Anda di halaman 1dari 11

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Tafsir Ayat Ahkam Dr.Helmi Basri Lc.Ma

TAFSIR SURAH AN NISA 101 (KETENTUAN SHALAT BAGI MUSAFIR)

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6 :

Dharki Darsan (12020211073)

M.Nasrun Daulay (12020211112)

Ridho Aprian (12020211460)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARI`AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TA2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum WarahmatullahiWabarakatuh.

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Kami
panjatkan puji syukur atas Kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat danHidayah-Nya
kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah TAFSIR AYAT AHKAM
tentang,TASIR SURAH AN NISA SURAH 101 (KETENTUAN SHALAT BAGI
MUSAFIR)

Meski telah disusun secara maksimal ,penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam segi bentuk penyusunan maupun materinya.
Karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca .Besar
harapan penulis makalah ini dapat menjadi sarana membantu dalam memahami terkait tentang
Jenis-Jenis Penelitian.

Demikianlah apa yang bisa penulis sampaikan ,semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari karya ini. Sekian dan terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Pekanbaru , 21 Mei 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Shalat merupakan ma’lum min al din bi al dharurah (bagian dari urusan agama yang
difahami urgensitasnya). Shalat adalah kewajiban dalam Islam yang paling utama dan menjadi
pilar agama yang paling agung, agama tidak akan tertegak tanpanya.Shalat merupakan rutinitas
ibadah yang tetap saja dilakukan dalam kondisi apa pun, apakah itu dalam kondisi sehat atau pun
sakit, ketika menetap di suatu tempat maupun ketika dalam perjalanan. Islam memandang shalat
sebagai tiang agama yang dapat membuktikan keislaman seseorang dan untuk mengukur sejauh
mana keimanannya.

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang


melingkupinya. Adakalanya senang, susah, gembira, sedih,aman, takut, tenang, khawatir dan
seterusnya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunatullah (alamiah), sehingga
tak dapat terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai agama yang membawa misi
kemaslahatan universal (Rahmatan li al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya
padaunsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada
kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan memberikan keringanan hukum pada obyek
hukum yang dinilai sulit.

B.Rumusan Masalah

1. Apa pengertin musafir?


2. Bagaimana ketentuan sholat bagi musafir menurut Tafsir Ibnu Katsir surah an nisa 101?
3. Bagaimana ketentuan sholat bagi musafir menurut Tafsir kemenag surah an nisa 101?
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian musafir

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “musafir” diartikan sebagai “orang yang
bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih); pengembara.” Dalam
pandangan hukum Islam, musafir adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dalam
jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu.

Menurut mazhab Syâfi‘î dan Mâlikî, jarak yang ditempuh sekurang-kurangnya adalah 77
kilometer, dan 115 kilometer menurut mazhab Abû Hanîfah. Imam Ahmad berpendapat bahwa
seseorang tidak lagi disebut musafir bila dia bermaksud tinggal empat hari atau lebih di suatu
tempat. Imam Syâfi‘î dan Mâlik juga berpendapat demikian. Imam Abû Hanîfah membenarkan
sampai lima belas hari. Dengan demikian, dalam pandangan para ulama itu, jika seseorang telah
berniat tinggal lebih dari waktu itu sejak semula, maka dia bukan musafir lagi. Jadi, dia tidak
diberi izin untuk menjamak (menggabung shalat Dzuhur dan Asar atau Maghrib dan Isya),
apalagi meng-qashar (melaksanakan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat saja).

Imam Abû Hanîfah mewajibkan musafir melakukan shalat qashar (Dzuhur, Asar, dan Isya
masing-masing hanya dua rakaat). Sementara itu, tiga imam mazhab lainnya membolehkan
meng-qashar atau melaksanakannya empat rakaat sebagaimana biasanya.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhârî, dan Ibnu Mâjah dari Ibnu ‘Abbâs
adalah sebagai berikut: Ketika Nabi saw. memasuki kota Mekkah (dari Madinah), beliau tinggal
di sana sembilan belas hari dan mengerjakan shalat dua rakaat. Ada juga riwayat yang
menyatakan 17 hari, dan 18 hari. Agaknya, yang menghitung 17 hari tidak memasukkan hari
datang dan hari pulang, dan yang menghitung 18 hari tidak memasukkan hari pulang.
Hadits ini adalah salah satu alasan bagi mereka yang membolehkan shalat qashar, selama
penundaan sehari demi sehari itu tidak lebih dari 17 atau 18 hari. Memang, ada juga ulama yang
membolehkan meng- qashar shalat selama yang bersangkutan meninggalkan tempat tinggalnya
dan berapa lama pun dia berada dalam perjalanan. Akan tetapi, pendapat ini tidak mendapat
dukungan banyak ulama, karena alasan-alasannya tidak kuat

B.Tafsir Ibn Katsir

Surah An-Nisa 101

َ ‫ص ٰلوةِ ۖ ا ِْن خِ ْفت ُ ْم اَ ْن يَّ ْفتِنَكُ ُم الَّ ِذيْنَ َكف َُر ْو ۗا اِنَّ ْال ٰكف ِِريْنَ كَان ُْوا لَكُ ْم‬
‫عد ًُّوا‬ ُ ‫ح اَ ْن تَ ْق‬
َّ ‫ص ُر ْوا مِنَ ال‬ ٌ ‫علَ ْيكُ ْم ُجنَا‬ َ ‫ض فَلَي‬
َ ‫ْس‬ َ ْ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِى‬
ِ ْ‫اْلر‬ َ ‫َواِذَا‬
‫ُّم ِب ْينًا‬

Artinya :
Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar salat, jika kamu
takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(An-Nisa: 101)

Yaitu melakukan perjalanan ke berbagai negeri; semakna dengan pengertian yang


terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: Dia mengetahui bahwa akan ada di antara
kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah. (Al-Muzzammil: 20), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah subhanahu wa
ta’ala: maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat (kalian). (An-Nisa: 101) Yakni
meringankan; adakalanya dari segi rakaatnya, misalnya shalat yang empat rakaat dijadikan dua
rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat ini.

Mereka menjadikannya sebagai dalil shalat qasar dalam perjalanan, sekalipun mereka
masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di antara mereka ada yang mengatakan bahwa
perjalanan yang dilakukan harus mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah,
atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang semisal. Seperti yang diriwayatkan oleh
‘Atha’ dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu Umar, karena berdasarkan kepada makna lahiriah
firman-Nya yang mengatakan: jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101) Di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan bagi bepergian harus dalam rangka
taqarrub, melainkan boleh pula dalam rangka bepergian yang mubah (tidak diharamkan), karena
berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.

Seperti halnya diperbolehkan baginya memakan bangkai bila dalam keadaan darurat,
tetapi dengan syarat hendaknya dia tidak bertujuan maksiat dengan perjalanannya itu.
Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta selain keduanya dari
kalangan para imam. Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Al-A'masy, dari Ibrahim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
adalah seorang pedagang, aku biasa pulang pergi ke Bahrain." Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepadanya shalat dua rakaat (yakni shalat qasar).

Adapun firman-Nya: jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101)
Barangkali hal ini diinterpretasikan menurut kebanyakan yang terjadi di lingkungan saat ayat ini
diturunkan. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam sesudah hijrah, kebanyakan perjalanan
yang mereka lakukan dipenuhi oleh bahaya yang menakutkan. Bahkan mereka tidak beranjak
meninggalkan tempat tinggalnya melainkan untuk menuju ke peperangan tahunan, atau sariyyah
(pasukan) khusus, sedangkan keadaan lainnya merupakan perang terhadap Islam dan para
pengikutnya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Juraij, dari Abu Ammar, dari Abdullah ibnu Rabiyah, dari Ya'la ibnu
Umayyah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab mengenai
makna firman-Nya: tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat (kalian), jika kalian takut
diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101) Sedangkan orang-orang di masa sekarang dalam
keadaan aman (ke mana pun mereka mengadakan perjalanan)? Maka Umar berkata kepadaku
bahwa ia pun pernah merasa heran seperti apa yang aku rasakan, lalu ia bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: Sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian. Karena itu, terimalah
sedekah-Nya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunan
melalui hadits Ibnu Juraij, dari Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abu Ammar dengan lafal
yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Ali ibnul Madini mengatakan
bahwa hadits ini hasan sahih melalui Umar, dan tiada yang hafal kecuali dari jalur ini; semua
perawinya dikenal. Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan telah menceritakan kepada kami
Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, dari Abu Hanzalah Al-Hazza
yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat safar (shalat
dalam perjalanan). Maka ia menjawab bahwa shalat perjalanan itu adalah dua rakaat (yakni
qasar). Lalu aku bertanya, "Kalau demikian, bagaimanakah dengan firman Allah subhanahu wa
ta’ala yang mengatakan: 'jika kalian takut diserang orang-orang kafir (An-Nisa: 101). Sedangkan
kita sekarang dalam keadaan aman?" Maka Ibnu Umar menjawab, "Itulah sunnah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam" Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu
Sa'id, telah menceritakan kepada kami Minjab, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Qais
ibnu Wahb, dari Abul Wadak yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar
mengenai dua rakaat dalam perjalanan. Maka ia menjawab bahwa hal itu adalah rukhsah
(keringanan) yang diturunkan dari langit; jika tidak menginginkannya, kalian boleh
mengembalikan ke asalnya (yaitu empat rakaat). Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari
Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di antara Mekah dan Madinah sebanyak dua rakaat-dua rakaat, padahal kami
dalam keadaan aman dan tidak takut dengan apa pun di antara Mekah dan Madinah itu." Hal
yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid
Al-Hazza, dari Abdullah ibnu Aun dengan lafal yang sama.

Imam Muslim mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari As-Sauri, antara lain dari
Qutaibah, sama seperti yang disebut di atas. Hadis-hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa
qasar itu tidak disyaratkan adanya situasi yang menakutkan. Karena itu ada sebagian ulama yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qasar dalam bab ini ialah qasar dari segi kaifiyah,
bukan kammiyyah. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Mujahid, Adh-Dhahhak, dan
As-Suddi, seperti yang akan diterangkan kemudian.

Mereka memperkuat alasannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Saleh
ibnu Kaisan, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa shalat itu pada
asal mulanya difardukan dua rakaat-dua rakaat, baik dalam bepergian maupun di tempat tinggal.
Kemudian shalat dalam bepergian ditetapkan, sedangkan shalat di tempat tinggal ditambahkan
(menjadi empat rakaat). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Yusuf At-
Tanisi, dan Muslim dari Yahya ibnu Yahya, sedangkan Abu Dawud dari Al-Qa'nabi, dan Imam
An-Nasai dari Qutaibah; keempat-empatnya dari Malik dengan lafal yang sama.

C.Tafsir Kemenag

Dan apabila kamu bepergian di bumi untuk melakukan peperangan atau melakukan
perniagaan atau lainnya, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar salat, yaitu dengan cara
memperpendek jumlah rakaat salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, seperti salat Zuhur,
Asar, dan Isya, jika kamu takut diserang atau takut akan bahaya yang ditimbulkan oleh orang-
orang kafir yang merupakan musuhmu. Sesungguhnya orangorang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagimu Kalau pada ayat sebelumnya Allah memberikan kemudahan kepada kaum muslim
untuk meng-qashar salat dalam perjalanan dan karena rasa takut, maka pada ayat ini Allah
menjelaskan tata cara pelaksanaan salat itu.

Dan apabila suatu ketika ada situasi yang membahayakan keselamatan, seperti karena
adanya musuh dan ketika itu engkau, wahai Nabi Muhammad, berada di tengah-tengah mereka,
para sahabatmu, lalu engkau hendak melaksanakan salat khauf bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri besertamu untuk melaksanakan salat dan segolongan
yang lain menghadapi musuh yang mungkin dapat melakukan penyerangan terhadapmu dan
yang bersamamu itu hendaklah menyandang senjata mereka. Kemudian apabila mereka yang
salat besertamu itu melakukan sujud, yakni telah menyempurnakan satu rakaat atau telah selesai
melaksanakan salat, maka hendaklah mereka itu pindah dari belakangmu untuk menghadapi
musuh dan berjaga-jaga seperti yang telah dilakukan oleh kelompok yang sebelumnya, dan
hendaklah datang golongan yang lain, yakni golongan kedua, yang belum salat, lalu mereka
melakukan salat seperti kelompok pertama melakukannya denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata mereka.

Hal ini dilakukan karena orang-orang kafir ingin dengan keinginan dan harapan yang
besar agar kalian lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu
sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat
suatu kesusahan atau kesulitan yang disebabkan karena hujan yang menyebabkan rusaknya
senjata kamu atau karena kamu sakit yang menyebabkan kamu tidak dapat menyandang
senjatamu, dan bersiap siagalah kamu menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi pada
kalian akibat dari dua kondisi itu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu, baik di dunia maupun di akhirat.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari uaraian diatasa dapat diambil kesimpulan bahwa “musafir” diartikan sebagai
“orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih); pengembara.”
Dalam pandangan hukum Islam, musafir adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya
dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu.

Jumhur ulama menjadikannya surah an nisa ayat 101 ,sebagai dalil shalat qasar dalam
perjalanan, sekalipun mereka masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di antara mereka
ada yang mengatakan bahwa perjalanan yang dilakukan harus mengandung ketaatan, seperti
berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang semisal.
Seperti yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu Umar, karena
berdasarkan kepada makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan: jika kalian takut diserang
orang-orang kafir. (An-Nisa: 101) Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak
disyaratkan bagi bepergian harus dalam rangka taqarrub, melainkan boleh pula dalam rangka
bepergian yang mubah (tidak diharamkan), karena berdasarkan kepada firman-Nya yang
mengatakan: Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. (Al-
Maidah: 3),

DAFTAR PUSTAKA

1.Ali Abu al Bashal,Al Rukhasu fi al shalah,Alih bahasa,Imtihan al as syafii,(solo,Aqwam,2013)

2.Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid wa nihayatu al Muqtashid,alihbahasa oleh imam Ghazali Said


dan Achamad Zaidun(jakarta,pustaka amani,2007)

3.https://cariustadz.id/artikel/detail/definisi-musafir-dan-kaitannya-dengan-shalat

4. https://tafsir.learn-quran.co/id/surat-4-an-nisa%27/ayat-101

Anda mungkin juga menyukai