Syelvi Rahmasari
03 2105170067
“Dari Abu Hurairah, dalam sebuah hadis disebutkan Ia berkata: bersabda Nabi Saw : “apabila kamu hendak
mengerjakan salat, hendaklah menyempurnakan wuduk, kemudian menghadap kiblat lalu takbir” (HR. Al-
Bukhari)
Secara umum hadis ini menunjukkan kewajiban menghadap kiblat ketika salat, dimana ini merupakan ijmak kaum
muslimin, dengan pengecualian pada situasisituasi tertentu seperti “lemah” (seperti orang yang sakit, orang yang
terikat atau terpenjara) atau takut (misalnya dalam situasi perang), atau pada salat sunah ketika musafir.
“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: bersabda Rasulullah Saw “diantara timur dan barat, kiblat” (HR. At-Tirmiżi
dan diperkuat oleh Al-Bukhari)
Dari hadis ini dapat ditarik dua kesimpulan sebagai berikut: pertama, hadis ini menunjukkan bahwa dalam menghadap
kiblat (Kakbah) yang diwajibkan bukan bangunan (‘ain) Kakbah namun mencukupi arahnya saja. Kedua, tata cara
penentuan arah kiblat dapat dilakukan dengan cara apa saja –selama dikategorikan ijtihad– dan selama dapat
memersiskan menghadap Kakbah.
Dalil Menghadap Kiblat
Dalil Ijmak
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam “al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu” mengemukakan fukaha telah sepakat
bahwa menghadap kiblat (Kakbah) adalah syarat sah salat, antara lain didasarkan Q. 02: 149-150. 4 Hal yang
sama juga dikemukakan Ibn Rusyd (w. 595 H) dalam “Bidāyah al-Mujtahid”. Ibn Rusyd menyatakan:
“Umat Islam sepakat bahwa menghadap baitullah (kiblat, Kakbah) adalah satu syarat dari beberapa
syarat sahnya salat, berdasarkan firman Allah “dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram”
Hukum Menghadap Kiblat
Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat wajib dalam salat. Namun ulama berbeda pendapat
tatkala Kakbah berada cukup jauh dari orang yang melaksanakan salat, misalnya di Indonesia, maka dalam hal ini
ulama berpendapat cukup mengarahkan kearah Kakbah saja (iṣābah jihah al-ka’bah). Hal ini berdasarkan hadis
Nabi Saw :
Menurut kalangan Hanafiyah, bahwa bagi orang yang berada di kota Mekah maka wajib (yalzamu)
hukumnya menghadap bangunan Kakbah (‘ain al-ka’bah) ketika salat. Namun terhadap orang yang berada
di luar kota Mekah cukup menghadap arahnya saja (jihah al-ka’bah). Namun jika mampu mengusahakan
arah persis Kakbah, maka wajib mengusahakannya berdasarkan penelitian dan ijtihad, dan inilah yang
terbaik.
Hukum Menghadap Kiblat
Menurut kalangan Malikiyah, apabila Kakbah tidak terlihat (ghābat al-Ka’bah), dalam hal ini ulama
berbeda pendapat. Menurut Ibn Rusyd, yang menjadi keharusan adalah menghadap pada arah (al-jihah),
bukan pada bangunan fisik (al-‘ain).
Menurut kalangan Syafiiyah, orang yang berada di Masjid al-Haram (al-bait) wajib baginya menghadap
bangunan (al-‘ain) Kakbah. Namun jika ia tidak berada di Masjid al-Haram namun ia mampu membaca
(mengetahui) tanda-tanda dan atau petunjuk arah kiblat, maka ia salat dengan kemampuannya itu dalam
menentukan arah kiblat, dan jika ada informasi akurat tentang arah kiblat, maka informasi itu diterima
tanpa perlu melakukan ijtihad.
Kalangan Hanabilah menyatakan, jika seseorang dapat melihat Kakbah (mu’āyinan li al-ka’bah), maka
kiblat salatnya adalah menghadap kepada bangunan Kakbah itu tanpa ada perbedaan pendapat. Namun
bagi yang jauh dari Mekah hanya dituntut menghadap arah (jihah al-ka’bah) bukan bangunan (iṣābah
al-‘ain).
Tata Cara Penentuan Arah Kiblat
Ilmu Ukur Segi Tiga Bola
Ilmu ukur segi tiga bola (spherical trigonometri, hisāb al-mu ṡalla ṡat) adalah ilmu pengukur jarak
sudut suatu benda. Dalam peradaban Islam ilmu ini mulai diperkenalkan oleh Al-Khawarizmi (w. 387 H)
melalui karyanya “al-Jabr wa alMuqābalah”. Penentuan arah kiblat dengan bantuan ilmu ukur segi tiga bola ini
memerlukan data geografis Kakbah dan lokasi suatu tempat yang akan dihitung arah kiblatnya. Data
geografis itu meliputi: (1) Lintang Tempat, (2) Bujur Tempat, (3) Lintang Kakbah, dan (4) Bujur Kakbah.
Bayang-Bayang Kiblat
Firman Allah dalam Q. 25: 45 menyatakan bahwa pada hakikatnya bayang bayang matahari sebagai
petunjuk, diantaranya petunjuk menentukan arah kiblat. Bayang-bayang kiblat terjadi ketika matahari
membentuk lingkaran bayangan yang tepat searah (sejalur) dengan Kakbah yaitu ketika deklinasi matahari
memotong garis arah kiblat, maka ketika itu bayangan matahari akan membentuk arah kiblat. Penentuan
arah kiblat suatu tempat (lokasi) melalui bayang-bayang kiblat harus memenuhi hal-hal berikut:
• Menentukan data geografis (lintang dan bujur) suatu tempat
• Menghitung arah kiblat suatu lokasi
• Menghitung deklinasi matahari (δM), equation of time (e), meridian pass (MP) hari (tanggal) yang akan
dicari bayang-bayang kiblatnya.
Tata Cara Penentuan Arah Kiblat
Momen Matahari Melintas di Atas Kakbah
Fenomena matahari melintas di atas Kakbah atau istiwā’ a’ẓam atau disebut juga dengan raṣd al-
qiblah adalah peristiwa astronomis saat posisi matahari berada tepat di atas Kakbah atau ketika matahari
berdeklinasi 21º 25’ yaitu sama dengan Lintang Kakbah (21º25’). Memastikan arah kiblat melalui fenomena
matahari di atas Kakbah (istiwā’ a’ẓam) adalah cara yang sudah terbukti dan sudah dibuktikan secara
berulang-ulang. Cara ini merupakan kaedah alternatif yang akurat tanpa memerlukan perhitungan. Posisi
matahari tepat berada di atas Kakbah terjadi apabila deklinasi matahari sama dengan Lintang Kakbah atau
Mekah. Maka ketika itu matahari akan berkulminasi di atas Kakbah dan arah terjadinya bayang matahari
terhadap suatu benda lurus merupakan arah kiblat. Momen ini di Indonesia terjadi dua kali, yaitu setiap
tanggal 27 Mei (tahun Kabisat) atau 28 Mei (tahun Basitat) pukul 16:18 WIB dan tanggal 16 Juli (tahun kabisat)
atau 16 Juli (tahun basitat) pukul 16:27 WIB.
Waktu Shalat
Dalil Al-Qur’an
QS. An-Nisā’ [04] ayat 103 memberi penjelasan bahwa salat memiliki limit waktu (batas awal waktu dan batas
akhir waktu). Artinya salat tidak bisa dikerjakan dalam sembarang waktu. Menurut Ibn Abbas, kata “kitāban
mauqūtā” dalam ayat ini bermakna sebagai suatu ketentuan fardu. Selanjutnya Ibn Abbas dan Abd ar-Razaq
seperti dikutip Ibn Katsīr (w. 774/1372) dalam tafsirnya memaknai kata “kitāban mauqūtā” sebagai bahwa
salat memiliki limit waktu seperti halnya dalam ibadah haji.
Dalil As-Sunnah
Hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas ini dikenal dengan hadis “imāmah”. Secara umum hadis ini dapat
dirincikan sebagai berikut:
1. Waktu Zuhur ketika bayang-bayang Matahari sesudah zawal sepanjang tali sepatu (syirāk) atau ketika
bayang-bayang suatu benda sama panjang.
2. Waktu Asar ketika panjang suatu benda sama panjang dan atau dua kali panjang;
3. Waktu Magrib ketika terbenam Matahari;
4. Waktu Isya ketika hilangnya awan merah (syafak) dan atau hingga sepertiga malam;
5. Waktu Subuh (Fajar) ketika terbitnya fajar sadik.17
Aspek Astronomis Waktu Salat
Zuhur
Melalui ungkapan al-Qur’an dan al-Hadīts dapat difahami bahwa waktu Zuhur dimulai tatkala matahari telah
melewati saat kulminasi dari titik pusatnya.
Ashar
Mengenai waktu Asar, ada dua redaksi hadis Nabi Saw terkait hal ini seperti dikemukakan dalam riwayat Ibn
Abbas.18 Redaksi pertama menyatakan ketika bayang-bayang suatu benda seukuran bendanya. Redaksi
kedua menyatakan ketika bayang-bayang suatu benda seukuran dua kali benda itu. Perbedaan dua redaksi
ini mengakibatkan perbedaan penjabaran astronomis terhadap masa tibanya waktu Asar.
Magrib
Berdasarkan hadis Nabi Saw, waktu Magrib adalah ketika matahari terbenam. Setidaknya ada dua
pandangan mengenai terbenam. Pandangan pertama menyatakan apabila matahari telah mencapai ufuk.
Pandangan kedua menyatakan apabila piringan matahari seluruhnya telah berada di bawah ufuk.
Isya
Dalam sains astronomi, Isya disebut “dusk astronomical twilight” yaitu tatkala langit tampak gelap oleh
karena cahaya matahari di bawah ufuk tidak dapat lagi dibiaskan oleh atmosfir.
Subuh
Berdasarkan keterangan hadis Nabi Saw, waktu Subuh dimulai tatkala terbit fajar sadik. Fajar sadik ini dalam
astronomi disebut dengan “astronomical twilight”.
Variabel-Variabel Terkait Penentuan Waktu Salat