SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Masa Orde Lama Pemilu tahun 1955 dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi harapan masyarakat, bahkan tidak adanya kestabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun hankam. Keadaan ini disebabkan oleh : 1. Makin berkuasanya modal-modal raksasa terhadap perekonomian Indonesia. 2. Akibat silih bergantinya kabinet, maka pemerintah tidak mampu menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan, terutama pembangunan bidang ekonomi. 3. Sistem liberal berdasarkan UUD 1950 mengakibatkan kabinet jatuh bangun sehingga pemerintahan tidak stabil. 4. Pemilu 1955 ternyata dalam DPR tidak mencerminkan perimbangan kekuasaan politik yang sebenarnya hidup dalam masyarakat, karena banyak golongan-golongan di daerah-daerah belum terwakili di DPR. 5. Konstituante yang bertugas membentuk UUD yang baru ternyata gagal. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Atas dasar hal tersebut diatas, maka Presiden menyatakan bahwa negara dalam keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta keselamatan negara. Untuk itu, Presiden mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah sebagai berikut 1. Membubarkan konstituante. 2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950. 3. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat- singkatnya. Dengan dasar pemikiran supaya tidak terulang lagi peristiwa di masa lampau, maka pada waktu itu Presiden Soekarno sebagai kepala eksekutif menerapkan demokrasi terpimpin. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Namun, pelaksanaan demokrasi terpimpin itu dalam menyimak arti yang sebenarnya, justru bertentangan dengan Pancasila, yang berlaku adalah keinginan dan ambisi politik pemimpin sendiri. Kebijakan yang menyimpang dari UUD 1945 dalam bidang politik adalah sebagai berikut : 1. Pembubaran DPR hasil pemilu tahun 1955 melalui Penetapan Presiden No. 4 tahun 1960 dengan dibentuk “Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRD-GR)” yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 2. Pembentukan MPRS yang para anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Pembentukan DPA dan MA dengan penetapan Presiden dan anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 4. Lembaga-lembaga negara, seperti yang disebutkan diatas dipimpin sendiri oleh Presiden. 5. Mengangkat Presiden seumur hidup 6. Melalui ketetapan MPRS No. I/MPRS/1963 Manifesto politik dari Presiden dijadikan GBHN. 7. Hak budget DPR tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Karena DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diajukan Presiden, maka DPR dibibarkan tahun 1960. 8. Mentri-mentri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA, MA, MPRS, dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang tugasnya mengawasi jalannya pemerintahan, malah sebaliknya harus tuduk kepada kebijakan Presiden. Pembangunan Ekonomi Walaupun ideologi Indonesia Pancasila, Sistem politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah ekonomi terpimpin, semakin dekat dengan pemikiran sosialis /komunis Uni Soviet dan cina sangat kuat. Sebetulnya pemerintahan Indonesia memilih haluan politik yang berbau komunis hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan semangat anti-kolonialisasi, anti-imperialisasi, dan anti kapitalisasi saat itu. Pada masa itu prinsip-prinsip individualisme, persaingan bebas, dan perusahaan swasta/pribadi sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya karena prinsip tersebut sering kali dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman ataupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk dapat membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar. Setelah peristiwa G-30-S/PKI, terjadi suatu perubahan politik yang drastis yang terus menubah sistem ekonomi dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semi-kapitalis. Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pengaruh kekuasaan cenderung kepada sosialis/komunis, khususnya pada masa orde lama. Masa Orde Baru Dengan berakhirnya pemerintahan Soekarno dalam orde lama, dimulailah pemerintahan baru yang dikenal dengan “orde baru”, yaitu suatu tataan kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang menuntut dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Munculnya orde baru diawali dengan tuntutan aksi-aksi dari seluruh masyarakat, seperti Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan lain-lain. Tuntutan mereka dikenal dengan nama Tritura. Isi tuntutan tersebut sebagai berikut : 1. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. 2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI. 3. Penurunan harga. Orde baru mengambil tugas utamanya, yaitu penciptaan ketertiban politik dan kemantapan ekonomi. Oleh sebab itu, orde baru segera mengambil jarak dengan kelompok-kelompok yang kuat orientasi ideologisnya. Pemimpin orde baru segera menyusun birokrasi yang mendukung kebijakannya. Diciptakan ABRI yan loyal dibawah komandonya. Semua lembaga negara baik supra maupun infrastruktur ditentukan kepemimpinannya atas dasar loyalitas kepadanya Orde baru bertolak belakang dengan orde lama dalam hal kebijakan ekonomi. Akan tetapi, dalam hal sistem dan kebijakan politik cenderung otoriter dan monopolistik sebagai pelanjut dari rezim orde lama. Konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah yang memungkinkan oposisi tidak dapat melakukan kontrol. Pada kenyataanya, orde baru telah jauh menyimpang dari perjuangannya semula, yaitu sebagai berikut. 1. Orde baru, secara eksplisit tidak mengakui 1 Juni sebagai lahirnya Pancasila. 2. Butir-butir P-4 mendidik secara halus ketaatan individu kepada kekuasaan dan tidak ada butir yang mencantumkan kewajiban negara terhadap rakyatnya. 3. Pengamalan Pancasila dengan membentuk citra pembangunan sebagai ideologi, sehingga rekayasa mendukung Bapak Pembangunan melalui kebulatan tekad rakyat Asas Tunggal Pancasila Dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto mengemukakan gagasannya mengenai urgensi penerapan asas tunggal Pancasila atas partai-partai politik. Tujuan menyeragamkan asas partai-partai politik adalah untuk mengurangi seminimal mungkin potensi konflik ideologis yang terkandung dalam partai- partai politik. Berbeda dengan gagasan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, beliau mengharapkan agar Pancasila dijadikan dasar filosofis negara Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima anjuran filosofis ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan aspirasinya masing-masing dalam mengisi kemerdekaan. Pola seperti ini masih terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, dengan tidak adanya keharusan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun, dengan adanya pidato Presiden tersebut ada dorongan dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini berarti pencantuman asas lain yang sesuai dengan aspirasi, ciri khas, dan karakteristik partai politik tidak diperkenalkan lagi. Akhirnya, keinginan Presiden itu terpenuhi dengan merubah UU No.3/ 1975 dengan UU No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan bahwa pengertian asas meliputi juga pengertian dasar, landasan, dan pedoman pokok yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar partai politik. Perbedaan partai hanya dalam bentuk program saja. Asas tunggal Pancasila, menurut Deliar Noer, berarti mengingkari kebhinnekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan dari masing-masing. Keyakinan ini biasanya bersumber dari agama atau dari paham lain. Bahkan asas tunggal Pancasila cenderung ke arah sistem partai tunggal, meskipun secara formal ada tiga partai, tetapi secara terselubung sebenarnya hanya ada satu partai. Pembangunan Ekonomi Di dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat lewat pembangunan ekonomi dan sosial, maka pemerintahan orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis, yang berarti kembali menjadi anggota PBB dan lembaga internasional lainnya. Hal itu terlihat dari hadirnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Menjelang akhir dekade 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut “Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI)”, yang terdiri atas sejumlah negara-negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan Indonesia. Dengan sikap Indonesia anti-komunis menjadikan Indonesia sangat menarik untuk negara-negara Barat yang kapitalis Pembangunan orde baru dilakukan secara bertahap, khususnya di bidang ekonomi, pembangunan jangka panjang (25/30 tahun), jangka menengah 5 tahun dengan program rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Apabila dibandingkan dengan orde lama, cukup banyak terdapat perbedaan fundamental, yaitu dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis ke ekonomi terbuka yang berorientasi kepada kapitalis. Perbedaan orientasi ekonomi menyebabkan perekonomian masa orde baru lebih baik dari masa orde lama. Beberapa prakondisi yang menonjol dari perekonomian masa orde baru adalah sebagai berikut : 1. Stabilitas politik dan ekonomi. 2. Sumber daya manusia yang lebih baik. 3. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang toastern oriented. 4. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. 5. Kemauan yang kuat (political will). Kelemahan Pembangunan Orde Baru Persoalan yang paling mendasar dalam era orde baru adalah campur aduk institusi negara dan swasta. Jabatan publik, perusahaan, dan yayasan dicampur aduk satu sama lain sehingga pemegang kekuasaan dan orang- orang yang menjadi pemburu rente ekonomi menjadi pemenang dan mengambil segala kesempatan dan potensi keuntungan ekonomi dan sosial secara tidak adil, seperti subordinasi Bank Indonesia (obyek KKN), proteksi Chandra Asri, Keppres Mobnas, Institusi Bulog, pemasaran cengkeh dan jeruk, dan sebagainya memberi dampak masalah keadilan publik. Akses publik yang lebih luas terhadap sumber-sumber ekonomi menjadi tertutup sehingga proses pemerataan pendapatan dikorbankan. Lembaga kepresidenan merupakan faktor pokok dan mendasar yang paling rusak dan mempengaruhi lembaga negara di bawahnya. Lembaga kepresidenan adalah the ruler, yang mengatur segalanya. Fungsi check and balance tidak bekerja dan parlemen menjadi stempel karet. Sistem digerakkan dari institusi Presiden yang dipengaruhi secara kuat oleh karakter individu, yang sekaligus menjadi penyebab macetnya demokratisasi politik dan ekonomi Kritik terhadap pemerintahan orde baru masih kelihatan sekalipun ditekan pada taraf minimal, seperti pada dekade 1970-an muncul gerakan untuk pemberantasan korupsi karena utang dan kebangkrutan melanda Pertamina. Pada dekade 1980-an isu menggugat praktek-praktek monopoli dan dekade 1990-an tuntutan perbaikan alokasi sumber daya ekonomi. Puncak gejolak ketidakpuasan publik adalah kasus Bapindo, yang mana telah terjadi distorsi alokasi kredit dan juga di bank-bank pemerintah lain yang dikenal sebutan bahwa bank-bank pemerintah disebut kasir konglomerat, karena mendapat perlakuan istimewa dari penguasa. Sumber-sumber keuangan yang potensial, dalam hal ini tersimpan di bank- bank pemerintah, hanya dikuasai oleh dua puluh orang debitur kakap. Praktek tersebut keduanya saling menguntungkan dengan kondisi politik dan ekonomi yang bersifat tertutup. Pola dan struktur kantor Presiden dan Kabinetnya, berhubungan bisnis dengan pelaku-pelaku swasta. Jadi, perkembangan ekonomi hanya digerakkan oleh segelintir orang, tidak partisipatif dan akses ekonomi masyarakat sangat minimal. Urbanisasi besar-besaran manusia dari desa ke kota dan dari daerah ke pusat, juga merupakan ciri dominan dari korporatisme yang bersifat sentralis Kelemahan Pembangunan Orde Baru Dengan demikian, semakin jelas bahwa ada paradoks kemajuan di Indonesia terjadi karena sistem yang distorsif tersebut. Pada satu sisi kemajuan-kemajuan ekonomi yang dilihat secara agregat, memberi bukti adanya pembangunan yang progresif.
Namun, pada sisi lain kita melihat kenyataan akan betapa
rapuhnya basis ekonomi rakyat, yang mengalami stagnasi berkepanjangan selama tiga dekade terakhir. Paradoks inilah yang menjadi gejala dari akar permasalahan, yang sebenarnya terjadi di dalam sistem ekonomi nasional masa orde baru. Pembangunan dan Utang Luar Negeri Selama orde baru pemerintah menganggap bahwa utang itu merupakan bagian dari proses pembangunan ekonomi yang sukses dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Perkembangan utang luar negeri dari tahun ke tahun pada masa orde baru cenderung meningkat, sehingga pembayaran pokok dan bunga utang sudah begitu besar. Pada tahun 1980-1999 mencapai 129 miliar dolar AS, ini berarti bahwa aliran modal ke luar negeri selama periode ini sudah mencapai angka lebih dari seribu triliun. Masa Era Global Pembangunan Penyimpangan dari kehidupan bernegara era orde baru sampai kepada puncaknya dengan muncul krisis moneter yang berakibat jatuhnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Untuk menyelamatkan negara dari kehancuran, maka MPR telah mengeluarkan ketetapannya : 1.Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR tentang Referendum. 2.Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembanguan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. 3.TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. 4.TAP MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. 5.TAP MPR No.XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. 6.TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM. 7.TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P-4 dan Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Sekalipun MPR telah mengeluarkan ketetapannya, namun inti permasalahan yang ditinggalkan oleh pemerintahan orde baru bukanlah sedikit, sehingga merumitkan bagi pemerintah transisi atau pemerintah era reformasi untuk keluar dari permasalahan tersebut Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya berbagai masalah tersebut adalah : 1. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. 2. Pancasila sebagai ideologi negara ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa dan telah disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan. 3. Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat. Hal itu semakin diperburuk oleh pihak pengusaha yang menghidupkan kembali cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang feodalistik dan paternalistik sehingga menimbulkan konflik horizontal yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa 4. Hukum telah menjadi alat kekuasaan dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu persamaan hak warga negara di hadapan hukum. 5. Perilaku ekonomi yang berlangsung dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berpihak pada sekelompok pengusaha besar, telah menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, utang besar yang harus dipikul oleh negara, penggangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat, serta kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar. 6. Sistem politik yang otoriter tidak dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang mampu menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. 7. Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah dan dendam antara kelompok masyarakat terjadi sebagai akibat dari proses demokrasi yang tidak berjalan dengan baik. 8. Berlangsungnya pemerintahan yang telah mengabaikan proses demokrasi menyebabkan rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya sehingga terjadi gejolak politik yang bermuara pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. 9. Pemerintah yang terlalu sentralistis 10. Penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari lemahnya fungsi pengawasan oleh internal pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat 11. Dalam pelaksanaan peran sosial politik dalam dwi fungsi ABRI telah disalahgunakannya ABRI sebagai alat kekuasaan 12. Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai dapat memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa. 13. Pada masa era global, telah tiga kali pergantian Presiden, yaitu Presiden B.J. Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunan, Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Presiden hasil Pemilu tahun 1999 dengan Kabinet Persatuan Nasional, namun Presiden Abdurrahman Wahid diperhentikan oleh MPR karena dianggap melanggar haluan negara Perekonomian Era Reformasi Periode transisi Habibie terlalu pendek untuk mengisahkan perjalanan ekonomi suatu negara. Yang terjadi adalah untuk kembali mendesain ulang struktur ekonomi yang berbasis konglomerat menuju ekonomi kerakyatan. Pemerintahan Habibie hanya sampai pada upaya pembuatan perangkat undang-undang yang disiapkan dengan tergesa- gesa dan belum tentu dapat dilaksanakan oleh pemerintah selanjutnya, jadi implementasi kebijakannya tidak sempat dilaksanakan. Perekonomian negara sudah menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan dengan saat kejatuhan Presiden Soeharto Era Abdurrahman Wahid Perbaikan institusi secara sistematis tidak terjadi, bahkan kesalahan-kesalahan baru terjadi kembali yang menambah lebih parah lagi keadaan. Beberapa di antaranya adalah : Kasus DPUN, yaitu suatu lembaga perhimpunan para konglomerat di dalam institusi kepresidenan. Seharusnya pengusaha besar dengan kepentingan ekonomi yang besar pula seharusnya dipagari dengan batas aturan yang tegas agar tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Berkat kritik yang sangat keras terhadap lembaga ini di mana campur aduk antara swasta dengan pemerintah yang telah membawa ketidak adilan ekonomi di masa orde baru, maka lembaga ini akhirnya dibubarkan. Kasus Depsos dan Deppen, yang mana pemerintah Abdurrahman Wahid membubarkan lembaga bermasalah, tetapi penggantinya tidak dipikirkan, dengan cara itu pemerintah terus akan selalu menghadapi permasalahan dan menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak. Tidak ada masalah dalam negeri yang terselesaikan dengan baik, seperti kasus Aceh, konflik Maluku, dan sebagainya. Ketidakstabilan bidang politik dan sosial yang belum surut menambah kesan bagi investor asing bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berisiko tinggi. Akibatnya, kondisi ekonomi nasional cenderung lebih buruk dari era Habibie. Cenderung diktator dan praktek KKN. Sikap Presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya memorandum I dan II. Pada akhirnya, pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001 Abdurrahman Wahid diberhentikan dan Megawati dilantik menjadi Presiden. Sumber Literatur Drs. Syahrial Syabaini, Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. Trianto, S.Pd, M.Pd dan Titik Triwulan, SH, MH, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007. Sekian dan Terima kasih