Anda di halaman 1dari 109

PERATURAN

PERUNDANG
AN
TRANSPORTA
SI DARAT
Kelompok 1 & 2
Anggota Kelompok
Alyza Imens (R0218008) Khairani Nurhasanah (R0218066)
Andika (R0218010) Muhammad Rizal Maulana (R0218078)
Anya Shafira Al C. (R0218016) Okda Tianasari (R0218088)
Ar Rizqu Firdaus A (R0218018) Pipit Handayani (R0218090)
Denny Anwar Ramadhan (R0218032) Rosy Sasmita (R0218102)
Dian Kartika S (R0218036) Salsabilla Deslinda Amara Putri (R0218104)
Finisa Putri Maharuta (R0218048) Syafrina Ossawanda (R0218112)
Furi Handayani (R0218050) Syifa Farida Ashaar (R0218114)
Henny Dwi Agustien (R0218052) Windy Renta O (R0218124)
Julia Aisyah Nur (R0218064) Yulia Istiqomah (R0218128)
UNDANG-UNDANG (UU)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
1. Pengertian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 1 poin 31
“Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap
orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan,
Jalan, dan/atau lingkungan.”
2. Pengembangan Industri dan Teknologi yang Menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
[Pasal 10 poin b dan c]
a. Poin b :
“Pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan”
b. Poin c :
“Pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”
[Pasal 11 poin b]
Poin b : ”Pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”
3. Pelaksanaan Preservasi yang Menjaga Keamanan dan Keselamatan
[Pasal 23 ayat (1)]
“Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib
menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”
4. Penyediaan Fasilitas Terminal yang Sesuai dengan Standar Keselamatan dan Keamanan
[Pasal 38 ayat (1)]
“Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan.”
5. Batas Kecepatan Kendaraan yang Sesuai Standar Keselamatan
[Pasal 21 ayat (3)]
“Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan
batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.”
6. Persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor
[pasal 48 ayat (2) dan (3)]
● Persyaratan teknis terdiri atas susunan, perlengkapan, ukuran, karoseri, rancangan teknis
kendaraan sesuai dengan peruntukannya, pemuatan, penggunaan, penggandengan
Kendaraan Bermotor dan penempelan Kendaraan Bermotor
● Kelayakan laik jalan kendaraan bermotor ditentukan oleh kerja minimal yang diukur
sekurang-kurangnya terdiri atas emisi gas buang, kebisingan suara, efisiensi sistem rem
utama, efisiensi sistem rem parkir, kincup roda depan, suara klakson, daya pancar dan arah
sinar lampu utama, radius putar, akurasi alat penunjuk kecepatan, kesesuaian kinerja roda
dan kondisi ban; dan kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan.

7. Larangan modifikasi Kendaraan Bermotor yang dapat membahayakan keselamatan


[pasal 52 ayat (1) dan (2)]
Modifikasi Kendaraan Bermotor dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan
daya angkut. Namun, tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu
arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.
8. Perlengkapan Kendaraan Bermotor
[pasal 57 ayat (2) dan (3)]
Perlengkapan kendaraan bermotor yang terdiri dari helm SNI bagi sepeda motor dan
perlengkapan untuk kendaraan beroda empat atau lebih sekurang-kurangnya terdiri atas
sabuk pengaman, ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, peralatan
pertolongan pertama pada kecelakaan lalu lintas.

9. Larangan pemasangan perlengkapan Kendaraan Bermotor yang dapat mengganggu keselamatan


[pasal 58]
“Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan
yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.”
10. Persyaratan keselamatan bagi Kendaraan Tidak Bermotor
[pasal 61 ayat (1), (2) dan (3)]
Kendaraan Tidak Bermotor yang beroperasi di jalan wajib memenuhi persyaratan
keselamatan meliputi persyaratan teknis dan persyaratan tata cara memuat barang.
● Persyaratan teknis meliputi konstruksi, kemudi, sistem roda, rem, lampu dan pemantul
cahaya, alat peringatan dengan bunyi
● Persyaratan tata memuat barang meliputi dimensi dan berat

11. Hak pesepeda atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran
dalam berlalu lintas.
[pasal 62 ayat (1) dan (2)]
Kewajiban pemerintah dalam memberikan kemudahan kemudahan berlalu lintas bagi
pesepeda dan hak pesepeda atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan
kelancaran dalam berlalu lintas.
12. Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 93 ayat (1): Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan
penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 94 ayat (2): Kegiatan pengaturan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi:
a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan
tertentu; dan
b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
Pasal 95
ayat (1): Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas berupa
perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk.
ayat (2): Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk harus dinyatakan dengan Rambu Lalu
Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
13. Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 99 ayat (1): Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur
yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.
Pasal 105: Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib:
a. berperilaku tertib; dan/atau
b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.
Pasal 106
ayat (2): Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan
keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.
Ayat (6): Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan
dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.
ayat (7): Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang
tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib
mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.
(8) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib
mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.
Pasal 115 : Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang:
a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau
b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain.
Pasal 116 ayat (1): Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu
Lintas.
Pasal 118: Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat
berhenti di setiap Jalan, kecuali:
a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh;
b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta
mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
c. di jalan tol.
Pasal 121
ayat (1): Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu
isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan
darurat di Jalan.
ayat (2): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi
Sepeda Motor tanpa kereta samping.
14. Kendaraan Tidak Bermotor
Pasal 122 ayat (1): Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang:
a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan
kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;
b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna
Jalan lain;
Pasal 134:
Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
b. ambulans yang mengangkut orang sakit;
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas;
d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang
menjadi tamu negara;
f. iring-iringan pengantar jenazah; dan
g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
15. Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum
Pasal 138 ayat (1): Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi
kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.

16. Standar Pelayanan Angkutan Orang


Pasal 141
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang
meliputi:
a. keamanan;
b. keselamatan;
c. kenyamanan;
d. keterjangkauan;
e. kesetaraan; dan
f. keteraturan.
Dalam pasal 192, dijelaskan bahwa terdapat asuransi kecelakaan bagi penumpang akibat
kelalaian penyelenggara angkutan umum.

Dalam Pasal 200, disebutkan beberapa upaya dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu, penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
a. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
b. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan
berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat
dalam berlalu lintas;
c. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d. manajemen keamanan Lalu Lintas;
e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli;
f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; dan
g. penegakan hukum Lalu Lintas.
Dalam Pasal 203 dijelaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dengan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
meliputi:
a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam pasal 204 dijelaskan bahwa perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan, dan
menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam pasal 206 dijelaskan mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. audit;
b. inspeksi; dan
c. pengamatan dan pemantauan
Dalam pasal 208 dijelaskan bahwa pembina lalu lintas dan angkutan jalan bertangggung jawab membangun
dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan upaya;
a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini;
b. sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. pemberian penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan
e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.
Dalam pasal 209 dijelaskan mengenai perlindungan kelestarian lingkungan lalu lintas dan angkutan jalan
dengan melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi
ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 210 dijelaskan mengenai pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan lalu lintas dan
angkutan jalan, yang terkhusus pada pembatasan emisi gas buang kendaraan bermotor.

Dalam pasal 211 dijelaskan bahwa setiap pemilik dan/atau pengemudi kendaraan bermotor
dan perusahaan angkutan umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan
kebisingan.
Pasal 212 : Menjelaskan tentang kewajiban pemilik, pengemudi, dan perusahaan angkutan umum untuk melakukan
perbaikan jika terdapat kerusakan yang berakibat pada pencemaran.

Pasal 213 : Menjelaskn tentang kewajiban pemerintah untuk mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 214 : Menjelaskan tentang hak perusahaan angkutan umum seperti hak untuk kemudahan untuk memperoleh
kemudahan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang ramah lingkungan serta berhak memperoleh
informasi terkait kelestarian lingkungan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 215: Menjelaskan tentang kewajiban perusahaan angkutan umum seperti melaksanakan program
pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan, menyediakan sarana lalu lintas dan angkutan jalan yang ramah
lingkungan, memberikan informasi yang valid tentang kondisi lalu lintas.

Pasal 216: Menjelaskan tentang hak masyarakat seperti berhak mendapatkan ruang lalu lintas yang ramah
lingkungan dan berhak mendapatkan informasi terkait kelestarian lingkungan hidup di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan.

Pasal 217: Menjelaskan tentang kewajiban masyarakat seperti menjaga kelestarian lingkungan bidang lalu lintas
dan angkutan jalan.

Pasal 218: Menjelaskan tentang sanksi administratif jika melakukan pelanggaran terhadap ketentuan mengenai
dampak lingkungan lalu lintas dan angkutan jalan pasal 211 seperti peringatan tertulis, denda administratif,
pembekuan izin, dan/ pencabutan izin.

Pasal 219: Menjelaskan tentang pengembangan industri dan teknologi sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan.

Pasal 220: Menjelaskan tentang rancang bangun kendaraan bermotor.


Pasal 221: Menjelaskan tentang pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya
nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.

Pasal 222: Menjelaskan tentang pengembangan industri dan teknologi prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 223: Menjelaskan tentang pemberdayaan industri prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 224: Menjelaskan tentang pengembangan industri prasarana lalu lintas dan angkutan jalan seperti rekayasa, produksi, perakitan, dan/ pemeliharaan dan
perbaikan, serta pengembangan industri prasarana lalu lintas dan angkutan jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal.

Pasal 225: Menjelaskan tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi prasarana lalu lintas dan angkutan jalan diatur dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 226: Menjelaskan tentang pencegahan kecelakaan lalu lintas seperti partisipasi para pemangku kepentingan, pemberdayaan masyarakat, penegakan hukum, dan
kemitraan global.

Pasal 227: Menjelaskan tentang tata cara penanganan kecelakaan lalu lintas seperti:
a. mendatangi tempat kejadian dengan segera;
b. menolong korban;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d. mengolah tempat kejadian perkara;
e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g. melakukan penyidikan perkara.

Pasal 228: Menjelaskan tentang ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan kecelakaan lalu lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

Pasal 229: Menjelaskan tentang penggolongan kecelakaan lalu lintas seperti kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, atau kecelakaan lalu lintas
berat.

Pasal 230: Menjelaskan tentang perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 231: Menjelaskan tentang kewajiban Pengemudi Kendaraan Bermotor seperti:
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian
kecelakaan.

Pasal 232: Menjelaskan tentang kewajiban setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas seperti:
a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu
Lintas;
b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan/atau
c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

Pasal 233: Menjelaskan tentang pendataan kecelakaan lalu lintas.

Pasal 234 - 237: Menjelaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/ perusahaan angkutan.

Pasal 238-239: Menjelaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.

Pasal 240: Menjelaskan tentang hak korban kecelakaan lalu lintas seperti:
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Pasal 241: Menjelaskan tentang hak setiap korban kecelakaan lalu lintas untuk memperoleh pengutamaan
pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.

Pasal 242: Menjelaskan tentang ruang lingkup perlakuan khusus seperti aksesibilitas, prioritas pelayanan,
dan fasilitas pelayanan.

Pasal 243: Menjelaskan tentang masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 244: Menjelaskan tentang sanksi administratif seperti peringatan tertulis, denda administratif,
pembekuan izin, dan pencabutan izin.

Pasal 245 - 246: Menjelaskan tentang penyelenggaraan sistem informasi dan komunikasi.

Pasal 247: Menjelaskan tentang pengelolaan sistem informasi dan komunikasi.

Pasal 248: Menjelaskan tentang pengembangan sistem informasi dan komunikasi.

Pasal 249-251 : Menjelaskan tentang pusat kendali sistem informasi dan komunikasi.
Pasal 252: Menjelaskan tentang peraturan lebih lanjut didalam peraturan pemerintah.

Pasal 253-255: Menjelaskan tentang sumber daya manusia.

Pasal 256-258: Menjelaskan tentang peran serta masyarakat.

Pasal 259-260: Menjelaskan tentang penyidikan dan penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 261: Menjelaskan tentang pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian RI kepada Penyidik
Pembantu di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 262: Menjelaskan tentang kewenangan Penyidik PNS

Pasal 263: Menjelaskan tentang koordinasi dan pengawasan Penyidik PNS

Pasal 264: Menjelaskan tentang pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Pemeriksaan dilakukan oleh
Petugas Kepolisian RI dan Penyidik PNS.

Pasal 265 (1): Menjelaskan pemeriksaan yang dimaksud meliputi pemeriksaan SIM, STNK, Surat Tanda
Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor;
tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji; fisik kendaraan bermotor; daya angkut/cara pengangkutan
barang; dan/atau izin penyelenggaraan angkutan

Pasal 266: Menjelaskan bahwa ketentuan pada Pasal 265 (1) dilakukan oleh Kepolisian RI dan Pasal 265 ayat
(1) b-e dilakukan oleh Penyidik PNS
Pasal 267-269: Menjelaskan tentang tata cara penindakan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 270-272: Menjelaskan tentang penanganan benda sitaan

Pasal 273-315: Menjelaskan tentang ketentuan pidana terkait pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan di
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan menetapkan lama waktu kurungan dan banyaknya denda.

Pasal 316: Menjelaskan bahwa hampir semua ketentuan dalam pasal terkait ketentuan pidana merupakan
pelanggaran

Pasal 317: Menjelaskan bahwa ketentuan dalam pasal 273, 275 (2), 277, 310, 311, dan 312 merupakan
kejahatan

Pasal 318-319: Menjelaskan tentang ketentuan peralihan

Pasal 320-326: Menjelaskan tentang mulai berlakunya undang-undang ini dan dicabutnya undang-undang
lama yaitu UU No. 14 Tahun 1992
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG
PERKERETAAPIAN
Bab I (Ketentuan Umum)
Pasal 1
● Poin 1 = Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri dari atas prasarana, sarana, dan sumber daya manuasia, serta norma,
kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.
● Poin 2 = Kereta Api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkai dengan sarana
perkeretaapian lainnya.
● Poin 3 = Prasarana Perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta dapat
dioperasikan.
● Poin 9 = Sarana Perkeretaapian adalah kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel
● Poin 11 = Fasilitas penunjang kereta api adalah sega;a sesuatu yang melengkapi penyelenggaraan angkutan kereta api yang
dapat memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan bagi pengguna jasa kereta api..

Bab II (Asas dan Tujuan)


Pasal 2 membahas mengenai asas penyelenggaraanf.transportasi perkeretaapian yaitu :
Asas Kemandirian
a. Asas manfaat
g. Asas Transparansi
b. Asas Keadilan
h. Asas Akuntabilitas
c. Asas Keseimbangan
d. Asas Kepentingan Umum i. Asas Berkelanjutan
e. Asas Keterpaduan

Pasal 3 membahas tujuan penyelenggaraan transportasi perkeretaapian


[Memperlancar perpindahan orang dan atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat dan tertib,
efisien, serta mampu dalam menunjang pemerataan dalam pertumbuhan pembangunan nasional.]
Bab III (Tatanan perkeretaapian)

Pasal 5 Ayat 1 membahas mengenai fungsi perkeretaapian. (diperjelas pada pasal 5 ayat 2 dan Ayat 3)
[Perkeretaapian umum terdiri dari perkeretaapian perkotaan dan perkeretaapian antar kota. dan perkeretaapian khusus yang dimaksud
hanya digunakan oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha.]

Pasal 6 Ayat 1-3 membahas mengenai tatanan perkeretaapian umum


[Mengenai tatanan perkeretaapian nasional yang meliputi perkeretaapian nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota yang membentuk
satu kesatuan sistem perkeretaapian yang terintegrasi dengan moda transportasi lainnya.]

Pasal 7 Ayat 2 mengenai rencana induk perkeretaapian.


[Rencana induk perkeretaapian terdiri atas rencana induk perkeretaapian nasional, rencana induk perkeretaapian provinsi, dan rencana
induk perkeretaapian kabupaten atau kota.]

Pasal 8 Ayat 1 dan Ayat 3 menjelaskan dasar penyusunan rencana induk perkeretaapian nasional.
Dalam penyusunan rencana induk transportasi harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah nasional, dan rencana induk jaringan
moda transportasi lainnya. Sekurang-kurangnya memuat :
a. Arah kebijakan dan peran perkeretaapian
b. Prakiraan perpindahan orang atau barang berdasarkan asal-tujuannya
c. Rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian
d. Rencana kebutuhan sarana perkeretaapian
e. Rencana kebutuhan SDM.

Pasal 11 mengenai penetapan rencana induk perkeretaapian.


[Dalam pembentukan rencana induk perkeretaapian perlu penetapan oleh pemerintah untuk rencana induk perkeretaapian nasional,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota.]
BAB IV (Pembinaan)
Pasal 13 Ayat 1 membahas mengenai pertanggung jawaban perekeretaapian dikuasai oleh negara dan pelaksanaan
pembinaan dilakukan oleh pemerintah. Ayat 2 membahas mengenai pembinaan perekeretaapian meliputi : pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan. dan Ayat 3 mengenai tujuan dan sasaran pembinaan yaitu untuk memperlancar perpindahan
orang atau barang secara massal dengan selamat, nyaman, cepat, tepat, tertib dan teratur, efisien. Yang betujuan untuk
menunjang pemerataan, pertumbuhan, dan mendorong pergerakkan pembangunan nasional.
Pasal 14 ayat 1-3 membahas mengenai bentuk pembinaan perkeretaapian nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota.
[Bentuk pembinaan perkeretaapian nasional meliputi : Penetapan arah dan sasaran kebijakan; Penetapan pedoman, standar,
serta prosedur pengembangan perkeretaapian; Penetapan kompetensi pejabat pelaksana fungsi; Pemberian arahan,
bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis; Pengawasan terhadap perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian.]
BAB V (Penyelenggaraan)
Pasal 18 membahas mengenai penyelenggaraan prasarana perkeretaapian
[Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan pembangunan prasarana, pengoperasian prasarana,
perawatan prasarana, dan pengusahaan prasarana.]
Pasal 21 membahas mengenai kewajiban perawatan prasarana
[Perawatan prasarana perkeretaapian wajib memenuhi standar perawatan prasarana perkeretaapian dan dilakukan oleh
tenaga teknis yang memenuhi persyaratan kualifikasi keahlian.]
Pasal 23 Ayat 1 menjelaskan mengenai penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum [Penyelenggaraan prasarana
perkeretaapian dilakukan oleh badan usaha baik secara mandiri dan kerja sama.]
Pasal 24 ayat 1 membahas mengenai kewajiban badan usaha dalam menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum
wajib memiliki izin usaha, pembangunan, dan operasi. Pada Ayat 2 membahas mengenai penerbitan izin usaha
penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum diterbitkan oleh pemerintah. dan Ayat 5 membahas mengenai pemberian
izin penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum antar provinsi dilakukan oleh pemerintah; untuk penyelenggaraan
prasarana perkeretaapian antar kabupaten atau kota perkeretaapian umum dalam satu provinsi izin diberikan oleh
pemerintah provinsi; dan penyelenggaraa perkeretaapian dalam wilayah kabupaten atau kota izin diberikan oleh pemerintah
kabupaten atau kota dengan rekomendasi pemerintah provinsi.
Pasal 25 membahas mengenai kegiatan penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum.
[Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan pengadaan sarana, pengoperasian sarana, perawatam
sarana, dan pengusahaan sarana.]

Pasal 29 mengenai kewajiban pemenuhan dalam perawatan sarana perkeretaapian umum.


[Perawatan sarana perkeretaapian umum wajib memenuhi standart perawatan sarana perkeretaapian dan dilakukan oleh
tenaga yang memenuhi persyaratan kualifikasi keahlian.]

Pasal 31 Ayat 1-2 mengenai kewenangan penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum.


[Penyelenggaraan umum dilakukan oleh badan usaha sebagai penyelenggara baik secara mandiri maupun kerja sama, jika
tidak terdapat badan usaha maka pemerintah atau pemerintah daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian.]

Pasal 33 Ayat 2 mengenai kewajiban badan usaha dalam penyelenggaraan perkeretaapian khusus.
[Badan usaha wajib memiliki izin pengadaan atau pembangunan, dan memiliki izin operasi.]
Pasal 33 Ayat 4 mengenai pemberian izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus.

Bab VI (Prasarana Perkeretaapian)

Pasal 35 Ayat 1 membahas mengenai prasarana perkeretaapian umum dan khusus meliputi : jalur kereta api; stasiun kereta
api; dan fasilitas operasi kereta api. dan Ayat 3 mengenai peruntukan stasiun kereta api diperuntukkan sebagai temapt
berangkat dan berhenti dalam memberikan layanan naik turun penumpang; bongkar muat barang; dan keperluan operasi
kereta api.

Pasal 37 Ayat 1 membahas mengenai ruang manfaat jalur kereta api terdiri atas jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan
jalan rel beserta ruang dikiri, kanan, atas, dan bawah yang digunakan sebagai konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas
operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya. dan Ayat 2 membahas mengenai letak jalan rel berada pada permukaan
tanah; dibawah permukaan tanah; dan diatas permukaan tanah.
Pasal 39 Ayat 1 mengenai batas ruang manfaat jalur kereta api diatas permukaan tanah.
[Batas ruang manfaat jalur kereta api diukur dari sisi terluar jalan rel beserta bidang tanah di kiri dan kanannya yang
digunakan untuk konstruksi jalan rel termasuk bidang tanah untuk penempatan fasititas operasi kereta api dan bangunan
petengkap lainnya yang diukur dari sisi terluar terowongan dan konstruksi jembatan.]

Pasal 42 Ayat 2 mengenai pemanfaatan ruang jalur perkeretaapian.


[Pemanfaatan jalur kereta api dapat digunakan untuk keperluan lain atas izin dari pemilik jalur dengan ketentuan tidak
membahayakan konstruksi jalan rel dan fasilitas pendukung operasi kereta api.]

Pasal 48 Ayat 2 mengenai dasar pengelompokan kelas jalur kereta api


[Pengelompokan kelas jalur kereta api didasarkan pada : Kecepatan maksimum yang diizinkan; Beban gandar maksimum
yang diizinkan; Frekuensi lalu lintas kereta api.]

Pasal 51 Ayat 1-3 mengenai penetapan jalur kereta api.


[Penetapan jalur kereta api yang melebihi satu provinsi ditetapkan oleh pemerintah; Jalur kereta api khusus yang melebihi
satu wilayah kabupaten atau kotan ditetapkan oleh pemerintah provinsi; dan jalur kereta api khusus dalam wilayah kabupaten
atau kota ditetapkan oleh pemerintah kabupaten atau kota.]
1. Pertanggungjawaban apabila terjadi kecelakaan akibat dari kesalahan pengoperasian

Pasal 87

(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada Penyelenggara Sarana


Perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian sebagai akibat kecelakaan yang disebabkan kesalahan
pengoperasian prasarana perkeretaapian.

2. Wajib dilakukan pemeriksaan atau pengujian sarana perkeretaapian

Pasal 98

(1) Untuk memenuhi persyaratan teknis dan menjamin kelaikan operasi sarana perkeretaapian, wajib
dilakukan pengujian dan pemeriksaan.

(2) Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan
dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

(3) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 99

Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) terdiri dari:

a. uji pertama; dan

b. uji berkala

Pasal 106

Setiap badan hukum atau lembaga pengujian sarana perkeretaapian wajib melakukan pengujian sarana perkeretaapian
dengan tenaga penguji sarana perkeretaapian yang memiliki sertifikat keahlian sarana perkeretaapian dan menggunakan
peralatan pengujian prasarana perkeretaapian yang sesuai dengan tata cara pengujian sarana perkeretaapian yang
ditetapkan.

3. Pekerja yang mengoperasikan sarana perkeretaapian wajib memiliki sertifikat kecakapan

Pasal 116

(1) Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh awak yang memenuhi persyaratan dan
kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.
4. Tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi kecelakaan kereta api

Pasal 125

Dalam hal terjadi kecelakaan kereta api, pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian harus melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu lintas;

b. menangani korban kecelakaan;

c. memindahkan penumpang, bagasi, dan barang antaran ke kereta api lain atau moda transportasi lain untuk
meneruskan perjalanan sampai stasiun tujuan;

d. melaporkan kecelakaan kepada Menteri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;

e. mengumumkan kecelakaan kepada pengguna jasa dan masyarakat;

f. segera menormalkan kembali lalu lintas kereta api setelah dilakukan penyidikan awal oleh pihak berwenang;
dan

g. mengurus klaim asuransi korban kecelakaan.


1. Tanggungjawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Terhadap Kecelakaan Kereta Api

Pasal 157 ayat 1 :

"Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau
meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api".

2. Hak masyarakat untuk mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimum.

Pasal 172 poin b :

"Masyarakat berhak : mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimum;
dan".

3. Keitkutsertaan masyarakat dalam keselamatan penyelenggaraan perkeretaapian

Pasal 173 :

"Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan penyelenggaraan perkeretaapian."
4. Pemeriksaan dan penelitian kecelakaan kereta api dibuat dalam bentuk rekomendasi dan wajib
ditindaklanjuti : Pasal 175 ayat 1 dan 2.

5. Biaya investigasi kecelakaan kereta api : Pasal 176 ayat 1 dan 2

6. Pasal 182 poin a,b, dan c : Menjelaskan terkait orang yang dilarang untuk melakukan pengujian
sarana perkeretaapian

7. Pasal 183 ayat 1 dan 2 : Menjelaskan tentang posisi/lokasi yang dilarang bagi penumpang.

8. Pasal 185 ayat 1 : Menjelaskan tentang awak sarana perkeretaapian yang tidak memiliki
sertifikat kecakapan tidak boleh bertugas
PERATURA
N
PEMERINTA
H (PP)
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013
TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI
1. Pasal 1 ayat 1

Investigasi Kecelakaan Transportasi adalah kegiatan penelitian terhadap penyebab kecelakaan transportasi dengan
cara pengumpulan, pengolahan, analisis, dan

penyajian data secara sistematis dan objektif agar tidak terjadi kecelakaan transportasi dengan penyebab yang sama.

2. Pasal 1 ayat 2

Kecelakaan Transportasi adalah peristiwa atau kejadian pengoperasian sarana transportasi yang mengakibatkan
kerusakan sarana transportasi, korban jiwa, dan/atau

kerugian harta benda.

3. Pasal 1 ayat 3

Investigator adalah orang yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi tertentu untuk melaksanakan kegiatan
Investigasi Kecelakaan Transportasi.

• Ketentuan umum investigasi


1. Pasal 2

Investigasi Kecelakaan Transportasi diselenggarakan berdasarkan prinsip:

a. tidak untuk mencari kesalahan (no blame);

b. tidak untuk memberikan sanksi/hukuman (no judicial); dan

c. tidak untuk mencari siapa yang bertanggung jawab menanggung kerugian (no liability).

2. Pasal 3, 4, dan 5.

Investigasi diselenggarakan untuk mengungkap suatu peristiwa kecelakaan transportasi secara profesional dan
independen guna memperoleh data dan fakta penyebabnya yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan
Transportasi yang kedudukannya diatur dengan Peraturan Presiden

• Kecelakaan transportasi

1. Pasal 7 dan pasal 10

Menyatakan bahwa kecelakaan transportasi terjadi pada kereta api (meliputi tabrakan, terguling, anjlok, dan
terbakar) dan kendaraan bermotor umum (tabrakan, terguling, jatuh ke jurang/sungai, dan terbakar).

• Kriteria kecelakaan transportasi


1. Pasal 11

Setiap investigasi kecelakaan terhadap kereta api dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sedangkan dalam investigasi
kecelakaan tertentu kendaraan bermotor umum wajib berkoordinasi dengan pihak Kepolisian.

2. Pasal 12

Kecelakaan Kereta Api yang wajib dilakukan Investigasi yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa dan/atau kerusakan/tidak dapat
beroperasinya Kereta Api yang mengakibatkan rintang jalan selama lebih dari 6 jam untuk 2 arah.

3. Pasal 19

Kecelakaan tertentu kendaraan bermotor umum meliputi terdapat korban jiwa paling sedikit 8 orang; mengundang perhatian publik secara luas;
menimbulkan polemik/kontroversi; menimbulkan prasarana rusak berat; berulang-ulang pada merek atau tipe kendaraan yang sama dalam 1
tahun; berulang-ulang pada lokasi yang sama dalam 1 tahun; dan/atau mengakibatkan pencemaran lingkungan akibat limbah atau Bahan B3
yang diangkut.

• Pemberitahuan kecelakaan transportasi

1. Pasal 20 dan pasal 24

Setiap Kereta Api yang mengalami kecelakaan wajib diberitahukan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi oleh penyelenggara
prasarana dan sarana Kereta, atau kementerian yang yang terkait. Pemberitahuan Kecelakaan Transportasi disampaikan segera dengan cara
lisan atau tertulis yang memuat lokasi kejadian; waktu; akibat kecelakaan; jumlah korban; dan prasarana & sarana transportasi yang mengalami
kecelakaan

• Pelaksanaan investigasi kecelakaan


1. Pasal 26

Persiapan investigasi meliputi membentuk tim investigasi; mempersiapkan peralatan investigasi; dan melakukan
koordinasi dengan instansi terkait atau operator sarana transportasi yang mengalami kecelakaan. Tim investigasi
ditetapkan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi.

2. Pasal 27 dan 28

Setelah persiapan investigasi, Komite Nasional Keselamatan Transportasi melakukan investigasi awal di lokasi
Kecelakaan Transportasi dengan:

a. mengumpulkan data dan barang bukti Kecelakaan Transportasi;


b. mengambil gambar atau foto;
c. mendata korban; dan/atau
d. mengumpulkan informasi dan keterangan di lokasi Kecelakaan Transportasi dari pihak yang
mengetahui kejadian kecelakaan.
3. Pasal 29

Dalam rangka pemenuhan data, keterangan, informasi, dan pengumpulan barang bukti yang lebih lengkap dapat dilakukan
investigasi lanjutan

• Pengamanan Sarana Transportasi dan Lokasi Kecelakaan Transportasi

1. Pasal 33, pasal 34, dan pasal 35

Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan barang bukti Kecelakaan Transportasi, mengubah letak sarana
transportasi, memindahkan barang bukti, dan mengambil bagian dari sarana transportasi atau barang lainnya yang tersisa
akibat Kecelakaan Transportasi kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan/atau penyidikan. Kecuali dilaksanakan oleh
pejabat berwenang setelah berkoordinasi dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Dengan begitu Pejabat yang
berwenang wajib melakukan pengamanan sarana transportasi dan lokasi Kecelakaan.

• Sistem informasi investigasi

1. Pasal 50

- Ayat (1) Sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi mencakup pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan,
penyajian, serta penyebaran data dan informasi untuk mendukung pelaksanaan investigasi; mencapai hasil investigasi yang
optimal; dan mendukung perumusan kebijakan transportasi dan upaya pencegahan Kecelakaan Transportasi.
2. Pasal 51

Sistem informasi investigasi kecelakaan transportasi paling sedikit memuat:

a. Jumlah Kecelakaan Transportasi

b. Jenis Kecelakaan Transportasi

c. Penyebab terjadinya Kecelakaan Transportasi

d. akibat Kecelakaan Transportasi;

e. fasilitas Investigasi Kecelakaan Transportasi;

f. tenaga Investigator Kecelakaan Transportasi;

g. lokasi Kecelakaan Transportasi; dan/atau

h. isi rekomendasi
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN
TENTANG ANGKUTAN JALAN
1. Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor

[Pasal 8 Ayat 3]

"Penggunaan Mobil Barang untuk Angkutan orang dalam rangka mengatasi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf c meliputi evakuasi korban dan pengerahan bantuan."

[Pasal 9 Ayat 1 dan 2]

● Ayat 1

"Mobil Barang yang digunakan untuk Angkutan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 ayat (2)
huruf a dan huruf b paling sedikit memenuhi persyaratan:

- tersedianya tangga untuk naik dan turun;


- tersedianya tempat duduk dan/atau pegangan tangan untuk semua Penumpang;
- terlindungi dari sinar matahari dan/atau hujan; dan tersedianya sirkulasi udara."
● Ayat 2

"Angkutan orang dengan menggunakan Mobil Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 harus
memperhatikan faktor keselamatan."
2. Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor

[Pasal 10 Ayat 3 dan 4]

● Ayat 3 : "Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mobil penumpang dan mobil bus
meliputi:
- tersedia ruang muatan dan/atau tempat muatan yang dirancang khusus;
- barang yang diangkut sesuai dengan ruang muatan; dan
- jumlah barang yang diangkut tidak melebihi daya angkut sesuai dengan tipe kendaraannya."
● Ayat 4 : "Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk sepeda motor meliputi:
- muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi;
- tinggi muatan tidak melebihi 900 (sembilan ratus) milimeter dari atas tempat duduk pengemudi; dan
- barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi."
[Pasal 11]

"Angkutan barang dengan menggunakan Mobil Penumpang, Mobil Bus, atau sepeda motor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 harus memperhatikan faktor keselamatan."

3. Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Tidak Bermotor

[Pasal 12]

"Penggunaan Angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan daerah,serta
harus memenuhi persyaratan keselamatan."
4. Kewajiban Penyediaan Angkutan Umum

[Pasal 14 Ayat 1]

"Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan Angkutan orang dan/atau barang
yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau."

5. Kewajiban Penyediaan Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum

[Pasal 20 Ayat 2]

" Kewajiban menjamin tersedianya Angkutan umum untuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal:

- menjaga ketersediaan dan kelangsungan pelayanan Angkutan barang;


- penanganan kondisi darurat; dan
- tidak terdapat pelayanan oleh pihak swasta"
6. Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Dalam Trayek

[Pasal 23 Ayat 1 dan 2]

● Ayat 1 : "Pelayanan Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 harus memenuhi kriteria :
- memiliki rute tetap dan teratur;
- terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan Penumpang di Terminal
untuk Angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan
- menaikkan dan menurunkan Penumpang pada tempat yang ditentukan untuk Angkutan
perkotaan dan perdesaan."
● Ayat 2 : "Tempat yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
- Terminal;
- halte; dan/atau
- rambu pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum"
7. Angkutan Massal

[Pasal 47 Ayat 1, 3 dan 4]

● Pasal 1 poin b dan c : "Angkutan massal berbasis jalan harus didukung oleh :
- lajur khusus;
- Trayek Angkutan umum lain yang tidak berhimpitan dengan Trayek Angkutan massal; dan
● Pasal 3 : "Lajur khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
- lajur khusus Angkutan massal yang berdiri sendiri; dan/atau
- lajur khusus Angkutan massal di ruang milik jalan.
● Pasal 4 : "Trayek Angkutan umum lain yang tidak berhimpitan dengan Trayek Angkutan massal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Trayek Angkutan umum yang tidak memiliki kesamaan rutdengan rute
Angkutan massal."
8. Pengawasan Angkutan Orang

● [Pasal 48 Ayat 1]

" Setiap pengemudi dan Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan Angkutan orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum, wajib mematuhi ketentuan mengenai:

- izin penyelenggaraan Angkutan orang dalam Trayek Atau izin penyelenggaraan Angkutan orang tidak
dalam Trayek; dan
- persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor."
● [Pasal 49 Ayat 2]

"Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b meliputi:

- tanda bukti lulus uji berkala Kendaraan Bermotor;


- fisik Kendaraan Bermotor; dan
- standar pelayanan minimal.“
● [Pasal 50]

"Pengawasan Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dilaksanakan oleh petugas pengawas Kendaraan Bermotor menggunakan peralatan secara manual dan/atau
elektronik."
BAB V ANGKUTAN BARANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM

- Pasal 51 : Menjelaskan bahwa angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas Angkutan barang umum dan
Angkutan barang khusus.

- Pasal 53 ayat 1 : penjelasan Angkutan barang khusus

- Pasal 53 ayat 2: Barang khusus terdiri atas: barang berbahaya; dan barang tidak berbahaya, yang memerlukan sarana khusus.
Angkutan barang khusus berbahaya yang memerlukan sarana khusus paling sedikit: barang yang mudah meledak; gas
mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau temperatur tertentu;
BAB VI DOKUMEN ANGKUTAN ORANG DAN/ATAU BARANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM

- Pasal 56

Ayat 1 : Menjelaskan terkait dengan Perusahaan Angkutan Umum orang wajib menyerahkan: tiket kepada Penumpang; tanda bukti
pembayaran tanda pengenal bagasi kepada Penumpang; dan manifes kepada Pengemudi.

Ayat 2 : Untuk tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang
sah.

- Pasal 57 : Menjelaskan Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi surat muatan
barang; dan surat perjanjian pengangkutan barang.

- Pasal 58 ayat 1 : Membahas terkait dengan Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang
sebagai bagian dokumen perjalanan.

Pasal 58 ayat 2 : Membahas terkait Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan
barang.

BAB VII PENGAWASAN MUATAN ANGKUTAN BARANG

- Pasal 60 : Menjelaskan terkait Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai: tata cara
pemuatan; daya angkut; dimensi kendaraan; dan kelas jalan yang dilalui.-

i
- -Pasal 62 ayat 2 : Untuk Pengawasan muatan Angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat pengawasan dan pengamanan jalan.

- Pasal 62 ayat 3: Membahas terkait Alat pengawasan dan pengamanan jalan yang terdiri atas, alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau alat
penimbangan yang dapat dipindahkan.

- Pasal 63 ayat 1: Menjelaskan terkait Pengawasan muatan Angkutan barang dengan alat penimbangan yang dipasang secara tetap digunakan untuk melakukan
pengawasan terhadap semua Mobil Barang.

- Pasal 64 ayat 1 :Menjelaskan terkait Pengawasan muatan Angkutan barang dengan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan pada lokasi tertentu
di ruas jalan nasional dan jalan strategis nasional.

- Pasal 64 ayat 2: Membahas terkait Lokasi ditentukan dengan mempertimbangkan:rencana tata ruang, pusat bangkitan perjalanan, jaringan jalan dan rencana
pengembangan, volume lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) Angkutan barang, keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas, kondisi topografi, efektivitas dan
efisiensi pengawasan muatan dan ketersediaan lahan.

- Pasal 70 ayat 1 : Menjelaskan terkait ditemukan pelanggaran, p-elaporan, berita acara dan risiko bahaya
BAB VIII PENGUSAHAAN ANGKUTAN

1. Perizinan Angkutan

- Pasal 78 ayat 1 : Menjelaskan Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan Angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki, izin
penyelenggaraan Angkutan

- Pasal 78 ayat 2 : Kewajiban memiliki izin tidak berlaku untuk: pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau
pengangkutan jenazah.

-Pasal 79 ayat 1: Menjelaskan terkait Perusahaan Angkutan Umum harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

- Pasal 79 ayat 2:Menjelaskan terkait Badan hukum Indonesia berbentuk badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; perseroan
terbatas; atau koperasi.

2. Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus

- Pasal 88 ayat 2 : Menjelaskan bahwa Izin penyelenggaraan Angkutan barang khusus untuk barang berbahaya harus mendapat rekomendasi
dari menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian terkait.

- Pasal 88 ayat 3: Rekomendasi yang diberikan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian memuat keterangan:

a. jenis dan sifat barang yang diangkut;

b. tata cara penanganan barang sesuai dengan jenis dan sifat; dan

c. penanganan tanggap darurat.


- Pasal 88 ayat 4: Menjelaskan terkait Pemegang izin penyelenggaraan Angkutan barang khusus wajib:

a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin penyelenggaraan yang diberikan; dan

b. melaksanakan sistem manajemen keselamatan.

3. Wajib Angkut

- Pasal 92 : Menjelaskan bahwa Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengemudi Angkutan umum dapat menolak melaksanakan Angkutan
orang dan/atau barang apabila membahayakan keamanan dan keselamatan.

- Pasal 93 : Menjelaskan bahwa Kondisi membahayakan keamanan dan keselamatan Angkutan orang dan/atau barang meliputi, bencana alam
yang menghambat perjalanan; dan kondisi keamanan yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan sesuai rekomendasi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

4. Sistem Manajemen Keselamatan

- Pasal 94: Menjelaskan bahwa Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen
keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.

- Pasal 95 : Menjelaskan terkait dengan Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi kecelakaan lalu lintas ke
pusat kendali sistem informasi dan komunikasi lalu lintas dan Angkutan jalan.

- Pasal 96 : Membahas Ketentuan mengenai kewajiban membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dan
persyaratan alat pemberi informasi kecelakaan lalu lintas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

- Pasal 97 : Menjelaskan terkait Perusahaan Angkutan Umum yang mengoperasikan Kendaraan Bermotor tertentu wajib memberikan perlakuan
khusus kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.

- Pasal 98 Ayat 1: Menjelaskan Perlakuan khusus kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit
BAB XI INDUSTRI JASA ANGKUTAN UMUM

- Pasal 112 Ayat 1: Menjelaskan terkait Jasa Angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar
pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

- Pasal 112 Ayat 2: Menjelaskan terkait mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat untuk Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah

- Pasal 116 : Menjelaskan terkait hal yang dilakukan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam mendorong terciptanya pasar
yaitu, memberi subsidi bagi Trayek tertentu, memberikan bimbingan dan bantuan teknis, melakukan bimbingan dan pelatihan
manajemen kepada Perusahaan Angkutan Umum; dan melakukan pelatihan dan peningkatan kompetensi kepada mekanik, teknisi,
pengemudi, dan/atau pembantu pengemudi dari Perusahaan Angkutan Umum.

- Pasal 117 : Membahas terkait pengendalian dan pengawasan pengembangan industri jasa Angkutan umum
BAB XII SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PERIZINAN ANGKUTAN PP 74 (hal 51-77) furi

- Pasal 119 (1) : Pejabat yang berwenang menerbitkan izin penyelenggaraan Angkutan wajib menyelenggarakan
sistem informasi manajemen perizinan Angkutan.
- Pasal 119 (2) : Sistem informasi pada ayat (1) merupakan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data perizinan
berdasarkan laporan pengusaha Angkutan mengenai realisasi Angkutan setiap bulan, hasil pengendalian dan
pengawasan serta hasil penilaian kinerja perusahaan Angkutan.

BAB XIII PERAN SERTA MASYARAKAT

- Pasal 120 (2) : Peran serta masyarakat yang terkait dengan K3 yaitu melaporkan penyimpangan terhadap standar
pelayanan Angkutan umum kepada instansi pemberi izin, memelihara sarana dan prasarana Angkutan jalan, dan
ikut menjaga keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Angkutan jalan.
BAB XIV SANKSI ADMINISTRATIF

- Pasal 123 (1) : Setiap pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 98 dikenai sanksi
administratif.
- Pasal 123 (2) : Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan tertulis, denda administratif,
pembekuan izin, dan pencabutan izin.

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan

I. Umum

Penyelenggaraan Angkutan orang dan barang dengan Kendaraan Bermotor di jalan pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi standar
pelayanan minimal yang meliputi unsur keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan di jalan.

Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah menyediakan kebutuhan angkutan umum yang selamat, aman,
nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat.

Di dalam Peraturan Pemerintah ini, juga diatur mengenai kewajiban, baik dari Perusahaan Angkutan Umum termasuk kewajiban
untuk menyediakan fasilitas pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit, serta
sanksi administratif bagi perusahaan angkutan yang tidak melaksanakan kewajibannya.
II. Pasal Demi Pasal

- Pasal 5 (2)
● Huruf (b) : Kemiringan lahan sangat terjal adalah kemiringan lahan yang lebih besar dari 25% (dua puluh
lima persen).
- Pasal 5 (3)
● Huruf (c) : Tanjakan yang sangat curam adalah tanjakan yang lebih besar dari 25% (dua puluh lima persen)
sepanjang 100m (seratus meter) atau lebih.
- Pasal 7 (2)
● Huruf (c) : Keadaan darurat dalam ketentuan ini antara lain bencana alam.
- Pasal 47 (1)
● Huruf (b) : Lajur khusus adalah lajur yang disediakan untuk Angkutan massal berbasis jalan baik dengan
menggunakan pemisah secara fisik atau marka jalan.
- Pasal 63 (2)
● Huruf (c) : Barang berbahaya termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3).
- Pasal 64 (2)
● Huruf (d) : Volume lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) Angkutan barang adalah volume lalu lintas Angkutan
barang rata rata dalam satuan waktu tertentu.
● Huruf (e) : Keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari
risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan
serta penggunaan Angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di jalan.
● Huruf (f) : Kondisi topografi adalah jalan lurus, jarak pandang, ruang di kanan/kiri ruang milik jalan yang
memadai, artinya memperhatikan zonasi jaringan jalan dari tepi jalan.
- Pasal 114 (1)
● Huruf (a) : Pelayanan ekonomi adalah pelayanan minimal tanpa fasilitas tambahan atau dapat dilengkapi
dengan fasilitas tambahan berupa pengatur suhu ruangan (AC), dengan tetap memperhatikan aspek
keselamatan dan kualitas pelayanan.
● Huruf (b) : Pelayanan non-ekonomi adalah pelayanan dengan dilengkapi fasilitas tambahan yang berupa
pengatur suhu ruangan (AC), tempat duduk yang dapat diatur (reclining seat), dan peturasan (toilet) untuk
kenyamanan penumpang.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN
2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Pasal 1 : menjelaskan pengertan dari istilah yang ada digunakan dalam Peraturan Pemerintah No.79 Tahun
2013
Pasal 2 : Menjelaskan ruang lingkup Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2013
Pasal 3 : Menjelaskan tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan jaringan lalu
lintas dan angkutan jalan nasional
Pasal 4 : Menjelaskan rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional
Pasal 5 : Penyusunan rancangan rencana induk Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional
Pasal 6 : Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 7 : Menjelaskan ruang lingkup jaringan lalu lintas dan rencana induk angkutan jalan nasional
Pasal 8 : Dokumen yang diperlukan untuk penyusunan rancangan rencana induk jaringan lalu lintas dan
angkutan jalan nasional
Pasal 9 : Rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ditetapkan dengan Peraturan Gubernur setelah mendapat pertimbangan Menteri.
Pasal 10 : Menjelaskan ruang lingkup Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten
Pasal 11 : Menjelaskan tentang penyusunan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten beserta
dokumen yang dibutuhkan
Pasal 12 : Rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ditetapkan dengan Peraturan Bupati setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan Menteri.
Pasal 13 : Menjelaskan ruang lingkup Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota
Pasal 14 : Menjelaskan tentang penyusunan rancangan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota
beserta dokumen yang diperlukan
Pasal 15 : Rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan
dengan Peraturan Walikota setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan Menteri.
Pasal 16 : Menjelaskan terkait pengaturan lebih lanjut ( diatur dengan Peraturan Menteri )
Pasal 17 : Menjelaskan tentang pembagian kelas jalan
Pasal 18 : Menjelaskan terkait penetapan kelas jalan
Pasal 19 sampai Pasal 20 : Menjelaskan tentang ketentuan kendaraan yang melewati tiap kelas jalan
Pasal 21 : Pedoman ketentuan pemasangan rambu jalan
Pasal 22 : Penetapan kelas jalan pada ruas-ruas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dimuat dalam dokumen jalan.
Pasal 23 : Menjelaskan tentang batas kecepatan
Pasal 24 : Menjelaskan terkait batas kecepatan paling tinggi
Pasal 25 : Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, pedoman, dan kriteria penetapan batas kecepatan diatur dengan Peraturan
Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26 : Menjelaskan tentang perlengkapan jalan
Pasal 27 : Menjelaskan terkait penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan, perbaikan, penghapusan, dan pengawasan
perlengkapan jalan
Pasal 28 : Menjelaskan tentang penentuan lokasi dan pemasangan bangunan dan/atau fasilitas yang bukan termasuk perlengkapan jalan
Pasak 29 : Menjelaskan tentang rambu lalu lintas
Pasal 30 : Menjelaskan ketentuan tambahan terkait rambu lalu lintas
Pasal 31 : Menjelaskan pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas
Pasal 32 : Menjelaskan jenis jenis rambu lalu lintas
Pasal 33 : Menjelaskan terkait marka jalan
Pasal 34 : Menjelaskan ketentuan marka jalan
Pasal 35 : Menjelaskan tentang marka membujur
Pasal 36 : Berisi penjelasan dari jenis marka membujur
Pasal 37 : Menjelaskan tentang marka membujur berupa garis putus-putus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) pada
permukaan jalan dapat digantikan dengan kerucut lalu lintas. Kerucut lalu lintas bersifat sementara.
Pasal 38 : Penjelasan tentang marka melintang
Pasal 39 : Menjelaskan jenis marka melintang
Pasal 40 : Berisi penjelasan terkait marka lambang
Pasal 41 : Menjelaskan terkait marka kotak kuning beserta ketentuannya
Pasal 42 : Berisi penjelasan tentang alat pemberi isyarat lalu lintas.
Pasal 43 : Menerangkan tentang lampu pengatur lalu lintas dengan tiga warna, yaitu warna
merah, kuning dan hijau.
Pasal 44 : Menjelaskan tentang lampu penerangan ruang lalu lintas.
Pasal 45 : Mengatur tentang alat pengendali dan pengaman jalan, yang dimaksud disini yaitu
alat pembatas kecepatan, pembatas tinggi dan lebar kendaraan.
Pasal 46 : Alat pengamanan terhadap pengguna jalan berupa pagar pengaman, cermin
tikungan, patok lalu lintas, pulau lalu lintas, pita penggaduh, jalur pengehntian darurat dan
pembatas lalu lintas.
pasal 47 : Menjelaskan fungsi alat pengawasan dan pengamanan jalan untuk memenuhi
ketentuan tata cara pemuatan, daya angkat, dimensi kendaraan dan kelas jalan.
Pasal 48: Menjelaskan ketentuan penggunaan jalan yang telat disebutkan dalam pasal 47.
Pasal 49 : Menjelaskan alat pengawasan dan pengamanan berupa alat penimbang yang
dipasang secara tetap dan yang dapat dipindahkan.
Pasal 50 : Menjelaskan alat penimbang yang dipasang secara tetap, dilengkapi dengan
peralatan utama dan penunjang.
Pasal 51 : Menjelaskan bahwa alat penimbang tetap harus ditera secara berkala sedikitnya
sekali dalam satu tahun dan/atau pasca perbaikan.
Pasal 52 : Menjelaskan mengenai alat penimbang yang dapat dipindahkan.
Pasal 53 : Menjelaskan bahwa alat penimbang yang dapat dipindahkan harus ditera secara
berkala sedikitnya sekali dalam satu tahun dan/atau pasca perbaikan.
Pasal 54 : Menjelaskan mengenai fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat.
Pasal 55 : Menjelaskan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang
berada di jalan dan luar badan jalan.
Pasal 56 : Ketentuan lebih lanjut mengenaii spesifikasi teknis perlengkapan jalan diatur
dengan peraturan menteri
Pasal 57 : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan, pemasangan,
pemeliharaan, dan penghapusan perlengkapan jalan diatur dengan peraturan menteri
Pasal 101 : Menjelaskan mengenai perizinan penyediaan fasiltas parkir untuk umum di luar ruang milik jalan wajib serta
pengawasannya.

Pasal 102 : Menjelaskan mengenai kewajiban, fasilitas, standar teknis penyelenggara fasilitas Parkir di Luar Ruangan Milik
Jalan.

Pasal 103 : Menjelaskan tentang pemungutan tarif terhadap penggunaan fasilitas yang diusahakan

Pasal 104 : Pemerintah setempat dapat melakukan pembatasan kapasitas ruang parkir

Pasal 105 : Menjelaskan tentang persyaratan fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan yang diperuntukkan untuk sepda
dan kendaraan bermotor

Pasal 106 : Tempat-tempat yang dilarang dijadikan tempat parkir di dalam ruang milik jalan

Pasal 107 : Penetapan lokasi parkir dilakukan oleh pemerintah melalui forum lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 108 : Kewajiban penyelenggara parkir dan pengguna parkir di dalam ruang milik jalan wajib
Pasal 109 : Kewajiban dan persyaratan menyediakan tempat parkir khusus oleh penyelenggara fasilitas parkir untuk
umum

Pasal 110 : Saksi administratif akan dikenakan pada setiap pelanggaran ada pasal 101 ayat (1), Pasal 102 ayat (1) atau
ayat (5), Pasal 108 ayat (2), atau pasal 109 ayat (1)

Pasal 111 : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan fasilitas parkir umum di luar ruang milik jalan serta
sanksi administrasi diatur dalam Peraturan Menteri

Pasal 112 : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan fasilitas parkir umum di luar ruang milik jalan serta
sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 113 : Menjelaskan jenis dan pelaksana fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 114 : Menjelaskan mengenai trotoar dan persyaratannya

Pasal 115 : Trotoar harus disediakan pada ruas jalan di sekitar pusat kegiatan

Pasal 116 : Menjelaskan tentang jalur sepeda dan persyaratannya

Pasal 117 : Menjelaskan tentang Tempat penyeberangan pejalan kaki dikhususkan untuk pejalan kaki dan bentuk
serta hal yang perlu diperhatikan untuk tempat penyeberangan pejalan kaki
Pasal 118 : Tempat penyeberangan Pejalan Kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 harus disediakan pada ruas
jalan di sekitar pusat kegiatan.

Pasal 119 : Menjelaskan tentang halter dan persyaratannya

Pasal 120 : Halte sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 wajib disediakan pada ruas jalan yang dilayani angkutan
umum dalam trayek.

Pasal 121 : Fasilitas khusus yang dimaksud dalam pasal 113 adalah prasarana dan informasi

Pasal 122 : Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan Pejalan
Kaki, Halte, dan fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 123 : Penjelasan mengenai pengelolaan dana preservasi

Pasal 124 : Menjelaskan bahwa semua peraturan perundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1993 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3529) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2013
Pasal 125 : Menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3529) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126 : Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013

1. UMUM

Untuk mewujudkan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar,
perlu didukung ketersediaan jaringan dan fasilitas pendukung lalu lintas dan angkutan jalan yang layak dan
baik. Pengaturan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertujuan untuk mewujudkan Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu. Untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang terpadu. Di
samping itu, untuk lebih meningkatkan daya guna, hasil guna, dan pemanfaatan jalan, diperlukan pula adanya
ketentuan bagi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan dalam melaksanakan kegiatan perencanaan,
pengaturan, pengawasan, dan pengendalian lalu lintas.
1. PASAL DEMI PASAL

Pasal 4 Ayat (1)

● Huruf (b) : “perkotaan yang lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi” adalah aktivitas transportasi di wilayah
perkotaan yang berciri komuter yang melewati batas wilayah provinsi dan/atau negara.
● Huruf (c) : “perdesaan yang lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi” adalah aktivitas transportasi di wilayah
perdesaan yang berciri komuter yang melewati batas wilayah provinsi dan/atau negara.

Pasal 4 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kebutuhan transportasi dan Ruang Kegiatan yang berskala nasional termasuk
didalamnya fungsi dan peranan jalan yang berskala nasional, serta kapasitas dan kelas jalan.

Pasal 4 Ayat (4)

● Huruf (g) : “Simpul nasional” adalah tempat pergantian antar dan inter moda yang melayani angkutan
antar provinsi dan/atau lintas batas negara, dapat berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan, dan
bandar udara.
Pasal 5 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
jalan dan tata ruang dan instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi.

Pasal 7 Ayat (1)

● Huruf (b) : “perkotaan dalam wilayah provinsi” adalah aktivitas transportasi di wilayah perkotaan yang
berciri komuter yang melewati batas wilayah kota/kabupaten dalam satu provinsi.
● Huruf (c) : “perdesaan dalam wilayah provinsi” adalah aktivitas transportasi di wilayah perdesaan yang
berciri komuter yang melewati batas wilayah kota/kabupaten dalam satu provinsi.

Pasal 7 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kebutuhan transportasi dan Ruang Kegiatan yang berskala provinsi termasuk
didalamnya fungsi dan peranan jalan yang berskala provinsi, serta kapasitas dan kelas jalan

Pasal 7 Ayat (4)

● Huruf (g) : “Simpul provinsi” adalah tempat pergantian antar dan inter moda yang melayani angkutan
dalam provinsi, dapat berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan, dan bandar udara.
Pasal 10 Ayat (1)

● Huruf (b) : “perkotaan dalam wilayah kabupaten” adalah aktivitas transportasi di wilayah perkotaan yang
berciri komuter dalam wilayah kabupaten dalam satu provinsi.
● Huruf (c) : “perdesaan dalam wilayah kabupaten” adalah aktivitas transportasi di wilayah perdesaan yang
berciri komuter dalam wilayah kabupaten dalam satu provinsi.

Pasal 10 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kebutuhan transportasi dan Ruang Kegiatan yang berskala kabupaten termasuk didalamnya
fungsi dan peranan jalan yang berskala kabupaten, serta kapasitas dan kelas jalan.

Pasal 10 Ayat (4)

● Huruf (g) : Yang dimaksud dengan kebutuhan transportasi dan Ruang Kegiatan yang berskala kabupaten
termasuk didalamnya fungsi dan peranan jalan yang berskala kabupaten, serta kapasitas dan kelas jalan.

Pasal 13 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kebutuhan transportasi dan Ruang Kegiatan yang berskala kota termasuk didalamnya
fungsi dan peranan jalan yang berskala kota, serta kapasitas dan kelas jalan.
Pasal 13 Ayat (3)

● Huruf (g) : Yang dimaksud dengan “Simpul kota” adalah tempat pergantian antar dan inter moda yang melayani
angkutan dalam kota dapat berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan, dan bandar udara.

Pasal 22

Yang dimaksud dengan “dokumen jalan” antara lain leger jalan, dokumen aset jalan, gambar terlaksana, dan dokumen
laik fungsi jalan.

Pasal 23 Ayat (4)

● Huruf (a) : “arus bebas” adalah kondisi arus lalu lintas dengan volume rendah, kepadatan rendah, dengan
kecepatan yang dikendalikan oleh pengemudi dan gangguan dari kendaraan lain tidak ada/kecil, dan pengemudi
dapat mempertahankan kecepatan sesuai keinginan atau batas kecepatan tanpa tundaan.

Pasal 24 Ayat (3)

● Huruf (a) : jalan nasional dalam ketentuan ini termasuk jalan nasional yang melalui kawasan perkotaan dan
kawasan permukiman.
● Huruf (b) : jalan provinsi dalam ketentuan ini termasuk jalan provinsi yang melalui kawasan perkotaan dan
kawasan permukiman.
● Huruf (c) : jalan kabupaten dalam ketentuan ini termasuk jalan kabupaten yang melalui kawasan perkotaan dan
kawasan permukiman.
Pasal 29 Ayat (5)

Informasi yang diberikan menyatakan petunjuk bagi Pengguna Jalan mengenai jurusan, jalan, situasi, kota,
tempat, fasilitas, atau petunjuk lain seperti nomor jalan, petunjuk satu arah, petunjuk putaran balik, tempat
perhentian kendaraan angkutan umum, lajur bus.

Pasal 30 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah kondisi sistem lalu lintas tidak berfungsi untuk kelancaran
dan keselamatan lalu lintas yang disebabkan oleh:

a) perubahan lalu lintas secara tiba-tiba atau situasional;

b) Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas tidak berfungsi;

c) adanya Pengguna Jalan yang diprioritaskan;

d) adanya pekerjaan jalan;

e) adanya bencana alam; dan/atau

f) adanya Kecelakaan Lalu Lintas.


Yang dimaksud dengan ”kegiatan tertentu” adalah kondisi sistem lalu lintas tidak berfungsi untuk kelancaran
lalu lintas yang disebabkan oleh penyelenggaraan kegiatan di luar fungsi jalan antara lain:

a. kegiatan keagamaan;

b. kegiatan kenegaraan;

c. kegiatan olahraga; dan/atau

d. kegiatan budaya.

Pasal 30 Ayat (4)

“keterangan tertentu” adalah keterangan yang diperlukan untuk menyatakan hanya berlaku untuk waktu,
jarak, dan jenis kendaraan tertentu ataupun perihal lain.

Pasal 32 Ayat (2)

“retro reflektif” adalah sistem pemantulan cahaya dimana sinar yang datang dipantulkan kembali sejajar ke
arah sinar datang, terutama pada malam hari atau cuaca gelap.
Pasal 32 Ayat (3)

Yang dimaksud dengan informasi yang dapat diatur secara elektronik adalah jenis/bentuk dan waktu berlaku
informasi dapat diatur sesuai kebutuhan manajemen dan rekayasa lalu lintas pada lokasi tersebut.

Pasal 33 Ayat (3)

● Huruf (f) : “marka lainnya” antara lain marka lajur sepeda, marka lajur khusus bus, marka lajur sepeda
motor, dan marka yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e.

Pasal 33 Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi dimana perlu ada penegasan dan memperjelas fungsi
marka.

Pasal 34 Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “keperluan atau tanda khusus” misalnya jalur busway.

Pasal 34 Ayat (5)

“Marka Jalan warna lainnya” misalnya warna hijau bagi jalur pesepeda dan warna coklat bagi area pariwisata
atau jalur evakuasi.
Pasal 41 Ayat (1)

● Huruf (b) : Yang dimaksud dengan “lokasi akses jalan keluar masuk kendaraan tertentu” yang
membutuhkan marka kotak kuning antara lain:
1. Akses menuju instalasi gawat darurat
2. Akses keluar masuk kendaraan pemadam kebakaran
3. Akses keluar masuk kendaraan petugas penanggulangan huru hara, search and rescue, dan
ambulance.

Pasal 42 Ayat (1)

Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dipasang pada persimpangan dan/atau ruas jalan serta dapat dilengkapi
dengan alat pendeteksi kendaraan, kamera, Display Information System (DIS) dan/atau teknologi informasi
untuk kepentingan lalu lintas yang menjadi bagian dari sistem Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
terkoordinasi (Area Traffic Control System/ATCS).
Pasal 44 Ayat (1)

Alat penerangan jalan antara lain berupa lampu penerangan jalan yang dipasang pada median jalan dan/atau
di sisi kanan/kiri badan jalan atau lampu penerangan untuk fasilitas Pejalan Kaki dan pesepeda.

Pasal 46 Ayat (2)

● Huruf (f) : Yang dimaksud dengan “jalur penghentian darurat” adalah jalur yang disediakan pada jalan dengan
turunan tajam untuk keperluan darurat atau untuk memperlambat laju kendaraan bila mengalami gangguan
sistem rem.
● Huruf (g) : Yang dimaksud dengan “pembatas lalu lintas” antara lain berupa kerucut lalu lintas, traffic barrier,
separator, concrete barrier.

Pasal 55

● Huruf (e) : Yang dimaksud dengan “fasilitas perpindahan moda” antara lain berupa Terminal atau tempat bus
stop.
Pasal 67

● Huruf (a) : Yang dimaksud dengan “tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan” adalah dalam
penetapan lokasi Terminal mudah dijangkau dari aspek waktu dan biaya yang memenuhi kriteria:
1. Tersedia pelayanan angkutan umum yang memadai
2. Berada pada pusat kegiatan dan/atau pusat bangkitan perjalanan angkutan orang
3. Berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi.
● Huruf (i) : Yang dimaksud dengan “kelestarian fungsi lingkungan hidup” adalah terpeliharanya
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup

Pasal 69 Ayat (3)

● Huruf (h) : Yang dimaksud dengan “media informasi” adalah media yang memuat informasi mengenai
antara lain:
1. Tarif angkutan
2. Petunjuk jurusan
3. Denah dan/atau tata letak fasilitas Terminal
4. Jadwal keberangkatan angkutan umum
5. Jadwal kedatangan angkutan umum
6. Peta dan/atau informasi rute pelayanan angkutan umum; dan
7. Informasi keadaan darurat keamanan dan keselamatan.
Ayat (4)
Penempatan dalam satu area dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas pergerakan kendaraan dan
penumpang di dalam Terminal.
Pasal 73 Ayat (1)
Yang termasuk lingkungan kerja Terminal dalam ketentuan ini adalah jalan akses keluar masuk
Terminal.
Pasal 74 Ayat (3)
●Huruf (e) : Izin lingkungan merupakan keputusan final dari proses Amdal atau UKL-UPL yang
menyatakan Terminal penumpang tersebut layak atau dari aspek lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 76 Ayat (2)
●Huruf (a) : Yang dimaksud dengan “kondisi saat ini” adalah kondisi yang meliputi antara lain kondisi
lahan, pelayanan Terminal, fasilitas Terminal, sirkulasi lalu lintas.
Pasal 80 Ayat (3)
●Huruf (c) : Angka 2 Yang dimaksud dengan “pemeriksaan kondisi kesehatan dan fisik” termasuk
pemeriksaan kadar alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pasal 83 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa Terminal” antara lain:

a. Jasa penggunaan tempat tunggu dan istirahat kendaraan umum;

b. Jasa penggunaan fasilitas parkir kendaraan pengantar dan/atau taksi; dan

c. Jasa penggunaan tempat tunggu penumpang (peron).

Pasal 86 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kegiatan pemeliharaan terhadap fasilitas utama dan fasilitas penunjang” antara lain:

a. Menjaga keutuhan dan kebersihan Terminal;

b. Menjaga keutuhan dan kebersihan pelataran Terminal serta perawatan rambu, marka, dan papan informasi;

c. Merawat saluran-saluran air;

d. Merawat instalasi listrik dan lampu penerangan;

e. Merawat fasilitas telekomunikasi; dan

f. Merawat sistem hydrant serta fasilitas dan alat pemadam kebakaran.


Pasal 89 Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengawasan dan pengendalian angkutan barang” meliputi pemeriksaan
persyaratan teknis dan laik jalan, dokumen angkutan barang, dan tata cara pemuatan barang.
Pasal 91 Ayat (1)
● Huruf (k) : Yang dimaksud dengan “kelestarian fungsi lingkungan hidup” adalah terpeliharanya
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Pasal 92 Ayat (3)
● Huruf (f) : Yang dimaksud dengan “media informasi” adalah papan informasi yang memuat
antara lain:
1. Tarif
2. Petunjuk jurusan
3. Denah dan/atau tata letak fasilitas umum
4. Jadwal keberangkatan angkutan umum
5. Jadwal kedatangan angkutan umum;
6. Peta dan/atau informasi rute pelayanan angkutan umum; dan
7. Informasi keadaan darurat keamanan dan keselamatan
Pasal 100 Ayat (4)
● Huruf (d) : Yang dimaksud dengan “kelestarian fungsi lingkungan hidup” adalah terpeliharanya
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Pasal 102 Ayat (3)


● Huruf (c) : Yang dimaksud dengan komposisi peruntukan adalah proporsi ruang parkir yang
disediakan untuk masing-masing jenis kendaraan misalnya sepeda, sepeda motor, mobil
penumpang, mobil bus dan mobil barang, serta mobil ambulance dan mobil pemadam
kebakaran.
● Huruf (g) : Yang dimaksud dengan alat penerangan dalam ketentuan ini termasuk ketentuan mengenai
kualitas dan intensitas pencahayaan yang memadai dalam ruangan parkir baik pada siang hari
maupun malam hari termasuk pada saat kondisi gelap.

Ayat (4)
● Huruf (a) : Yang termasuk konstruksi bangunan dalam ketentuan ini adalah dinding pengaman.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 1998
TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA
API
BAB 1
Pasal 1 : Menjelaskan tentang istilah pokok yang berkaitan dengan lalu lintas kereta api dan angkutan
kereta api

BAB 2
Pasal 5 (2) : Berisi tentang jaringan pelayanan kereta api diantaranya
a. Lintas pelayanan
b. Frekuensi maksimum yang diizinkan
c. Tekanan gandar lintas kereta api
d. Kecepatan maksimum yang diizinkan
Pasal 6 (1) : Menjelaskan tentang hal yang harus diperhatikan dalam pelayanan kereta api

BAB 3
Pasal 10 (2) : Dalam pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran, kenyataannya dan kelangsungan
pelayanan.
(Penerapan K3 dalam pengoperasian kereta api)
Pasal 11 (1) : Badan Penyelenggara menyusun dan menetapkan rencana
pengoperasian kereta api dan disampaikan kepada Menteri.
(SOP pengoperasian kereta api)
Pasal 11 (3) : Dalam keadaan tertentu Menteri dapat memerintahkan badan
penyelenggara untuk mengoperasikan kereta api di luar rencana
pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan tetap
memperhatikan keselamatan operasi kereta api.
Pasal 16 (1) : Terhadap setiap gangguan operasi atau kecelakaan yang mengakibatkan:
a. korban jiwa;
b. kerusakan yang cukup besar pada prasarana dan sarana kereta api;
c. terhentinya operasi kereta api selama 24 jam atau lebih, harus dilakukan penelitian untuk
menentukan sebab-sebab terjadinya gangguan atau kecelakaan tersebut.
(Berisi tentang kecelakaan yang ditimbulkan saat pengoperasian kereta api)
Pasal 11 (2) : Penelitian terhadap gangguan operasi kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibentuk oleh Menteri.
(Menjelaskan tentang siapa yang melakukan penelitian jika terjadi kasus kecelakaan kereta api)
Pasal 16 (2) : Penelitian terhadap gangguan operasi kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibentuk oleh Menteri.
(Menjelaskan tentang siapa yang melakukan penelitian jika terjadi kasus kecelakaan kereta api)
BAB IV
Pasal 20 (1) : Angkutan orang hanya dilakukan dengan kereta penumpang.
(Menjelaskan penggunaan kereta api sesuai dengan fungsinya demi kenyamanan dan keselamatan)
Pasal 20 (2) : Dalam kondisi tertentu badan penyelenggara dapat melakukan pengangkutan orang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan sarana kereta api lainnya.
(Menjelaskan jika terdapat kondisi tertentu malan pengangkutan orang dilakukan dengan sarana kereta api
lain)
Pasal 20 (3) : Pengangkutan orang dengan menggunakan sarana kereta api lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) wajib memenuhi persyaratan keselamatan penumpang dan persyaratan fasilitas pelayanan
penumpang.
(Menjelaskan bahwa pengangkutan menggunakan kereta api lainnya saat kondisi tertentu tetap harus
memperhatikan keselamatan penumpang dan fasilitas pelayanan penumpang)
Persyaratan minimal fasilitas pelayanan penumpang dalam ketentuan ini berupa atap untuk pelindung
panas dan hujan, sirkulasi udara, tempat duduk, penerangan dan kebersihan.
BAB V
Pasal 23 (2) : Angkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. pemuatan, pembongkaran dan penyusunan barang pada tempat-tempat yang telah ditetapkan sesuai
dengan klasifikasinya;
b. keselamatan dan keamanan barang yang diangkut;
c. gerbong dan atau kereta bagasi yang digunakan sesuai dengan klasifikasi barang yang diangkut.
(Menjelaskan tentang persyaratan angkutan barang umum)
Pasal 24 (2) : Angkutan barang umum dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
huruf a dan huruf b harus memenuhi persyaratan:
d. pemuatan, pembongkaran dan susunan barang pada tempat-tempat yang telah ditetapkan sesuai
dengan klasifikasinya;
e. keselamatan dan keamanan barang yang diangkut;
f. gerbong yang digunakan sesuai dengan klasifikasi barang yang diangkut.
(Berisikan persyaratan angkutan barang umum dan angkutan barang khusus)
Pasal 25 (1) : Berisi klasifikasi angkutan barang berbahaya
Yang dimaksud dengan barang berbahaya dalam ketentuan ini adalah bahan atau benda yang oleh karena
sifat atau ciri khas serta keadaannya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, mengganggu
ketertiban umum serta merusak lingkungan hidup.
Pasal 25 (2) : Kereta api yang digunakan untuk mengangkut bahan berbahaya harus:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai sifat bahan berbahaya yang diangkut;
b. diberi tanda-tanda tertentu sesuai bahan berbahaya yang diangkut;
c. disertai petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai sifat bahan berbahaya yang diangkut.
(Menjelaskan hal apa saja yang harus dipenuhi bagi kereta api yang digunakan untuk mengangkut bahan
berbahaya)
Pasal 38 (1) : Badan penyelenggara wajib memberikan kemudahan (aksesibilitas) pelayanan khusus bagi
penumpang penderita cacat dan atau orang sakit.
(Ketentuan ini dimaksudkan agar penderita cacat mendapatkan pelayanan secara layak dalam hal yang
bersangkutan menggunakan jasa angkutan kereta api)
BAB VII
Pasal 39 (1) : Menjelaskan tentang dilakukannya pembinaan terhadap lalu lintas dan
angkutan kereta api melalui kegiatan pengaturan, pengendalian dan
pengawasan oleh Menteri guna meningkatkan sarana angkutan kereta api
Pasal 39 (2) : Berisi kegiatan pelaksanaan yang dilakukan adalah penetapan kebijaksanaan
umum dan kebijaksanaan teknis bidang perkeretaapian
Pasal 39 (3) : Berisikan kegiatan pengendalian yang dilakukan
Pasal 39 (4) : Berisikan kegiatan pengawasan yang dilakukan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN
2017 TENTANG KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
A. Perencanaan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (KLLAJ)

Pasal 1 (1) “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya disingkat LLAJ adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya”
Pasal 1 (2) “Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya disingkat KLLAJ adalah suatu keadaan
terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan,
dan/atau lingkungan”
Pasal 1 (3) “Perencanaan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya disebut Perencanaan KLLAJ adalah
suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat untuk mewujudkan keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan yang ditetapkan sebagai sasaran, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia”
Pasal 3 : menjelaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya KLLAJ. Untuk menjamin KLLAJ perlu
ditetapkan Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUNK LLAJ)
Pasal 4 : menjelaskan Program Nasional KLLAJ yang terdiri dari 5 pilar keselamatan, yang masing-masing dikoordinasikan
oleh masing-masing pihak terkait, antara lain:
a. pilar 1 (satu) yaitu sistem yang berkeselamatan;
b. pilar 2 (dua) yaitu jalan yang berkeselamatan;
c. pilar 3 (tiga) yaitu kendaraan yang berkeselamatan;
d. pilar 4 (empat) yaitu pengguna jalan yang berkeselamatan; dan
e. pilar 5 (lima) yaitu penanganan korban kecelakaan.
B. Pelaksanaan dan Pengendalian KLLAJ

Pasal 12 : menjelaskan bahwa pelaksanaan dan pengendalian RUNK LLAJ, (Rencana Aksi Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan) RAK LLAJ Kementerian/Lembaga, RAK LLAJ Provinsi, dan RAK LLAJ Kabupaten/Kota dilakukan
secara terkoordinasi oleh penanggung jawab pilar keselamatan dengan menggunakan Manajemen KLLAJ.

Manajemen KLLAJ meliputi:

a. pencapaian sasaran atau hasil yang diinginkan;


b. pelaksanaan tindakan langsung secara sinergi; dan
c. pemberian dukungan fungsi.

Pasal 14 dan 15 (1) : menjelaskan mengenai tata cara pemenuhan persyaratan laik fungsi jalan Kementerian/Lembaga,
provinsi, dan kabupaten/kota.

d. melaksanakan pembangunan jalan sesuai dengan persyaratan keselamatan;


e. melaksanakan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan;
f. melakukan uji laik fungsi jalan;
g. melaksanakan pemantauan dan penilaian kondisi jalan;
h. melakukan inspeksi jalan; dan
i. melakukan audit jalan
Pasal 14 dan 15 (2) : menjelaskan mengenai tata cara pemenuhan persyaratan keselamatan kendaraan bermotor
Kementerian/Lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota.

a. pelaksanaan uji tipe kendaraan bermotor;


b. penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor;
c. penerbitan surat registrasi uji tipe kendaraan bermotor;
d. pelaksanaan akreditasi unit pengujian kendaraan bermotor;
e. pelaksanaan kalibrasi peralatan uji;
f. pelaksanaan sertifikasi kompetensi penguji kendaraan bermotor; dan
g. pelaksanaan inspeksi, audit, dan pemantauan unit pelaksana uji berkala kendaraan bermotor, unit pelaksana
penimbangan kendaraan bermotor dan terminal.

Pasal 14 dan 15 (3) : menjelaskan mengenai tata cara pemenuhan persyaratan penyelenggaraan kompetensi pengemudi
kendaraan bermotor Kementerian/Lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota.

h. akreditasi satuan penyelenggara administrasi penerbit surat izin mengemudi;


i. norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pendidikan dan pelatihan pengemudi;
j. sertifikasi kompetensi penguji surat izin mengemudi;
k. pengujian surat izin mengemudi;
l. penerbitan surat izin mengemudi;
m. pencabutan dan pemblokiran surat izin mengemudi; dan
n. inspeksi, audit, dan pemantauan.
Pasal 14 dan 15 (4) : menjelaskan mengenai penegakan hukum tentang ketentuan persyaratan keselamatan berlalu lintas
Kementerian/Lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota.

a. persyaratan keselamatan jalan;


b. tata cara berlalu lintas;
c. persyaratan mengemudi;
d. persyaratan teknis dan laik jalan;
e. tata cara muat; dan
f. pelaksanaan uji kendaraan bermotor.

Pasal 14 dan 15 (5) : menjelaskan mengenai tata cara penanganan korban kecelakaan Kementerian/Lembaga, provinsi,
dan kabupaten/kota.

g. pemberian pertolongan pertama pada korban kecelakaan di lokasi kejadian;


h. evakuasi korban dari lokasi kejadian ke pusat kesehatan masyarakat atau rumah sakit terdekat;
i. pengobatan korban;
j. perawatan korban;
k. rehabilitasi korban; dan
l. sistem pembiayaan dan/atau penjaminan penanganan korban.
C. Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 16 (1) “Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum meliputi:

a. komitmen dan kebijakan;


b. pengorganisasian;
c. manajemen bahaya dan risiko;
d. fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kendaraan bermotor;
e. dokumentasi dan data;
f. peningkatan kompetensi dan pelatihan;
g. tanggap darurat;
h. pelaporan kecelakaan internal;
i. monitoring dan evaluasi; dan
j. pengukuran kinerja”

Pasal 33 : menjelaskan mengenai Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan terhadap pelaksanaan
Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum yang dilaksanakan oleh perusahaan angkutan umum.

Pembinaan tersebut meliputi:

k. pelaksanaan penilaian Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum;


l. pemberian bimbingan teknis dan bantuan teknis; dan
m. pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum melalui audit,
inspeksi, dan pengamatan dan pemantauan.
D. Alat Pemberi Informasi Kecelakaan Lalu lintas

Pasal 35 (1) “Kendaraan bermotor umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya kecelakaan lalu
lintas ke pusat kendali sistem keselamatan LLAJ”

Alat pemberi informasi kecelakaan lalu lintas merupakan perangkat elektronik yang berfungsi untuk menyampaikan
informasi dan melakukan komunikasi dengan menggunakan isyarat, gelombang radio, dan/atau gelombang satelit untuk
memberikan informasi dan komunikasi terjadinya kecelakaan lalu lintas.
E. Pengawasan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 37 (1) “Pengawasan terhadap pelaksanaan program KLLAJ meliputi:

a. Audit Bidang KLLAJ;


b. Inspeksi Bidang KLLAJ; dan
c. Pengamatan dan Pemantauan Bidang KLLAJ”

Pasal 37 (2) “Lingkup pengawasan terhadap pelaksanaan program KLLAJ meliputi bidang:

d. jalan;
e. sarana dan prasarana; dan
f. pengemudi kendaraan bermotor.”

Pasal 42 dan 43: menjelaskan mengenai Audit di Bidang Jalan

Audit di bidang jalan dilakukan pada:

g. jalan baru dan/atau jalan yang ditingkatkan; dan


h. jalan yang sudah beroperasi.

Audit jalan baru dan/atau jalan yang ditingkatkan dilakukan dalam beberapa tahap: perencanaan, desain awal, desain
rinci, konstruksi dan sebelum operasi.

Audit di bidang jalan dilakukan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina jalan.
Pasal 44 : menjelaskan mengenai Audit di Bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Audit di bidang sarana dan prasarana LLAJ meliputi audit terhadap:

a. perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung untuk jalan baru dan/atau jalan yang ditingkatkan;
b. terminal;
c. unit pengujian kendaraan bermotor;
d. unit pelaksana penimbangan kendaraan bermotor; dan
e. perusahaan angkutan umum.

Pasal 45 : menjelaskan mengenai Audit di Bidang Pengemudi Kendaraan Bermotor. Audit di bidang pengemudi
kendaraan bermotor dilakukan terhadap satuan penyelenggara administrasi surat izin mengemudi, yang dilakukan oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 46 : menerangkan bahwa Inspeksi Bidang KLLAJ dilaksanakan oleh inspektur atau petugas yang ditunjuk oleh
instansi/kepala masing-masing pembina LLAJ. Inspektur atau petugas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi sesuai
dengan bidangnya.

Pasal 48 : menjelaskan mengenai Inspeksi di Bidang Jalan. Inspeksi Bidang KLLAJ yang dilaksanakan di bidang jalan
dilakukan terhadap jalan yang sudah beroperasi. Inspeksi tersebut merupakan tanggung jawab pembina yang
bertanggung jawab di bidang jalan.
Pasal 49 : menjelaskan mengenai Inspeksi di Bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Inspeksi bidang sarana dan prasarana LLAJ meliputi inspeksi:

a. perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung untuk jalan yang sudah dioperasikan;
b. terminal;
c. unit pengujian kendaraan bermotor;
d. unit pelaksana penimbangan kendaraan bermotor; dan
e. perusahaan angkutan umum.

Pasal 50 : menjelaskan mengenai Inspeksi di bidang pengemudi kendaraan bermotor dilakukan terhadap Satuan
Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi, yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 51 : menjelaskan mengenai pengamatan dan pemantauan Bidang KLLAJ.

Pengamatan dan Pemantauan Bidang KLLAJ meliputi kegiatan:

f. pencatatan kondisi faktual dan permasalahan masing-masing bidang;


g. evaluasi dan penilaian terhadap perkembangan KLLAJ sesuai dengan bidangnya masing-masing; dan
h. pelaporan secara berkala perkembangan KLLAJ sesuai dengan bidangnya masing-masing.
PERATURAN MENTERI
(PERMEN)
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2018
TENTANG SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN PERUSAHAAN ANGKUTAN
UMUM
1. Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 1 ayat 1 : manajemen perusahaan yang berupa suatu kelola untuk mewujudkan keseleamatan dan mengelola resiko
kecelakaan

2. Keselamatan Lalu lintas dan Angkutan Jalan


 
Pasal 1 ayat 2 : suatu keadaan terhindarnya seseorang dari resiko kecelakaan
 
3. Penilaian Sistem Manajemen Keselamatan

Pasal 1 ayat 6 : suatu analisis sistematis yang dilakukan untuk memberikan gambaran dalam rangka pemenuhan seluruh
elemen Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan
 
4. Inspeksi
 
Pasal 1 ayat 8 : pengamatan langsung terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
yang dilaksanakan oleh inspektur/petugas yang ditunjuk oleh instansi/kepala masing-masing pembina lalu lintas dan
angkutan jalan
5. Audit
 
Pasal 1 ayat 9 : pemeriksaan formal terhadap objek tertentu dalam Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan
Angkutan Umum yang dilaksanakan oleh auditor yang ditunjuk oleh pejabat yang menerbitkan izin
 
6. Sistem Manajemen Keselamatan
 
Pasal 3 poin a : pedoman penyusunan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
7. Pembinaan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 7 ayat 2 : pemberian bimbingan teknis dan bantuan teknis; dan pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem
Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum.
8. Pelaksanaan penilaian Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum

Pasal 8 ayat 2 : Tim Penilai yang dibentuk oleh Direktur Jenderal, Kepala Badan, Gubernur, dan Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya
 
9. Sertifikat Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 10 : berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang Perusahaan Angkutan Umum masih menjalankan usaha di
bidang angkutan umum sesuai izin penyelenggaraan angkutan umum yang diberikan
 
10. Pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 12 : dilakukan dengan tahapan: a. pengamatan dan pemantauan; b. inspeksi; dan c. audit

11. Pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 13 ayat 1 : merupakan kegiatan mengamati dan mengikuti perkembangan penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan melalui laporan yang disampaikan Perusahaan Angkutan Umum
 
12. Pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 14 ayat 1 : pemeriksaan rutin dan acaksecara menyeluruh terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen
Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
13. Pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 14 ayat 3 : dilaksanakan oleh inspektur atau pejabat struktural bidang keselamatan yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal, Kepala Badan, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
 
14. Hasil pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 14 ayat 4 : berupa laporan keadaan dan kinerja obyek yang di inspeksi dan disampaikan kepada Direktur
Jenderal, Kepala Badan, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
 
15. Hasil audit terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum
 
Pasal 15 ayat 3 : sebagai dasar pengenaan sanksi administratif bagi perusahaan angkutan umum dan
disampaikan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.
THANK
YOU

Anda mungkin juga menyukai