Makna dari harta perdangan yakni berasal dari kata bahasa arab “Urudh”
yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘aradh ( huruf ra’-nya di fathahkan)
yang artinya, harta dunia yang tidak kekal. Selain itu kata ini juga bisa
dipandang sebagai bentuk jamak dari kata ‘ardh (huruf ra’-nya disukunkan)
artinya, barang selain emas dan perak, baik berupa benda, rumah tempat
tinggal, jenis-jenis binatang, tanaman, pakaian, maupun barang yang lainnya
yang disediakan untuk diperdagangkan. Termasuk kategori ini menurut mazhab
Maliki ialah perhiasan yang diperdagangkan.
Sumber Hukum: QS Al-Baqarah: 267
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal
kamu sendiri tidak mau menggambilnya melainkan dengan memicingkan mata
(enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Mahaterpuji” (QS.
Al-Baqarah: 267).
Allah memerintahkan orang-orang kaya diantara mereka memberi orang-orang
miskin sebagian dari hasil usaha mereka itu menurut cara yang dilakukan ole
Rasulullah SAW.
Landasan yang berupa sunnah Rasulullah:
artinya : “dari Sumarah bin Jundub berkata : setelah itu sesungguhnya Rasulullah
SAW menyuruh kami mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami sediakan
untuk perniagaan.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
Jumhur ulama Islam menyatakan wajibya zakat barang perniagaan, tetapi tidak
dijumpai keterangan tegas dari kitab suci maupun sunnah nabi. Akan tetapi
dalam masalah ini terdapat beberapa riwayat yang saling menguatkan dengan
pertimbangan yang bersandarkan kepada nash bahwa barang-barang perniagaan
yang diedarkan demi meraih keuntungan adalah sama dengan uang, emas, ddan
perak dimana kewajiban zakatnya berdasarkan harga atau nilainya
Syarat zakat perniagaan:
Para fuqaha mengajukan beberapa syarat wajib untuk zakat barang dagangan. Syarat-
syarat tersebut berjumlah 4 menurut mahzab Hanafi, 5 menurut mahzab Maliki, 6
menurut maahzab Syafi’i, dan hanya 2 menurut mahzab Hambali. Dari beberapa
pendapat tersebut 3 diantaranya disepakati yakni:
1) Nishab
2) Haul
Syarat Zakat Perniagaan lainnya: 3) Niat
Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat puluh
(1/40) harga barang dagangan, jumlah zakat yang wajib dikeluarkan darinya
sama dengan zakat naqdayn (emas dan perak) yakni 2,5% atau jika mencapai
nisab setiap 200 dirham dibayarkan zakatnya sebesar 2,5%.
Para ulama sepakat bahwa hewan ternak yang termasuk bagian dari sumber zakat dan
wajib dikeluarkan zakatnya ada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan domba.
Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar :
“ Tiada seorang laki-laki yang mempunyai unta, lembu, atau kambing yang tidak
diberikan zakatnya, melainkan datanglah binantang-binatang itu pada hari kiamat dalam
keadaan lebih gemuk dan lebih besar dari masa di dinia, lalu ia menginjak-injaknya
dengan telapak-telapknya. Setiap selesai binatang-binatang itu melakukan hal itu, ia
kembali lagi melakukannya dan demikian terus menerus hingga Allah selesai
menghukum para manusia” Fakhruddin, Fikh dan Manajemen Zakat di Indonesia,(
Yogyakarta: SUKSES Offest, 2008), hlm. 100.
Hewan tersebut dipelihara
Hewan ternak (unta, sapi, dan domba) tersebut jinak, bukan liar
Adapun diluar ketiga jenis hewan ternak tersebut, seperti kuda dan sebagainya terjadi perbedaan
penadapat dikalangan para ulama.
Menurut Abu Hanifah bahwa kuda termasuk bagian hewan yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Maliki kuda tidak dizakati kecuali kalau telah merupakan
barang dagangan.
Pendapat seperti ini juga dilontarkan oleh Sayyid Sabiq. Menurutnya, hewan ternak yang wajib
dikeluarkan zakatnya ada tiga, yaitu unta, sapi, dan domba.
Beliau juga mengutip pendapat Abu Hanifah dan
Ahmad dalam memberikan syarat-syarat bagi hewan
yang dikenai zakat tersebut, yaitu :
90 ekor 3 tab’i
Dikurangi :
1. hewan yg dipekerjakan 2 10
2.hewan yg 50
diperdagangkan
Bejana zakat dibanding dengan nishab zakat (8 ekor unta, 30 ekor sapi,
40 ekor kambing).
Jika bejana zakat mencapai nishab makakadar zakat dihitung
berdasarkan daftar khusus sebagaimana yang terdaftar dalam kitab –
kitab fikh.
Zakat Pertanian
Artinya: “… Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka infakkan. Katakanlah: kelebihan (dari apa yang
diperlukan). [Q.S. Al-Baqarah: 219]
Syeikh Sayyid Quthub memaknai lafal “ ”ﻮﻔﻌﻟاadalah kelebihan (al-fadhl wa ziyâdah), atau kelebihan dari
kebutuhan pribadi yang bersifat penting bukan kemewahan, itulah harta yang dianjurkan untuk disedekahkan.
Beliau juga menegaskan bahwa ayat ini juga berlaku untuk zakat dan tidak di-takhshîsh ataupun di-mansûkh
Kebanyakan Para Ulama setuju untuk mengurangi kebutuhan pokok atau tidak menghitungnya ke dalam aset yang
wajib dikeluarkan zakat, karena harta tersebut tidak termasuk dalam aset yang berkembang (namâ‘). Namun
Para Ulama cenderung tidak menyebutkan kriteria ini saat membicarakan zakat pertanian. Bahkan Imam Mâlik
dan Abû Hanîfah tetap memperhitungkan panen meskipun sudah dikonsumsi pemiliknya dalam nishâb.
Hutang Beberapa alasan Syeikh Yûsuf al-Qaradhâwi
Ha`nabilah mensyaratkan sebuah nishâb semua aset zakat
harus bebas dari hutang, begitu juga Hanafiyah namun mengambil pendapat ini sebagai berikut:
mengecualikan pada zakat pertanian dan perkebunan. 1.Kepemilikan harta dari hutang adalah
Sementara Malikiyah hanya memperlakukan syarat kepemilikan yang lemah karena masih dalam
tersebut pada zakat emas dan perak tanpa zakat kekuasaan pemiliknya.
pertanian dan perkebunan, hewan peliharaan dan zakat 2. Pemilik piutang mempunyai kewajiban zakat
tambang. Syafiiyah tidak menjadikan bebas hutang dari hutang tersebut, jika diwajibkan zakat bagi
sebagai syarat mengeluarkan zakat dalam qaul jadîd yang berhutang, maka akan terkena dua kali
namun sebaliknya dalam qaul qadîm. Kesimpulannya zakat pada harta yang sama.
hanya Mazhab Hanabilah saja yang menjadikan hutang 3. Pada saat seseorang mempunyai hutang yang
sebagai pengurang hitungan nishâb pada zakat pertanian bisa mengurangi bahkan menghabiskan jumlah
apalagi hutang untuk kebutuhan Huproduksi. Syeikh Yûsuf al- nishâb, maka orang itu sudah dianggap fakir
Qaradhâwi mengambil pendapat Hanabilah dan yang seharusnya menjadi penerima zakat
menguatkan bahwa hutang untuk kebutuhan sehari-hari (mustahiqq) bukan pemberi zakat.
juga hutang untuk keperluan produksi, dikurangi dari 4. Zakat disyariatkan ketika ada keluasan dan
harta sebelum dihitung nishâb, tanpa membedakan jenis kelebihan harta, namun orang orang yang
zakat. Sikap ini sangat sesuai dengan rûh syarî‘ah. berhutang bernasib sebaliknya.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibn ‘Abbâs dan Ibn
‘Umar dengan syarat hutang tersebut benar-benar ada.
Beban Produksi (Cost Production)
Dalam zakat pertanian, apabila beban produksi untuk pengairan maka telah ada Nash yang jelas yang menurunkan
kadar pengeluaran dari 10% menjadi 5% apabila telah mencapai nishâb, namun beban produksi lain tidak ada Nash yang
membicarakan sehingga terjadi selisih pendapat diantara Ulama. Dari kesemua hal-hal yang berhubungan dengan al-
Mathlûbât al-Hâllah (hutang, kebutuhan pokok, biaya produksi) pada zakat pertanian, Al-Hai’ah asySyar‘iyyah al-
‘Âlamiyyah li az-Zakâh (Badan Syariah Internasional Untuk Zakat) membolehkan untuk mengurangi dengan syarat tidak
melebihi sepertiga dari hasil panen. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan dalam melakukan pengurangan.
Konferensi ke-13 Majelis Majma‘ al-Fiqh al-Islâmiy ad-Dauliy (International Islamic Fiqh Academy) yang diadakan di
Kuwait pada tanggal 22 27 Desember 2001 nomor 120 (2/13) menghasilkan keputusan bahwasanya al Mathlûbât al-Hâllah
pada zakat pertanian boleh dikurangi dari hasil panen selama tidak ada penghasilan lain yang menunjang pengeluaran
tersebut. segala beban baik untuk produksi, hutang, kebutuhan hidup yang pantas, boleh dikurangi sebelum menghitung
nishâb dengan syarat tidak melampaui sepertiga dari hasil panen. Namun jika semua beban tersebut diambil dari modal yang
ada atau ada penghasilan lain yang bisa menutupi beban tersebut, maka tidak dikurangi sebelum dihitung nishâb.