Anda di halaman 1dari 76

FIQIH HAJI PEREMPUAN, PERMASALAHAN

DAN SOLUSINYA

DISAMPAIKAN PADA ACARA SERTIFIKASI PEMBIMBING


MANASIK HAJI DAN UMRAH
TAHUN 1441H/2010M

OLEH
AHMAD KARTONO
FIQIH HAJI PEREMPUAN, PERMASALAHAN
DAN SOLUSINYA

Dalam Al-qur’an Surat Ali Imran ayat 97 yang menjelaskan tentang


kewajiban haji, bukan ditujukan kepada kaum laki- laki saja tetapi juga kepada
kaum wanita, dengan syarat beragama Islam, berakal sehat, baligh (dewasa),
merdeka, masuk waktu haji, memiliki kemampuan (istito’ah), dan aman dalam
perjalanan ibadah haji serta didampingi mahramnya.
1. Berdasarkan firman Allah :
)97 ‫ج البيت من استطاع اليه سبيال ومن كفر فان هللا غني عن العالمين (ال عمران‬C‫وهلل على الناس ح‬.
Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang
siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari
semesta alam” (Q.S. Ali Imran 97).
 
2. Hadis Riwayat Muslim :
‫ لوقلت نعم‬:‫ أكل عام يا رسول هللا؟ قال‬:‫ فقام رجل فقال‬,‫يا أيها الناس ان هللا كتب عليكم الحج فحجوا‬
)‫ الحج مرة وما زاد فهو تطوع (أخرجه مسلم‬.‫لوجبت وما استطعتم‬.
“Rasulullah saw bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah
mewajibkan haji atas kalian, maka laksanakanlah haji. Lalu seorang laki-laski
berdiri dan bertanya, apakah kewajiban haji itu setiap tahun wahai Rasulullah?
Beliau menjawab kalau saya jawab “ya” tentu menjadi kewajiban kalian
(setiap tahun) bagi  yang memiliki kemampuan. Kewajiban haji hanya sekali
seumur hidup selebihnya hukumnya sunat”. (H.R. Muslim).
3. Hadis dari ‘Aisyah r.a sebagai berikut :
 ‫ عليهن جهاد‬.‫اء من جهاد ؟ قال نعم‬C‫ول هللا هل على النس‬C‫ا رس‬C‫ قلت ي‬: ‫ي هللا عنها قالت‬C‫ة رض‬C‫عن عائش‬
)‫يح‬C‫ج والعمرة ( رواه أحمد وابن ماجه باسنلد صح‬C‫ الح‬: ‫ال قتال فيه‬.
“Dari ‘Aisyah r.a ia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah Saw,
apakah kaum wanita wajib berjihad ? Berliau menjawab : iya, mereka wajib
berjihad tidak dengan berperang, yakni melaksanakan haji dan umrah (H.R.
Ahmad dan Ibnu Majah).
Petunjuk tentang Keringanan (Kemudahan) dalam Menjalankan Ibadah.
Beberapa ayat al-Qur’an, Hadis Nabi Saw dan pendapat fuqaha yang
memberikan petunjuk tentang kemudahan atau keringan dalam ibadah, termasuk
ibadah haji.
1. Surat al-Baqarah, ayat 286 : ‫ا‬C‫الوسعه‬CC‫ا ا‬C‫فس‬CC‫ ن‬CCC‫فهللا‬C‫يكل‬C‫( ال‬Alloh tidak membebani
kepada seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya). Ibnu Katsir
menafsirkan ayat tersebut dengan tafsir sebagai berikut :
‫ وهذا من لطفه تعالى بخلقه ورأفته بهم واحسانه اليهم‬, ‫دا فوق طاقته‬C‫أى اليكلف أح‬. .
“Yakni Allah tidak memaksa/membebani kepada seseorang melebihi
kemampuannya, dan inilah sifat lemah lembut Allah Ta’ala kepada mahluk-
Nya, santun dan memberi kebaikan kepada mereka”.
2. Surat at-Taghabun, ayat 16 :
‫ فاتقوا هللا ما استطعتم واسمعوا وأطيعوا‬...
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarkanlah serta taatlah ...”. Ibnu Katsir menafsirkan :
‫ول هللا صلى‬C‫ قال رس‬. ‫ه قال‬C‫ي هللا عن‬C‫بي هريرة رض‬C‫ن أ‬C‫حيحين ع‬C‫ى الص‬C‫ت ف‬C‫ا ثب‬C‫م كم‬C‫م وطاقتك‬C‫ى جهدك‬C‫أ‬
‫ اذا أمرتكم فاتقوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه‬: ‫هللا عليه وسلم‬.
Yakni kepayahan (kesulitan) dan rasa berat kalian, sebagaimana disebutkan
dalam dua hadis shahih dari Abi Hurairah r.a : Rasulullah Saw bersabda : Jika
aku perintahkan kalian untuk mengerjakan sesuatu maka laksanakanlah
sesuai kemampuan kalian, dan sesuatu yang aku melarangnya maka
hindarilah kalian.
3. Hadis riwayat Ibnu Mardawaih :
)‫ ان هللا انما أراد بهذه األمة اليسر ولم يرد بهم العسر (رواه مردويه‬: ‫قال النبي صلعم‬.
“Nabi saw bersabda : Sesungguhnya Allah menghendaki umat ini dalam
kemudahan dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan (H.R. Mardawaih).
4. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim :
‫ما خير رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بين أمرين اال اختار أيسرهما ما لم يكن اثما (رواه البخاري‬
)‫ومسلم‬.
“Rasulullah Saw tidak akan memilih diantara dua perkara kecuali beliau
memilih yang lebih mudah dari keduanya, selagi tidak menimbulkan dosa
(H.R. Bukhari dan Muslim).
5. Hadis riwayat at-Thabrani :
‫ ان هللا شرع الدين فجعله سهال سمحا واسعا ولم يجعل له ضيقا‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
)‫(رواه الطبراني‬.
“Nabi saw bersabda : Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama (Islam) dan
menjadikannya sebagai agama yang mudah, toleran dan luas. Allah tidak
menjadikannya sebagai agama yang sempit”. (H.R. At-Thabrani).
6. Berdasarkan pendapat para Imam madzhab.
Syaikh Abdul Fatah Rawah al- Makky mengemukakan dalam kitab al-
Ifshah ‘Ala Masailil Idhoh ‘ala Mazahib al -Aimmah al-Arba’ah, hal 219
sebagai berikut :
(C‫ه‬C‫ن‬C‫ )ا‬C‫حدا منه‬C‫د وا‬C‫قل‬CC‫ني‬C‫د آ‬C‫ح‬C‫لوا‬C‫ك‬C ‫ ويجوز ل‬C‫م‬C‫ عنه‬CCC‫يهللا‬C‫ة رض‬C‫آلربع‬CC‫ة ا‬C‫ ئآلم‬CC‫د منا‬C‫ح‬C‫لوا‬CC‫د ك‬C‫قلي‬CCC‫جوز ت‬CC‫ي‬
‫رفتهذا‬C‫ اذا ع‬.‫لمسائل‬CC‫لا‬C‫يك‬CCC‫ ف‬C‫عينه‬CCC‫حد ب‬C‫قليد وا‬CCC‫تعينت‬CC‫خرىوال ي‬C‫لة آ‬CC‫يمسا‬CCC‫خر ف‬C‫ماما آ‬C‫د ا‬C‫لة ويقل‬CC‫ى مسا‬CCC‫ف‬
‫الئمة‬CC‫عضا‬CCC‫ولب‬CC‫لمذكور علىق‬CC‫الصنافا‬CC‫حد منا‬C‫لحج وا‬C‫يصح ك‬CCC‫ف‬.
“Bahwa sesungguhnya diperbolehkan taklid (menginkuti) pendapat dari salah
satu Imam madzhab yang empat (Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali), dan setiap
orang boleh saja mengikuti salah satu dari pendapat mereka dalam satu
masalah dan mengikuti pendapat Imam lainnya dalam
masalah yang lain. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mengikuti satu
Imam Mazhab dalam semua masalah. Jika engkau telah mengetahui ketentuan
ini maka sudah benar setiap masalah haji yang disebutkan (diputuskan)
berdasarkan salah satu pendapat para Imam Madzhab” ( al-Ifshoh ‘ala-Masailil
Idhoh ‘alal-Madzahib al-Arba’ah, hal. 219.
: Istita’ah (mampu dalam ibadah haji)
1. Menurut Imam Malik, kesanggupan/kemapuan berjalan kaki menuju ke
tanah haram Makkah dan mencari nafkah (bekerja) selama ibadah haji serta
adanya biaya yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan, maka sudah
termasuk istitha’ah.
2. Imam Syafi’i berpendapat bahwa istita’ah terbagi menjadi dua yaitu istitha’ah
mubasyara (kemampuan diri sendiri) dan istito’ah ghairu mubasyarah (karena
bantuan orang lain). Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al’Arba’ah, jilid 1 hal 635.
3. Mazhab Hanafi dan Hanbali menyatakan bahwa istitho’ah meliputi sehat
badan, memiliki biaya dan kendaraan, dan aman dalam perjalanan.
: Istitha’ah Majmu’ al-Fatawa No. 1266, dikemukakan sbb .4
,‫ة والمعيدة منها‬C‫ى البالد المقدس‬C‫لة ال‬C‫يلة الموص‬C‫ن أوأجرة الوس‬C‫ى ثم‬C‫ي القدرة عل‬C‫ج ه‬C‫ى الح‬C‫تطاعة ف‬C‫فاالس‬
‫ن الطريق وامكان‬C‫ة وأم‬C‫ والقدرة البدني‬,‫ه‬C‫ه نفقت‬C‫ن تلزم‬C‫ه ونفقات م‬C‫ن نفقات‬C‫ه الحاج م‬C‫ا يحتاج‬C‫ى م‬C‫ة ال‬C‫باالضاف‬
‫ر فقد‬C‫ل ح‬C‫غ عاق‬C‫و بال‬C‫ك وه‬C‫ه ذل‬C‫ر لدي‬C‫ن توف‬C‫ فم‬,‫حبها‬C‫ة وجود زوج أومحرم يص‬C‫ة خاص‬C‫ ويضاف للمرأ‬.‫ير‬C‫المس‬
‫ا اليستطيع‬C‫ا فاني‬C‫ن أوكان شيخ‬C‫ه مرض مزم‬C‫ن حبس‬C‫ وم‬.‫تطاعة‬C‫ق االس‬C‫ى الفور لتحق‬C‫ج عل‬C‫ه الح‬C‫ب علي‬C‫وج‬
‫ فان قادرا ماديا لزمه أن ينيب غيره ليحج عنه ولو بأجرة بشرط‬,‫السفر الى الحج وهو مايسمى بالمعضوب‬
‫ن أجرة المثل‬C‫ر م‬C‫ن بأكث‬C‫و وجده ولك‬C‫ه أ‬C‫ن ينيب‬C‫د المعضوب م‬C‫م يج‬C‫ فاذا ل‬.‫ه‬C‫ن نفس‬C‫ج ع‬C‫د ح‬C‫ب ق‬C‫ن يكون النائ‬C‫أ‬
‫سقط عنه الحج لعدم توفر االستطاعة‬.
Maksudnya : Istithaah dalam haji adalah kemampuan untuk membayar biaya
haji, atau dengan mengupah (kepada orang lain) untuk menuju ke tanah suci dan
kembali ke tanah air, adanya kesiapan bekal selama dalam perjalan dan bekal
bagi keluarga yang ditinggalkan, sehat badan/fisik, aman dalam perjalanan dan
memungkinkan menempuh perjalanan yang jauh. Bagi wanita harus didampingi
suami atau mahram. Barang siapa yang telah memenuhi ketentuan tersebut
sedang dia adalah orang dewasa, berakal sehat, merdeka, maka dia wajib
melaksanakan haji dengan segera karena telah memenuhi ketentuan istithaah.
Barang siapa yang terhalang sakit yang tidak mungkin sembuh, atau orang yang
sangat tua tidak mampu melakukan perjalanan haji, maka dia tergolong
ma’dhub (orang yang
tidak mampu duduk di atas kendaraan).
Jika dia secara finansial mampu maka wajib mewakilkan kepada orang
lain untuk menghajikannya sekalipun dengan membayar, dengan syarat
orang yang menggantikannya telah melaksanakan haji. Apabila tidak
menemukan orang yang dapat menggantikannya atau ada orang yang mau
menggantikan tapi dengan bayaran yang mahal maka gugur untuk
mewakilkan haji karena tidak terpenuhi ketentuan istitha’ah. (Islam Web,
Fatawa No. 1266).
5. Istita’ah karena bantuan dari orang lain, dikemukakan sebagai berikut :
‫ى مركب اال‬C‫ت عل‬C‫ن يثب‬C‫ى أ‬C‫ه اليقدر عل‬C‫ى بدن‬C‫ا ف‬C‫ن يكون معضوب‬C‫ فهوأ‬: ‫تطيع بغيره‬C‫ا المس‬C‫وأم‬
‫ا نضوالخلق‬C‫ب أوكان شاب‬C‫ى المرك‬C‫ك عل‬C‫ه التمس‬C‫بر ماال يمكن‬C‫ن الك‬C‫غ م‬C‫ة أوبل‬C‫ر محتمل‬C‫ة غي‬C‫بمشق‬
‫بيان فى‬C‫ (ال‬.‫ لألية‬.‫ه الحج‬C‫ب علي‬C‫م يج‬C‫ه ل‬C‫ يطيع‬... ‫ن‬C‫ه مال وال م‬C‫ن ل‬C‫م يك‬C‫ فان ل‬.‫ى الراحلة‬C‫ك عل‬C‫اليتمس‬
)39 ‫ صحيفة‬,‫ المجلد الرابع‬,‫مذهب االمام الشافعي‬.
“Yang dimaksud mampu dengan bantuan orang lain adalah bagi orang
yang tidak mampu naik/duduk di atas kendaraan karena fisiknya sakit,
atau karena lanjut uasia (lansia), anak muda yang
cacat fisik sejak lahir. Jika mereka tidak memiliki biaya atau tidak ada orang yang
membantunya maka tidak wajib melaksanakan haji. Apabila seseorang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana tersebut di atas, dan tidak ada sesuatu yang menghalanginya
maka seyogyanya segera melaksanakan haji, sebagaiman hadis berikut :

‫م يحج‬C‫س فمات ول‬C‫و مرض حاب‬C‫لطان جائرأ‬C‫ة ظاهرة أوس‬C‫ج حاج‬C‫ن الح‬C‫ع م‬C‫ن يمن‬C‫ م‬: ‫لم‬C‫ه وس‬C‫لى هللا علي‬C‫بي ص‬C‫قال الن‬
)‫فليمت ان شاء يهوديا أونصرانيا (رواه الدارمي‬.

Nabi Saw bersabda : Barang siapa yang memiliki kemampuan untuk berhaji dan tidak
terhalang oleh suatu hajat yang mendesak, tidak dicekal oleh penguasa yang
dzalim/jahat, atau tidak terhalang oleh penyakit yang parah, tetapi dia tidak
melaksanakan haji maka silakan mau mati sebagai Yahudi atau Nasrani. (Hadis riwayat
Addarimy).

6. Selain laki-laki dan wanita, kaum waria juga diwajibkan haji jika dia memiliki
kemampuan (istitha’ah) sebagaimana penjelasan berikut :
‫ فان كان معه‬, ‫ة‬C‫ق المرأ‬C‫ى ح‬C‫ا يشترط ف‬C‫ن المحرم م‬C‫ه م‬C‫ى حق‬C‫ ويشترط ف‬, ‫ج‬C‫ه الح‬C‫ب علي‬C‫ه يج‬C‫ل فان‬C‫ى المشك‬C‫ا الخنث‬C‫وأم‬
‫ه لم‬C‫بيات عن‬C‫ن أجن‬C‫ وان ك‬.‫ه جاز ذلك‬C‫و خاالت‬C‫ه أ‬C‫و عمات‬C‫ه أ‬C‫و بنات أخت‬C‫ه أ‬C‫و بنات أخي‬C‫ه أ‬C‫و أمهات‬C‫ه أ‬C‫ن أخوات‬C‫وة فان ك‬C‫نس‬
)36 ‫ صحيفة‬,‫ المجلد الرابع‬,‫ ألنه ال يجوز الخلوة لهن (البيان فى مذهب االمام الشافعي‬,‫يجز‬.
“Adapun kaum waria sesungguhnya ia wajib melaksanakan haji dan
syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan mahram sama dengan
wanita, seperti diperbolehkan waria berangkat haji dengansaudara
perempuanya, ibunya, anak-anak dari saudaranya, paman dan bibinya,
dilarang pergi haji dengan orang lain yang bukankeluarganya, karena
warina tidak boleh berkholwah dengan mereka”.

Pandangan Fuqaha tentang Pelaksanaan Haji Perempuan.


1. Haruskah Perempuan Pergi Haji Disertai Mahram.
Kedudukan mahram sangat penting bagi wanita yang bepergian jauh
termasuk pergi haji. Karena fungsi mahram adalah mengayomi dan
memberi rasa aman untuk dapat melaksanakan seluruh kegiatannya
baik diwaktu ibadah maupun di luar waktu ibadah. Oleh karena itu
setiap jamaah haji wanita harus disertai suaminya atau mahramnya.
Beberapa hadis dan pendapat ualama tentang keharusan adanya
mahram bagi wanita yang akan melaksanakan perjalanan,
diantaranya :
a. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda :
)‫ ال تسافر المرأة اال ومعها ذو محرم (متفق عليه‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.
“Janganlah seorang wantia melaksanakan safar (perjalanan jauh)
kecuali disertai dengan mahram”. (Hadis muttafaq’alaih).
b. Hadis riwayat as-Syaikhani dari Ibnu Abbas :
‫ل بامرأة اال‬C‫ اليخلون رج‬: ‫ه وسلم يقول‬C‫ول هللا صلى هللا علي‬C‫معت رس‬C‫ س‬: ‫ن عباس قال‬C‫ن ب‬C‫ع‬
)‫ والتسفر امرأة اال مع ذي محرم (أخرجه الشيخان‬, ‫ومعها ذومحرم‬.
“Dari Ibnu Abbas ia berkata : Saya mendengar Nabi saw bersabda :
Janganlah seorang laki-laki berkholwah dengan seorang wanita kecuali
wanita itu didampingi mahram, janganlah wanita bepergian kecuali
dengan mahram”. (Hadis Bukhari dan Muslim).
c. Hadis riwayat at-Thabrani dari Abi Umamah, Nabi bersabda :
)‫اليحل المرأة مسلمة أن تحج اال مع زوج أو ذي محرم (رواه الطبراني‬
“Tidak diperbolehkan seorang wanita muslimah melaksanakan haji
kecuali disertai suami atau mahram”. (H.R. at-Thabrani).
d. Para fuqaha berbeda pendapat tentang mahram bagi wanita ketika melaksankan
haji/umrah, sebagaimana dikemukakan dalam kitab al-Mughni fi Fiqh al-Hajj
wal’Umrah, hal 24-26 sebagai berikut :
‫ن عائشة وبن عمر‬C‫ وهذا القول مروي ع‬, ‫ا بحال‬C‫ي الى أن المحرم ليس شرطا فى حجه‬C‫ب االمامان مالك والشافع‬C‫ذه‬
‫ وهو ظاهر قول الزهري وقتادة والحكم بن عتيبة وداود‬, ‫وبن الزبير وعطاء وبن سرين واألوزعي‬
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, mahram dalam ibadah haji bukan termasuk
syarat. Pendapat ini diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Sirin dan
al-Auzai’.
Selanjutnya Ibnu Hazm menyatakan bahwa wanita yang tidak punya mahram dapat
melaksanakan haji dan tidak ada sangsi apapun. Apabila wanita itu bersuami maka
suami wajib mendampinginya, akan tetapi jika suami tidak melakukannya maka dia
maksiat kepada Allah, sedangkan istri yang berhaji tidak didampinginya tidak berdosa.
Ia dapat bergabung dengan bebrapa wanita lain yang saleh, aman dan dapat dipercaya.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad bahwa mahram itu merupakan syarat
yang harus dipenuhi bagi haji wanita, sebagaimana penjelasan berikut :

‫م النخعي‬C‫ة وابراهي‬C‫ن وعكرم‬C‫و قول الحس‬C‫ وه‬, ‫ة‬C‫ج المرأ‬C‫ى ح‬C‫ن المحرم شرط ف‬C‫ى أ‬C‫د ال‬C‫ة وأحم‬C‫ب االمامان أبوحنيف‬C‫ذه‬
‫وطاوس والشعبي واسحاق والثوري وابن المنذر‬.
“Menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad, bahwa mahram itu syarat dalam haji
wanita. Pendapat tersebut dikemukakan al-Hasan, Ikrimah, Ibrahim al-Nakha’i,
Thawus, al-Sya’abi, Ishaq, al-Tsauri dan Ibnul Mundzir”.
2. Perempuan dalam Keadaan Iddah Pergi Haji.
Beberapa pendapat tentang boleh tidaknya seorang wanita yang sedang dalam
keadaan iddah melaksanakan ibadah haji, dikemukakan sebagai berikut :
a. Perempuan dalam iddah karena ditinggal suami wafat maka dia tidak
diperbolehkan keluar untuk melaksanakan haji atau umrah. Larangan tersebut
dikemukakan Umar dan Usman r.a, sebagaimana diriwayatkan Mujahid .
‫ وباسناده‬, ‫ كان عمر وعثمان يرجعانهن حاجات ومعتمرات من الجحفة ومن ذي الحليفة‬: ‫عن مجاهد قال‬
‫اء حاجات أو معتمرات‬C‫ه نس‬C‫ عن‬C‫ي هللا‬C‫ن الخطاب رض‬C‫ر ب‬C‫ رد عم‬: ‫يب قال‬C‫ن المس‬C‫عيد ب‬C‫ن س‬C‫د ع‬C‫ن مجاه‬C‫ع‬
‫توفى أزواجهن من ظهر الكوفة‬.
“Umar dan Usman menolak dan mengembalikan para wanita yang akan
melaksanakan haji atau umrah dari Juhfah dan Zulhulaifah sedang suami
mereka telah wafat”. Demikian pula Umar bin Khattab menolak para wanita
yang akan haji dan umrah dari Kufah.”
b. Ditegaskan pula oleh Sa’id bin Abdul Qadir Basyinfar dalam bukunya “al-
Mughni fi Fiqh al-Hajj wal’Umrah”, hal 42 :
‫دة‬C‫ت فى ع‬C‫ك لوكان‬C‫ا وكذل‬C‫ى منزله‬C‫ه العدة ف‬C‫ يلزم‬C‫ا‬C‫الم ومات زوجه‬C‫ة االس‬C‫ة حج‬C‫أ‬C‫ى المر‬C‫لوكان عل‬
‫ من‬C‫ن‬C‫ التخرجوه‬: ‫ل‬C‫ز وج‬C‫ه ع‬C‫ى قول‬C‫ الخروج ف‬C‫ن‬C‫ ع‬C‫ى المعتدات‬C‫ى نه‬C‫بحانه وتعال‬C‫ س‬C‫ن هللا‬C‫ أل‬,‫الطالق‬
‫ وألن العدة‬,‫ة‬C‫ ذي الحليف‬C‫ن‬C‫ه رد المعتدات م‬C‫ن‬C‫ي هللا ع‬C‫ن الخطاب رض‬C‫ر ب‬C‫ عم‬C‫ن‬C‫ وأل‬. ‫ن‬C‫ن وال يخرج‬C‫بيوته‬
‫ ادراكه فى عام مقبل‬C‫ والحج يمكن‬,‫ فى المنزل تفوت‬.
“Jika seorang wanita akan melaksanakan haji pertama (hijjatul Islam)
sedangkan dia dalam keadaan iddah karena suaminya wafat, maka dia tetap
harus di rumah seperti iddah karena talak. Allah Swt melarang wanita dalam
iddah keluar dari rumah. Oleh karena itu Umar r.a mengembalikan mereka
dari Zulhulaifah, dan hajinya dapat dilaksanakan tahun berikutnya.
c. Dalam buku al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juz 3 hal 37, dikemukakan
sebagai berikut :
,C‫وج عدة الطالق المبتوت‬C‫زوا لها الخر‬C‫ وأجا‬,‫ة‬C‫ى عدة الوفا‬C‫ ف‬C‫ج‬C‫ى الح‬C‫ة ال‬C‫ة خروج المرأ‬C‫ع الجنابل‬C‫ومن‬
‫دة‬C‫ وأماع‬.‫ب فيه ذلك‬C‫ اليج‬C‫ والطالق المبتوت‬,‫ى عدة الوفاة‬C‫ ف‬C‫ب‬C‫ه واج‬C‫بيت في‬C‫ن لزوم المنزل والم‬C‫أل‬
‫ها‬C‫ى سفر‬C‫ت ف‬C‫ ومض‬,‫ة‬C‫ قريب‬C‫ت‬C‫ كان‬C‫ا ان‬C‫ى منزله‬C‫د ف‬C‫ت لتعت‬C‫ا رجع‬C‫ي زوجه‬C‫ج فتوف‬C‫ت للح‬C‫ة ان خرج‬C‫الرجعي‬
‫ كانت بعيدة‬C‫ ان‬.
“Mazhab Hanbali melarang wanita pergi haji dalam iddah karena suami
wafat, tetapi membolehkan pergi haji bagi wanita yang dalam iddah talak
bain. Adapun wanita dalam iddah talak raj’i pergi haji, lalu suaminya
meninggal dunia maka dia harus pulang jika tempat tinggalnya dekat, dan
boleh meneruskan perjalanan hajinya jika tempat tinggalnya jauh”.
d. Pendapat Ulama Salaf :
‫بيت حيث‬C‫ن ت‬C‫ى أ‬C‫ وف‬,‫ج أوالعمرة‬C‫ى الح‬C‫ى عدتهاال‬C‫ي ف‬C‫ة وه‬C‫ى خروج المرأ‬C‫لف ف‬C‫ض الس‬C‫ص بع‬C‫رخ‬
‫ي هللا‬C‫ة رض‬C‫ت عائش‬C‫ خرج‬: ‫ن عروة‬C‫ن الزهري ع‬C‫ر ع‬C‫ن معم‬C‫نفه ع‬C‫ى مص‬C‫د الرزاق ف‬C‫ روى عب‬.‫شائت‬
‫ت عائشة‬C‫ كان‬: ‫ قال عروة‬.‫ى عمرة‬C‫ة ف‬C‫ى مك‬C‫بيدهللا ال‬C‫ن ع‬C‫ة ب‬C‫ا طلح‬C‫ل عنه‬C‫ن قت‬C‫م كلثوم حي‬C‫ا أ‬C‫ا بأخته‬C‫عنه‬
)30 ‫ ص‬,‫تفتى المتوفى عنها زوجها بالخروج فى عدتها (المغنى فى فقه الحج والعمرة‬.
Sebagian Ulama Salaf memperbolehkan wanita dalam ‘iddah keluar
melaksanakan haji atau umrah. Abdul Razaq meriwayatkan dari Muammar,
dari al-Zuhri dan dari Urwah bahwasannya ‘Aisyah r.a dengan saudaranya
yakni Umi Kulsum yang telah ditinggal wafat suaminya (Thalhah) keluar
menuju kota Makkah melaksanakan umrah.
e. Dalam hal seorang wanita iddah wafat telah berangkat haji maka dirinci
sebagai berikut :
1) Apabila perermpuan akan melaksanakan haji namun sampai di embarkasi
suaminya meninggal. Jika haji wajib (haji pertama), maka hajinya dilanjutkan.
Jika haji sunnah, maka wanita tersebut harus kembali pulang untuk menjalani
iddah wafat.
2) Apabila perempuan akan melaksanakan haji, sebelum berangkat dari rumah
suaminya meninggal, maka wanita tersebut harus tetap tinggal di rumah untuk
menjalani iddah wafat.
3) Apabila seorang perempuan dan suaminya melaksanakan haji, dan pada saat
di Arab Saudi suaminya wafat, maka menurut mazhab Syafi’iyah : Jika setelah
ihram dan wanita itu terjaga dirinya, maka hajinya dilanjutkan. Jika belum
melaksanakan ihram, maka kembali ke rumah.
3. Haruskah Perempuan Pergi Haji Mendapat Izin dari Suami.
Bagi wanita yang sudah bersuami harus mendapat izin untuk melaksanakan ibadah
haji.Akan tetapi sebagaian ulama menyatakan jika wanita tersebut akan
melaksanakan haji pertama (hijjatul Islam) maka hukumnya sunat meminta izin
kepada suami.
Sedangkan utnuk melaksanakan haji yang kedua dan seterusnya wajib
mendapat izin dari suaminya.Sebagaimana penjelasan berikut :
‫ه من‬C‫ع امرأت‬C‫ل من‬C‫ وليس للرج‬,‫ج‬C‫ى الح‬C‫ى الخروج ال‬C‫ا ف‬C‫تأذن زوجه‬C‫ن تس‬C‫ة أ‬C‫ج فرض استحب للمرأ‬C‫اذا كان ح‬
‫ واال خرجت بغيراذنه‬,‫حجة االسالم فان أذن لها‬.
Pendapat tersebut didukung oleh Nakha’i, Ishaq, Abu Tsaur dan As-habur
Ra’yi, serta dikuatkan Imam Syafi’i bahwa penolakan suami memberi izin
kepada istrinya adalah karena pelaksanaan ibadah haji dapat ditunda.
‫ ولما روي أن النبي صلعم قال فى‬, ‫ى التراخي‬C‫ن الحج عل‬C‫ ان له منعها بناء على أ‬: ‫وقال الشافعية فى قول‬
‫ رواه‬.‫ن تنطلق اال باذن زوجها‬C‫ا أ‬C‫س له‬C‫ لي‬: ‫ج‬C‫ى الح‬C‫ا ف‬C‫ا زوجه‬C‫ا مال واليأذن له‬C‫ا زوج وله‬C‫ة وله‬C‫مرأ‬
)29 ‫ صحيفة‬,‫ أما ان كان حج تطوع فله منعها منه (المغنى فى فقه الحج والعمرة‬.‫الدارقطني والبيهقي‬.
“Imam as-Syafi’i berkata : penolakan suami terhadap istrinya karena ibadah haji
dapat ditunda waktunya, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi berkata kepada
seorang wanita yang mempunyi suami dan mempunyai harta, tetapi suaminya
tidak mengizinkan pergi haji. Lalu beliau mengatakan : Tidak boleh (dia) wanita
pergi haji kecuali atas izin suaminya”. (H.R. Ad-Daruquthni dan Baihaqi).
Para ulama menafsirkan hadits tersebut bahwa yang dimaksud pergi haji
atas izin suaminya adalah jika haji yang akan dilaksanakan haji sunnah yakni
haji yang kedua dan seterusnya. Akan tetapi jika haji yang
akan dilaksanakan adalah hijjatul Islam (haji fardhu) maka hukumnya sunah bagi
wanita meminta izin suami dan suami tidak boleh menolaknya. Jika seorang suami
menolak tidak memberi izin maka dapat melaksanakan haji fardhu tanpa seizin
suami, dengan catatan dia didampingi mahram.
4. Pakaian Ihram Perempuan.
Pakaian ihram peerempuan, dikemukakan dalam kitab al-Majmu’ sebagai berikut :
‫ن والنقاب وما‬C‫ن القفازي‬C‫ن ع‬C‫ى احرامه‬C‫اء ف‬C‫ى النس‬C‫لم نه‬C‫ه وس‬C‫ علي‬C‫لى هللا‬C‫ه ص‬C‫ه أن‬C‫ عن‬C‫ي هللا‬C‫ر رض‬C‫ن عم‬C‫ن اب‬C‫ع‬
‫ وقال‬.‫ص أو خف‬C‫راويل أوقمي‬C‫ى أوس‬C‫ل‬C‫و ح‬C‫ر أ‬C‫ز أوحري‬C‫فر أوخ‬C‫ن معص‬C‫ن الثياب م‬C‫ه الورس والزعفران م‬C‫مس‬
‫ائل االيضاح على مذاهب‬C‫ على مس‬C‫اح‬C‫ن سعد بن أبي وقاص (اآلفص‬C‫ وحكى ذلك ع‬,‫ يجوز‬: ‫و حنيفة‬C‫الثوري وأب‬
)153 ‫ صحيفة‬,‫األربعة‬.

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasannya Nabi saw melarang para perempuan
dalam berpakaian ihramn memakai kaos tangan, bercadar, memakai minyak
wangi/parfum pada pakaian ihram, baik pakaian yang terbuat dari bulu halus,
sutera, hiasan, celana panjang, gamis, atau sepatu”.
Selanjutnya dijelaskan pula oleh para ulama tentang pakaian ihram wanita sebagai
berikut :
a. Dalam kitab “Darul Ifta al-Mashriyah” tahun 1432 H pada hal 54 disebutkan :
,‫ب فانه ححرام‬C‫ بالنقا‬C‫ه اال ستر وجهها‬C‫ير‬C‫ من مخيط وغ‬:‫تر‬C‫وأما المرأة فيباح لها سترجميع بدنها بكل سا‬
‫مها الفدية‬C‫ فاليحرم عليها وال تلز‬C‫ تغطية وجهها بشيئ اليالمس بشرتها‬C‫أما لوتمكنت من‬.
Maksudnya: “wanita boleh saja menutup semua anggota badannya dengan
kain berjahit (bertangkub) atau lainnya, kecuali wajahnya tidak boleh ditutup
dengan cadar karena itu dilarang (haram). Jika memungkinkan wajahnya
ditutup dengan sesuatu yang tidak bersentuhan dengan kulitnya maka tidak
haram dan tidak mengharuskan membayar fidyah”.
b. Dalam kitab al-Mughni fi Fiqh Hajj wal’Umrah, hal 76 :
,‫ه الحج والعمرة‬C‫ى فق‬C‫ي ف‬C‫ (المغن‬C‫ن‬C‫ي‬C‫س القفاز‬C‫ب وال تلب‬C‫ا التنق‬C‫ن الثياب اال أنه‬C‫ت م‬C‫ئ‬C‫ا شا‬C‫ة فتحرم بم‬C‫أ‬C‫ا المر‬C‫أم‬
)76 ‫ص‬.
“Adapun haji wanita berihram dengan pakaian apa saja yang dikehendaki,
tetapi tidak diperbolehkan menutup muka (pakai cadar) dan tidak diperbolehkan
pula memakai kaos tangan”.
c. Dalam kitab Fiqh al-Ibadat al-Hajj, hal 74 dikemukakan :
‫ل ساتر‬C‫ام بك‬C‫ه حر‬C‫ فان‬C‫ا‬C‫تر وجهه‬C‫ط وغيره اال س‬C‫ مخي‬C‫اترمن‬C‫ل س‬C‫ا بك‬C‫ترجميع بدنه‬C‫ س‬C‫ا‬C‫ة فيباح له‬C‫أ‬C‫ا المر‬C‫وأم‬
‫لى‬C‫ا ع‬C‫جزء منه‬C‫تر‬C‫جميعه اال بس‬C‫تر‬C‫م س‬C‫ام واليت‬C‫ر حر‬C‫ف الشع‬C‫ كش‬C‫ن‬C‫ أل‬,‫ترشعررأسها‬C‫ه س‬C‫م ب‬C‫ء يت‬C‫ن جز‬C‫ى ع‬C‫ويعف‬
‫ليها‬C‫ك يحرم ع‬C‫ ولذل‬,‫ه‬C‫يم‬C‫حهما تحر‬C‫ي أص‬C‫ا قوالن للشافع‬C‫ن العلماء وهم‬C‫ه خالف بي‬C‫ا ففي‬C‫تر يديه‬C‫ا س‬C‫ أم‬.‫الجبهة‬
‫ي وأبوحنيفة‬C‫ء والثور‬C‫لي وعائشة وعطا‬C‫ ع‬C‫ ورخص فيهما‬,C‫زين‬C‫لبس القفا‬.
“Perempuan boleh menutup semua badannya dengan kain berjahit (bertangkup)
atau lainnya kecuali wajahnya karena hal itu dilarang, aka tetapi dimaafkan jika
sebagian kain penutup kepala menutupi bagian wajah, tidak akan sempurna
menutup semua rambut kepala kecuali dengan menutup bagian di atas kening.
Adapun hukum menutup kedua tangan terdapat perbedaan pendapat diantara para
ulama.Dua pendapat Imam Syafi’i yang lebih afshah adalah haram menutup kedua
tangan dengan memakai kaos tangan. Sedangkan Ali , ‘Aisyah, Atho, As-Tsauri dan
Abu Hanifah memberi rukhsah/dispensasi”.
d. Dalam kitab “irsyadus Sari ila Mmanasik al-Mula ‘alal Qari” sbb :
(‫صل‬CCC‫لقفازينوتغطي)ف‬CC‫لخفينوا‬CC‫لصبوغ وا‬CC‫لمخيط غير ا‬CC‫لبسا‬CCC‫نت‬C‫ا أ‬C‫ه‬C ‫نل‬C‫الأ‬CC‫لرجلا‬CC‫ا‬C‫ ك‬C‫يه‬CCC‫لمرأة هيف‬CC‫ ا‬C‫م‬C‫حرا‬C‫ىا‬CCC‫ف‬
‫ذلك وال‬C‫ا وال ك‬C‫ه‬C‫س‬C‫قرأ‬C‫نوالتحل‬C‫لميلي‬CC‫نا‬C‫ي‬CCC‫عىب‬C‫س‬CCC‫ وال ت‬C‫ع‬C‫لوالتضطب‬C‫رم‬CCC‫ة وال ت‬C‫لتلبي‬CC‫ا‬CCC‫ا ب‬C‫وته‬CC‫ ص‬C‫ع‬C‫ا والترف‬C‫ه‬C‫س‬C‫رأ‬
‫لصفا‬CC‫د ا‬C‫ع‬C‫ة والتص‬C‫حم‬C‫لمزا‬CC‫د ا‬C‫ر عن‬C‫لحج‬CC‫ ا‬C‫تلم‬C‫س‬CCC‫دروال ت‬C‫لص‬CC‫ترك ا‬CC‫ ل‬C‫ا دم‬C‫لزمه‬CC‫ك وال ي‬C‫ذل‬C‫ ك‬C‫لمقام‬CC‫د ا‬C‫ليعن‬C‫ص‬CCC‫ت‬
‫لمال على‬CC‫لىمناسك ا‬CC‫لساريا‬CC‫ألنثى(ارشاد ا‬CC‫ا‬C‫ ك‬C‫يه‬CCC‫لخنثىف‬CC‫س وا‬. ‫لنفا‬CC‫لحيضوا‬CC‫ذر ا‬C‫ع‬CC‫ ل‬C‫لزيارة عنوقته‬CC‫فا‬C‫وتأخير طوا‬
)163-162 ‫حيفة‬CC‫قاري ص‬ , ‫ل‬CC‫ا‬.
“Menurut Husein bin Said (penulis buku tsb) yang bermazhab Hanafi, menyatakan
bahwa ketentuan ihram bagi wanita sama seperti laki-laki kecuali ada beberapa hal
yang berbeda bagi wanita yaitu : boleh memakai pakaian berjahit (bertangkup)
yang tidak diclup dengan pewarna, boleh memakai sepatu, dua kaos tangan,
menutup kepalanya,
tidak mengeraskan suara ketika membaca talbiyah, tidak lari-lari kecil (jalan
cepat), tidak menyelendangkan kain ihram, tidak lari-lari kecil diantara dua
pal/tanda lampu hijau, tidak mencukur kepala, tidak salat di belakang makam
Ibrahim, tidak dikenakan membayar Dam karena minggalkan tawaf wada’
(karena haid/nifas), tidak mengusap Hajar Aswad ketika dalam keadaan
berdesakan, tidak naik sampai ke atas bukit shafa ketika padat, tidak shalat di
belakan maqam Ibrahim ketika padat, tidak wajib membayar Dam ketika
meninggalkan thawaf wada’ (karena haid), dan mengakhirkan tawaf ifadah
karena halangan haid/nifas. Demikian pula ketentuan ihram bagi waria”.
(Irsyadus Sari Ila Manasik al-Mula ‘Alalqari, hal 162-163).
e. Imam al-Baghowi mengemukakan dalam bukunya “Syarah as-Sunnah” yang
dikutip oleh Abdul Qadir Basyisfar sebagai berikut :

‫ فذهب بعضهم الى أنه‬.‫م فى أنه يجوزللمرأة لبس القفازين‬C‫ل العل‬C‫ف أه‬C‫ واختل‬: ‫قال البغوي فى شرح السنة‬
‫ك والشيئ عليها‬C‫ا ذل‬C‫ن له‬C‫ وذهب أكثرهم الى أ‬.‫ا الفدية واحرامها فى الوجه واليدين‬C‫اليجوز فان لبست فعليه‬
‫ر (المغني فى فقه الحج‬C‫ن قول ابن عم‬C‫ي وجعلوا ذكرالقفازين فى الحديث م‬C‫ وهو أظهرقول الشافع‬.‫لوفعلت‬
)128 ‫ صحيفة‬,‫ سعيد بن عبد القادر باشنفر‬,‫والعمرة‬.
“Berkata Imam al-Baghowi dalam Syarah as-Sunnah: Para ahli hukum
Islam berbeda pendapat tentang bolehnya wanita memakai kaos tangan.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa wanita tidak boleh memakai
kaos tangan. Jika dia memakainya maka wajib membayar fidyah, karena
ihramnya wanita adalah pada wajah dan kedua tangannya. Sementara
kebanyakan dari mereka (ahli fiqih) lainnya berpendapat diperbolehkan
wanita memkai kaos tangan dan tidak dikenkan denda apapun jika dia
memakainya”.
f. Pendapat empat imam mazhab terkait dengan hukum menutup muka
dalam keadaan ihram sebagai berikut :
Bagi laki-laki :
1) Imam Syafi’i dan salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa laki-laki dalam keadaan ihram boleh menutup
muka.
2) Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan tidak boleh
menutup muka bagi laki-laki yang sedang berihram.
‫‪Bagi wanita : Para ulama sepakat bahwa dalam keadaan ihram‬‬
‫‪wanita tidak menutup muka, kecuali jika menimbulkan fitnah atau‬‬
‫‪takut jatuh sakit. (al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wal’Umrah, hal 126-‬‬
‫‪127).‬‬
‫‪g. Hukum menutup dua telapak tangan bagi perempuan, para ulama‬‬
‫‪berbeda pendapat tentang aurat perempuan merdeka, sebagai berikut :‬‬
‫فعورة المرأ‪C‬ة الحرة ف‪C‬ى الص‪C‬الة عن‪C‬د الحنفي‪C‬ة جمي‪C‬ع بدنه‪C‬ا‪ ,‬ويس‪C‬تثنى م‪C‬ن ذل‪C‬ك باط‪C‬ن الكفي‪C‬ن فانه‬
‫ليس بعورة‪ ,‬بخالف ظاهرهما كما يستثنى ظاهرالقدمين فانه ليس بعورة بخالف باطنهما فانه‬
‫عورة عك‪C‬س الكفين‪ .‬وعورته‪C‬ا عندالشافعي‪C‬ة جمي‪C‬ع بدنه‪C‬ا ويس‪C‬تثنى م‪C‬ن ذل‪C‬ك الوج‪C‬ه والكفان فقط‬
‫ظاهرهم‪C‬ا وباطنهما‪ .‬وعورته‪C‬ا عندالحنابل‪C‬ة جمي‪C‬ع بدنه‪C‬ا ويس‪C‬تثنى فق‪C‬ط الوج‪C‬ه وم‪C‬ا عداه منها‬
‫فهوعورة‪ .‬وعورته‪C‬ا عن‪C‬د المالكي‪C‬ة قس‪C‬مان‪ ,‬مغلظ‪C‬ة ومخفف‪C‬ة ولك‪C‬ل منهم‪C‬ا حكم‪C‬ه‪ ,‬فالمغلظ‪C‬ة جميع‬
‫بدنه‪C‬ا ماعدا األطراف والص‪C‬دروما حاذاه م‪C‬ن الظهر‪ .‬والمخفف‪C‬ة له‪C‬ا ه‪C‬ي الص‪C‬در وم‪C‬ا حاذاه من‬
‫الظهروالذراعين والعنق والصدر‪ ,‬ومن الركبة ال‪C‬ى أخرالقدم‪( .‬هذا التحديد يقارب التحديد بأن‬
‫المغلظ‪C‬ة ه‪C‬ي م‪C‬ا بي‪C‬ن الس‪C‬رة والركب‪C‬ة‪ ,‬والمخفف‪C‬ة م‪C‬ا عدا ذل‪C‬ك كعورة الرج‪C‬ل)‪ .‬أم‪C‬ا الوجه والكفان‬
‫ظهرا وبطن‪C‬ا فهمالي‪C‬س م‪C‬ن العورة مطلق‪C‬ا (الفق‪C‬ه عل‪C‬ى المذاه‪C‬ب األربع‪C‬ة‪ ,‬نشر وزارة األوقاف‬
‫‪.‬المصرية)‬
Maksudnya, bahwa aurat perempuan menurut para fuqaha sebagai beriut:
1) Menurut mazhab Hanafi aurat perempuan adalah seluruh badannya kecauali bathin dari
kedua telapak tangannya tidak termasuk aurat.
2) Menurut mazhab Syafi’i, aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajah dan
kedua telapak tangan baik dhahir mapun batin (bagian luar dan dalam telapak tangannya).
3) Menurut mazhab Hambali, aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajahnya,
selain wajah termasuk aurat.
4) Menurut mazhab Maliki, aurat perempuan terbagi dua bagian, yakni uarat mughaladhoh
(bagian yang sangat berat/terlarang) dan mukhoffafah (bagian yang ringan/terlarang).
Yang termamsuk aurat mughaladhoh adalah seluruh bagian badannya sejak dari puser
sampai dengan lutut, seperti aurat laki-laki. Sedangkan yang termasuk aurat muhkaffafah
adalah dada dan sekitarnya dari punggung, lengan tangan, leher dan dada, dan dari lutut
sampai dengan ujung telapak kaki.
Berdasarkan pendapat para fuqaha sebagaimana tersebut di atas, pakaian perempuan
harus memiliki sifat-sifat berikut :
a) Menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telap[ak tangan.
b) Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk tubuh.
c) Tidak tipis dan tembus pandang sehingga menampakkan kulit tubuh.
d) Tidak menyerupai lai-laki.
e) Tidak menyerupai pakaian perempuan kafir.
f) Bukan pakaian untuk mencari perhatian, kesombongan dan kemashuran.
g) Tidak memakai wangi-wangian.
h) Tidak memakai cadar dan sarung tangan .
(Fiqih Haji Komprehensif, Kementerian Agama , Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan haji dan Umrah, Jakarta, 2015, hal 219).
5. Menentukan Niat Ketika Berihram.
Tiga cara menentukan niat ihram, apakah berniat umrah, atau haji dan umrah,
atau berniat haji, sebagaimana dikemukakan dalam hadis Nabi Saw dari ‘Aisyah
sebagai berikut :
‫ن أهل‬C‫ا م‬C‫ ومن‬,‫ج وعمرة‬C‫ل بح‬C‫ن أه‬C‫ا م‬C‫ ومن‬,‫ل بعمرة‬C‫ن أه‬C‫ا م‬C‫لم فمن‬C‫ه وس‬C‫لى هللا علي‬C‫ول هللا ص‬C‫ع رس‬C‫ا م‬C‫خرجن‬
)‫بحج (متفق (عليه‬.
“Kami keluar (berangkat haji) bersama Rasulullah saw, maka sebagian dari
kami ada yang berniat umrah (tamattu’), sebagaian berniat haji dan umrah
(qiran), dan sebagaian yang lain berniat haji (ifrad)”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Sebelum berniat ihram termasuk wanita yang sedang haid atau nifas disunahkan
mandi kemudian berniat ihram, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebagai
berikut :
C‫نها قالت‬C‫ائشة رضي هللا ع‬C‫ لما روته ع‬,‫ن‬C‫اد االحرام حتى الحائض والنفساء والصبيا‬C‫وذلك مستحب لكل من ار‬
)‫واه مسلم‬C‫ها ان تغتسل وتهل (ر‬C‫ يأمر‬C‫ليه وسلم أبا بكر‬C‫رسول هللا صلى هللا ع‬C‫ فأمر‬,‫ نفست أسماء بنت عميس‬:.
Dalam hadis yang lain juga dijelaskan sebagai berikut :
‫ك كلها‬C‫ي المناس‬C‫ل وتحرم وتقض‬C‫ض تغتس‬C‫اء والحائ‬C‫ ان النفس‬: ‫لم‬C‫ه وس‬C‫لي‬C‫ ع‬C‫لى هللا‬C‫بي ص‬C‫ن الن‬C‫س ع‬C‫با‬C‫ ع‬C‫ن‬C‫ن اب‬C‫ع‬
)‫مذي‬C‫ التطوف بالبيت (رواه أبو داود والتر‬C‫غير أن‬.
Maksudnya adalah bagi wanita yang sedang haid atau nifas disunatkan mandi
lalu berihram dan melakukan manasik, kecuali dilarang mengerjakan tawaf di
Baitullah.
6.Ketika Membaca Talbiyah.
Para fuqaha mengemukakan tentang hukum membaca talbiyah sebagai berikut :
‫ كالتكبير‬C‫ا‬C‫ح اال به‬C‫ شرط االحرام اليص‬C‫ن‬C‫ م‬C‫ا‬C‫ أنه‬: ‫ة‬C‫د الحنفي‬C‫ وعن‬,‫نة‬C‫ة س‬C‫بل‬C‫ة والحنا‬C‫د الشافعي‬C‫ة عن‬C‫م التلبي‬C‫وحك‬
‫لى‬C‫ وهللا أعلم (أالفصاح ع‬.‫ بتركها دم‬C‫ ويجب‬,‫ واجبة‬: ‫ وعند المالكية‬C.‫للصالة‬
143 C‫ ص‬,‫لى مذاهب األربعة‬C‫)مسائل االيضاح ع‬
a. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali , membaca talbiyah hukumnya sunah.
b. Menurut mazhab Hanafi, membaca talbiyah termasuk syarat dalam ihram.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, membaca talbiyah wajib walaupun satu kali
dalam haji/umrah. Jika tidak membaca talbiyah wajib membayar dam.
c. Membaca talbiyah berakhir :
1) Setelah lontaran pertama bagi yang mendahulukan melontar jamrah Aqabah.
2) Setelah selesai putaran pertama tawaf, bagi yang mendahulukan tawaf
ifadah.
3) Setelah menggunting rambut selesai, bagi yang mendahulukan memotong
rambut.
d. Bagi haji wanita ketika membaca talbiyah cukup didengar oleh dirinya sendiri,
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
‫أة فانها تسمع نفسها وال ترفع صوتها‬C‫ المر‬C‫ أما‬,‫فع الرجال أصواتهم بالتلبية‬C‫ ير‬: ‫طاء أنه يقول‬C‫عن ع‬
)93 ‫ ص‬, ‫ والعمرة‬C‫(المغني فى فقه الحج‬.
“dari ‘Atho bahwa sesungguhnya dia berkata: jamaah haji laki-laki dapat
mengeraskan suaranya ketika membaca talbiyah, sedangkan wanita hanya
terdengar oleh dirinya dan tidak mengeraskan suaranya”.
7. Ketentuan Khusus Bagi Wanita dalam Manasik Haji.
Secara umum manasik haji mengatur bagaimana tatacara melaksanakan
ibadah haji, sejak dari ihram di miqat makani sampai dengan pelaksanaan
tawaf wada’ (pamitan) ketika rangkaian kegiatan ibadah haji telah selesai.
Akan tetapi ada beberapa ketentuan khusus bagi wanita yang perlu mendapat
perhatian dari jemaah haji wanita yaitu :
a.Tidak mengeraskan suaranya ketika membaca talbiyah.
b.Tidak diperbolehkan membuka kepalanya, baik dalam ihram atau tidak
dalam keadaan ihram.
c.Tidak idhtiba’ (tidak terbuka ketiaknya), dan tidak lari-lari kecil ketika
tawaf dan sa’i.
d.Tidak mencukur rambutnya (ketika tahallul) akan tetapi cukup dengan
memotong sepanjang jari, karena mencukur hukumnya haram menurut
mayoritas para ahli fiqih.
e.Memakai pakaian yang menutup aurat, memakai sepatu, tidak memakai
kaos tangan dan tidak memakai wangi-wangian.
f.Tidak memdekat ke Hajar Aswad ketika tawaf, pada saat keadaan sangat
padat dan berdesakan dengan laki-laki.
g. Dalam keadaan haid/nifas boleh melakukan semua amalam kecuali
tawaf.
h. Jika setelah tawaf ifadah datang haid dan segera meninggalkan Makkah
maka diperbolehkan tidak tawaf wada’ karena Nabi Saw memberikan
rukhsah (dispensasi) kepada mereka. (Fiqh al-Ibadat al-Hajj, Hasan Ayyub,
hal. 186).
8. Menggunakan Sabun Ketika Mandi dalam Keadaan Ihram.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa seseorang yang sedang dalam ihram
harus menghindari dari memakai wangi-wangian bahkan Imam Nawawi
menyatakan haram memakai wangi-wangian bagi orang yang sedang ihram.
Untuk lebih lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan sebagai berikut :
a. Para ulama sepakat bahwa setelah berihram (niat haji/umrah) dilarang
memakai wangi-wangian baik di badan maupun pada pakaian ihram.
b. Mazhab Syafi’i dan Hambali menyatakan, boleh mandi dengan
menggunakan sabun mandi.
c. Mazhab Hanafi, tidak membolehkan mandi dengan memakai sabun dan
lainnya.
d. Mazhab Maliki menyatakan, boleh mandi hanya untuk mendinginkan
badan bukan untuk membersihkan.
Dalam buku “al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu” dikemukakan :
‫د الحنفية‬C‫ابون ونحوه عن‬C‫ وال يجوز بالص‬,‫ة‬C‫ة والحنابل‬C‫د الشافعي‬C‫ابون عن‬C‫و بالص‬C‫ال ول‬C‫ويجوز االغتس‬
)239 ‫ ص‬3 ‫ ج‬,‫ويغسل عند المالكية لتبرد ال للتنظيف (الفقه االسالمي وأدلته‬.
Pendapat lain yang dikemukakan dalam kitab “al-Hajj wa al-Umrah” ,
Darul Ifta al-Mashriyah, sebagai berikut :
.‫و من محظوراته‬C‫س باالحرام فه‬C‫ن تلب‬C‫ى البدن أوالثياب أوالطعام لم‬C‫تحدام العطرف‬C‫يحرم اس‬
‫س من المعطرالذي‬C‫ه لي‬C‫تعماله ألن‬C‫ه يجوز للمحرم اس‬C‫ أن‬:‫ى الفتوى‬C‫ر فالمختار ف‬C‫ابون المعط‬C‫وأمالص‬
‫ داراالفتاء‬,‫ن الخالف (كتاب الحج والعمرة‬C‫ا م‬C‫تعماله خروج‬C‫ب وان األحوط عدم اس‬C‫د للتطي‬C‫يقص‬
)133 ‫ ص‬,‫ هجرية‬1432 ,‫المصرية‬.
Maksudnya: “Haram menggunakan wangi-wangian di badan, kain atau
makanan bagi yang sudah berniat ihram karena hal itu merupakan larangan.
Adapun menggunakan sabun wangi ditegaskan dalam fatwa ini
diperbolehkan karena bukan tujuan menggunakan wangi-wangian. Jika
utnuk kehatia-hatian tidak menggunakannya, maka mengambil sikap yang
lebih hati-hati, yakni keluar dari perbedaan pendapat tersebut”.
9. Menjaga Larangan Ihram.
Jamaah wanita harus menjaga ihramnya dari perbuatan-perbuatan terlarang,
baik rafas, fusuq maupun jidal. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 197
disebutkan :
‫) فعلى‬197 :‫ج (البقرة‬C‫ى الح‬C‫وق والجدال ف‬C‫ث والفس‬C‫ج فالرف‬C‫ن الح‬C‫ن فرض فيه‬C‫ر معلومات فم‬C‫ج أشه‬C‫الح‬
‫ا فعلنا كذا وكذا‬C‫ن احرامن‬C‫ا م‬C‫ ان أحللن‬:‫ه‬C‫ل المرأت‬C‫ن يقول الرج‬C‫ كأ‬,‫ه الكالم حول الجماع‬C‫ أن‬:‫يرالرفث‬C‫تفس‬
‫ وجاء فى‬,‫باب‬C‫ الس‬:‫وق‬C‫ا الفس‬C‫ه أيض‬C‫ن عباس وعن‬C‫ن اب‬C‫ا جاء ع‬C‫ي كم‬C‫ي المعاص‬C‫ ه‬: ‫وق‬C‫ والفس‬.‫فاليجوز ذلك‬
‫احبك كما‬C‫ب أخاك وص‬C‫ى تغض‬C‫ هوالمراء والمالحاةحت‬:‫ والجدال‬.‫ه كفر‬C‫وق وقتال‬C‫لم فس‬C‫باب المس‬C‫ س‬:‫ث‬C‫الحدي‬
‫ن عبد القادر‬C‫عيد ب‬C‫ س‬,‫ج والعمرة‬C‫ه الح‬C‫ى فق‬C‫ي ف‬C‫ر(المغن‬C‫ن عم‬C‫عود واب‬C‫ن مس‬C‫ن اب‬C‫ن عباس ونحوه ع‬C‫ره اب‬C‫فس‬
)140 ‫ صحيفة‬,‫باشنفر‬.
Maksud ayat 197 dalam surat al-Baqarah tersebut di atas adalah sebagai
berikut :
a. Rafas adalah perkataan/ucapan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
sexual/porno, seperti seseorang mengatakan “jika kami sudah tahallul dari
ihram akan melakukan begini-begini, maka hal itu tidak diperbolehkan.
b. Fusuq adalah perbuatan maksiat, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abbas
bahwa fusuq adalah memakai-maki orang lain. Dalam hadis disebutkan bahwa
memaki-maki seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kufur.
c. Jidal adalah bertengkar, sikap sombong, sampai engkau membuat orang lain
marah sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
Adapun jenis larangan ihram adalah :
1) Melakukan hubungan badan (bersetubuh).
2) Memakai pakaian bertangkup/berjahit bagi laki-laki.
3) Menutup kepala bagi laki-laki.
4) Menutup muka dan kedua telapak tangan bagi wanita.
5) Mencukur/memotong rambut bagi laki-laki dan wanita.
6) Memotong kuku bagi laki-laki dan wanita.
7) Memakai wangi-wangian bagi laki-laki dan wanita.
8) Mmakai minyak rambut bagi laki-laki dan wanita.
9) Melakukan akan nikah.
10) Membunuh binatang.
11) Bercumbu.
12)Mencabut atau merusak pohon atau tumbuh-tumbuhan, melakukan
perbuatan rafas, fusuq dan jidal.
d. Pelanggaran ihram yang sangsinya boleh memilih (Dam Takhyir).
Dalam kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal’Umrah, Imam Nawawi
mengemukakan sebagai berikut :
‫ فمن حلق الشعر أوقلم األظفار أولبس أوتطيب أودهن الرأس أواللحية أوباشر فيما دون‬,‫وأما ارتكاب المحظور‬
‫الفرج بشهوة لزمه أن يذبح شاة أويطعم ستة مساكين نصف صاع أويصوم ثالثة أيام وهو مخير بين األمور‬
)477-476 ‫ صحيفة‬,‫الثالثة (االيضاج فى مناسك الحج والعمرة‬.
Jamaah haji atau umrah yang melanggar larangan ihram seperti
mencukur/memotong rambut, memotong kuku, memakai pakaian biasa atau
bertangkup (ujungnya berjahit secara permanen) bagi laki-laki , memakai wangi-
wangian, memakai minyak rambut kepala/jenggot, bersentuhan antara laki-laki dan
wanita dengan syahwat (selain bersentuhan farji), maka yang bersangkutan
dikenakan sangsi membayar Dam Takhyir, yakni memilih diantara memotong
kambing, atau memberi makan kepada 6 orang miskin masing-masing setengah sha’
(1,02 kg), atau berpuasa tiga hari” (a-Idhah fi Manasik al-hajj wal’Umrah, hal 476-
477).
Catatan: 1) satu sha’ menurut jumhur ulama 2,04 kg, sedangkan menurut mazhab
Hanafi, satu sha’ 3,25 kg.
2) satu mud = 510 gram (jumhur ulama), 812,5 gram (Hanafi).
e. Bagi jamaah yang melakukan pelanggaran ihram karena lupa atau
karena tidak mengerti (bodoh), para fuqaha berbeda pendapat, sebagai
berikut :
‫ه ناسيا أوجاهال‬C‫ه أولحيت‬C‫ن رأس‬C‫و ده‬C‫ب أ‬C‫س أوتطي‬C‫هوا أوجهال) وان لب‬C‫ل محظور س‬C‫ئلة (فع‬C‫مس‬
‫ة والمزني‬C‫ك وأبوحنيف‬C‫ وقال مال‬.‫ه قال الثوري وعطاء والزهري‬C‫ وب‬.‫ة عليه‬C‫ فال فدي‬... ‫م‬C‫بالتحري‬
‫ا استكرهوا‬C‫يان وم‬C‫أ والنس‬C‫ي الخط‬C‫ن أمت‬C‫ع ع‬C‫ رف‬:‫لم‬C‫ه وس‬C‫لى هللا علي‬C‫ه ص‬C‫ا قول‬C‫ دليلن‬.‫ه الفدية‬C‫ب علي‬C‫يج‬
)197 ‫ المجلد الرابع صحيفة‬,‫عليه (البيان فى مذهب االمام الشافعي‬.
“Jika jamaah haji memakai pakaian biasa, atau memakai wangi-wangian
(minyak wangi/parfum), memakai minyak rambut kepala atau jenggot,
karena lupa atau karena tidak mengerti larangan ihram, maka yang
bersangkutan tidak dikenakan fidyah. Demikian pendapat as-Tsauri, Atho
dan Azzuhry, akan tetapi menurut pendapat Imam Malik, Abu Hanifah
dan al-Muzani, wajib membayar fidyah”. Dalil hukum yang kami
pedomani adalah sabda Nabi Saw yang menyatakan bahwa umatku akan
dihapus dosanya karena kesalahan yang tidak disengaja, karena lupa atau
karena mereka tertekan(dipaksa).
10. Dam Kifarat bagi Haji Wanita Karena Melakukan Hubungan Badan (jima’)
dalam Keadaan Ihram.
a. Suami istri melakukan hubungan badan sebelum tahallul awal, hajinya batal dan
wajib menyembelih seekor unta/sapi, kalau tidak ada, menyembelih 7 ekor kambing,
kalau tidak ada bersedekah seharga unta, kalau tidak ada berpuasa 10 hari, wajib
menyelesaikan haji yang batal dengan tetap berlaku larangan ihram yang lain, dan
wajib mengulang hajinya pada tahun berikutnya dengan cara suami dan istri terpisah.
b. Suami-istri bersetubuh setelah tahallul awal, para ulama sepakat bahwa perbuatan
tersebut tidak merusak hajinya akan tetapi ybs dikenakan sanksi (kifarat). Dalam hal
sanksi yang harus dibayarkan, para ulam berbeda pendapat sebagaimana
dikemukakan dalam “Mausu’ah al-Fiqhiyah” jilid 2 hal. 192, sebagai berikut :
1) Menurut ulama mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali yang bersangkutan
dikenakan sanksi wajib membayar denda berupa seekor kambing.
2) Menurut ulama mazhab Maliki, ybs wajib membayar denda/kifarat berupa
seekor unta atau sapi.
c. Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang dam kifarat bagi haji wanita yang
melakukan pelanggaran hubungan badan (jima’) dalam kedaan ihram, sebagai
berikut :
‫ قال ابن‬:‫ا بدنة ؟ قا النووي‬C‫ل منهم‬C‫ن ك‬C‫م أ‬C‫ أ‬,‫ل الزوجين‬C‫ن ك‬C‫ل تجزئ بدنة واحدة ع‬C‫ ه‬: ‫م‬C‫ل العل‬C‫ف أه‬C‫واختل‬
‫ل واحد‬C‫ى ك‬C‫ عل‬,‫م وحماد والثوري وأبوثور‬C‫يب والضحاك والحك‬C‫ن المس‬C‫ن عباس واب‬C‫ب اب‬C‫ وأوج‬: ‫المنذر‬
‫ن يجزئهما هدي‬C‫و أ‬C‫ه أرج‬C‫د أن‬C‫ن أحم‬C‫ وع‬... ‫ة‬C‫ا بدن‬C‫د منهم‬C‫ل واح‬C‫ى ك‬C‫ عل‬:‫ك‬C‫ي ومال‬C‫ وقال النخع‬.‫ا هدي‬C‫منهم‬
)107-106 ‫ صحيفة‬,‫ وروى ذلك عن عطاء وهو مذهب الشافعي (المغنى فى فقه الحج والعمرة‬.‫واحد‬.
Maksudnya: “Para ahli berbeda pendapat, apakah Dam Kifarat satu ekor unta
mencukupi untuk suami dan istri, atau masing-masing satu ekor unta ?
Menurut Imam an-Nawawi dengan mengambil pendapat Ibnul Munzir
menyatakan bahwa Ibnu Abas, Ibnu Musyyab, al-Dhohak, al-Hakim, Hamad,
al-Tsauri dan Abu Tsaur, mereka mewajibkan atas masing-masing dari suami
dan istri membayar hadyu. Demikian pula Imam al-Nakho’i dan Imam Malik
menyatakan masing-masing satu ekor unta, Sementara Ahmad berpendapat
cukup satu ekor hadyu untuk kedua-duanya, hal tersebut diriwayatkan dari
Atho dimana beliau bermazhab Syafi’i”.
11. Akad Nikah dalam Keadaan Ihram.
Menurut jumhur ulama, seseorang yang sedang dalam ihram haram
melakukan akad nikah atau menikahkan, baik langsung dengan wali atau nikah
dengan wakil. Jika pernikahan tersebut dilakaukan maka nikahnya batal. Imam
Nawawi dalam Syarah Muslim mengemukakan :
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama dari golongan shahabat
Nabi, mereka menyatakan “tidak sah nikahnya orang yang sedang dalam
ihram” berdasarkan dalil hadis Nabi dari Usman bin Afan sbb :
)‫ الينكح المحرم وال ينكح وال يخطب (رواه مسلم‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.
“Rasulullah Saw bersabda : Seseorang yang sedang dalam ihram tidak
boleh menikah, menikahkan dan melamar (H.R. Muslim).
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dalam
keadaan ihram, berdasarkan hadis dari Ibnu Abas r.a yang diriwayatkan al-
Bukhari dan Muslim :
‫ رواه البخاري ومسلم‬. ‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم تزوج ميمونة وهو محرم‬.
“Sesungguhnya Nabi Saw menikahi Maemunah ketika beliau dalam
keadaan ihram”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
12. Ketentuan Tawaf.
Tawaf itu seperti shalat tetapi Allah Swt memperbolehkan berbicara
dalam tawaf dengan perkataan yang baik, sebagaimana hadis dari Ibnu
Abbas r.a :
‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‪ :‬الطواف صالة اال أن هللا أحل فيه الكالم‪ ,‬فمن تكلم فال يتكلم‬
‫‪.‬اال بخير (رواه الترمذي والدارقطني وصححه الحاكم وابن خزيمة وابن السكن)‬
‫‪Beberapa ketentuan mengenai thawaf, baik thawaf umrah maupun‬‬
‫‪tawaf haji, antara lain :‬‬
‫‪a. Harus suci dari hadas besar dan kecil serta suci dari najis sebagaimana‬‬
‫‪pendapat mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan mazhab‬‬
‫‪Hanafi berpendapat bahwa tawaf tidak disyaratkan harus suci, jika‬‬
‫‪melaksanakan thawaf dalam keadaan tidak suci maka tawafnya sah‬‬
‫‪tetapi ybs wajib membayar Dam seekor kambing. Dalam kitab‬‬
‫‪“Hidayatu as-Salik ‘ala Madzahib al-Arba’ah, hal 916, sebagai berikut :‬‬
‫أم‪C‬ا الواجبات فمنه‪C‬ا ‪ :‬الطهارة ع‪C‬ن الحدث والنج‪C‬س ف‪C‬ى البدن والثوب والمكان الذي (يطئه)‬
‫ف‪C‬ى طوافه‪ .‬فم‪C‬ن طاف محدث‪C‬ا أوعلي‪C‬ه نجاس‪C‬ة غيرمعفوعنه‪C‬ا أووط‪C‬ئ نجاس‪C‬ة عامدا أوناسيا أوجاهال‬
‫لم يصح طواف‪C‬ه عن‪C‬د الشافعي‪C‬ة وكذل‪C‬ك مذهب المالكي‪C‬ة والحنابلة‪ .‬اال المشهور عندالمالكي‪C‬ة‪ :‬ان ازالة‬
‫النجاس‪C‬ة واجب‪C‬ة م‪C‬ع الذك‪C‬ر س‪C‬اقطا م‪C‬ع النس‪C‬يان والعجز‪ .‬وقال الحنابل‪C‬ة‪ :‬انه‪C‬ا تس‪C‬قط بذل‪C‬ك وبالجهل‬
‫‪(.‬هداية السالك على مذاهب األربعة‪ ,‬صحيفة ‪)916‬‬
“Diantara persyaratan wajib yang harus dipenuhi dalam tawaf adalah
suci dari hadas dan dari najis baik di badan, pakaian, dan tempat tawaf.
Barang siapa tawaf dalam keadaan berhadas atau terkena najis, disengaja
atau lupa, atau karena tidak mengerti (jahil), maka tawafnya tidak sah
menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan hanbali. Kemudian mazhab Maliki
menyatakan: sesungguhnya menghilangkan najis wajib ketika dia
ingat,dan menjadi gugur ketika dalam keadaan lupa dan lemah (sulit).
Sedangkan mazhab Hambali menyatakan: gugur kewajiban
menghilangkan najis karena lupa dan lemah saja, termasuk karena tidak
mengerti”. (Hidayatus Salik ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 916).
Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat “suci dari hadas, junub, haid
dan nifas, tidak menjadi syarat sahnya tawaf. Apabila seseorang
mengerjakan tawaf qudum dalam keadaan berhadas kecil maka dia
wajib bersedekah, kalau dia dalam keadaan junub (hadas besar) wajib
mengulang tawafnya. Jika tidak mengualang tawafnya wajib membayar
Dam”. (Hidayatus Salik ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 919).
b. Bagi jamaah wanita yang mempunyai udzur syar’i seperti beser, atau buang
angis (kentut) terus menerus, atau karena istihadhoh, maka ketentuan udzur
syar’i dikemukakan Dr. Mukammad Bakar Islmail, sebagai berikut :
‫ هوالذي يخرج منه الحدث الناقض للوضوء فى غيرحال الصحة‬:‫المعذورالذي نريد ان نتكلم عنه هنا‬
‫ن يغالبه خروج البول‬C‫ه كم‬C‫ه ضبط‬C‫ اليمكن‬,‫ه وقتا‬C‫تمرخروج هذا الحدث من‬C‫ ويس‬,‫ة‬C‫ة مرضي‬C‫بب حال‬C‫أي بس‬
‫ها (الفقه‬C‫ا ونفاس‬C‫ى غيرأيام حيضه‬C‫ا ف‬C‫ن فرجه‬C‫ي يخرج الدم م‬C‫تحاضة الت‬C‫ة المس‬C‫ أوكالمرأ‬,‫ح‬C‫أوانفالت الري‬
)66 ‫ صحيفة‬,‫ المجلد األول‬,‫ محمد بكراسماعيل‬.‫ د‬,‫الواضح من الكتاب والسنة على المذاهب األربعة‬.
“Udzur adalah sesuatu halangan (hadas) yang keluar terus menerus dari
(qubul atau dubur) seseorang yang disebabkan karena sakit dan dapat
merusak atau membatalkan wudhu seperti beser, buang angin (kentut) terus
menerus, atau istihadhah bagi wanita yakni darah keluar dari farji diluar
hari-hari haid atau nifas”.
Jamaah wanita yang termasuk udzur syar’i, dalam buku Fiqih Sunnah,
jilid 1 hal 588 dikemukakan sbb :
‫ا فانه يطوف وال‬C‫أ دمه‬C‫ى اليرف‬C‫تحاضة الت‬C‫لس بول والمس‬C‫ه س‬C‫ن ب‬C‫ا كم‬C‫ن ازالته‬C‫ة اليمك‬C‫ه نجاس‬C‫ن كان ب‬C‫وم‬
)588 ‫ ص‬,‫ المجلد األول‬,‫شيئ عليه بالتفاق (فقه السنة للشيخ السيد سابق‬.
“Barang siapa terkena najis yang tidak mungkin dapat menghilangkannya
seperti karena iar kencing keluar terus menerus, (beser), atau karena
istihadhah yang sulit menghalangi keluarnya darah, maka diperbolehkan
melaksanakan tawaf dan tidak dikenakan sangsi/denda apapun berdasarkan
kesepakatan ulama fuqaha”.
c.Untuk mengantisipasi kemungkinan datang haid terkait dengan pelaksanaan
tawaf, hukum syara’ (Islam) memperbolehkan penggunaan obat utnuk
menghambat keluarnya darah haid, sebagaimana hadis dari Ibnu Amr yang
diriwayatkan Said bin Manshur :
‫ا (أخرجه سععيد‬C‫ه بأس‬C‫ة تشرب الدواء ليرتفع حيضها لتنفر ولم ير ب‬C‫ن المرأ‬C‫ئل ع‬C‫ن عمرو س‬C‫ن اب‬C‫ع‬
)‫بن منصور‬.
“Dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw ditanya tentang wanita yang minum obat
untuk menghilangkan (menunda) haidnya supaya dapat bernafar (tawaf
ifadhah), beliau tidak memandangnya sebagai sesuatu yang tercela (H.R.
Said bin Manshur).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang komisi fatwa tanggal 12
Januari 1979 memutuskan :
1) penggunaan obat (pil anti haid) untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya
mubah (boleh dilakukan).
2) penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa
Ramadhan sebulan penuh, hukumnya makruh. Tapi bagi wanita yang sukar
mengqadha puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
3) penggunaan pil manti haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya
tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada
pelanggaran hukum Agama, hukumnya haram.
d. Solusi hukum tawaf Ifadah bagi wanita yang sedang haid atau nifas.
1) Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang bersangkutan berusaha menunda
kepulangannya ke tanah aiar dengan berpindah kloter dan hendaknya ada
keluarga/mahram yang dapat menemaninya sampai dalam keadaan suci, karena
syarat sahnya tawaf harus suci dari hadas. Namun karena hal ini terkait dengan
ketersediaan seat penberbangan dan akomodasi, solusi ini tidak selalu mudah
untuk dilakukan.
2) Menurut mazhab Hanafi, dalam keadaan haid atau nifas boleh mengerjakan
tawaf dan sah tawafnya karena menurut madzhab Hanafi tawaf tidak
disyaratkan harus suci dari hadas, tetapi wajib menyembelih seekor unta atau
sapi atau 7 ekor kambing.
3) Dalam salah satu riwayat, Ahmad bin Hambal menyatakan : tawafnya
sah dan cukup menyembelih seekor kambing.
4) Ibnu Taimiyah berpendapat tawafnya sah dan tidak dikenakan denda
apapun. Keterangan tersebut dikutip dari kitab “al-Mughni fi Fiqh al-
Hajj wal’Umrah, Said bin Abd.Qadir Bashinfar, hal 204-206).
5) Jika tidak mungkin untuk tetap tinggal di Makkah sampai suci karena
tidak ada biaya atau tidak ada yang mendampinginya atau karena
alasan lainnya maka dia boleh pulang ke tanah air tanpa mengerjakan
tawaf Ifadah tapi kewajiban tawaf ifadah masih melekat, dan yang
bersangkutan baru tahallul awal, tidak boleh melakukan hubungan
suami istri (jima’) dan harus kembali lagi ke Makkah untuk melakukan
tawaf Ifadah.
6) Menurut Jadul Haq, wanita dalam keadaan haid dan tidak mungkin
menetap di Makkah menunggu sampai suci, dapat mewakilkan tawaf
Ifadhah kepada orang lain. Sebagaimana dikemukakan dalam bukunya
yang berjudul “Fatwa al-Azhar” jilid 1 hal 205 sebagai berikut :
‫ن تنيب‬C‫ه أ‬C‫ن انقطاع‬C‫ى حي‬C‫ة ال‬C‫ى مك‬C‫ا البقاء ف‬C‫م يمكنه‬C‫ة ول‬C‫ل طواف االفاض‬C‫ض قب‬C‫ا الحي‬C‫ة اذا فجأه‬C‫يجوزللمرأ‬
‫ا موئديا‬C‫ا نائب‬C‫ن ينوي الطواف عنه‬C‫ وأ‬,‫ه‬C‫ن نفس‬C‫ه ع‬C‫د طواف‬C‫ا بع‬C‫ن يطوف عنه‬C‫ى أ‬C‫ى هذا الطواف عل‬C‫ا ف‬C‫غيره‬
)205 ‫ ص‬1 ‫ ج‬,‫ (فتاوى األزهر‬... ‫طوافها بكل شروطه‬.
“Bagi haji wanita yang tiba-tiba haid dan yang bersangkutan belum
melaksanakan tawaf ifadah, dan tidak mungkin menetap di Makkah selama haid,
maka dapat mewakilkan tawaf ifadah kepada orang lain setelah orang yang
mewakili melaksanakan tawaf untuk dirinya”.
7) Syekh Abdul Rahman Mahmud Madho al-’Alwani al-Jahani, menyatakan dalm
“Kitab Qathfu as-Tsimar fi Ahkam al-Hajj wal I’timar ‘ala al-Madzahib al-
Arba’ah” halaman 64-66, sebagai berikut :
‫ قسم‬.‫ل طواف الركن‬C‫ة قب‬C‫ض المرأ‬C‫ي حي‬C‫ وه‬,‫ام‬C‫ة أقس‬C‫ى أربع‬C‫وءال عل‬C‫ا الس‬C‫ع فيه‬C‫ئلة وق‬C‫ى مس‬C‫ ف‬: ‫ة‬C‫فائدة عظيم‬
‫ والقسم‬.‫انقطع دم حيضهن يوما بواسطة دواء فاغتسلن وطفن ثم عاد عليهن الدم بعدالطواف فى زمن العادة‬
‫ والقسم الثالث طفن قبل‬.‫ وعاد كذلك فى زمن العادة بعد الغسل والطواف‬,‫ انقطع الدم يوما بدون سبب‬:‫اآلخر‬
‫ سافرن بدون طواف‬: ‫ والقسم الرابع‬.‫انقطاع الدم والغسل‬.
Faidah yang sangat besar, yakni dalam masalah yang terjadi dan dipersoalkan
terdiri atas empat bagian yaitu mengenai wanita yang haid sebelum melakukan
tawaf rukun :
‫‪a) Darah haid berhenti satu hari disebabkan karena minum obat, lalu dia mandi‬‬
‫‪dan tawaf. Kemudian darah haid keluar lagi seperti biasa setelah tawaf.‬‬
‫‪b) Darah haid berhenti satu hari tanpa sebab, kemudian darah haid keluar‬‬
‫‪kembali setelah mandi dan melaksanakan tawaf.‬‬
‫‪c) Dia mandi dan tawaf sebelum darah haid berhenti.‬‬
‫‪d) Dia dalam keadaan masih haid safar (pulang) ke negaranya tanpa terlebih‬‬
‫‪dahulu melaksanakan tawaf.‬‬
‫‪Selanjutnya beliau mengemukakan jawabannya sebagai berikut :‬‬
‫والخالص م‪C‬ن هذه المس‪C‬ئلة العظيم‪C‬ة تقلي‪C‬د األئم‪C‬ة األربع‪C‬ة أوأحدهم‪ .‬فالقس‪C‬م اآلول والثان‪C‬ى طوافه‪C‬ن صحيح‬
‫عل‪C‬ى أح‪C‬د القولي‪C‬ن ف‪C‬ى مذه‪C‬ب االمام الشافع‪C‬ي‪ ,‬وهوالنقاء طهرويعرف بالتلفي‪C‬ق‪ ,‬وذه‪C‬ب الي‪C‬ه م‪C‬ن اآلصحاب‬
‫الشيخ االمام أبوحام‪C‬د والمحاملى فى كتبه وسليم والشيخ منصورالمقدسى وغيره‪C‬م م‪C‬ن اآلصحاب‪ .‬ويصح‬
‫طوافهن على مذهب االمام مالك‪ ,‬آلن عنده النقاء فى أيام التقطع طهر‪ ,‬وكذلك يصح طوافهن على مذهب‬
‫االمام أ‪C‬بى حنيفة‪ .‬آلن‪C‬ه اليشترط الطهارة ع‪C‬ن الحدث والنج‪C‬س ف‪C‬ى الطواف‪ ,‬فيص‪C‬ح عنده م‪C‬ن الحائض‬
‫والجن‪C‬ب م‪C‬ع الحرمة‪ .‬القس‪C‬م الثال‪C‬ث يص‪C‬ح طوافه‪C‬ن عل‪C‬ى مذه‪C‬ب االمام أبوحنيفة‪.‬وف‪C‬ى احدى الروايتي‪C‬ن عند‬
‫االمام أحم‪C‬د‪ ,‬ويلزم ف‪C‬ى ذل‪C‬ك ذب‪C‬ح بدن‪C‬ة‪ ,‬وتأث‪C‬م بدخوله‪C‬ا الحرم فنقول له‪C‬ا ‪ :‬اليح‪C‬ل ل‪C‬ك الدخول وأن‪C‬ت حائض‪,‬‬
‫واذا دخل‪C‬ت وطف‪C‬ت أجزاك م‪C‬ن طواف الفرض‪.‬القس‪C‬م الراب‪C‬ع ‪ :‬الت‪C‬ى س‪C‬افرن بدون طواف‪ ,‬فق‪C‬د نقل‬
‫المص‪C‬ريون ع‪C‬ن مال‪C‬ك‪ :‬أ‪C‬ن م‪C‬ن طاف طواف القدوم وس‪C‬عى ورج‪C‬ع ال‪C‬ى بلده قب‪C‬ل طواف االفاضة جاهال‬
‫‪ .‬أوناسيا أجزأه عن طواف االفاضة ويلزمه ذبح بدنة‪ .‬انتهى‬
Maksudnya : Kesimpulan dari masalah yang sangat besar dan dipertanyakan di
atas, maka hendaknya mengikut pendapat para imam mazhab yang empat atau
salah satu dari mereka:
- Pendapat pertama dan kedua :
Tawafnya sah menuurut salah satu dua pendapat mazhab imam Syafi’i, dan
pengikut imam Syafi’i diantaranya Syekh imam Abu Hamid, al-Mahamily, Salim,
Syekh Mansur, dan lain-lain. Demikian pula mazhab Imam Malik. Mazhab imam
Abu Hanifah menyatakan bahwa tawafnya sah karena tidak disyaratkan harus suci
dari hadas dan najis dalam tawaf, tapi karena dalam keadaan haid atau junub
termasuk berbuat haram.
- Pendapat ketiga :
Sah tawafnya menurut mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah
satu dari dua riwayatnya, tapi dia harus membayar dam/kifarat berupa satu ekor
unta dan dia berdosa karena masuk masjidil haram dalam keadaan haid.
- Pendapat kempat :
Wanita haid yang safar/kembali ke tanah air belum melaksanakan tawaf
rukun/ifadhah, maka ulama Mesir mengutip dari pendapat Imam Malik : Barang
siapa melakukan tawaf qudum lalu melaksanakan sa’i kemudian
pulang ke negaranya sebelum tawaf ifadhah karena dia jahil (tidak mengerti)
atau karena lupa, maka tawaf qudumnya dapat mencukupi/menutup tawaf
ifadhahnya tapi wajib membayar dam/kifarat berupa seekor unta.
f. Tidak disunahkan lari-lari kecil bagi wanita pada tiga putaran pertama tawaf
dan ketika sa’i.
‫ فال ترمل المرأة وال تضطبع ويكون الرمل فى الطواف الذي يعقبه‬,‫والرمل واالضطباع خاص بالرجال‬
)212 ‫ ص‬,‫سعي (المغني فى فقه الحج والعمرة‬.
“Lari-lari kecil dan idthiba’ (menyelendangkan kain ihram dan membuka
ketiak sebelah kanan) khusus bagi laki-laki, wanita tidak boleh lari2 kecil dan
tidak boleh idthiba’...)”.
Dalam kitab “al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal’Umrah, hal. 26 juga disebutkan :
‫ل فى حال‬C‫ل ان كان باللي‬C‫ل حال وقي‬C‫ا بك‬C‫ى هيئته‬C‫ي عل‬C‫ل تمش‬C‫ال ب‬C‫عى أص‬C‫ا التس‬C‫ح أنه‬C‫ة فاألص‬C‫ا المرأ‬C‫وأم‬
)26 ‫ ص‬,‫خلوالمسعى فهي كالرجال تسعى فى موضع السعي(االيضاح فى مناسك الحج والعمرة‬.
“Bagi wanita sebaiknya ketika sa’i tidak lari2 kecil tetapi berjalan seperti
biasa, kecuali dalam kondisi sepi seperti malam hari diperbolehkan seperti sa’i
laki-laki”.
Selanjutnya penjelasan dalam “Kitab al-Hajj wal’Umrah, Darul Ifta al-
mishriyah” sbb :
‫ فمن كان معه نساء يخاف أن يدركنه‬.‫ وأما األنثى فيكره لها الرمل‬,‫والرمل مستحب فى حق الذكرفقط‬
)79 ‫ ص‬,‫ داراالفتاء المصرية‬,‫فال يرمل ألن الضعيف أمير الركب (كتاب الحج والعمرة‬.
“Berjalan cepat (ramal) disunatkan bagi laki-laki saja, sedangkan bagi
wanita berjalan cepat makruh. Barang siapa yang tawaf bersama dengan wanita
dan merasa takut kalau terpisah, maka dia tidak perlu ramal karena orang yang
lemah berhak ditolong/naik kendaraan”.
g. Boleh berhenti/istirahat ketika tawaf atau sa’i karena capai atau ada hajat
lainnya. Pendapat tersebut dikemukakan mazhab Hanafi dan Syafi’i , karena
muwalat (menyambung) dalam putaran tawaf dan sa’i hukumnya sunnah :
‫ فلو فرق تفريقا كثيرا‬.‫ المواالة بين أجزاء الطواف سنة‬:‫وقال الحنفيون وهوالصحيح عند الشافعي‬
)90 ‫ ص‬,‫بين أجزاء الطواف لغيرعذر اليبطل طوافه (فقه العبادات الحج‬.
h. Tidak mencium Hajar Aswad.
Mencium Hajar Aswad dalam kondisi berdesakan membahayakan
keselamatan jamaah bahkan dilarang, terlebih bagi jamaah wanita. Sahabat
Umar pernah ditegur Rasulullah Saw, sebagaimana hadis berikut :
‫ ياعمرانك رجل قوي التزاحم على الحجر فئوذي‬:‫عن عمررضي هللا أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال له‬
. ‫ وفيه راو لم يسم‬,‫ه الشافعي وأحمد‬C‫ أخرج‬.‫ ان وجدت خلوة فاستلمه واال فاستقبله فهلل وكبر‬,‫الضعيف‬
‫ اال عند الخلو من الرجال‬,‫اص بالرجال دون النساء‬C‫وتقبيل الحجراألسود واستالمه ووضع الخد عليه خ‬
)94 ‫ ص‬,‫ حسن أيوب‬,‫(فقه العبادات الحج‬.
“Wahai Umar, sesungguhnya engkau laki-laki yang kuat, janganlah engkau
saling berdesakan utnuk mencium Hajar Aswad karena akan menyakiti orang
yang lemah. Jika situasi dan kondisi sepi maka engkau dapat menjamahnya
dengan tangan, atau menciumnya lalu baca tahlil dan dan takbir”. (H.R as-
Syafi’i, Ahmad dan terdapat perawi yang tidak disebut)). Mencium Hajar Aswad,
menjamah dan menempelkan pipi di atas Hajar Aswad adalah khusus bagi laki-
laki bukan bagi kaum wanita, kecuali ketika situasi sepi dari kaum laki-laki”.
i. Ketika tahallul, wanita tidak boleh mencukur rambut.
Jamaah haji perempuan tidak mencukur rambutnya ketika tahallul kecualu
dengan cara menggunting atau memotong, sebagaimana hadis berikut :
)‫ ليس على النساء حلق انما على النساء التقصير (رواه أبو داود‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.
Rasulullah saw bersabda: Tidaklah bagi wanita (ketika tahallul) mencukur, akan
tetapi bagi wanita cukup memendekkan atau memotong rambut. (H.R. Abu
Daud).
Dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas r.a dikemukakan:
‫ لما قدم النبي صلى هللا عليه وسلم مكة أمرأصحابه أن يطوفوا‬:‫وعن ابن عباس رضي هللا عنهما قال‬
)‫بالبيت وبالصفا والمروة يحلوا ويحلقوا أويقصروا (رواه البخاري‬.
“Ketika Rasulullah Saw tiba di Makkah beliau perintah kepada sahabatnya
untuk melaksanakan tawaf di baitullah dan sa’i di bukit Shafa dan Marwah,
kemudian mereka tahallul dengan menyukur atau memotong rambutnya
(H.R. Bukhari).
Para fuqaha berbeda pendapat tentang waktu, tempat dan cara mencukur
atau memotong rambut ketika tahallul, sebagaimana penjelsan berikut :
1) Mazhab Hanafi : Mencukur atau memotong rambut harus dilakukan di
tanah Haram pada hari nahardan hari tasyrik, dan lebih utama mencukur
atau memotong seluruh rambut kepala. Bagi wanita memotong seperempat
rambut kepala sepanjang jari.
2) Mazhab maliki : Bagi laki-laki wajib mencukur atau memotong seluruh
rambut kepala. Sedangkan bagi wanita wajib memotong seluruh rambut
kepala dengan ukuran sepanjang jari.
3) Mazhab Syafi’i : Mencukur atau menggunting rambut tidak dikhususkan tempat
dan waktu, dimulai sejak tengah malam dari Nahar (tgl. 10 zulhijjah), utamanya
mencukur atau menggunting seluruh rambut kepaladan paling sedikit 3 (tiga) helai
rambut. Tidak dikenakan denda apapun jika mengakhirkan.
4) Mazhab Hanbali : Wajib mencukur atau memotong seluruh rambut kepala tetapi
lebih utama mencukur, waktunya dimulai sejak pertengahan malam nahar sampai
dengan akhir hari tasyrik. (al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wal’Umrah, hal. 306-307).
5) Mendahulukan mencukur/memotong rambut sebelum melontar jamrah, para
ahli berbeda pendapat :
a) Mazhab Syafi’i : Boleh mendahulukan mencukur atau memotong rambut
sebelum melontar jamrah dan tidak dikenakan sangsi/Dam.
b) Abu Hanafi : Jika mendahulukan mencukur rambut sebelum menyembelih
hewan Dam maka dikenakan sangsi membayar Dam bagi yang berhaji qiran
atau tamattu. Sedangkan bagi haji ifrad tidak dikenakan sangsi apapun.
c) Mazhab Maliki : Jika mendahulukan mencukur rambut sebelum menyebelih
hewanb Dam tidak dikenakan denda/sangsi.Akan tetapi jika mendahulukan
mencukur atau memotong rambut sebelum melontar jamrah, wajib membayar
Dam.
d) Ahmad bin Hambal : Jika mendahulukan mencukur/memotong rambut sebelum
memotong hewan Dam atau sebelum melontar karena tidak mengerti atau karena
lupa tidak dikenakan sangsi/Dam.
j. Wanita boleh membadal hajikan laki-laki.
1) Berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Imam Malik, Syafi’i,
Bakhari dan Muslim :
‫ول هللا ان‬C‫ا رس‬C‫ ي‬:‫ت‬C‫ة الوداع قال‬C‫م عام حج‬C‫ن خثع‬C‫ة م‬C‫ت امرأ‬C‫ جائ‬:‫ا قال‬C‫ عنهم‬C‫ي هللا‬C‫ن عباس رض‬C‫ن اب‬C‫ع‬
‫ي علي‬C‫ هل يقض‬,‫ا كبيرا اليستطيع أن يستوي على الراحلة‬C‫ أدركت أبي شيخ‬, ‫ج‬C‫ة هللا على عباده فى الح‬C‫فريض‬
)‫ (أخرجه مالك والشافعي والشيخان‬.‫ نعم‬: ‫أن أحج عنه ؟ قال‬.
“Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata: Seorang wanita dari kabilah Khats’am datang
kepada Nabi Saw pada tahun haji wada’ seraya berkata, wahai rasulullah
sesungguhnya Allah mewajibkan haji kepada para hamba-Nya, tapi ayahku dalam
keadaan sangat tua, dia tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya dapat
melaksanakan/menggantikan hajinya ? Beliau menjawab : ya”.
2) Hadis riwayat al-Nasa’i dari Ibnu Abbas r.a :
‫ي عن أبيك‬C‫ حج‬: ‫ قال‬, ‫ أن امرأة سألت النبي صلى هللا عليه وسلم عن أبيها مات ولم يحج‬: ‫عن ابن عباس‬
)‫(رواه النسائي‬.
“Dari Ibnu Abbas r.a bahwa sesungguhnya seorang wanita bertanya
kepada Nabi Saw tentang ayahnya yang mebinggal dan belum sempat
melaksanakan haj. Lalu beliau menjawab: Laksanakan haji untuk
menggantikan atau membadalkan ayahmu. (H.R. An-Nasa’i).
3) Para ulama menjelaskan lebih rinci tentang badal haji sebagai berikut:
a) Orang yang hajinya boleh dibadalkan adalah orang yang tidak mampu
melaksanakan haji dengan dirinya, karena yang bersangkutan
meninggal dunia, lansia, sakit berat, yakni sakit yang tidak dapat
diharapkan kesembuhannya, atau karena penyakit pikun. Sedangkan
orang yang stres/gila dan sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya,
serta orang yang putus ujung jari kaki atau tangan mampu duduk di atas
kendaraan, tidak dapat dibadal hajikan. Dalam kitab “al-Idhah fi
Manasik al-Hajj wal’Umrah, hal. 100 disebutkan sebagai berikut :
‫ه بموت أوكبر أوزمانة أومرض‬C‫ج بنفس‬C‫ن الح‬C‫ز ع‬C‫ن يعج‬C‫يل بغيره فهوأ‬C‫تطاعة التحص‬C‫ا اس‬C‫وأم‬
‫ة شديدة وهذا العاجز‬C‫ة اال بمشق‬C‫ى الراحل‬C‫تطيع الثبوت عل‬C‫ث اليس‬C‫ه أوهرم بحي‬C‫ى زوال‬C‫ال يرج‬
‫ه فال تجوزاالنابة‬C‫و زوال‬C‫) خرج بالموت نحوالجنون والمرض المرج‬1( ‫ا‬C‫مى معضوب‬C‫ي يس‬C‫الح‬
‫بسببهما ومقطوع األطراف ألنه يمكنه الثبوت على الراحلة فال تجوز له االنابة‬.
b) Tidak diperbolehkan membadalkan haji atau umrah untuk orang yang masih
hidup kecuali harus seizin yang bersangkutan, baik haji/umrah fardhu atau
sunah. Sebagaimana dijelaskan dalam buku al-Fiqh al-Ismami wa
Adillatuhu, hal 44 sebagai berikut :
‫ز عن‬C‫م تج‬C‫ة فل‬C‫ا النياب‬C‫ا ألنهاعبادة تدخله‬C‫و تطوع‬C‫ا كان أ‬C‫ه فرض‬C‫ي اال باذن‬C‫ن ح‬C‫ج والعمرة ع‬C‫وال يجوزالح‬
)‫البالغ العاقل اال باذنه كالزكاة (مذهب الشافعية والحنابلة‬.
c) Dijelaskan pula dalam kitab al-Bayan fi Mazhab al- Imam as- Syaf’i, hal 52,
sebagai berikut :
Tidak sah membadalkan haji kepada tiga macam orang berikut, yaitu :
orang yang sehat, orang sakit berat (ma’dhub) yang tidak mengizinkan
dibadalhajikan, dan orang yang sudah wafat ktika masih hidup tidak
berkewajiban haji (tidak istitha’ah) dan tidak pernah berwasiat untuk dibadal
hajikan. Keterangan tersebut dikutip dari kitab al-Bayan , sebagai berikut :
‫ج عن‬C‫ن يح‬C‫ان أ‬C‫ا أواراد انس‬C‫ا أوتطوع‬C‫ا واجب‬C‫ه حج‬C‫ج علي‬C‫ن يح‬C‫تأجر م‬C‫ن يس‬C‫حيح أ‬C‫ا اذا أراد الص‬C‫فأم‬
‫ قال الشيخ‬,‫ه‬C‫م يوص ب‬C‫ه ول‬C‫ب علي‬C‫س بواج‬C‫ا لي‬C‫ت حج‬C‫ن المي‬C‫ج ع‬C‫ن يح‬C‫ان أ‬C‫ أوأراد انس‬,‫ه‬C‫المعضوب بغيراذن‬
,‫افعي‬C‫ب االمام الش‬C‫ى مذه‬C‫بيان ف‬C‫ائل (ال‬C‫ى هذه المس‬C‫ة ف‬C‫ه اليجووز النياب‬C‫ب أن‬C‫ف المذه‬C‫ فاليختل‬:‫د‬C‫أبوحام‬
)52 ‫صحيفة‬.
13. Wukuf di Arafah.
Wukuf di Arafah termasuk rukun haji, barang siapa yang wukuf di
Arafah maka sungguh dia telah mendapatkan haji, sebagaimana sabda
Nabi Saw :
‫نن وابن حبان‬C‫حاب الس‬C‫د وأص‬C‫ج (رواه أحم‬C‫د أدرك الح‬C‫ة فق‬C‫ن أدرك عرف‬C‫ة فم‬C‫ج عرف‬C‫الح‬
)‫والحاكم‬.
a. Bagi jamaah haji wanita sekalipun sedang dalam keadaan
haid/nifaskewajiban wukuf tidak gugur. Karena semua amalan manasik
boleh dikerjakan/ diamalkan kecuali tawaf dan shalat. Jamaah wanita
yang dalam keadaan haid ketika wukuf membaca talbiyah, berdzikir,
membaca tasbih, tahmid, takbir, istighfar, tahlil, salawat dan berdo’a,
sampai terbenam matahari kecuali bagi jamaah yang sakit dapat
dievakuasi keluar Arafah ke rumah sakit Arab Saudi, atau jamaah
wanita yang disafari wukufkan dengan wukuf sejenak, mereka tidak
harus menunggu sampai terbenam matahari.
b. Para fuqaha berbeda pendapat tentang kadar lamanya wukuf
sebagaimana penjelasan berikut :
‫مقدار الوقوف‪ :‬عندالحنفي‪C‬ة والحنابل‪C‬ة‪ ,‬يج‪C‬ب الجم‪C‬ع بي‪C‬ن للي‪C‬ل والنهار‪ .‬فان وق‪C‬ف نهارا يلزمه البقاء‬
‫ال‪C‬ى غروب الشم‪C‬س‪ ,‬فان دف‪C‬ع قب‪C‬ل الغروب فعلي‪C‬ه دم وحج‪C‬ه ص‪C‬حيح‪ .‬وان وقف ليال دون‬
‫النهارفالشي عليه وحجه صحيح‪ .‬عند المالكية ‪ :‬يجب الجمع بين الليل والنهار‪ ,‬فان وقف نهارا ولم‬
‫يق‪C‬ف ليال ل‪C‬م يص‪C‬ح حج‪C‬ه‪ ,‬وان وق‪C‬ف ليال دون النهارفعلي‪C‬ه دم‪ .‬عندالشافعي‪C‬ة ‪ :‬يس‪C‬ن ل‪C‬ه الجم‪C‬ع بي‪C‬ن الليل‬
‫والنهار‪ ,‬فلووق‪C‬ف نهارا ورف‪C‬ع قب‪C‬ل غروب الشم‪C‬س اليلزم‪C‬ه دم عل‪C‬ى أص‪C‬ح القولي‪C‬ن‪ ,‬ول‪C‬و وقف ليال‬
‫دون النهار فوقوف‪C‬ه تام والش‪C‬ئ عليه‪ .‬ويحص‪C‬ل الوقوف باالتفاق لك‪C‬ل م‪C‬ن وق‪C‬ف بعرف‪C‬ة ول‪C‬و لحظة‬
‫لطيف‪C‬ة م‪C‬ن زوال يوم عرف‪C‬ة ال‪C‬ى فجرالنحر‪ .‬وكيفم‪C‬ا حص‪C‬ل بعرف‪C‬ة أجزأ‪C‬ه س‪C‬واء كان قائم‪C‬ا أوجالسا‬
‫أوراكب‪C‬ا أومحموال أونائما ذاكرا أوناس‪C‬يا‪ ,‬عالم‪C‬ا بأ‪C‬نها عرف‪C‬ة أوجاهال (المغن‪C‬ي ف‪C‬ى فق‪C‬ه الحج والعمرة‪,‬‬
‫‪.‬سعيد بن عبدالقادر باشنفر‪ ,‬صحيفة ‪)248‬‬
‫‪Kadar lamanya wukuf di Arafah :‬‬
‫‪1) Mazhab Hanafi dan Hanbali : wukuf wajib mendapatkan sebagian‬‬
‫‪siang dan sebagian malam. Apabila meninggalkan Arafah sebelum‬‬
‫‪terbenam matahari haji sah tetapi wajib membayar Dam.‬‬
‫‪2) Mazhab Maliki : wukuf wajib mendapatkan sebagian siang dan‬‬
‫‪sebagian mala. Apabila wukuf dilaksanakan hanya pada siang harisaja‬‬
‫‪maka tidak sah hajinya.‬‬
3) Mazhab Syafi’i : wukuf di Arafah cukup sesaat, mendapatkan sebagian
siang dan sebagian malam adalah sunnah. Apabila meninggalkan Arafah
sebelum terbenam matahari maka hajinya sah dan tidak wajib membayar
Dam”. (al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wal’Umrah, hal. 248).
c. Dilihat dari perspektif hukum fiqih, pelaksanaan wukuf dengan program
Safari Wukuf diperuntukan bagi jamaah sakit termamsuk jamaah wanita
yang mampu duduk atau berbaring di atas kendaraan. Wukufnya
dilaksanakan hanya pada siang hari saja. Ini dipandang sah menurut
pendapat ulama di kalangan mazhab Syafi’i sekalipun pendapat mazhab
yang lain wajib memenuhi waktu siang dan waktu malam. Oleh karena itu
dalam rangka memberikan pembinanan, pelayanan dan perlindungan yang
menjadi tujuan penyelenggaraan haji, penanganan jamaah sakit yang
disafari wukufkan harus maksimal, tidak ada satu orangpun jamaah yang
tidak diwukufkan, bahkan pengurusannya harus satu atap, satu komando
dan satu pedoman dalam bentuk Surat Keputusan Bersama Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan.
14. Mabit di Muzdalifah .
a. Hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib, demikian menurut para ahli
ilmu dan para imam mazhab, yakni Abu Hanifah, Malik, Syaf’i dan
Ahmad bin Hanbal.
b. Waktu mabit di Muzdalifah dimuali setelah terbenam matahari (maghrib)
sampai dengan terbit fajar tanggal 10 zulhijjah. Nabi Saw memberikan
rukhsah (dispensasi) kepada para wanita dan orang-orang yang lemah
diperbolehkan mabit di Muzdalifah tidak harus sampai waktu shubuh.
c. Kadar lamanya waktu mabit di Muzdalfah :
1) Menurut mazhab Maliki antara shalat maghrib dan isya dengan
istirahat sejenak, wakalaupun keluar dari Muzdalifah sebelum lewat
tengah malam.
2) Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, sesaat sebelum lewat tengah
malam, tetapi keluar dari Muzdalifah harus sudah lewat tengah malam.
3) Menurut mazhab Hanafi, keluar dari Muzdalifah wajib sesudah shalat
shubuh tanggal 10 zulhijja. (al-Mughni fi Fiqh al-Hajj wal’Umrah, hal.
268).
d. Kewajiban mabit di Muzdalifah menjadi gugur bagi jamaah yang memiliki
kesulitan (udzur) seperti fisiknya lemah, kondisi sangat padat, dalam keadaan
sakit, atau terpisah rombongan. Sebagaimana ‘Aisyah r.a menyatakan:
‫ليه وسلم أن تفيض من جمع بليل فأذن لها‬C‫سول هللا صلى هللا ع‬C‫ ر‬C‫كانت سودة امرأة ضخمة ثبطة فاستأذنت‬
)‫ استأذنته فأذن لي (أخرجه الشيخان وأحمد‬C‫ووددت أنى كنت‬.
“Saudah adalah seorang wanita yang gemuk, lamban dan susah bergerak, lalu dia
minta izin kepada Rasulullah Saw untuk bertolak meninggalkan mabit di
Muzdalifah, maka beliau mengizinkan kepadanya dan saya sangat senang
permintaan izinnya kepada Nabi dipenuhi, beliaupun mengizinkan kepada saya”.
e. Bagi jamaah yang tidak memiliki kesulitan, sunah mabit di Muzdalifah sampai
waktu shubuh, sebagaimana penjelasan berikut :
‫م الضعفة‬C‫س بتقدي‬C‫ وال بأ‬.‫فر‬C‫ى يس‬C‫ف حت‬C‫م يق‬C‫بح ث‬C‫ن يص‬C‫ى أ‬C‫ ال‬C‫بيت‬C‫ى الم‬C‫لعم ف‬C‫ول هللا ص‬C‫تحب االقتداء برس‬C‫والمس‬
‫فقا بهم‬C‫ه ر‬C‫ وألن في‬,‫ا‬C‫ه مخالف‬C‫ وال نعلم في‬,‫ي‬C‫طاء والثوري والشافعي وأبوثور وأصحاب الرأ‬C‫ل ع‬C‫ه قا‬C‫ وب‬.‫اء‬C‫والنس‬
‫ صحيفة‬,‫ة‬C‫ج والعمر‬C‫ه الح‬C‫ى فق‬C‫ي ف‬C‫ (المغن‬.‫لم‬C‫ه وس‬C‫لي‬C‫ ع‬C‫لى هللا‬C‫بيهم ص‬C‫ واقتداء بن‬,‫م‬C‫ليه‬C‫حام ع‬C‫ة الز‬C‫ا لمشق‬C‫ودفع‬
)269.
“Sunah mngikuti Rasulullah saw mabit sampai waktu subuh, tidak ada larangan
mendahululkan orang-orang yang lemah dan para wanita keluar dari Muzdalifah
(tidak sampai waktu shubuh) sebagai bentuk pertolongan kepada mereka dan
menyelamatkanmereka agar tidak terjebak dalam kemacetan).
15. Mabit di Mina
Hukum mabit di Mina wajib menurut jumhur ulama ( madzhab Maliki, Syafi’i,
Hanbali). Sedangkan menurut Abu Hanifah dan salah satu riwayat Ahmad dan
Syafi’i menyatakan sunah.
a.Kadar waktu mabit di Mina, ulama fuqaha berbeda pendapat sebagaimana
penjelasan berikut :
‫ القول األول أن القدر المجزئ هو‬: ‫ة أقوال‬C‫ى مقدار المبيت المجزئ على ثالث‬C‫ اختلف العلماء ف‬: ‫مقدار المبيت‬
‫ي ال فرق بين‬C‫ القول الثان‬.‫ب الشافعية‬C‫ى مذه‬C‫ن ف‬C‫د القولي‬C‫و أح‬C‫ر وه‬C‫د طلوع الفج‬C‫ى عن‬C‫ن يكون موجودا بمن‬C‫أ‬
‫ل وهذا مذهب‬C‫ر اللي‬C‫زئ هوأكث‬C‫ن مقدار المج‬C‫ث أ‬C‫ القول الثال‬. ‫زم‬C‫ن ح‬C‫ه قال اب‬C‫ه وب‬C‫و أقل‬C‫ل أ‬C‫بيت أكثراللي‬C‫الم‬
‫ى المبيت‬C‫ص ف‬C‫ى الترخ‬C‫ام عل‬C‫ر الزح‬C‫ة ( أث‬C‫ب الحنابل‬C‫و مذه‬C‫ وه‬, ‫ة‬C‫ر الشافعي‬C‫و األظه‬C‫ وه‬, ‫ة‬C‫ن المالكي‬C‫مهور م‬C‫الج‬
) ‫ عبد الرحمن بن أحمد الجرعي‬, ‫بمنى أيام التشريق‬.
Tiga pendapat para ulama fuqaha tentang kadar waktu mabt di Mina. Pendapat
pertama : salah satu kaul dalam mazhab Syafi’ bahwa kadar lamanya mabit adalah
keberadaan jamaah di Mina sekalipun sesaat ketika sebelum terbit fajar. Pendapat
kedua (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa kadar waktu mabit tidak diukur dengan
lama atau sebentar berada di Mina. Pendapat ketiga, kadar lamanya waktu wabit
adalah sebegian besar malam (mu’dhamullail) berada di Mina, dan inilah pendapat
jumhur (mayoritas) yakni mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. (Atsar al-Ziham
‘ala-Attarakhus fi al-Mabit Mina Abd. Rahman al-Jara’i).
Dalam kitab “Syarah al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim” juga dikemukakan
pendapat Iamam Syafi’i tentang kadar waktu mabit di Mina :
‫وفى قدر الواجب من هذا المبيت قوالن للشافعي أصحهما الواجب معظم الليل والثاني ساعة‬
“Kadar lamanya (waktu) wajib mabit di Mina ada dua pendapat menurut
Imam Syafi’i : pendapat yang afsah (paling shahih) diantara kedua
pendapat adalah wajib mu’dhomullail (sebegian besdar malam), dan
pendapat yang kedua menyatakan cukup sesaat”.
b. Hukum Meninggalkan mabit di Mina karena udzur dikemukakan dalam
kitab al-Kafi jilid 1 hal 453, sebagai berikut :
‫ن مرض أو خوف‬C‫ل ذي عذر م‬C‫ وك‬.‫بيت بمنى‬C‫قاية الحاج ترك الم‬C‫ل س‬C‫ل وأه‬C‫ويجوز لرعاة االب‬
‫على نفسه أوماله كالرعاة ألنهم فى هذا فى معناهم‬.
Bagi pengembala unta dan petugas yang mengurus makan dan minum
jamaah haji boleh meninggalkan mabit di Mina, termasuk jamaah haji yang
mempunyai udzur/halangan seperti sakit, atau yang menghawatirkan
dirinya jatuh sakit atau menjaga hartanya takut hilang.
Selanjutnya, Imam Nawawi juga mengemukakan sebagai berikut :
‫ ومن المعذورين من له مال يخاف ضياعه‬:‫ ثم قال‬... ‫ة أومنى لعذر فال دم‬C‫أما من ترك مبيت مزدلف‬
‫ض يحتاج الى‬C‫ه مري‬C‫و ل‬C‫ أ‬,‫بيت‬C‫ه الم‬C‫ق مع‬C‫ه مرض يش‬C‫ أوكان ب‬,‫ه‬C‫ أويخاف عاى نفس‬,‫بيت‬C‫ل بالم‬C‫تغ‬C‫لواش‬
‫حيح المنصوص‬C‫ الص‬:‫ي هئوالء وجهان‬C‫ فف‬,‫ه‬C‫ر يخاف فوات‬C‫ل بأمرأخ‬C‫و يشتغ‬C‫ أ‬,‫ا‬C‫ب أبق‬C‫و يطل‬C‫ أ‬,‫تعهده‬
247 ‫ ص‬8 ‫ ج‬,‫ قال النووي فى المجموع‬.)‫) يجوز لهم ترك المبيت والشيئ عليهم بسببه (وهللا أعلم‬.
“Orang yang meninggalkan mabit di Muzdalifah atau Mina karena udzur,
maka tidak ada dosa baginya ... Orang yang termasuk udzur adalah : orang
yang memiliki harta dia takut hartanya hilang jika dia mabit, orang yang
takut dirinya sakit jika mabit, orang sakit dan merasa sulit jika mabit, orang
yang menjaga orang sakit, orang yang sedang mencari budak yang lari, dan
orang yang sibuk dengan urusan/pekerjaan yang sangat penting dan takut
terbengkalai”. (Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ jilid 8, hal 247).
c. Meninggalkan mabit di Mina bukan karena udzur dikemukakan sbb :
‫ وعند‬.‫اء وال شيئ‬C‫د أس‬C‫نة فان فق‬C‫بيت س‬C‫ الم‬:‫ة‬C‫د الحنفي‬C‫ عن‬:‫ى‬C‫بيت بمن‬C‫ى الم‬C‫ب ف‬C‫ة المذاه‬C‫ص أراء أئم‬C‫ملخ‬
‫ي ثالث ليال دم وقى دون‬C‫ ف‬: ‫ة‬C‫افعي‬C‫د الش‬C‫ وعن‬.‫ه دم‬C‫م‬C‫ا لز‬C‫ي كله‬C‫و الليال‬C‫ة أ‬C‫بيت ليل‬C‫ ان ترك م‬: ‫ة‬C‫المالكي‬
‫ كقول أبي‬: ‫ة‬C‫د الحنابل‬C‫ وعن‬.‫ف درهم‬C‫ة نص‬C‫ى ثالث‬C‫ وف‬,‫م‬C‫ة دره‬C‫ى رواي‬C‫ وف‬.‫ن طعام‬C‫د م‬C‫ة م‬C‫ل ليل‬C‫ى ك‬C‫ك ف‬C‫ذل‬
)303 ‫ ص‬,‫حنيفة والشافعية والمالكية (المغنى فى فقه الحج والعمرة‬.
Pendapat para imam mazhab tentang mabit di Mina : Menurut mazhab Hanafi,
mabit di mina hukumnya sunah, bagi yang meninggalkan berarti melakukan
keburukan tapi tidak dikenakan sangsi apapun. Menurut mazhab Maliki, jika
meninggalkan mabit satu malam atau seluruh malam maka dikenakan sangsi
membayar Dam. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, meninggalkan mabit tiga
malam dikenakan Dam, meninggalkan mabit satu malam atau dua malam
masing-masing dikenakan sangsi satu mud makanan pokok ( satu mud = 510
gram menurut jumhur ulama, tapi menurut mazhab Hanafi, satu mud = 812,5
gram). Mazhab Hambali sependapat dengan mazhab Hanafi, Syafi’i dan Maliki.
16. Melontar Jamarat.
a. Waktu melontar jamrah Aqabah :
1) Waktu afdhol (utama), melontar jamrah aqbah setelah terbit matahari
sebagaimana dilakukan Nabi Saw, dan dijelaskan dalam hadis sebagai berikut :
‫سول هللا صلى هللا عليه وسلم يرمي الجممرة ضحى يوم النحر‬C‫ رأيت ر‬: ‫نه‬C‫بر رضي هللا ع‬C‫قال جا‬
)‫ ورمى بعد ذلك بعد زوال الشمس (رواه مسلم‬,‫وحده‬.
Jabir berkata: saya melihat Rasulullah saw melontar jamrah (aqabah)waktu
dhuha pada hari nahar, dan setelah itu melontar jamrah (pada hari-hari tasyrik)
sesudah tergelincir matahari (H.R. Muslim).
2). Waktu ijza (waktu yang cukup) untuk melontar jamrah aqabah, para ulama berbeda
pendapat:
a) Menurut Mujahid, al-Sauri dan al-Nakho’i, tidak boleh melontar jamrah aqabah
sebelum terbit fajar, berdasarkan hadis Nabi saw sbb :
)‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم بعث بضعفة أهله فأمرهم أن اليرموا الجمرة حتى تطلع الشمس (رواه ابن عباس‬.
“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus orang-orang yang lemah dari
keluarganya dan beliau memerintahkan mereka untuk tidak melontar jamrah
aqabah sampai dengan terbit matahari”. (H.R. Ibnu Abbas).
b) Menurut Abu Hanifah, Malik, Ishaq, Ibnu Munzir dan pendapat dari Ahmad,
boleh melontar jamrah aqabah setelah terbit fajar sebelum terbit matahari,
berdasarkan hadis :
‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما أن النبي صلى هللا عليه وسلم بعث به مع أهله الى منى يوم النحرفرموا‬
)‫الجمرة مع الفجر (رواه أحمد‬.
Dari Ibnu Abbas r.a bahwasannya Nabi saw berangkat bersama keluarganyake
Mina pada hari nahar, lalu mereka melontar jamrah aqabah ketika terbit fajar.
(H.R. Ahmad)”.
3). Menurut Ibnu Qoyim dan para ahli ilmu, awal waktu melontar jamrah aqabah bagi orang-
orang yang lemah setelah terbit fajar. Sedangkan bagi kaum wanita diberi rukhsah
(dispensasi) melontar sebelum terbit matahari.
4). Menurut Imam Syafi’i, Ahmad, Atho, Asma bt Abu Bakar, Ibnu Abi Malikah, Ikrimah
bin Khalid, awal waktu boleh melontar jamrah aqabah setelah lewat tengah malam
(sebelum terbit fajar) pada malam hari nahar tgl 10 zulhijjah. Sebagaimana hadis ‘Aisyah
yang menyatakan bahwa Nabi saw perintah kepada Ummi Salamah melontar jamrah
aqabah pada malam hari nahar sebelum terbit fajar, kemudian dia melaksanakan tawaf
ifadhah :
‫ر ثم‬C‫ل الفج‬C‫ت الجمرة قب‬C‫ر فرم‬C‫ة النح‬C‫لمة ليل‬C‫م س‬C‫لم بأ‬C‫ه وس‬C‫ علي‬C‫لى هللا‬C‫بي ص‬C‫ل الن‬C‫ أرس‬:‫ت‬C‫ا قال‬C‫ عنه‬C‫ي هللا‬C‫ة رض‬C‫ن عائش‬C‫ع‬
‫ى فقه‬C‫ى ف‬C‫و داود (المغن‬C‫ رواه أب‬.‫ى عندها‬C‫ه وسلم يعن‬C‫لى هللا علي‬C‫ك اليوم الذي يكون رسول هللا ص‬C‫ت وكان ذل‬C‫ت فأفاض‬C‫مض‬
)273-272 ‫ ص‬,‫الحج والعمرة‬.
Selanjutnya dalam kitab “Fiqh al-Ibadat al-Hajj” Hasan Ayub, hal. 130 dikemukakan
sebagai berikut :
‫لم أذن للظعن‬C‫ه وس‬C‫ علي‬C‫لى هللا‬C‫بي ص‬C‫ن الن‬C‫بح وذكرت أ‬C‫لت الص‬C‫ت فص‬C‫م رجع‬C‫ت ث‬C‫ا رم‬C‫ أنه‬:‫ماء‬C‫ث أس‬C‫ى حدي‬C‫وجاء ف‬
‫ أى أذن لهن فى الرمي ليال‬.‫(النساء) متفق عليه‬.
“Sesungguhnya Asma melontar jamrah aqabah, kemudian dia kembali (ke Makkah) lalu
salat Shubuh. Asma menyebutkan bahwa Rasulullah saw mengizinkan pula kepada orang-
orang yang lemah yakni kaum wanita. (Hadis Muttafaq ‘alaih). Yaitu beliau mengizinkan
kepada mereka melontar pada malam hari”.
b. Waktu melontar jamrah Ula, Wustha dan Aqabah (Kubra) pada hari-
hari tasyriq tanggal 11, 12, 13 zulhijja.
1) Waktu yang utama melontar jamrah pada hari tasyrik adalah setelah
tergelincir matahari sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw.
2) Menurut jumhur ulama, dapat dimulai setelah tergelincir matahari
sampai dengan sebelum terbit fajar.
3) Abu Hanifah membolehkan melontar tgl 12 dan 13 sebelum
tergelincir matahari (unutk nafar).
4) Menurut Atho dan Thawus (ulama dari golongan Thabi’in) melontar
jamrah pada hari tasyrik tgl 11, 12, 13, dapat dimulai sebelum zawal.
5) Imam Rofi’i dan Imam Isnawi dari mazhab Syafi’i, membolehkan
melontar jamrah pada hari tasyrik sebelum zawal dan dapat dimulai
sejak terbit fajar, demikian pula kesimpulan /hasil Bahtsul Masail
PBNU 1988.
6) Menurut Mufti Darul Ifta Mesir, waktu melontar jamrah pada hari2 tasyrik
tgl 11, 12, 13 zulhijjah dapat dimulai dari tergelincir matahari sampai dengan
ghurub (tenggelam matahari), dapat dilakukan sebelum zawal jika keadaan
sangat pada, dan boleh dimulai melontar pada pertengahan malam hari tanggal
11 zulhijjah, dan diperbolehkan pula mengakhirkan melontar jamrah hari2
tasyrik dilakukan pada hari terakhir hari tasyrik tgl 13 zulhijjah. Sebagaimana
penjelasan berikut:
‫ل يجوز رمي جمرات أيام‬C‫ ب‬.‫ى الغروب ويجوز قال الزوال للزحام‬C‫س ال‬C‫ن زوال الشم‬C‫ م‬:‫ي‬C‫ت الرم‬C‫ووق‬
‫ ويجوز‬,‫و أول أيام التشريق‬C‫ة وه‬C‫ن ذي الحج‬C‫ر م‬C‫ن يوم الحادى عش‬C‫ل م‬C‫ف اللي‬C‫ن منتص‬C‫ق بدأ م‬C‫التشري‬
‫و اليوم الثالث‬C‫ق وه‬C‫ن أيام التشري‬C‫ث م‬C‫د غروب اليوم الثال‬C‫ا بع‬C‫ا لم‬C‫ى أخريوم فان أخره‬C‫ل األيام ال‬C‫ر ك‬C‫تأخي‬
‫ (كتاب‬.‫ي يوم الى يوم‬C‫م رم‬C‫ة تقدي‬C‫ن الشافعي‬C‫ة م‬C‫د جماع‬C‫ا عن‬C‫ ويجوزأيض‬.‫ه دم‬C‫ة فعلي‬C‫ن ذي الحج‬C‫ر م‬C‫عش‬
)78 ‫ ص‬,‫ هجرية‬1432 ,‫ دار االفتاء المصرية‬,‫الحج والعمرة‬.
c. Mewakilkan melontar jamarat.
Mewakili melontar jamrah untuk orang yang lemah atau orang yang
mengalami kesulitan melontar diperbolehkan, berdasarkan hadis dari Jabir r.a :

‫ حججنا مع النبي صلى هللا عليه وسلم فلبينا عن الصبيان ورميناهم (رواه‬:‫عن جابر رضي هللا عنه قال‬
)‫أحمد وابن ماجة‬.
Selanjutnya Hasan Ayub dalam kitabnya “Fiqh al-Ibadat al-Hajj” hal 134
menyatakan :
‫ أوكان‬,‫من كان مريض اليستطيع الرمي بنفسه أوضعيفا والزحام شديد اليستطيع أن يشقه ويرمي‬
‫ فان له أن ينيب من يرمي عنه‬,‫ أوذاعذر يمنعه من مباشرة الرمي‬,‫محبوسا اليستطيع الرمي بنفسه‬
‫ الجمرات‬...
“Barang siapa yang sedang sakit tidak mampu melontar jamrah, atau lemah
dan kondisi sangat padat yang menyebabkan sulit melontar jamrah, atau
tertahan, atau ada halangan (udzur), maka dapat mewakilkan melontar jamarat
kepada orang lain...”.
1) Dua cara mewakili lontar jamrah sebagai berikut :
a). Melontar seluruh jamarat terlebih dahulu utuk dirinya (Ula, Wustha,
Aqabah), baru kemudian untuk yang diwakili.
b). Tidak harus menyelesaikan melontar seluruh jamrah untuk dirinya, jika
telah melontar jamrah Ula untuk dirinya maka sah melontar untuk yang
diwakili sebelum melontar dua jamrah yang lain untuk dirinya, berdasarkan
penjelasan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarah al-Minhaj, halaman 128
sebagai berikut:
‫آنه اليتوقف على الرمي للجمع بل ان رمى الجمرة االولى صح آن يرمي عقبه من المستنيب قبل أن‬
)128 ‫يرمي الجمرتين الباقيتين عن نفسه (تحفة المحتاج شرح المنهاج صحيفة‬.
2) Menjama’ lontar jamarat .
Menjama’ melontar jamarat diperbolehkan menurut fatwa MUI Tahun1988
berdasarkan pendapat Imam Nawawi dalam kitab al- Majmu’ Syarah al-
Muhadzab, jilid 8 hal 240 sbb :
‫ ولو رمى الى الجمرات كلها عن يوم قبل ان يرمي اليها عن أمسه اجزأه ان لم‬:‫لوآخرها للجمع فوجهان‬
‫ والثاني اليجزئه (المجموع شرح‬,‫ فان أوجبناه فوجهان أصحهما يجزئه ويقع القضاء‬,‫نوجب الترتيب‬
)240 ‫ صحيفة‬8 ‫ جزء‬,‫المهذب‬.
Hukum mengakhirkan melontar jamrah ada dua cara :
a) Melontar semua jamrah hari ini sebelum melontar untuk hari kemarin maka
sah hukumnya jika tidak mewajibkan harus tertib.
b) Jika mewajibkan harus tertib maka pendapat yang lebih shaheh adalah sebagai
qdha , dan pendapat yang kedua menyatakan tidak mencukupi (tidak sah).
17. Tawaf Wada’ bagi Wanita Haid.
Hukum tawaf wada’ adalah wajib, menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad
bin Hanbal dan mayoritas ahli ilmu. Sedangkan menurut Imam Malik, tawaf wada’
hukumnya sunnah. Jemaah haji setelah selesai melaksanakan rangkaian kegiatan
manasik haji, maka sebelum pulang meninggalkan kota Makkah harus diakhiri
dengan tawaf wada’ kecuali bagi wanita yang sedang haid, sebagaimana dijelaskan
dalam hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Muslim, Nabi Saw bersabda :
‫لم‬C‫ه وس‬C‫ علي‬C‫لى هللا‬C‫ه ص‬C‫ر للوجوب ألن‬C‫ واألم‬.‫لم‬C‫ رواه مس‬. ‫بيت‬C‫ى يكون أخرعهده بال‬C‫د حت‬C‫ال ينفرن أح‬
‫ اذ أن الرخصة ال تكون اال عن واجب‬,‫ها‬C‫ فدل وجوبه على غير‬,‫رخص للحائض وأسقطه عنها‬.
“Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah) sampai kegiatan
manasiknya berakhir di Baitullah (tawaf wada’)”. Perintah tersebut
menunjukkan wajib karena Nabi Saw memberi rukhsah/keringanan kepada
wanita yang sedang haid dan menggugurkan kewajiban tawaf wada’nya (al-
Mughni fi Fiqh al-hajj wal’Umrah, hal 180).
a. Jamaah sealain wanita haid yang boleh meninggalkan tawaf wada’ karena
udzur syar’i.
Dikemukakan dalam kitab al-Ifshah ‘ala Mashail al-Idhah hal. 406 yang
menjelaskan tentang hadis Nabi Saw riwayat Bukari dan Muslim dari Ibnu
Abbas r.a sebagai berikut :
‫ف عن‬C‫د خف‬C‫ه ق‬C‫بيت اال أن‬C‫م بال‬C‫ن يكون أخرعهده‬C‫ أمرالناس أ‬:‫ه قال‬C‫ا أن‬C‫ عنهم‬C‫ي هللا‬C‫ن عباس رض‬C‫ن اب‬C‫ع‬
‫ى نوبة حيضها واال وجب ان أمنت‬C‫افرة ف‬C‫تحاضة المس‬C‫اء والمس‬C‫ وألحقوا بالحئض النفس‬.‫ة الحائض‬C‫المرأ‬
‫ائل ال يمكنه معه دخول‬C‫و والعصب ومن به جرح س‬C‫ف الحش‬C‫ واليكل‬,‫لس بول ونحوه‬C‫ ومن به س‬,‫التلويث‬
‫ فهذه‬.‫ه الطبراني‬C‫ا قال‬C‫رعلى م‬C‫و معس‬C‫م وه‬C‫ة أوغري‬C‫م أوفوت رفق‬C‫ن ظال‬C‫ف م‬C‫ والمكره والخائ‬,‫جد‬C‫المس‬
‫قط الدم واالثم‬C‫األعذار تس‬.
‫بيت اال أنه قد خفف عن‬C‫ن يكون أخرعهدهم بال‬C‫ أمرالناس أ‬:‫ه قال‬C‫ن عباس رضي هللا عنهما أن‬C‫ن اب‬C‫ع‬
‫ا واال وجب ان‬C‫ة حيضه‬C‫ى نوب‬C‫افرة ف‬C‫تحاضة المس‬C‫اء والمس‬C‫ض النفس‬C‫ وألحقوا بالحئ‬.‫ة الحائض‬C‫المرأ‬
‫ائل ال يمكنه‬C‫ه جرح س‬C‫ن ب‬C‫ب وم‬C‫و والعص‬C‫ف الحش‬C‫ واليكل‬,‫لس بول ونحوه‬C‫ه س‬C‫ن ب‬C‫ وم‬,‫ث‬C‫ت التلوي‬C‫أمن‬
‫ا قاله‬C‫رعلى م‬C‫و معس‬C‫م وه‬C‫ة أوغري‬C‫م أوفوت رفق‬C‫ن ظال‬C‫ف م‬C‫ والمكره والخائ‬,‫جد‬C‫ه دخول المس‬C‫مع‬
‫ فهذه األعذار تسقط الدم واالثم‬.‫الطبراني‬.
Mereka yang termasuk mendapat keringanan sepeprti orang yang sedang
dalam keadaan haid yaitu : wanita yang nifas, wanita yang istihadhah
(keluar darah penyakit), orang yang kencing terus-menerus (beser), anak
kecil, orang yang dalam keadaan lemah, orang yang kena luka darahnya
keluar terus menerus yang tidak mungkin dia masuk ke dalam masjid,
orang yang dalam tekanan/paksaan, orang yang takut dari perbuatan orang
dzalim, dan orang yang tertinggal dari rombongannya. Mereka itulah
orang-orang yang tergolong berhalangan (udzur syar’i) sehingga tidak
wajib melaksanakan tawaf wada’ dan gugur dari kewajiban membayar
Dam dan mereka tidak berdosa”.
b. Menggabungkan tawaf ifadah dengan tawaf wada’.
Dalam kitab “Darul Ifta al-Mashriyah” dikemukakan tentang bolehnya
menggabungkan tawaf Ifadah dengan tawaf Wada’, sebagai berikut :
‫ى أن‬C‫ بناء عل‬,‫د‬C‫ى طواف واح‬C‫ة والوداع ف‬C‫ي االفاض‬C‫ن طواف‬C‫ع بي‬C‫ة الجم‬C‫ة والحنابل‬C‫د أجازالمالكي‬C‫وق‬
, ‫ل بطواف االفاضة‬C‫ وهذا حاص‬, ‫بيت الحرام‬C‫و الطواف بال‬C‫ن يكون أخرعهدالحاج ه‬C‫ود هوأ‬C‫المقص‬
‫ي عن طواف الوداع‬C‫ة ليغن‬C‫ث الحاج بمك‬C‫ر مك‬C‫ى أخ‬C‫ة ال‬C‫ر طواف االفاض‬C‫ فان تأخي‬: ‫ك‬C‫ى ذل‬C‫وبناء عل‬
1432 ,‫ داراالفتاء المصرية‬,‫ج والعمرة‬C‫عي بعده (كتاب الح‬C‫ك أداء الس‬C‫ا وال يضرذل‬C‫رع‬C‫ز ش‬C‫جائ‬
)‫هجرية‬.
Mazhab Maliki dan Hanafi membolehkan menggabungkan antara tawaf
ifadah dan tawaf wada’ dalam satu kali tawaf, karena maksud dari akhir
pekerjaan haji adalah tawaf di Baitullah al-Haram, dan hal ini dapat
dilakukan dengan tawaf ifadah. Hukum syara’ memperbolehkan jika jamaah
haji mengakhirkan tawaf ifadah sampai dengan akhir tinggal di Makkah
untuk menggabungkan dengan tawaf wada’, dan setelah selasai tawaf
melanjutkan sa’i.
18. Berdiam Diri , di Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjid
Lainnya .
Para ulama fuqaha berbeda pendapat tentang hukum berdiam diri(‫لمكث‬CC‫) ا‬
di masjid, sebagaimana dikemukakan dalam kitab Fiqh al-Nisa fi al-Hajj,
Muhammad Athiah Khamis, hal 156 :
1) Mazhab Maliki, mengharamkan secara mutlak wanita sedang dalam
keadaan haid melewati atau berdiam diri (al-muktsu) di dalam masjid
kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak seperti
takut/menghindari ancaman atau kezaliman. Berdasarkan hadis dari
Aisyah yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut :
)‫ ال أحل المسجد لحائض وال جنب (رواه مسلم‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.
“Rasulullah saw bersabda : Aku tidak memperbolehkan (melarang)
masuk masjid bagi wanita haid dan orang yang junub”.
2) Mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i membolehkan orang junub, wanita
haid dan nifas masuk dan berjalan di dalam masjid, tidak untuk
berdiam diri dengan syarat darah haid aman dan terjaga tidak menetes.
3) Mazhab Hambali memperbolehkan orang junub, wanita haid dan nifas
berjalan di masjid tanpa berdiam diri ketika darah belum berhenti dan
aman tidak akan netes mengotori masjid, kecuali jika darah haid atau
nifas telah terhenti (mampet) boleh berdiam diri di dalam masjid.
Sebagaimana teks berikut :
‫ يجوز الجنب والحائض والنفساء المرور بالمسجد بدون مكث حال نزول الدم ان أمن‬: ‫وقال الحنابلة‬
‫ وال يجوز لها المكث به اال اذا انقطع الدم‬,‫ عدم تلويث المسجد‬.
4) Imam Ahmad, al-Muzani, Ibnu al-Mundzir berpendapat boleh berjalan
ataupun berdiam diri dalam masjid karena orang muslim itu tidak najis,
sebagaimana sabda Nabi saw :
‫ المسلم ال ينجس (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
Nabi Saw bersabda : Orang Islam itu tidak najis (H.R. Bukhari dan Muslim).

------------------------------
DEMIKIAN, SEMOGA BERMANFAAT
DALAM RANGKA MERAIH HAJI YANG MABRUR
‫ الحج المبرور ليس له جزاء اال الجنة‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
BALASAN HAJI MABRUR ADALAH SURGA. AMIN.

Anda mungkin juga menyukai