlarang yang jika di kerjakan akan mendapatkan sanksi dan Tuhan. Pola pengajaran demikian merupakan suatu proses pembelajaran bagi anak yang bersangkutan untuk menaati norma-norma agama, yang memiliki term-term imperatif sama-adanya kesamaan perintah dengan norma-norma hukum. A. FAKTOR INTERNAL MASYARAKAT Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang di miliki seseorang mengenai materi-materi yang di kandung dalam suatu peraturan. Dengan kata lain, pemahaman hukum adalah pengertian seseorang terhadap materi dan tujuan dari suatu peraturan dan manfaatnya bagi subjek-subjek yang terkena oleh peraturan tersebut. Dalam pemahaman buku ini, tidak ada syarat mengetahui yang harus di penuhi oleh subjek-subjek yang bersangkutan . Fokus perhatian pemahaman hukum adalah persepsi masyarakat dalam menghadapi berbagai hal yang berkaitan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat secara simbolik di lakukan/di buktikan melalui kegiatan-kegiatan seremonial. Namun upacara-upacara ini hampir, semakin jarang di lakukan, dengan meningkatnya proses rasionalisasi masyarakat sehingga tidak lagi menganggap upacara tersebut sebagai sesuatu yang wajib di lakukan. 2. KEBANGKITAN INDIVIDU Kebangkitan individy di artikan sebagai proses munculnya kritisisme seseorang atas tradisi- tradisi yang berlangsung dalam masyarakat. Proses kebangkitan ini di awali dengan adanya tingkat pemahaman seseorang atas hak-haknya sebagai individu, yang memiliki ruang publik dan ruang privat. Ruang publik di artikan sebagai tempat terjadinya proses penginternalisasian nilai-nilai masyarakat terhadap seorang individu,dan dalam ruang ini, individu tersebut dapat melakukan purifikasi dan mengkritisi nilai-nilai dalam masyarakatnya. A. FAKTOR INTERNAL MASYARAKAT Proses kebangkitan individu seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Jika pada suatu masyarakat semakin tumbuh kesadaran terhadap hak-hak individual seseorang, daya berlakunya hukum adat pun cenderung semakin menipis. Sebaliknya, jika kesadaran hukum masyarakat mengarah pada nilai-nilai yang berkaitan dengan budaya dan keyakinan, hal tersebut cenderung dapat menimbulkan kontinuitas daya berlakunya hukum adat. Dua proses ini adalah fenomena mendasar yang terjadi pada masayarakat tradisional, yang memiliki dua wajah, yaitu masyarakat pertokoan yang kepatuhan hukumnya semakian di arahkan kepada kesadaran yang bersifat formal (di dasari oleh dorongan-dorongan eksternal, misalnya karena rasa takut terkena sanksi), dan masyarakat pedesaan yang kepatuhan hukumnya di dasari oleh suatu tanggung jawab atau karena adanya dorongan internal ( berasal dari diri sendiri), merasa bahwa hukum sudah sepatutnya di patuhi. A. Proses Pergerakan Masyarakat dalam Garis Mendatar ( Mobilisasi Horizonal) Pergeraakan ini identik dengan pemindahan secara fisik( migration), keluar dari wilayah teritorialnya, yang di lakukan oleh satu atau lebih anggota masyarakat. Secara umum, di kenal tiga bentuk pemindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat yang lain, yaitu: 1. Transmigrasi (transmigration): pemindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya. 2. Urbanisasi (Urbanization): perpindahan penduduk dari desa ke kota 3. Migrasi : keluar (emigrasi/emigration) atau masuknya (imigrasi/immigration) seseorang atau lebih penduduk suatu masyarakat dari satu tempat ke tempat yang lain,biasanya dari dalam negeri ke luar negeri atau sebaliknya. A. FAKTOR INTERNAL MASYARAKAT Merupakan sebuah keharusan untuk melakukan adaptasi agar orang yang melakukan perpindahan dapat di terima dalam kehidupan masyarakatnya yang baru.Dampak dari perpindahan ini adalah tercabutnya ikatan kekeluargaan dan tradisi territorial yang semula di anut oleh orang yang bersangkutan.sedikit banyak ia telah keluar dari “grass root” nilai-nilai hokum adat aslinya, atau minimal memperlonggar ikatan cultural dan pengabdian kepada kelompok maupun ketaatan ataupun kepatuhan kepada nilai-nilai normative hokum adat semula. B. Proses Pergerakan Masyarakat Dalam Garis Ke Atas i. Mobilitas Vertikal disini diartikan sebagai proses perubahan atau peralihan status seseorang untuk mengatasi stratifikasi social yang melingkupnya ii. Masyarakat jawa secara konseptual tidak mengikuti adanya stratifikasi, implikasi social (bagian dari adat) dari penerapan status ini pada seseorang adalah berbedanya perlakuan masyarakat terhadap orang yang bersangkutan, seperti penggunaan pola kumunikasi dalam bentuk bahasa,yang untuk priayi di gunakan bahasa jawa halus (inggil) sedangkan untuk wong cilik di gunakan bahasa jawa kasar (ngako). Adapun pada masyarakat bali,statifikasi social tidak didasarkan pada status social seseorang,melangkin lebih ke fungsi social seseorang dalam masyarakat (caturwana), yaitu : i. Kelompok pemimpin upacara keagamaan, di beri gelar “Ida Bagus” (laki-laki) dan “Ida Ayu” (perempuan). ii. Kelompok orang-orang yang menjalankan roda pemerintahan, di beri gelar “Anak Agung”,”Cokorda”,”Gusti Ngurah”,”Gusti” dan “Dewa” (laki-laki) dan “Anak Agung Istri”,”Cokorda Istri”,”Gusti Ayu” dan “Desak” atau “Dewa Ayu” (perempuan). iii. Kelompok orang yang bergerak dalam bidang ekonomi,di beri gelar “Si”. iv. Para petani yang menjadi soko guru kerajaan, di beri gelar “I” (laki-laki) dan “Ni” (perempuan). B. FAKTOR EKSTERNAL MASYARAKAT Adalah kemutlakan dalam sebuah kehidupan bermasyarakat untuk mengalami suatu perubahan di mana prosesnya selalu identik dan selaras dengan perkembangan zaman secara universal. Pergeseran hokum adat merupakan suatu hal yang tidak dapat terelakkan, di karenakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan yang di dahului oleh factor internal dan tidak luput juga dari factor eksternal pada masyarakat persekutuan hukum adat. Masyarakat yang tadinya masih dengan segala kebiasaan tradisional yang dimilikinya mempunyai hasrat untuk mengubah dan bahkan beralih dari yang sifatnya tradisional menjadi modern (canggih). Contohnya, alat tradisional (cangkul untuk membajak sawah) menjadi modern (alat teknologi seperti traktor untuk membajak sawah), dari pemukiman suku terasing menjadi pemukiman real estate, yang secara tidak langsung mengubah pola piker masyarakat akan keingintahuannya tentang perkembangan-perkembangan zaman.maka dengan demikian, tentunya masyarakat lambat laun akan meninggalkan criteria eksistensialnya dari suatu wilayah (lebensraum) ke pemukiman baru (meninggalkan habitatnya). Ini adalah ciri-ciri perkembangan di dalam masyarakat yang berimplikasi kepada terjadinya proses perubahan dari komunalistik dengan segala yang bersifat religious magic kea rah perkembangan yang cenderung individualistis.