Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................i
IDENTIFIKASI KASUS...............................................................................................1
A. IDENTITAS PASIEN........................................................................................1
B. ANAMNESIS.....................................................................................................1
C. Pemeriksaan Fisik...............................................................................................2
D. Status Dermatologi.............................................................................................2
E. Resume...............................................................................................................3
F. Pemeriksaan Penunjang......................................................................................4
G. Diagnosis Kerja :................................................................................................5
H. Diagnosis Banding:.............................................................................................5
I. Terapi..................................................................................................................5
J. Prognosis............................................................................................................5
K. Follow Up...........................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................9
A. Definisi...............................................................................................................9
B. Epidemiologi......................................................................................................9
C. Etiologi...............................................................................................................9
D. Patogenesis.......................................................................................................10
E. Gejala Klinis.....................................................................................................13
F. Diagnosis & Diagnosis Banding.......................................................................15
G. Penatalaksanaan................................................................................................17
H. Komplikasi........................................................................................................18
I. Prognosis..........................................................................................................18
PEMBAHASAN..........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................21
IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 14 hari
Alamat : Sidangoli

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
 Keluhan Utama : Kulit kemerahan dan terkelupas hampir seluruh tubuh.
 Ananmnesis Terpimpin : Kulit kemerahan dan terkelupas hampir seluruh tubuh
sejak 5 hari yang lalu. Awalnya ruam kemerahan muncul hanya pada sela paha
kemudian menyebar pada seluruh tubuh dan wajah seperti melepuh kemudian
pecah. Tidak terdapat demam (selama di rawat di RS) sedangkan riwayat demam
sebelumnya disangkal oleh ibu. Pasien tidak mengonsumsi obat apapun dan
mendapat ASI sejak lahir. Ibu pasien juga tidak mengonsumsi obat apapun
selama hamil selain obat penambah darah. Pasien merupakan anak kedua, lahir
spontan pervaginam pada tanggal 15 September 2021 dengan berat badan 3400
gram. Pasien langsung menangis. Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga. Hanya
pasien yang mengalami sakit seperti ini di dalam keluarga. BAK dan BAB
lancar.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal (-)
3. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga yang memiliki keluhan yang sama : (-)
4. Riwayat Pengobatan
 Bedak salicyl dan kunyit.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 4000 gram
Suhu : 37,2°C
Nadi : 140x/menit
Pernapasan : 40x/menit

D. Status Dermatologi
1. Inspeksi
 Lokasi : Regio scalp
 UKK : Skuama
 Lokasi : Regio Colli, Regio Brachialis, Regio Extremitas Superior dextra
et sinistra, Regio femoralis
 UKK : Deskuamasi, eritematosa, krusta
 Distribusi : Generalisata
 Konfigurasi : Multipel

2. Palpasi : tanda nikolsky (+)


Gambar 1. Regio Axillaris dan Brachialis tampak deskuamasi dan eritematosa

Gambar 2. Regio facialis dan colli tampak deskuamasi dan eritematosa


Gambar 3. Regio Femoralis tampak deskuamasi, eritematosa dan erosi
E. Resume
By. A usia 14 hari datang diantar oleh ibunya ke IGD RSUD Dr. H. Chasan
Boesoirie pada tanggal 29 September 2021 dengan keluhan utama kulit
kemerahan dan terkelupas hampir seluruh tubuh. Awalnya ruam kemerahan
muncul hanya pada sela paha kemudian menyebar pada seluruh tubuh dan wajah
seperti melepuh kemudian pecah. Tidak terdapat demam (selama di rawat di RS)
sedangkan riwayat demam sebelumnya disangkal oleh ibu. Pasien tidak
mengonsumsi obat apapun dan mendapat ASI sejak lahir. Ibu pasien juga tidak
mengonsumsi obat apapun selama hamil selain obat penambah darah. Pasien
merupakan anak kedua, lahir spontan pervaginam pada tanggal 15 September
2021 dengan berat badan 3400 gram. Pasien langsung menangis. Tidak ada
riwayat atopi dalam keluarga. Hanya pasien yang mengalami sakit seperti ini di
dalam keluarga. BAK dan BAB lancar. Riwayat pengobatan dengan bedak salicyl
dan kunyit yang di sarankan oleh keluarganya.
Pada pemeriksaan fisik tampak sakit sedang dengan kesadaran kompos
mentis. Tanda-tanda vital didapatkan berat badan 4000 gram, suhu 37,2°C, nadi
140x/menit, dan pernapasan 40x/menit. Status dermatologi pada lokasi regio scalp
terdapat skuama. Sedangkan pada regio colli, regio brachialis, regio extremitas
superior dextra et sinistra, dan regio femoralis didapatkan diskuamasi, eritematosa
dan krusta. Distribusi lesi generalisata dan konfigurasi multipel. Saat dilakukan
palpasi didapatkan nikolsky (+).
F. Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


WBC 7.49 x 103 / µL 5.00 – 21.00 x 103 / µL
RBC 4.78 x 106/ µL 4.00 – 6.00 x 106/ µL
HB 15.9 g/dL 15.0 – 20.4 g/dL
HCT 41.5 % 37.0 – 48.0 %
MCV 86.8 fL 95.0 – 120.0 fL
MCH 33.3 pg 27.5 – 32.5 pg
MCHC 38.3 g/dL 32.3 – 38.3 g/dL
PLT 532 x 103 / µL 150 – 400 x 103 / µL
RDW-SD 44.1 fL 37.0 – 54.0 fL
RDW-CV 14.3 % 11.0 – 16.0 %
PDW 13.4 fL 10.5 – 18.5 fL
MPV 11.1 fL 5.3 – 11.3 fL
P-LCR 33.8 % 13.0 – 43.0 %
PCT 0.59 % 0.15 – 0.25 %
Neutrofil 2.49 x 103 / µL (33.2%) 1.50 – 7.00 x 103 / µL (37.0 – 72.0
%)
Lymphosit 2.12 x 103 / µL (28.3%) 1.30 – 2.50 x 103 / µL (19.0 – 33.0
%)
Monosit 1.21 x 103 / µL (16.2%) 0.00 – 0.80 x 103 / µL (1.0 – 11.0 %)
Eosinofil 1.65 x 103 / µL (22.0%) 0.00 – 0.40 x 103 / µL (0.0 – 6.0 %)
Basofil 0.02 x 103 / µL (0.3%) 0.00 – 0.10 x 103 / µL (0.0 – 1.0 %)
G. Diagnosis Kerja :
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

H. Diagnosis Banding:
Seboroik infantil

I. Terapi19
 Kompres NaCl 0,9% (pagi dan sore)
 Mupirosin zalf pada kulit yang mengelupas
 Ampiciline 120 mg / 8 jam
 Gentamicin 20 mg / 12 jam
 Cefotaxim 150 mg / 12 jam

J. Prognosis
Ad vitam ad bonam
Ad functionam dubia ad bonam
Ad sanactionam dubia ad bonam

K. Follow Up

Tgl : 30/09/2021
S : Kulit mengelupas
O : Kesadaran compos mentis, HR : 150x/menit, RR: 42x/menit , SB: 37,2°C.
St. Dermatologis : Regio colli, Regio brachialis, Regio extremitas superior dextra
et sinistra, Regio femoralis tampak skuama, deskuamasi, eritematosa, krusta.
Regio scalp tampa skuama kekuningan berminyak.
A: Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
P: Th/ lanjutkan
Tgl : 01/10/2021
S : Kulit mengelupas
O : Kesadaran compos mentis
St. Dermatologis : Regio colli, Regio brachialis, Regio extremitas superior dextra
et sinistra, Regio femoralis tampak skuama, deskuamasi, eritematosa, krusta.
Regio scalp tampa skuama kekuningan berminyak.

A: Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dermatitis seboroik


P: Th/ lanjutkan, kecuali Ampiciline di stop.
Tgl : 02/10/2021
S : Kulit mengelupas
O : Kesadaran compos mentis
St. Dermatologis : Regio colli, Regio brachialis, Regio extremitas superior dextra
et sinistra, Regio femoralis tampak skuama, deskuamasi, eritematosa, krusta.
Regio scalp tampa skuama kekuningan berminyak.

A: Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dermatitis seboroik


P: Th/ lanjutkan.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) atau disebut juga dengan
penyakit Ritter merupakan kelainan kulit yang disebabkan eksotoksin yang
dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus strain tertentu. Kelainan ini paling
sering ditemukan pada bayi dan anak-anak dengan fungsi ginjal yang belum
sempurna, sehingga kemampuan untuk mengeliminasi toksin masih belum bekerja
dengan baik. Penegakan diagnosis awal dan penatalaksanaan yang sesuai dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada kasus SSSS1.

B. Epidemiologi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) sebagian besar didapatkan
pada bayi dan anak-anak. Namun didapatkan juga peningkatan angka kejadian
SSSS pada anak-anak dengan usia lebih besar dan pada orang tua yang mengalami
penurunan fungsi ginjal. Insiden SSSS pada populasi umum berkisar antara 0,09-
0,56 kasus per 1 juta penduduk. Tidak didapatkan perbedaan jenis kelamin pada
insiden SSSS. Angka mortalitas pada SSSS pada bayi dan anak dengan diagnosis
dan penatalaksanaan yang tepat berkisar di bawah 5%. Namun, mortalitas SSSS
pada pasien dewasa didapatkan hampir 60%. Hal ini dapat mengakibatkan adanya
penyakit dasar sebagai faktor risiko SSSS seperti penurunan fungsi ginjal,
penggunaan obat imunosupresi, infeksi HIV/AIDS, dan keganasan2,3,4.

C. Etiologi
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif
(ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain
toksigenik bakteri staphylococcus aureus (faga grup 2). Desmosom merupakan
sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel kulit.
Toksin yang mengikat pada molekul di antara desmosom dikenali sebagai
desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh.
Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom
glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada
epidermis.4,5,6,7

D. Patogenesis
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan
celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian
atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum sehingga
menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky
sign positif. Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, dan tidak adanya
antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara
hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup
II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan
III. Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun
pemfigus foliaseus.6,7

Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang
terletak pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus
memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali
kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar
sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum.8

Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB)
yang menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat
molekul 26.950 kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada
kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul
27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya berlokasi pada plasmid.
Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri dan diekskresikan dari
kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi sistemik. Toksin
mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler dermal. Studi
histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit
menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan
interseluler yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan spinosum.
Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan
ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat
menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang
menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata
pada orang dewasa yang sehat7,9,10.

Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS (Gambar. 4).


Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural
berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan
oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang
mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan
kandung kemih. Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran mayor
pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga
pada morfogenesis sel epitel." Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2,
dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk
epitel dan miokard, sedangkan Dsg l dan Dsg 3 terbatas pada epitel skuamos
bertingkat.11,12
Gambar 4. Desmoglein merupakan target pada SSSS11
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara
menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi
pemisahan intradesmosomal. Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut
terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1).
Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif (ETs),
gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. ETs juga bisa
bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang pada
gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.9,11,12

Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus


proksimal dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal.
Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa
normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada dua tahun pertama kehidupan. Hal
ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal ginjal kronik, dan pasien
yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS.6

E. Gejala Klinis
Gambaran klinis pada pasien dengan SSSS dapat bervariasi berupa adanya
lesi bula lokal maupun lesi yang luas. Lesi disebabkan adanya infeksi
Staphyloccocus yang menghasilkan eksotoksin. Pada umumnya infeksi berada
jauh dari area yang terdampak. Pada umumnya infeksi terdapat pada daerah kepala
dan leher berupa konjungtivitis, faringitis, dan media, area sirkumsisi, pada
neonatus (omfalitis), area popok (pustul, impetigo, selulitis). Infeksi klinis bisa ada
atau tidak. Inkubasi antara 1-10 hari1,3.
Diagnosis pada kasus SSSS pada umumnya ditegakkan secara klinis
berdasarkan gambaran kulit yang khas berupa adanya eritema, bula, erosi, yang
disertai nikolsky sign positif. Nikolsky sign merupakan tanda terjadinya
pemisahan antara sel-sel epitel pada membrane basalis. Cara melakukan
pemeriksaan Nikolsky adalah dengan melakukan tekanan secara ringan pada
daerah sekitar bula dan akan didapatkan penyebaran bula3,15.

Gambar 5. Nikolsky's sign positif pada penderita SSSS11


Lesi awal pada SSSS berupa eritema pada kulit yang kemudian akan
berkembang menjadi bula, lesi eksfoliasi, yang kemudian berkembang menjadi
deskuamasi. Luasnya lesi bervariasi berupa lesi setempat sampai lesi yang meluas
pada permukaaan tubuh. Bula pada SSSS bersifat rapuh, mudah pecah, sehingga
meninggalkan area yang basah. Apabila area yang terlibat cukup luas harus
diwaspadai adanya gangguan termoregulasi, gangguan keseimbangan cairan, dan
terjadinya infeksi2.

Gambar 6. (A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan
badan bayi penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan
meninggalkan kesan terbakar8

Gambar 7. Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi17


Gejala sistemik pada anak-anak dapat berupa letargi, iritabilatas, dan
gangguan makan. Pada pasien dewasa perkembangan lesi serupa dengan SSSS
pada anak. Namun pada SSSS dewasa umumnya didapatkan penyakit yang
mendasari seperti imunosupresi dan kelainan ginjal sehingga terjadi gangguan
ekskresi eksotoksin13.

F. Diagnosis & Diagnosis Banding


1. Anamnesis
Gejala awal dapat berupa demam dengan ruam berwarna merah-oranye, pucat,
makula eksantema, terbatas di kepala dan menyebar ke bagian tubuh lain dalam
beberapa jam. Keluhan disertai iritabilitas, malaise, pruritus, dan sulit makan.
2. Pemeriksaan Fisik
Ruam berwarna merah-oranye, pucat, makula eksantema, terbatas di kepala
dan menyebar ke bagian tubuh lain. Gejala ini disertai dengan rhinorrhea
purulen, konjungtivitis, atau otitis media. Tanda Nikolsky positif. Ruam kulit
disertai dengan nyeri tekan pada kulit menyebabkan anak menolak untuk
digendong atau berbaring. Dalam waktu 24-48 jam, makula eksantema secara
bertahap berubah menjadi lepuh, dan pada daerah seperti lipat paha, ketiak,
hidung, dan telinga, secara khusus berbentuk bula besar lembut yang merupakan
lapisan epidermis yang berkerut dan tampak seperti kertas tisu. Setelah 24 jam,
bula tersebut pecah meninggalkan krusta berkilat, lembab, dan memiliki
permukaan berwarna merah. Pada tahap ini pasien akan iritabel, sakit, demam
dengan sad man facies, dan edema wajah ringan, dan gambaran khas krusta
radier di perioral serta fisura bibir.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak
ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin
secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh. Sedangkan pada impetigo
bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram menunjukkan adanya
staphylococcus.6,7
Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis antara
stratum granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum granulosum
dan pembentukan belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal, pada tahap
deskuamasi tampak epidermis yang utuh dengan celah pada stratum korneum
(Gambar.8). Beberapa limfosit mengelilingi pembuluh darah superficial. Dua ET
(ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi, dimana ET berikatan
dengan granula-granula keratohialin.6,18

Gambar 8. Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis


superfisial11
Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan
penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa,
ET hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari
isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi
menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat terjauh.6,17
Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal
necrolysis (TEN) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS
terjadi pada intraepidermal sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh
lapisan epidermal (pada batas membran dasar). Staphylococcal scalded skin
syndrome memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dan tidak melibatkan
erosi membrane mukosa jika dibandingkan dengan TEN. Pada SSSS, hasil
pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan didapatkan
sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak
ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel yang
sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel
inflamasi.6,18

G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Staphylococcus Scalded Skin Syndrome sebagian besar disebabkan oleh
Staphylococcus strain methicillin-sensitive, penicillinase-resistant, aureus
betalactam agent. Antibiotik lini pertama pada kasus SSSS adalah kloksasilin,
dikloksasilin, oksasilin, flukloksasilin, dan nafsilin. Jika pasien tidak
memberikan respons pada obat-obatan diatas maka perlu dicurigai infeksi oleh
S. aureus strain methicillin- resistant. Pada kasus SSSS oleh MRSA obat pilihan
adalah Vankomisin. Terapi tambahan berupa antibiotik topikal yang
mengandung natrium fusidat atau mupirosin diberikan pada area dengan bula
dengan tujuan eradikasi kolonisasi. Area kulit dengan erosi dapat diberikan
kompres yang bertujuan untuk mendinginkan dan melembabkan. Pada pasien
SSSS perlu diperhatikan juga regulasi suhu, pemenuhan kebutuhan cairan,
pemberian anti nyeri, kompres steril pada lesi, dan pencegahan infeksi
sekunder, Analgetik yang dapat diberikan pada kasus SSSS antara lain adalah
parasetamol3.
2. Edukasi
Sebagai tindakan pencegahan, dapat dilakukan hal sebagai berikut :
a. Menggunakan sabun antibakteri/antiseptik saat mencuci tangan
b. Kuku harus pendek untuk mencegah kontaminasi
c. Mencuci tangan sebelum menyentuh luka.
d. Petugas keschatan dan ibu sering berperan sebagai carrier S. Aureus
asimptomatik. Hal tersebut dilaporkan sebagai sumber beberapa
kejadian SSSS di unit pediatrik. Petugas kesehatan yang merawat
pasien SSSS dapat menyebabkan kejadian infeksi silang antar pasien
di ruangan yang sama. Petugas kesehatan sebaiknya menjaga
higienitas dengan baik pada saat merawat pasien. Selain itu
identifikasi dan terapi untuk carrier S. Aureus juga direkomendasikan
untuk mencegah terjadinya kejadian luar biasa16.

H. Komplikasi
1. Dehidrasi
2. Sepsis
3. Pneumonia
4. Post-streptococcal glomerulonephritis (PSG): sering terjadi pada orang
dewasa, sangat jarang terjadi pada anak-anak
5. Pada bayi dan anak-anak usia muda komplikasi SSSS dapat disebabkan
akibat hilangnya fungsi protektif epidermis sehingga didapatkan komplikasi
fatal berupa hipotermi, dehidrasi, dan infeksi sekunder oleh Pseudomonas16.

I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam
Jika segera diobati, angka mortalitas dapat diturunkan. Tapi pada orang
dewasa, angka mortalitas tinggi (40-63%), kemungkinan karena komorbiditas
yang mendasari. Kelainan kulit sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut13.
PEMBAHASAN

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) atau disebut juga dengan


penyakit Ritter merupakan kelainan kulit yang disebabkan eksotoksin yang dihasilkan
oleh bakteri Staphylococcus aureus strain tertentu. Pada kasus ini pasien adalah
seorang bari berusia 14 hari yang merupakan puncak kasus SSSS yang dimana angka
kejadiannya pada anak-anak lebih besar dibandingkan orang dewasa. Pasien datang
dengan manifestasi klinis deskuamasi yang merupakan hasil pecah dari bula,
eritematosa, dan erosi hampir di seluruh tubuh dimana ini merupakan manifestasi
klinis dari SSSS.
Gejala klinis yang didapatkan yaitu terdapat gambaran lesi deskuamasi,
eritema dan erosi. Gambaran lesi yang muncul pada area lesi juga sesuai dengan teori
bahwa kelainan dapat diawali dengan lesi eritema yang kemudian akan berkembang
menjadi bula, lesi eksfoliasi, yang kemudian berkembang menjadi deskuamasi.
Lokasi lesi yang muncul juga hanya terdapat pada daerah kepala, leher dan area
popok, hal ini sesuai dengan teori bahwa SSSS umumnya berlokasi di tempat
tersebut.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat gejala klinik dan juga
pemeriksaan fisik. Didapatkan adanya beberapa gejala klinis kulit kemerahan dan
terkelupas dan pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda Nikolsky positif meskipun
demam disangkal oleh ibu, maka diagnosis yang dapat ditegakkan adalah suspek
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. Diagnosis banding yang didapatkan adalah
seboroik infantil. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologi.
Tatalaksana untuk pasien ini, antibiotik lini pertama adalah ampicilin 120 mg
yang diberikan per 8 jam. Area kulit dengan erosi dapat diberikan kompres yang
bertujuan untuk mendinginkan dan melembabkan. Terapi tambahan berupa antibiotik
topikal yang mengandung mupirosin diberikan pada area dengan bula dengan tujuan
eradikasi kolonisasi. Pada pasien ini perlu diperhatikan juga regulasi suhu,
pemenuhan kebutuhan cairan, pemberi anti nyeri, kompres steril pada lesi, dan
pencegahan infeksi sekunder. Prognosis secara umum baik. Jika segera diobati, angka
mortalitas dapat diturunkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Leung AK, Barankin B, and Leong KF. 2018. Staphylococcal-Scalded Skin


Syndrome: Evaluation, Diagnosis, and Management. World J Pediatr, 14(2):116-
120.
2. Neylon O, O'Connell NH, Slevin B, Powell J, Monahan R, Boyle L, Whyte D,
Mannix M, McElligott F, Kearns AM, and Philip RK. 2010. Neonatal
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome: Clinical and Outbreak Containment
Review. European journal of pediatrics, 169(12):1503–1509
3. Meshram GG, Kaur N, and Hura KS. 2018. Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome: A Pediatric Dermatology Case Report. SAGE open medical case
reports, 6, p.2050313X17750890
4. Weston WL, Erythema Multiforme and Steven-Johnson syndrome. In: Bolognia
JL, Jorizzo LI, Rapihi RP (editors), Dermatology: volume one. London. Mosby:
2003.p 313-16
5. Clark RA dan Hopkins T, The other eczemas, In: Moschella S, Huriey H (editor).
Dermatology: 3rd ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93
6. Travers JB. Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin
Production. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,
eds. Fitzpatrick's Dematology in General Medicine, 7" ed. New York: McGraw-
Hill: 2008. p. 1710-19,
7. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC. eds. Staphylococcal Toxin-Mediated
Scalded Skin und Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases
Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland: Springer: 2007. p. 133-6
8. Hanakawa Y. Schechter NM, Lin C, Garza N, Yamaguchi T. Molecular
Mechanism of Blister Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome. Clin. 002: 110: 53-60
9. Donohue D. Robinson B. Goldberg NS. Staphylococcal scalded skin syndrome
in a woman with chronic renal failure exposed human immunodeficiency virus.
Cutis 1991:47:317-8.
10. Ladhani S. Robbie S. Garratt RC, Chapple DS. Joannou CL, Evans RW.
Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative
Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2001; 39:
2050-54
11. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH. Andi C, Stanley JR. Toxin in Bullous
Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1.
Nat Med. 2000; 6: 1275-7.
12. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal
adhesion regulates epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell Biol.
2001. 3: 823-30.
13. Handler MZ, Schwartz RA. Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis
and management in children and adults. JEADV. 2014:28:1418-23
14. Menaldi, S., Bramono, K., & Indriatmi, W. (2015). Pioderma. In S. Djuanda, M.
Hamzah, & S. Aisah, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (7 ed.) (pp. 71-77).
Jakarta: FKUI.
15. Wolf R, Parish LC, and Parish JL (Eds). 2017. Emergency Dermatology. CRC
Press
16. Mishra AK, Yadav P, Mishra A. A systemic review on Staphylococcal scalded
skin syndrome: a rare and critical disease of neonates. Open Microbiol J.
2016;10:150-9.
17. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansen's disease. In Andrews Diseases of
THE Skin Clinical Dermatology. 10th ed. New York: Saunders Elsevier; p. 344-
52
18. Rooks Grattan CEH, Black AK. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
eds. Rook's Textbook in Dermatology. Massachusetts: Blackwell Science; 2004.
p.47.31-3
19. Tambunan T, Karyanti MR, Indawati W. 2016. Buku Saku Dosis Obat Pediatri.
Jakarta: IDAI.
LAPORAN KASUS

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

OLEH :
Nurul Amirah R

PEMBIMBING :
dr. Hartati, Sp.KK, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2021

Anda mungkin juga menyukai