Anda di halaman 1dari 10

KONTROVERSI PERMENDIKBUDRISTEK

NOMOR 30 TAHUN 2021:


Quo Vadis ?
 

Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, M.Hum


(Wakil Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Disajikan dalam Webinar yang diselenggarakan Forum Doktor Universitas IslamSultan Agung,
dengan Thema: “Urgensi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun2021
Dalam Mencegah Terjadinya Pelecehan Seksual”
Semarang, 18 Nopember 2021
Abu Ishaq asy-Syathibi 
Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’a
(The Reconciliation of the Fundamnetals of
Islamic Law, 2012)

Hukum = Memberikan kesejahteraan


TUJUAN PRODUK
POLITIK
1. Tertib Sosial;
2. Kepastian;
3. Keadilan;
4. Perlindungan;
5. Kedamaian;
6. Kesejahteraan.
Charles Sampford

The Disorder of Law:


A Critique of Legal Theory

Disorder of Law

(Teaching order and the finding disorder)


Rule of Law:
Sebagai konsep sosial, terikat dengan perkembangan sosial
masyarakat tertentu.

Roberto Mangabeira Unger


(Law in Modern Society: Toward a Criticism of
Social Theory, 1976, p.66-127)

ROL, disebut “the emergence of legal order”,


muncul di Eropa Barat sebagai kelanjutan dari
keberantakan struktur masyarakat.

Komposisi Masyarakat, terdiri:


Kaum Raja + Ningrat > Runtuh
Persyarikatan Muhammadiyah:
Memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pencegahan dan perlindungan dari segala bentuk
kekerasan baik di lingkungan domestik maupun
publik, termasuk yang terjadi di lingkungan
perguruan tinggi.
Sikap kritis Persyarikatan Muhammadiyah
terhadap pembentukan Permen Dikbudristek No 30
Tahun 2021 dikarenakan:

A. Masalah Formil
1. Tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses
pembentukannya;
2. Tidak tertib materi muatan;
3. Mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi
otonomi kelembagaan perguruan tinggi
B. Masalah Materiil

1. Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis
“ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada
satu faktor, padahal sejatinya multikausa;
2. Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permen Dikbudristek
No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna
dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”;
3. Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap
perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah
aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa,
tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan,
penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar
pernikahan yang sah;
4. Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan
asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Persyarikatan Muhammadiyah mengajukan
3 (tiga) rekomendasi:
1. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam menyusun
kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik terutama
berbagai unsur penyelenggara Pendidikan Tinggi, serta memperhatikan tertib asas,
dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan;

2. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebaiknya merumuskan


kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebaiknya mencabut


atau melakukan perubahan terhadap Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021, agar
perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan
perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan
dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
WASSALAM

Anda mungkin juga menyukai