Anda di halaman 1dari 15

 Menurut arti harfiahnya, reformasi - yang berasal dari bahasa Latin

re + formare (forma = “bentuk”, sedangkan formare berarti


“membentuk”) – dapatlah didefinisikan sebagai “usaha untuk
membentuk ulang”.
 Tetapi dalam perkembangannya yang lebih kemudian, istilah
“reformasi” mengimplikasikan suatu unsur dan makna baru di
dalamnya, yaitu unsur “koreksi”.
 Kata “reformasi” tidak lagi sebatas artinya sebagai upaya untuk
membentuk (memformat ulang) suatu struktur, yang dilakukan lewat
serangkaian tindakan korektif.
 Khan, memberikan pengertian reformasi sebagai suatu usaha
melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem
birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan
keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
 Quah, mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk
mengubah proses dan prosedur birokrasi publik dan sikap serta
tingkah laku birokrasi untuk mencapai efektivitas birokrasi dan
tujuan pembangunan nasional.
Reformasi pada hakekatnya menyangkut empat aspek:
 Pertama, reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan
transformasi.
 Kedua, kesuksesan reformasi membutuhkan perubahan yang sistematik
dan dalam kerangka yang luas, dan perubahan tersebut harus dengan
cara hati-hati dan direncanakan.
 Ketiga, tujuan reformasi adalah untuk mencapai efisiensi dan
efektifitas.
 Keempat, reformasi haruslah dapat menanggulangi perubahan-
perubahan lingkungan. Dengan demikian ruang lingkup reformasi tidak
terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mangaitkan perubahan
pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku.
 Reformasi bukanlah sekedar perubahan atau tidak persis sama
dengan perubahan.
 Reformasi hukum adalah suatu perubahan hukum dengan kualitas
tertentu yang bersifat mendasar. Dengan demikian, padanan bagi
reformasi hukum bukan perubahan hukum, melainkan perombakan
hukum. Reformasi adalah perubahan yang berkualitas paradigmatik .
 Redifinisi “reformasi” sebagai “tindakan korektif”, pada gilirannya
akan mengasumsikan bahwa telah terdapat banyak kesalahan pada
masa lalu dalam kerja-kerja pengelolaan sistem atau struktur
kehidupan.
 Setiap itikad atau tekad untuk melakukan reformasi – entah karena
prakarsa yang volunter entah pula karena keterpaksaan menghadapi
tuntutan yang tak dapat ditolak – itu selalu bermula dari hadirnya
kesadaran atau pengakuan bahwa ada sesuatu yang salah pada
struktur kehidupan yang ada, bahwa ada sesuatu yang salah, yang
oleh sebab itu memerlukan koreksi-koreksi yang diharapkan akan
dapat memperbaiki kinerja sistem.
 Reformasi yang dikehendaki rakyat adalah upaya menyeluruh untuk
merubah paradigma pembangunan masyarakat, bangsa dan negara,
dari paradigma kekuasan menjadi paradigma hati nurani dan akal
budi.
 Perubahan paradigma tersebut mengandung makna perubahan total,
fundamental, menyeluruh dan sinergis, sambung dalam semua aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Tujuan akhir reformasi adalah terbentuknya sebuah “ masyarakat
madani”, yaitu masyarakat yang demokratis, berkeadilan sosial, dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia secara beradab dan
berbudaya.
 Pertama, sejak jatuhnya Soeharto kita tidak lagi memiliki seorang
pemimpin sentral dan menentukan. Munculnya pusat-pusat
kekuasaan baru di luar negara, telah menggeser kedudukan
seorang.
 Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebih liberal, telah
melahirkan proses politik yang juga liberal.
 Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik
rakyat. Semangat keterbukaan yang dibawanya telah
memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat distorsi dari
proses penyelenggaraan negara.
 Keempat, pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran untuk
memperkuat proses checks and balances antara cabang-cabang
kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa, sampai melampaui
konvensi yang selama ini dipegang – yakni “asas kekeluargaan” di
dalam penyelenggaraan negara.
 Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagian
elite berpengaruh dan publik politik Indonesia untuk secara
sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam
konstitusi RI.
 Pertama, harus segera dirumuskan suatu strategi reformasi dan
pemulihan yang terintegrasi dan komprehensif;
 kedua, terdapat kemauan politik yang kuat – khususnya dari para elit
– untuk segera keluar dari krisis yang melelahkan;
 ketiga, harus selalu ada “tekanan sosial” (dalam arti positif) baik
secara nasional maupun internasional;
 keempat, didukung oleh watak kepemimpinan yang profesional dan
beretika pada semua tingkatan pemerintahan;
 kelima, keinginan dari organisasi internasional untuk mendukung
reformasi harus sepenuhnya didasarkan atas semangat kemitraan;
 keenam, rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan berbagai
masalah dan kasus-kasus yang dilakukan oleh rezim Orde Baru;
 ketujuh, komitmen untuk menjunjung prinsip supremasi hukum dan
pemerintahan yang baik guna menjamin keadilan, keamanan dan
kepastian berdasarkan hukum.
1. Bias atau kerancuan kefilsafatan dengan adanya pencampuradukan
berbagai gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham
kedaulatan rakyat dengan faham integralistik, dan antara faham
Negara hukum dengan faham Negara kekuasaan.

2. Bias teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi


(konstitusionalisme) keberadaan konstitusi pada hakikatnya adalah
untuk membatasi kekuasaan, tetapi UUD 1945 justru kurang
menonjolkan hal itu dan bahkan menonjolkan pengintegrasian.
3. Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang
terlalu besar kepada Presiden ( exeutive heavy), yaitu presiden
memegang kekuasaan pemerintahan ( chief executive ), menjalankan
kekuasaan membentuk undang-undang ( legislative power), dan juga
berbagai kekuasaan dan hak-hak konstitusional (hak prerogatif)
presiden sebagai kepala Negara ( head of state).

4.UUD 1945 tidak cukup memuat system checks and balances antara
cabang-cabang pemerintahan, sehingga kekuasaan presiden sangat
dominan.

5.UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang tidak jelas ( vague) yang
membuka peluang penafsiran yang berbeda-beda (multi interpretasi).
6.UUD 1945 memuat ketentuan yang bersifat diskriminatif, misalnya
ketentuan mengenai persyaratan bahwa presiden harus seorang
Indonesia asli (Pasal 6 ayat 1).

7. UUD 1945 kurang memuat ketentuan mengenai pengakuan, jaminan,


dan perlindungan tentang hak asasi manusia.

8. UUD 1945 tidak memuat ketentuan tentang batas waktu pengesahan


RUU yang telah disetujui oleh DPR oleh presiden.

9. Keberadaan penjelasan UUD 1945 yang menimbulkan persoalan


teoritis dan yuridis, serta materi muatannya yang tidak selalu
konsisten atau bahkan rancu dengan pengkaidahan dalam batang
tubuh.
Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:

(1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.

(2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

(4) Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif


dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.

(5) Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

Anda mungkin juga menyukai