Anda di halaman 1dari 35

Dibuat Oleh:

Andreas Anindito Hermawan


112017158
KEPNITERAAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
PERIODER 11 NOVEMBER – 14 DESEMBER 2019
FK UKRIDA
RSUD KOJA JAKARTA UTARA
 Nama: ny. L S
 Jenis Kelamin: Perempuan
 Usia: 28 Tahun
 Agama: Islam
 Alamat: Jakarta Utara
 Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
 Status Pernikahan: Sudah Menikah
 Suku Bangsa: Sunda
 Autoanamnesis
 Dilakukan Tanggal: 12 November 2019
 Keluhan Utama:
 Benjolan pada wajah yang semakin besar sejak 9 tahun yang lalu.

 Keluhan Tambahan:
 Benjolan pada leher yang ukurannya sama sejak kecil.
 Riwayat Perjalanan Penyakit:
 Pasien datang ke poliklinik kulit dengan keluhan terdapat benjolan pada wajah yang
semakin membesar sejak 9 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa benjolan ini sudah
ada sejak kecil tetapi tidak sebesar ini hanya sebesar biji jagung. Pasien mengeluha
nyeri, keluhan gatal disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan benjolan di wajah terasa
semakin membesar sejak tahun 2010. Pada tahun 2010 pasien sempat pergi ke klinik
kecantikan dan melakukan lasser pada benjolan tersebut. Pasien hanya melakukan lasser
sebanyak 1 kali kemudian berhenti dan tidak melanjutkan lagi. Pasien mengatakan pada
hari jumat 4 hari sebelum pasien ke poliklinik kulit pasien mengatakan bahwa pada
benjolan tersebut sempat mengeluarkan nanah seperti bisul kecil tetapi tidak merasakan
gatal.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
 Pasien pernah melakukan operasi STT pada payudara kanan pada tahun 2011. Riwayat
hipertensi dan kencing manis disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga:
 Tidak ada yang menderita penyakit serupa dalam keluarga pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum • Tampak sakit sedang

Kesadaran • Compos mentis

• TD : 110/70
• Nadi : 80 x/menit
Tanda-tanda • Pernapasan : 20 x/menit
vital • Suhu : 36,7oC
• BB: 42 kg
• TB: 150 cm
 Lokasi/Regio:
 Nasofacial angle dextra
 Regio coli dextra

 Effloresensi
 Primer:
 nodule eritematosa, soliter, berbentuk bulat,
berukuran: 1,5 cm x 2 cm x 0,5 cm di regio
nasofacial angle dextra
 Papula hiperpigmentasi soliter, berbentuk
bualt, berukuran kurang lebih 0,5 cm x 0,3 cm
x 0,3 cm pada regio coli dextra
Darah Lengkap:
Hematokrit: 37,5% (37,0-47,0)
Hemoglobin: 12,4 g/dL (12,5-16,0)
Eritrosit: 4.55 juta/dL (4.20-5.40)
HBsAg: Non-Reaktif
Leukosit: 5.950
GDS: 114 mg/dL (70-200)
(4.000-10.500)
Ureum: 15.0 mg/dL (16.6-48.5)
Trombosit: 333.000 (182.000-
Kreatinin: 0.54 mg/dL (0.51-
369.000)
0.95)
LED: 39 mm/jam (0-20)
PT: 11.0 detik (9.9-11.8)
MCH: 27 pg (27-31)
MCHC: 33 g/dL (32-36)
Fungsi Hati:
MCV: 82 fL (78-100)
SGOT: 14 U/L (<32)
Hitung jenis:
SGPT: 12 U/L (<33)
Basofil: 0,3% (0,1-1,2)
Eosinofil: 0,5 % (0,7-5,8)
Limfosit: 26.7 % (19.3-51.7)
Monosit: 5.5 % (4.7-12.5)
Neutrofil: 67.0 % (34.0-71.1)
 Nevus Sebaseus DD/Nevus epidermal, nevus kongenital, Nervus verukosus.
 Fibroma Mole
 Asam Mefenamat 2x 500 mg
 Cefadroxil 2x 500 mg
 Farsycol Krim 3 x1
 Nevus sebaceus atau yang disebut sebagai organoid nevus, merupakan kelainan
bawaan yang ditemukan pada tahun 1895 oleh dokter kulit Josef Jadassohn.
 Nevus sebaceus adalah hamartoma kulit jinak yang terdiri dari banyak kelenjar
sebaceous yang paling sering muncul sebagai plak tak berambut berwarna kuning di
kepala bayi yang baru lahir.
 Unit ini mencakup komponen folikel, sebasea, dan apokrin, ditambah hiperplasia
epidermal.
 Pertumbuhan ini paling sering terbentuk di kulit kepala, tetapi mungkin juga
muncul di dahi, wajah, atau leher.
 Mereka menjalani fase pertumbuhan selama masa pubertas karena perubahan
hormon dalam tubuh pasien.
 Pada usia dewasa, dapat berkembang menjadi neoplasma sekunder, paling sering
menjadi trikotlastoma.
 Perawatan lesi ini kontroversial, dengan pilihan mulai dari observasi hingga eksisi
dini pada anak-anak.
 Lesi dapat dipantau atau dieksisi
 Sebagian besar dari neoplasma sekunder yang berkembang pada saat dewasa
berasal dari folikel yang jinak, seperti trichoblastoma dan syringocystadenoma
papilliferum.
 Banyak spekulasi bahwa pertumbuhan neoplasma ganas yang timbul pada nevus
sebaceus sebelumnya merupakan salah diagnosis sebagai karsinoma sel basal.
 Kemungkinan dari sel tersebut merupakan trichoblastoma, yang dapat berbagi
penampilan histologis yang sangat mirip dengan karsinoma sel basal.
 Insiden sebenarnya karsinoma sel basal pada nevus sebaceus kurang dari 1%.
 Trichoblastoma adalah tumor yang paling sering terjadi di nevus sebaceus, diikuti
oleh syringocystadenoma papilliferum.
 Neoplasma sekunder umum lainnya termasuk tricholemmoma, adenoma
sebaceous, tricholemmoma desmoplastik, adenoma apokrin, dan poroma.
 Sekitar 0,3% bayi baru lahir memiliki nevus sebaceus, dan insidensinya sama baik
pria maupun wanita pada semua ras dan etnis.
 Secara keseluruhan, nevus sebaceus muncul sebagai lesi soliter tepat setelah
kelahiran, atau muncul sebelum pubertas.
 Nevus sebaceus bukanlah lesi kulit yang diturunkan.
 Nevus sebaceus merupakan mutasi somatik postzygotic dari Ras, dimana pada satu
studi dilaporkan bahwa 95% nevi disertai dengan mutasi HRas dan 5% dengan
mutasi KRas.
 Mutasi Ras ini juga terdapat pada tumor sekunder nevus sebaceus seperti
trichoblastoma.
 Keberadaannya menunjukan bahwa dalam lesi ini neoplasma basaloid merupakan
trikoblastoma.
 Mereka bukan karsinoma sel basal yang secara histologis mirip yang memiliki
mutasi pada jalur Hedgehog dan PTCH.
 Pada masa bayi atau anak usia dini, nevus sebaceus secara histologis memiliki unit
pilosebaceous yang tidak matang dan terbentuk secara abnormal.
 Pada tahap perkembangan ini, perubahan epidermal dapat memperlihatkan
beberapa acanthosis dan papillomatosis ringan.
 Selama pubertas, Kelenjar sebaceous menjadi jauh lebih menonjol dan terletak
sangat tinggi di dermis. Jumlah lobulus sebasea dan saluran malformasi
meningkat. Pada fase ini, epidermis menjadi lebih papillated dan acanthotic.
 Temuan histologis terdiri dari hiperplasia
epidermal, imatur dan folikel rambut vellus,
kelenjar apokrin ektopik, dan kelenjar sebaceous
yang terletak di dermis superfisial (Gambar
disamping). Pada pasien praremaja, kelenjar
sebaceous biasanya tampak tidak matang dan
jumlahnya berkurang.
 Sebanyak 2/3 kasus nevus sebaseus ditemukan saat lahir, sisanya muncul saat bayi
atau pada awal masa kanak-kanak.
 Faktor hormonal mempengaruhi perkembangan nevus sebaseus dimana lesi
tampak lebih tinggi dari kulit saat lahir, menjadi datar saat kanak-kanak, dan
meninggi kembali selama pubertas.
 Insidens nevus sebaseus pada laki-laki dan perempuan dilaporkan sama.
 Predileksi nevus sebaseus paling sering adalah pada skalp (verteks), kening dan
retroaurikula, tetapi pernah dilaporkan lesi pada dada dan mukosa oral.
 Pada nevus sebaseus dapat ditemukan tiga stadium klinis yang berbeda.
 Saat lahir/pada awal masa bayi, lesi berupa plak warna kuning, merah muda, oranye, atau
sewarna kulit, sedikit meninggi, soliter, tidak berambut, berbentuk bulat atau linier, dengan
permukaan halus atau sedikit berpapil.
 Pada saat remaja, lesi berupa nodus verukosa berbentuk oval, bulat atau linier dengan
panjang 1-10 cm. Lesi biasanya soliter, namun dapat ditemukan lesi multipel dan meluas.
 Pada tahap selanjutnya, sekitar 20% kasus berkembang menjadi tumor adneksa menyerupai
tricho-blastoma, syringocystadenoma papilliferum, karsinoma sel basal, dan yang lebih
jarang hidradenoma nodular, epithelioma sebaceous, apocrine cystadenoma, karsinoma
ekrin, karsinoma sel skuamosa, karsinoma sebaseus, spiradenoma dan keratoakantoma.
 Histopatologis hiperplasia papilomatosa, kel. Sebasea, dan apokrin, folikel rambut
kecil.
 Diagnosis banding nevus sebaceus tergantung pada tahap perkembangan. Pada
awal masa bayi, diagnosis banding dapat mencakup aplasia cutis congenita atau
mastocytomas. Diagnosis banding lainnya dalam tahap perkembangan selanjutnya
termasuk nevi kongenital, nevus epidermal, keratosis seboroik, veruka, dan
xanthogranuloma remaja awal.
 Pengobatan dan manajemen nevus sebaseus masih menjadi kontoversial, karena nevus
sebaceus dianggap risiko tinggi untuk berkembang menjadi karsinoma sekunder di
kemudian hari.
 Eksisi profilaksis adalah pengobatan yang masih dapat diterima. Beberapa penelitian
menunjukkan risiko untuk berkembang menjadi karsinoma sekunder rendah,
sedangkan risiko berkembangnya neoplasma jinak sekunder masih relatif tinggi.
 Pertumbuhan neoplasma jinak sekunder tersebut adalah syringocystadenoma
papilliferum dan trichoblastoma. Faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum operasi
tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
 Dapat juga dilakukan bedah listrik, bedah beku, dan bedah laser
 Prognosis nevus sebaceus tergantung pada apakah jinak atau ganas pada saat
diagnosis. Transformasi lesi jinak menjadi keganasan dikatakan terjadi pada
sekitar 10% kasus, meskipun beberapa penelitian berpendapat bahwa itu
mungkin jauh lebih rendah. Sebelumnya, lesi tersebut sering salah didiagnosis
sebagai karsinoma sel basal padahal sebenarnya itu adalah trichoblastoma. Dalam
keadaan tertentu, perubahan sel menjadi ganas telah diamati pada anak di bawah
usia lima tahun. Keganasan kulit yang paling umum tumbuh pada nevus sebaceus
adalah kanker sel basal. Di sisi lain, lesi jinak yang paling umum terjadi pada
nevus sebaceus adalah trichoblastoma.
 Risiko keganasan adalah minimal dan hampir tidak ada pada anak-anak. Selain
berubah menjadi kanker sel basal, tumor lain yang dapat muncul termasuk
keratoacanthoma, leiomyoma dan apocrine cystadenoma. Dalam kasus yang
sangat jarang terjadi, transformasi maligna menjadi proroma ekrin dapat terjadi.
Ini biasanya metastasis pada saat diagnosis dibuat.
 Pasien harus diedukasi bahwa nevus sebaceus adalah lesi jinak yang dapat muncul
sebagai bercak kutil pada kulit kepala.
 Pasien harus diberitahu bahwa transformasi ke arah keganasan sangat jarang.
 Semua pasien harus diminta menemui dokter ketika ada perubahan warna, tekstur
atau ukuran lesi secara tiba-tiba.
 Pasien yang tinggal di daerah pedesaan atau yang tampaknya tidak patuh dengan
tindak lanjut dapat diberikan pilihan untuk operasi pengangkatan sebagai
profilaksis. Opsi ini akan menghilangkan risiko keganasan.
 1. Pasien dibaringkan di meja operasi posisi supinasi.
 2. Lapangan operasi didesinfeksi dengan povidon iodine 10 % lalu alkohol 70 %.
 3. Kemudian dibuat garis bantu berbentuk segitiga dan garis pada dasar lesi dengan
gentian violet sebagai penuntun eksisi.
 4. Lalu diberikan anestesi lokal dengan tumesen (campuran NaCl 0,9% 100 ml +
lidocaine 2% 2,5 ml + Na bikarbonat 1,25 ml + adrenaline 1:1000 0,1 ml) secara
infiltrasi pada daerah operasi dan ditunggu 20 menit
 5. Selanjutnya dilakukan sayatan eksisi segitiga sampai batas subkutis menggunakan
pisau no. 15 dan pada basisnya dilakukan sayatan melintang, jaringan diangkat dengan
pinset lalu dipisahkan dari jaringan bawahnya menggunakan gunting
 6. Kemudian dilakukan undermining menggunakan klem pada subkutis 0,5 cm dari
pinggir sayatan, dan kedua sisi segitiga dirapatkan pada pertengahan basis garis
melintang
 7. Perdarahan dihentikan menggunakan tekanan dengan kasa steril
 8. Luka dijahit, diawali jahitan subkutikuler menggunakan silk 3-0 dilanjutkan jahitan
epidermal menggunakan nylon 5-0 s
 9. Luka yang telah dijahit diolesi salep antibiotik, lalu ditutup menggunakan kasa steril
 Teknik noninvasif di mana perangkat genggam digunakan untuk memeriksa lesi melalui
film cairan (misalnya, minyak imersi), menggunakan sinar nonpolarisasi (dermoscopy
kontak), atau lesi diperiksa di bawah cahaya terpolarisasi tanpa media kontak (non-
kontak dermoscopy).
 Dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis klinis melanoma dan
lesi berpigmen dan nonpigmentasi lainnya. Fitur-fitur morfologis yang tidak terlihat oleh
mata telanjang diamati menggunakan teknik ini yang memungkinkan visualisasi struktur
mikro epidermis, persimpangan dermoepidermal, dan dermis papiler.
 Vestergaard et al telah melaporkan penilaian dermoskopi lebih akurat daripada
evaluasi klinis dengan mata telanjang untuk diagnosis melanoma kulit (rasio odds
= 15,6, P = 0,016). Dalam penelitian ini, sensitivitas rata-rata dalam diagnosis
melanoma adalah 74% untuk pemeriksaan dengan mata telanjang dan 90% untuk
dermoscopy.Perlengkapan; metode teknologi; fitur diagnostik; dan aspek utama
melanoma, nevi umum, nevi atipikal, dan lesi kulit berpigmen nonmelanocytic
dibahas dalam artikel ini. Teknik ini juga biasanya digunakan untuk membantu
dalam evaluasi kapiler lipatan kuku dan fitur alopecia.
Definisi Epidemiologi
Fibroma Mole (FM) merupakan tumor jinak
pada usia pertengahan yang terdiri dari
Kelainan ini sering ditemukan pada
jaringan fibrosa longgar, terdapat terutama di perempuan diusia pertengahan,
daerah leher dan lipatan menopause dan usia lanjut.

Etiopatogenesis

Fibroma Mole merupakan jaringan fibrosa longgar dengan


epidermis yang tipis, kadang-kadang dihubungkan dengan
diabetes mellitus, akromegali, dan polip intestinal.
 Gambaran Klinis dari Fibroma mole berupa papul bertangkai, lunak, ukuran
bermacam-macam, biasanya 2mm di leher atau aksila, dan ada pula yang besar 1
cm atau lebih di badan. Warna seperti kulit, tetapi dapat pula hiperpigmentasi.
Lokasi yang sering adalah leher bagian lateral. Dapat pula ditemukan dimuka,
dada, punggung, dan selangkangan.
 Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologisnya yang menunjukkan papilomatosis, hiperkeratosis,
dan akantosis. Jaringan ikat terdiri atas serat kolagen longgar dan bila besar, mengandung sel lemak
ditengahnya.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


• Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis dan bila perlu dengan
tambahan pemeriksaan histopatologis. Diagnosa banding:
Neurofibroma.
 Non medikamentosa belum ada
 Medikamentosa: diberikan untuk mencegah trauma, iritasi, atau alasan kosmetik. Dapat
dilakukan eksisi atau destruksi dengan bedah skalpel, bedah listrik, bedah beku, dan
bedah laser.

Anda mungkin juga menyukai