GENGGONG PROBOLINGGO
TAHUN AKADEMIK 2015 / 2016
Zakat menurut bahasa berarti pengembangan dan pensucian, sedangkan menurut Istilah agama islam.
Kadar harta yang tertentu diberikan kepada yang berhak menerimanya.dengan beberapa syarat. Hukum
mengeluarkan Zakat adalah Fardlu ‘ain bagi yang telah cukup syarat-syaratnya.
1. Binatang Ternak.
Jenis binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya Unta, sapi, kerbau, kambing. Sedangkan
ayam tidak wajib walaupun jumlahnya banyak.
Syarat Wajib zakat atas pemilik binatang tersebut :
a. Islam, orang yang bukan islam, walaupun mempunyai binatang tersebut tidak wajib zakat atas zakat.
b. Merdeka, Hamba tidak wajib berzakat
c. Milik yang sempurna, sesuatu yang dimiliki belum sempurna tidak wajib dikeluarkan zakat
d. Cukup nisabnya
e. Sampai setahun lamanya dimiliki
Adapun Jumlahnya :
a. Sapi, apabila jumlah lebih dari 30 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 1
ekor sapi yang berumur genap 1 tahun lebih jantan atau betina.
b. Sapi, apabila jumlah lebih dari 40 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 1
ekor sapi yang berumur genap 2 tahun lebih jantan atau betina.
c. Sapi, apabila jumlah lebih dari 60 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 2
ekor sapi yang berumur genap 1 tahun lebih jantan atau betina.
d. Sapi, apabila jumlah lebih dari 70 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 1
ekor sapi yang berumur genap 1 tahun lebih dan 2 tahun lebih jantan atau betina.
e. Sapi, apabila jumlah lebih dari 80 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 2
ekor sapi yang berumur genap 2 tahun lebih jantan atau betina.
f. Sapi, apabila jumlah lebih dari 90 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 3
ekor sapi yang berumur genap 1 tahun lebih jantan atau betina.
g. Sapi, apabila jumlah lebih dari 100 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 2
ekor sapi yang berumur genap 1 tahun lebih dan 1 ekor berumur lebih dari 2 tahun jantan atau
betina.
h. Sapi, apabila jumlah lebih dari 30 ekor dan telah mencapai masa haul ( 1 tahun ) maka zakatnya 1
ekor sapi yang berumur genap 1 tahun lebih jantan atau betina.
i. Kambing 40 s/d 120 ekor dan sudah sampai Haul ( I tahun ) maka zakatnya 1 ekor
j. Kambing 120 s/d 200 ekor dan sudah sampai Haul ( I tahun ) maka zakatnya 2 ekor
k. Kambing 200 s/d 300 ekor dan sudah sampai Haul ( I tahun ) maka zakatnya 3 ekor
l. Jika kelipatan 100 ekor dan sudah sampai Haul ( I tahun ) maka tambahkan per 100 zakatnya 1 ekor
( Pendapat dari Hasan al Bashri, Imam as Syafi’I dan Imam Ahmad )
Artinnya “ dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
Adapun Nisabnya adalah jika telah mencapai 20 Dinar ( 85 gram ) dalam 1 tahun maka zakatnya ½ dinar
atau 2,5%nya , sedangkan untuk perak adalah jika telah mencapai nisab 40 dirham maka zakat yang
dikeluarkan adalah 1 dirham ( 1 dirham = 3,12 gram )
3. Biji Makanan yang mengenyangkan. Seperti beras, jagung, gandum. Adapun buji makanan yang tidak
mengenyangkan seperti : kacang tanah, kacang panjang, buncis dsb.nya tidak wajib dizakatkan.
Mengenai hal ini Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 267 :
Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram
perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah
setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %.
Contoh :
Seseorang memiliki simpanan harta sebagai berikut :
Tabungan : Rp 5 juta
Uang tunai (diluar kebutuhan pokok) : Rp 2 juta
Perhiasan emas (berbagai bentuk) : 100 gram
Utang yang harus dibayar (jatuh tempo) : Rp 1.5 juta
Perhiasan emas atau yang lain tidak wajib dizakati kecuali selebihnya dari jumlah maksimal perhiasan
yang layak dipakai. Jika layaknya seseorang memakai perhiasan maksimal 60 gram maka yang wajib
dizakati hanyalah perhiasan yang selebihnya dari 60 gram.
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa,
dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah
20 dinar (setara dengan 85gram emas murni).
Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung)
lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (jika pergram Rp 25.000,- = Rp 2.125.000,-), maka ia wajib
mengeluarkan zakat sebesar 2,5 %. Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika
semua anggota syirkah beragama islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-
pihak yang bersyirkah.
9. Zakat Piutang
Piutang adalah sesuatu harta atau uang yang dipinjam oleh debitor untuk jangka waktu tertentu sesuai
kesepakatan bersama. Piutang terkena kewajiban zakat jika mencapai nishab, haul, dan adanya
kemungkinan bisa mengembalikan dari debitornya.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi bahwa piutang tidak dikenai zakat sepanjang masih belum dibayarkan oleh
debitor, hal itu didasarkan pada prinsip bahwa harta yang tidak likuid memang tidak dikenai zakat. Dan
dalam kasus piutang yang sudah jatuh tempo tetapi belum dibayar, Syafi’iyah mewajibkan zakat juga
dengan alasan bahwa piutang yang sudah jatuh tempo hukumnya sama dengan harta likuid meskipun
secara aktual belum dibayarkan.
Sesuai dengan hasil majelis ikatan ulama fiqh Islam dalam konferensi II di Jeddah, Saudi Arabia, tanggal
10 – 16 Rabi’ul Akhir 1406H/22 – 28 Desember 1985 tentang “Zakat Piutang”, maka diputuskan sbb.:
Pertama, zakat piutang diwajibkan kepada pemilik modal (kreditur), setiap tahun sekali, jika debitur
(peminjam/saudara yang kebetulan membutuhkan uang) mampu membayar hutangnya, dan kedua, zakat
diwajibkan kepada kreditur setelah piutangnya mencapai haul sejak tanggal transaksi.
Lebih jelasnya, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Fatawa Az-Zakah menjelaskan piutang
apabila mudah menagihnya, maka harus menzakatinya setiap kali genap setahun. Adapun jika orang
yang berhutang sulit membayarnya dan tidak dapat mengambil piutang darinya, maka tidak wajib
membayar zakatnya.
Jika sang pengutang adalah orang miskin yang tidak punya apa-apa sehingga ia tidak bisa melunasi
hutangnya. Tentang ini, Allah menyuruh kita untuk memberikan toleransi kepadanya.
Investasi diwajibkan berzakat dengan syarat cukup nishab dan sudah haul. "Bila engkau memiliki 20 dinar
emas (simpanan, tabungan, investasi) dan sudah mencapai satu tahun maka zakatnya setengah dinar
(2,5%)". (HR Ahmad). Bahkan Rasulullah mengecam bagi orang yang enggan berzakat sebagaimana
dalam sabdanya: “Tiadalah bagi pemilik simpanan (investasi) yang tidak menunaikan zakatnya, kecuali
dibakar diatasnya di neraka jahanam” (HR. Bukhori)
10. Zakat Tambang
Barang tambang yang digali sekaligus harus memenuhi nisab begitu juga yang digali secara
terus-menerus , tidak terputus karena diterbengkalaikan. Semua hasil tambang yang digali
secara terus-menerus harus digabung untuk memenuhi nisab. Jika penggalian itu terputus
karena suatu hal yang timbul dengan tiba-tiba, seperti reparasi peralatan atau berhentinya tenaga
kerja, maka semua itu tidak memengaruhi keharusan menggabungkan semua hasil galian. Bila
galian itu terputus karena beralih profesi, karena pertambangan sudah tidak mengandung barang
tambang yang cukup atau sebab lain, maka hal ini memengaruhi penggabungan yang satu
dengan yang lain. Dalam hal ini harus diperhatikan nisab ketika dimulai kembali penggalian
baru.
Zakat Barang Temuan (Rikaz) wajib dikeluarkan untuk barang yang ditemukan terpendam di dalam tanah,
atau yang biasa disebut dengan harta karun. Zakat barang temuan tidak mensyaratkan baik haul (lama
penyimpanan) maupun nisab (jumlah minimal untuk terkena kewajiban zakat), sementara kadar zakatnya
adalah sebesar seperlima atau 20% dari jumlah harta yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta
temuan berapapun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperlima dari besar total harta
tersebut. Hadits yang mendasari kewajiban mengeluarkan zakat ini adalah
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: " .. dan pada rikaz (diwajibkan
zakatnya) satu perlima. "(2)(Hadith Sahih - Riwayat Bukhari)
Artinya : “ Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan Dia ingat
nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang.
Ibrahim Hosen menjelaskan, “Pajak adalah aturan atau sistem yang dapat dibenarkan oleh Islam. Jauh
sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh sejarah umat manusia. Setelah Islam
datang, sistem pajak yang ternyata banyak manfaat dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan
dan disempurnakan. Tidak dapat dijadikan dalil bahwa apabila zakat telah dibayar maka kewajiban pajak
gugur, atau sebaliknya bila pajak telah dibayar maka zakat menjadi gugur. Warga negara Indonesia yang
beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan
berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri/pemerintah yang juga
diwajibkan oleh agama. Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri/pemerintah untuk mengelola zakat
dan pajak.” (Mimbar Ulama, edisi no 150, Zulhijjah 1409 H – Juli 1990)
pada semua negara muslim dewasa ini hubungan antara zakat dan pajak sudah tidak menjadi problem,
baik dalam ranah hukum maupun penerapannya di masyarakat. Dewan Penelitian Keislaman ( Islamic
Research Assembly) Universitas Al-Azhar Cairo – Mesir mengeluarkan fatwa bahwa pajak untuk
kepentingan negara tidak dapat menggantikan pembayaran zakat yang wajib hukumnya dalam Islam.
Negara lainnya yaitu Kuwait. Pemerintah Kuwait tidak mengenakan pajak kepada warga negaranya
karena anggaran pendapat dan belanja negara dengan hasil penjualan minyak sudah sangat surplus.
Dalam pelaksanaan zakat, banyak warga Kuwait yang membayar zakat secara individual kepada orang
yang mereka kehendaki sesuai ketentuan agama. Namun para ulama setempat tetap membedakan
antara kewajiban zakat dan pajak. Pemerintah Saudi Arabia juga tidak mencampur-adukkan zakat dan
pajak dalam kebijakan fiskalnya, meski kedua sektor ini ditangani melalui satu institusi di bawah
Kementerian Keuangan.
Dalam kaitan di atas menarik disimak Dr. Syauqi Ismail Sahata dalam buku Penerapan Zakat dalam
Dunia Modern membahas boleh tidaknya memungut pajak di samping zakat. Ia menunjuk pendapat Prof.
Dr. Muhammad Abu Zahrah yang menyanggah pendapat sebagian ulama bahwa pajak-pajak yang
berlaku di negara-negara Islam adalah berfungsi sebagai zakat. Pendapat seperti itu menurutnya tidak
sesuai dengan tujuan hakiki disyariatkannya zakat dalam Islam . Kewajiban zakat adalah untuk
menanggulangi kemiskinan, membantu orang-orang fakir dan memenuhi kebutuhan kaum melarat, dan
juga untuk membiayai kelancaran dakwah Islam, dimana hal itu tidak termasuk bidang-bidang yang
dibiayai dengan pajak. Sekalipun ada sedikit pembelanjaan pajak untuk kaum dhuafa, tetapi sifatnya
sekunder dan bukan tujuan utama. Pemungutan pajak di samping zakat adalah boleh, sesuai dengan
prinsip al-mashalihul mursalah.
Jika belakangan ini muncul gagasan untuk memperjuangkan zakat sebagai pengurang pajak ( tax credit),
tentu hal itu memerlukan pemikiran dan koordinasi yang baik dan tepat dalam merealisasikannya. Kalau
pun sekarang belum terwujud, siapa tahu suatu saat nanti menjadi kenyataan. Gagasan yang sulit untuk
diterima adalah menyamakan zakat dengan pajak.
Ditulis oleh: M. Fuad Nasar (Wakil Sekretaris BAZNAS dan Kasubdit Pengawasan Lembaga Zakat)
Pajak dan Zakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pemenuhan kewajiban baik
dalam kehidupan bernegara maupun beragama. Apapun entitasnya baik individu maupun korporat.
Terutama individu karena untuk korporat atau perusahaan belum ada kesepakatan kesatuan pemikiran
(unity of tought ) dari para ulama Indonesia. Walau demikian, sudah banyak perusahaan yang membayar
zakat atas dasar kesadaran berkontribusi.
Pada praktik pelaksanaanya tidak sedikit masyarakat yang masih bingung mengenai dua hal ini, ada yang
beranggapan bahwa keduanya saling menegasikan dan ada juga yang berpendapat bahwa keduanya
saling berdiri sendiri, serta kombinasi pelakuan lainnya.
Pada prinsipnya, baik pajak maupun zakat memiliki persamaan yaitu tujuan yang sama untuk
menyelesaikan masalah ekonomi dan keduanya telah diatur agar dapat dikelola menurut cara yang
dianggap tepat untuk mencapai tujuan tadi, yaitu dengan menyetorkan pembayarannya ke lembaga resmi
yang sudah disahkan pemerintah. Selain itu tidak semua orang dikenakan kewajiban dua pungutan ini,
semuanya dikembalikan kepada batas minimum untuk dapat dikenakan kewajiban menjadi wajib bayar
pajak dan zakat. Di Pajak batas ini dikenal dengan istilah (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan Nishab jika
pada Zakat.
Secara mendasar Pajak sendiri berumur lebih muda daripada Zakat, Zakat sudah dikenal jauh sebelum
sistem perpajakan masuk ke Indonesia, pada masa kerajaan Islam berkuasa di Nusantara, sudah berdiri
Baitul Maal yang menjadi pusat pengelolaan keuangan kerajaan, namun sistem ini secara perlahan mulai
digantikan seiring dengan kedatangan kaum imperialis Eropa yang mengadopsi sistem perpajakan
dinegara mereka.
Sebuah sistem yang merupakan konsekuensi logis dari Du Contract Sosial atau Perjanjian Sosial hasil
pemikiran JJ. Rousseau. Artinya kondisi ini membuktikan bahwa walaupun sifatnya lokal, Zakat dapat
diandalkan sebagai penopang keuangan negara. Dan dengan demikian tidak heran jika eksistensi Zakat
tidak bisa dihilangkan ketika membahas perekonomian negara.
Perbedaan yang paling pokok antara Pajak dan Zakat adalah sumber perintah pelaksanaanya, Zakat
bersumber dari Al-qur'an sementara Pajak bersumber dari Undang-Undang dan regulasi lain yang
merupakan buatan para penyelenggara negara. Sehingga hal ini berdampak pada niat saat membayar.
Tanpa bermaksud mengukur kadar keikhlasan, mungkin para Muzakki (pembayar Zakat) lebih ikhlas
melakukannya daripada pada Wajib Pajak walaupun kedua pungutan ini sama-sama tidak memberikan
imbalan langsung kepada pembayarnya.
Di Indonesia, praktik perpajakan yang berlaku telah menempatkan Zakat sebagai unsur yang tidak
dipisahkan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan para wajib pajak. Zakat, bersama dengan
sumbangan keagamaan lainnya yang bersifat wajib, menjadi pengurang penghasilan neto wajib pajak
(bisa dilihat di formulir induk SPT Tahunan PPh OP), perlakuan ini berdampak berkurangnya nilai beban
Pajak yang masih harus dibayar.
Tapi penerapan mekanisme ini berdampak kurang signifikan kecuali jika Zakat diperhitungkan langsung
sebagai pengurang beban/hutang Pajak. Ini menunjukkan bahwa posisi Zakat dan Pajak adalah saling
menggantikan namun tidak sepenuhnya.
Menurut Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999, dikenal dua jenis Zakat yaitu Zakat maal dan Zakat
fitrah. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah atas kedua jenis Zakat yang sudah dibayarkan
ini boleh dibebankan dalam perhitungan Pajak? Didalam pasal 11 ayat 2 huruf b UU tersebut disebutkan
bahwa termasuk dalam harta yang dikenai zakat contohnya adalah perdagangan dan perusahaan.
Sebuah ruang lingkup yang sejalan dengan penjelasannya mengenai definisi Zakat maal. Namun kondisi
ini belum memungkinkan zakat fitrah untuk dapat dijadikan sebagai unsur pengurang.
Adapun syarat Zakat agar dapat dibiayakan (diperhitungkan sebagai pengurang) menurut Pasal 9 UU
Nomor 36 Tahun 2008 adalah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ)atau Lembaga Amil Zakat
(LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Di Indonesia ada BAZ Nasional. Itu kenapa zakat
fitrah tidak dapat memenuhi kriteria ini, lain hal dengan Zakat maal yang oleh perusahaan atau orang
pribadi sering diserahkan ke BAZ atau LAZ. Sementara zakat fitrah diserahkan hanya atas nama individu
dan kepada lembaga amil zakat yang sifatnya lokal atau langsung ke Mustahiq (orang yang berhak
menerima zakat).
Kompleksitas penyelenggaraan kegiatan negara kian membutuhkan dana yang tinggi maka kembali lagi
bahwa keberadaan Pajak sebagai penopang utama tidak bisa dihilangkan. Namun demikian ini bukan
berarti Zakat tidak memberi peran, hingga Agustus 2011 BAZ Nasional sudah menerima 1,3 T Rupiah
(sumber nya disini) suatu pencapaian yang bisa digunakan untuk membantu kelancaran kegiatan
ekonomi bangsa sebagai penunjang dari aspek kehidupan sosial.
Dengan demikian dari tinjauan singkat ini dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia sudah
mengakomodasi kerancuan sistem Pajak dan Zakat dengan menempatkan Zakat sebagai unsur
pengurang penghasilan netto yang akan diproses lebih lanjut untuk menjadi dasar pengenaan pajak.
Sistem ini dianggap belum sepenuhnya membuat Pajak dan Zakat saling menggantikan karena dampak
pengurangan ini tidak signifikan dan lagi hanya Zakat yang diserahkan ke LAZ atau BAZ yang didirikan
atau disahkan oleh pemerintah yang boleh dibiayakan. Hanya jika pemenuhan kewajiban Zakat sudah
optimal dan perananya bagi ekonomi negara makin besar maka ada kemungkinan posisinya makin
sejajar dengan Pajak sehingga dapat betul betul saling menggantikan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja.
Sumber Referensi :
1. Super Health, Gaya Hidup Sehat Rasulullah , Karangan Egha Zainur Ramadhani, Penerbit Pro U Media
Yogyakarta
2. Smart Healing, Kiat Hidup Sehat Menurut Nabi . Penerbit Pustaka al Kautsar Jakarta.
3. Fiqih Islam Karangan : H. Sulaiman Rasjid. Penerbit at Tahiriyah Jakarta.