Anda di halaman 1dari 8

TAFSIR AYAT AHKAM

SURAH AL BAQARAH AYAT 144 DAN 158

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Tafsir II

DOSEN PENGAMPU:

HABIBUDDIN, Lc. MA

DISUSUN OLEH:

NOVI RISTANTI

PUPUT MARIYANTI

JURUSAN ILMU AL QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT SAINS AL QURAN SYEKH IBRAHIM

TAHUN AKADEMIK 2016/2017


PEMBAHASAN

1. Surah Al Baqarah Ayat 144

ْ ‫ْث َما ُك ْنـثم فَ َولُّ ٌوجُه ُك ْم َش‬


ُ‫ط َره‬ ْ
ُ ‫شضط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام َوحي‬ َ َ‫فَ َو ِّل َو ْخه‬
‫ك‬

Artinya: “Kami melihat wajah mu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan
kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajah mu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan
sesungguhnnya orang-orang yang di beri kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan
kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang
mereka kerjakan.”

1.a Sebab Turunya Ayat

Ibnu Ishaq berkata, “Ismail bin Khalid memberi tahu saya dari Abu Ishaq dari Al-Barra’,dia
berkata, ‘dulu Rasullah sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis. Ketika itu beliau sering
melihat ke arah langit menanti-nanti perintah Allah. Maka Allah ta`ala menurunkan firman-
Nya,

“Kami melihat wajah mu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan kami
palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajah mu ke arah
Masjidil Haram”. (Al-Baqarah:144).

Lalu seorang Muslim berkata, “kami ingin tahu tentang orang-orang Muslim yang telah
meninggal sebelum kiblat kita berubah dan bagaimana sholat kita ketika kita masih
menghadap Baitul Maqdis ?” maka Allah menurunkan firman-Nya,

“dan Allah tidak menyia-nyiakan iman mu” (Al-Baqarah:143)

Namun orang-orang yang kurang akalnya berkata, “ apa yang membuat mereka
meninggalkan kiblat mereka sebelumnya ?” maka Allah menurunkan firman-Nya,

“orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata...hingga akhir ayat”[1]

1.b Tafsir Al Ahkam

Bagaimana cara melakukan sholat menghadap ke ka`bah dari tempat yang jauh

Ayat ini menerangkan tentang kiblat orang islam ketika baik orang itu melihat ka’bah
ataupun jauh dari padanya kiblatnya adalah Syathar ka’bah, yakni arah jurusan ka’bah yang
1
Jalaluddin As Suyuthi,Asbabun Nuzul,(Jakarta:Gema Insani,2008) cet 1, hal.57
tepat. Al Qurthubi menerangkan, bahwa ulama telah ijma’ mengatakan, menghadap ke
ka’bah itu sendiri, yakni ‘ain nya adalah fardhu bagi orang yang dapat melihat ka’bah,
sedangkan bagi orang yang jauh, memadailah kalau dia menghadap ke arah ka’bah. Begitu
juga keterangan Baidhawi dari mazhab Syafi’i, tetapi keterangan itu masuk perkataan dhaif
dalam mazhab itu. Menurut mazhab Syafi’i wajib menghadap kepada ‘ain ka’bah, dan
kewajiban itu cukup kalau dilakukanya dengan ijtihadnya saja.

Baihaqi dalam sunannya telah meriwayatkan hadist marfu’ dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
Muhammad SAW telah besabda “baitullah itu kiblat bagi orang yang berada dalam masjid
dan masjid itu kiblat bagi penduduk bumi dari umatku yang berada di Timur dan di Barat”[2]

1.c Tafsir Qurthubi

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan pendapat para ulama mufassir yang
menyatakan bahwa ayat 144 dari surah al-Baqarah di atas merupakan ayat yang turun terlebih
dahulu dari pada ayat sebelumnya. Bahwa sesungguhnya menghadapnya Muhammad SAW.
dan orang-orang yang bersamanya ke arah kiblatnya orang Yahudi di dalam shalat,
menunjukkan bahwa agama dan kiblat mereka adalah agama dan kiblat yang benar, serta
sesungguhnya orang-orang Yahudi dan agamanya adalah yang asli. Maka, Muhammad SAW.
dan orang yang bersamanya justru yang harus memeluk agama orang-orang Yahudi,
bukannya menyeru orang Yahudi untuk masuk Islam.

Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga menyebarkan kebohongan dan kebatilan agar
kiblat Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin kembali ke Baitul Maqdis. Kaum Yahudi
berusaha keras melenyapkan argumen yang dikeluarkan kaum Muslimin berkaitan dengan
pemindahan kiblat shalat. Dengan berlindung dan bersandar di balik keagungan agama
Yahudi dan pada keraguan yang mereka ciptakan kepada umat Islam akan kebesaran nilai
agama Islam itu sendiri.

Jika menghadap Baitul Muqaddas adalah batil, maka sungguh telah hilang tanpa berpahala
shalatmu selama waktu yang telah berlalu. Dan jika menghadap Baitul Maqdis adalah benar,
maka apa yang telah kalian lakukan dengan menghadap kiblat yang baru (Ka’bah) adalah
batil, dan shalat yang kalian lakukan dengan menghadap kiblat adalah sia-sia tanpa pahala.
Maka, atas dasar keterangan tadi, nasakh dan perubahan arah shalat yang dilakukan
Muhammad adalah perintah yang bukan dari Allah SWT, dan hal ini juga menunjukkan
bahwa Muhammad tidak menerima wahyu dari Allah SWT. Untuk mengantisipasi hal

2
Abdul Halim Hasan,Tafsir Al Ahkam,(Jakarta:Prenada Media Group,2006),cet.2,hal.18
tersebut dan memberikan kesiapan terhadap Nabi Muhammad dalam menghadapi fitnah
mereka, Allah SWT menurunkan wahyunya berupa ayat 142-143 dan ayat 145 surah al-
Baqarah.[3]

1.d Tafsir Fi Zhilalil Quran

Ayat ini menjelaskan tentang keadaan Nabi Muhammad SAW, (ayat)

Beliau menengadah ke langit, menunjukkan keinginannya yang kuat supaya Tuhannya


memindahkan kiblatnya ke arah lain selain kiblat yang selama ini beliau menghadap kesana,
setelah seringnya kaum Yahudi mencela dan mencaci kaum Muslimin yang menghadap ke
kiblat mereka. Caci maki ini merupakan jalan untuk membingungkan, menyesatkan,
meragukan, dan mengaburkan kaum Muslimin itu. Rasulullah SAW berulang-ulang
menengadah ke langit dengan tiada mengucapkan apa yang sedang dihasratkannya, seolah-
olah beliau telah merasa puas dengan menengadah saja. Nabi SAW segan mencurahkan
hasrat dan harapannya itu, disebabkan oleh adab kesopanannya terhadap Allah SWT. Dengan
perbuatan Nabi SAW yang seperti ini, Allah telah menjawab keinginannya,

“maka kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.”

Sehingga akhirnya di dengarlah ke inginan beliau oleh Allah, lalu di kabulkannya. Maka di
tentukanlah suatu kiblat yang beliau sukai,

“palingkanlah wajah mu ke arah Masjidil Haram”

Suatu kiblat untuk Nabi SAW dan untuk umatnya yang akan datang, hingga Allah mewarisi
bumi dengan segala isinya nanti (hari kiamat) firman-Nya, “dan di manapun kamu berada
palingkanlah wajah mu ke arahnya.”

Menghadapkan wajah ke arah kiblat ini berlaku di mana pun dan di arah manapun manusia
berada, maka, ia tetap menghadap ka`bah sebagai kiblat penyatuan umat islam, sekalipun
mereka berbeda daerah, negara, ras, bahasa dan warna kulitnya, baik yang ada di belahan
barat bumi maupun belahan timur bumi. Dan dengan kesatuan ini di harapkan umat Islam
merasa satu tubuh yang akan bisa mengindra dan merasakan apa yang di rasakan bagian
tubuh lain. Umat islam akan merasa menghadap kepada arah yang satu, dan pada metode
yang satu. Yakni, metode yang berasal dari Tuhan yang satu, Allah SWT yang di bawa Rasul
yang satu juga, yakni Muhammad SAW.[4]

3
Abu Abdillah Muhammad Al Qurthubi,Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an,Al Maktabah Asy Syamillah
4
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an,(Jakarta:Gema Insani 200),cet.1,jilid.1,hal.162
1.e Studi Analitik

1. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Ka’bah adalah arah kiblat dari
segala penjuru. Para ulama juga sepakat bahwa bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, maka
ia wajib menghadap ke Ka’bah secara langsung.

2. Ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang tidak
dapat melihat langsung Ka’bah. Di antara ulama berpendapat wajib menghadap ‘ain Ka’bah.
Namun pendapat ini dibantah oleh Imam Ibn al-Arabi dan dianggap pendapat yang lemah.
Karena hal ini akan berdampak pada taklif (paksaan) bagi orang yang tidak mampu.

3. Maksud shalat adalah hadirnya hati (ke hadapan Allah), sedang kehadiran ini tak akan
berhasil tanpa sikap yang tenang, tidak bergerak-gerak, dan tidak menoleh kemana-mana. Hal
ini tentu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali hanya dengan menghadap ke satu arah
saja. Maka apabila ditentukan satu arah sebagai hadapan tentu menambah kemuliaan dan
lebih utama.
4. Allah SWT telah meyukai kelembutan hati di antara kaum mukminin. Oleh karena itu, jika
seandainya masing-masing orang islam ketika shalat menghadap arah yang berbeda-beda,
tentu hal itu justru akan memperjelas perbedaan. Sehingga, perintah Allah kepada umat islam
untuk menghadap satu arah ini tidak lain adalah untuk mewujudkan persatuan umat.
2. Surah Al Baqarah Ayat 158

2.a Asbabun Nuzul

Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Urwah, dia berkata “ saya
katakan kepada Aisyah istri Nabi SAW, perhatikanlah firman Allah,

“sesungguhnya Shafa dan Marwa merupaan sebagian syiar (agama) Allah. Maka barang siapa
beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i di antara
keduanya...” (Al-Baqarah:158)

Saya kira tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa`i di antara keduanya, maka
Aisyah berkata “buruk sekali apa yang kau katakan itu hai anak saudari ku. Seandainya arti
ayat itu seperti yang kau pahami, maka artinya tidak ada dosa baginya untuk tidak melakukan
sa`i di antara keduanya. Akan tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshor sebelum
masuk islam melakukan sa`i di antara keduanya sambil menyebut-nyebut nama patung Manat
sebagai proses ritual. Setelah masuk islam, mereka merasa keberatan untuk melakukan sa`i
antara Shafa dan Marwa.
Maka mereka bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa
tidak suka untuk melakukan sa`i antara Shafa dan Marwa pada masa jahiliyah” maka Allah
menurunkan Firman-Nya,

“sesungguhnya Shafa dan Marwa merupakan syiar (Agama) Allah”. (HR.Bukhari)

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “pada masa jahiliyah setan-setan
bernyanyi di seluruh malam di antara Shafa dan Marwa. Dan dulu di antara keduanya
terdapat sejumlah berhala yang di sembah oleh orang-orang musyrik. Ketika islam datang,
orang-orang Muslim berkata kepada Rasulullah “wahai Rasulullah kami tidak akan
melakukan sai antara Shafa dan Marwa karena kami melakukan hal itu pada masa jahiliyah.”
Maka Allah menurunkan surah Al-Baqarah 158.[5]

2.b Tafsir Shafwatut Tafasir

Sesungguhnya Shafa dan Marwa merupakan nama dua bukit dekat Masjidil Haram. “adalah
sebagian syiar dari Allah”. Termasuk sebagai tanda-tanda agama Allah dan ritual-ritual
agama-Nya, yang mana kita beribadah kepada Allah dengan ritual-ritual tersebut. “maka
barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah” barang siapa yang bermaksud
ke Baitullah untuk berhaji atau bermaksud ke Baitullah untuk ziarah dengan melaksanakan
haji dan umrah, “maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i di antara keduanya”. Tiada
kesempitan dan tiada dosa baginya untuk mengerjakan haji dan umrah jika mereka musyrik,
maka baginya untuk mengerjakan haji dan umrah lalu memusnakan berhala-berhala, maka
bergegaslah kamu menuju Allah Tuhan semesta alam, dan jangan tinggalkan thawaf haji dan
umrah karena takut menyerupai orang musyrik. “dan barang siapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati”, barang siapa yang mengerjakan haji dan umrah setelah
melaksanakan hajatnya yang di wajibkan kepadanya, atau mengerjakan kebaikan baik fardhu
maupun sunnah, “maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
mengetahui”. Maka sesunguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan ketaatannya dan akan
menbalas perbuatannya dengan sebaik-baik balasan, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
setiap apa yang berasa dari hamba-Nya, berupa amal perbuatannya, sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.[6]

2.c Tafsir Al Ahkam

5
Jalaluddin As Suyuthi,Asbabun Nuzul,(Jakarta:Gema Insani,2008) cet 1, hal.59

6
Muhammad Ali Ashobuni, Shofwatut Tafasir,(Jakarta:Pustaka Al Kautsar,2011),cet.1,hal.162
Shafa dan Marwa adalah dua bukit yang terkenal, terletak tidak jauh dari Masjidil Haram, dan
daerah yang terletak antara kedua bukit itu adalah tempat orang melakukan sai. Syiar menurut
bahasa berarti tanda maka syiar Allah ialah tempat ibadat yang telah diberi tanda oleh Allah,
tempat melakukan ibadah haji, termasuk tempat tempat seperti Arafah, Mina dan sebagainya.

Adapun haji dan umrah ialah dua macam Manasik, yang di kerjakan oleh orang orang yang
berada di sana. Orang orang yang mengerjakan haji dan umrah itu, setelah melakukan tawaf
di di ka’bah tujuh kali, mereka mengerjakan sai antara Shafa dan Marwa.

Dalam ayat terdapat perkataan la junaha(tidaklah dosa) maka sebagian ulama meMahamkan
bahwa sai itu tidak termasuk Manasik. Demikian pendapat Abu Hanifah dan sahabat
sahabatnya, demikian juga Tsauri. Apalagi ayat itu dakhiri dengan maka barangsiapa yang
mengerjakan sunnah, demikian pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Anas bin Malik, dan Ibnu
Sisrin, Atha’ dan Ibnu Zubair telah meriwayatkan, dia berkata, “siapa yang mau, tidak usah
melakukan sai antara Shafa dan Marwa.”

Dalam mazhab Hanafi, Tsauri, dan Malik dijelaskan bahwa sai itu termasuk wajib, tapi bukan
rukun. Dengan demikian cukuplah kalau dibayar dengan dam saja. Syafi’i dan jumhur ulama
berpendapat, sai itu termasuk fardhu Manasik, demikian juga menurut Ibnu Umar, Jabir, dan
Aisyah. Berikut ini hadist Aisyah yang diriwayaatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa
Urwah telah menanyakan kepadanya tentang sai anatara Shafa dan Marwa itu, karena dalam
firman Allah tersebut terdapat kata “fala junah” sebab itu menurutnya tidak mengapa
meninggalkan sai antara Shafa dan Marwa. Berkatalah Aisyah buruk sekali peMahamanmu
itu, wahai anak saudaraku. Jika keadaannya seperti yang engkau tafsirkan itu, tentulah tidak
berdosa orang meninggalkan tawaf pada keduanya.

Akan tetapi ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar, karena mereka melakukan tawaf pada
masa jahiliyyah, dan pada kedua tempat itu didapati berhala mereka, bernama manat. Sebab
itu mereka merasa keberatan untuk melakukan tawaf pada kedua tempat itu sedudah masuk
islam. Maka turunlah ayat sesungguhnya Shafa dan Marwa itu adalah sebagian dari syiar
syiar Allah. Jadi menurut Aisyah ayat ini diturunkan hanya karena adanya pertanyaan kaum
Anshar itu. Selanjutnya Aisyah berkata Rasulullah SAW telah menyatakan tawaf dia antara
keduanya, maka tidaklah boleh seorang pun meninggalkan tawaf di antara keduanya itu.

Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah juga, dia berkata demi Allah seumur hidupku Allah
tidak menyempurnakan haji seseorang yang tidak terdengan sainya diantara Shafa dan
Marwa. Thabrani dari Ibnu Abbas telah meriwayatkan, dia berkata telah ditanyakan kepada
Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasul bersabda sesungguhnya Allah telah
memfardhukan sai itu atasmu, maka lakukanlah sai.

Ahmad,Syafi’i,Ibnu Sa’ad,Ibnu Munzir dan lain-lain telah meriwayatkan dari Habibah bin
Tijirah dia berkata telah kulihat Rasulullah SAW melakukan sai antara Shafa dan Marwa
sedang orang banyak berada di hadapannya dan dia berada di belakang orang banyak itu
sehingga telah kulihat kedua belah lututnya karena kencangnya beliau melkukan sai itu,
kainnya berputar putar di lututnya dan beliau bersabda lakukanlah sai olehmu, karena Allah
telah memfardhukan sai itu atasmu. Nabi Muhammad SAW bersabda pula ambillah olehmu
dari padaku akan Manasik kamu.[7]

2.e Studi Analitik

Ayat ini sebagai penjelas bahwa Shafa dan Marwa merupakan sebagian syiar Allah dan tidak
ada dosa bagi mereka untuk melakkan sai diantara keduanya, di Shafa dan Marwa. Pada
intinya, orang muslim melakukan sai karena Allah semata dan bukan karena berhala.

7
Abdul Halim Hasan,Tafsir Al Ahkam,(Jakarta:Prenada Media Group,2006),cet.2,hal.19

Anda mungkin juga menyukai