Arah dalam bahasa arab disebut jihah, syathrah atau simt mengandung
makna daerah atau titik ke mana suatu benda menghadap. 1 Sedangkan kiblat
diambil dari kata قبلة yang merupakan bentuk masdar dari kata قبلِّة يقب ِّل قبل,
(qabala-yaqbilu-qiblatan) berarti menghadap.2 Sedangkan berdasarkan
terminologi, kata kiblat memiliki arti suatu arah yang dituju kaum muslimin
dimanapun mereka berada ketika mengerjakan shalat fardu atau sunnah. Kiblat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kiblat diartikan sebagai arah
tersebut.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa arah kiblat adalah
arah terdekat menuju Kakbah. Yang mana semua gerakan shalat baik itu berdiri,
ruku, i’tidal, sujud, duduk, dan lainya, menghadap ke arah terdekat dengan
Kakbah.6
6
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, Kajian Terhadap Metode- Metode Penentuan Arah Kiblat Dan Akurasinya, I
(Jakarta, 2012). 26-27.
B. Dasar Hukum Kiblat
1. Al-Qur’an
dan sikap orang Yahudi tentang masalah ini, yaitu pada surat Al-Baqarah
َو َك َٰذ ِلَك َجَعْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس ًطا ِّلَتُك وُنوا ُش َه َد اَء َعَلى الَّناِس َو َيُك وَن الَّر ُس وُل
َعَلْيُك ْم َش ِه يًد اۗ َو َم ا َجَعْلَنا اْلِق ْبَلَة اَّليِت ُك نَت َعَلْيَه ا ِإاَّل ِلَنْع َلَم َم ن َيَّتِبُع الَّر ُس وَل
َّمِمن َينَق ِلُب َعَلٰى َعِق َبْيِهۚ َو ِإن َك اَنْت َلَك ِبَريًة ِإاَّل َعَلى اَّلِذيَن َه َد ى الَّلُهۗ َو َم ا َك اَن
ِح ِب ِإ ِل ِض ِإ
الَّلُه ُي يَع َمياَنُك ْم ۚ َّن الَّلَه الَّناِس َلَرُءوٌف َّر يٌم
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar
Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS Al Baqarah (2):142 - 143)
maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka
orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan
kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah
َو َلِئْن َأَتْيَت ٱَّلِذيَن ُأوُتو۟ا ٱْلِكَٰت َب ِبُك ِّل َءاَيٍة َّم ا َتِبُعو۟ا ِقْبَلَتَك ۚ َو َم ٓا َأنَت ِبَتاِبٍع
ِقْبَلَتُه ْم ۚ َو َم ا َبْع ُضُه م ِبَتاِبٍع ِقْبَلَة َبْع ٍض ۚ َو َلِئِن ٱَّتَبْعَت َأْه َو ٓاَءُه م ِّم ۢن َبْع ِد َم ا
ِم َّٰظِلِم ِم ِع
َج ٓاَءَك َن ٱْل ْلِم ۙ ِإَّنَك ِإًذا َّل َن ٱل َني
Maksud dari ayat di atas adalah bahwasannya dari arah manapun arah
yang dituju dalam salat adalah Kabah, di Masjid al-Haram. Pada akhir
ayat pun ditutup dengan peringatan halus kepada siapapun, baik orang
2. Hadist
َص َّلْيُت َمَع الَّنِّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم ِإىَل َبْيِت اْلُم َق َّد ِس ِس َّتَة َعَش َر َش ْه ًر ا َح ىَّت
َنَز َلِت اآْل َيُة اَّليِت يِف اْلَبَق َر ِة َو َح ْيُثَم ا ُك نُتْم َفَو َّلْو ا ُوُجْو َه ُك ْم َش ْطَر ُهۚ َفَنَز َلْت َبْع َد َم ا
7
M. Quraish Shihab, Tafsir., h. 331-332.
ِب ِم ِم ِم ِه
َص َّلى الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم َفاْنَطَلَق َرُج ٌل َن اْلَق ْو َفَم َّر َناِس َن
َّل ا و و ِق ال ِت
َفَح َّد َتُه ْم َفَو ْو ُج َه ُه ْم َبَل َبْي، اَأْلْنَص اِر َو ُه ْم ُيَص ُّلوَن.
“Saya salat bersama Nabi saw menghadap Baitul Maqdis selama
enam belas bulan, sampai turunlah ayat dalam surat Al-Baqarah:
“dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya
(Masjidil Haram)” maka turunlah ayat tersebut setelah Nabi saw
salat. Maka beberapa orang dari kaum Anshar salat sambil
menghadap ke arah Masjidil Haram, dan mereka pun memalingkan
wajah mereka ke arahnya.” 8
، َأَّن َرُس وُل اهلل َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم َك اَن ُيَص ِّلى ْحَنَو َبْيِت اْلُم َق َّد ِس
َفَنَز َلْت َقْد َن ى َتَق ُّل َو ْج ِه َك يِف الَّس َم اِء َفَلُن ِلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَه ا َف ِّل
َو َو َب َر
َو ْجَه َك َش ْط اْلَمْس ِج ِد اَحْل اِم " َفَم َّر َرُج ِم ْن َبيِن َس ِلَم َة َو ُه ْم ُك وٌع يِف
ُر ٌل َر َر
َفَم اُلْو ا، َأاَّل ِإَّن اْلِق ْبَلَة َقْد ُح ِّو َلْت: َفَناَدى،َص اَل ِة اْلَف ْج ِر َو َقْد َص َّلْو ا َر ْك َعًة
َك َم ا ُه ْم ْحَنَو اْلِق ْبَلَة.
“Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw (pada suatu hari) sedang
salat dengan menghadap Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat
“Sesungguhnya Aku melihat wajahmu sering menengadah ke langit,
maka sungguh Kami palingkan wajahmu ke Kiblat yang kamu
kehendaki. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Kemudian ada seseorang dari bani Salamah bepergian, menjumpai
sekelompok sahabat sedang ruku‟ pada salat fajar, lalu ia menyeru
“Sesungguhnya Kiblat telah berubah.” Lalu mereka berpaling
seperti kelompok Nabi, yakni ke arah Kiblat.”9
8
Imam Abu Husain Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburiyyi, Shahih Muslim, (Riyadh:
Daru’ Alamil Kutub, 1417 H/1996), h. 374.
9
Ibid, h. 375.
َل َة َثاِبٍت
َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأيب َش ْيَبَة َح َّد َثَنا َعَّفاُن َح َّد َثَنا َّمَحاُد ْبُن َس َم َعْن
َك اَن ُيَص ِّلى ْحَنَو َبْيِت اْلَم ْق ِدِس َفَنَز َلْت َقْد ترى- َعْن َأَنٍس َأَّن َرُس وَل الَّلِه
ِل ِء ِّل ِق ِه يِف
َتَق لَب َو ْج َك الَّس َم ا َفَلُنَو َيَّنَك ْبَلَة َتْر َض اَه ا َفَو َو ْجَه َك َش ْطَر
اْلَمْس ِج ِد اَحْلَر اِم َفَم َّر َرُج ٌل ِم ْن َبيِن َس ِلَم ٌة َو ُه ْم ُر ُك وٌع يِف َص اَل ِة اْلَف ْج ِر َو َقْد
َف اُلوا َك ا ْحَن اْلِق َلِة. َّل ا ْك ًة َنا ى َأاَل ِإَّن اْلِق َلَة َقْد َل.
َم ُه ْم َو ْب ُح َو ْت َم ْب َص ْو َر َع َف َد
“Bahwa Nabi pada suatu hari sedang sholat dengan menghadap ke
Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat; sungguh kami sering melihat
mukamu menengadah ke langit (sambil berdoa agar turun wahyu
yang memerintahkan menghadap ke Masjidil Haram ) Sungguh kami
palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke Masjidil Haram. Kemudian seorang bertemu jamaah dari Bani
Salamah sedang mereka melakukan ruku pada rakaat kedua salat
shubuh. Lalu diserukan sesungguhnya kiblat telah dirubah, lalu
mereka berpaling kearah kiblat.”10
Para ulama madzhab telah sepakat bahwa orang yang melakukan ibadah
dengan orang yang berada jauh dari ka’bah dan tidak melihatnya.11 Dalam hal ini
10
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 2, Maktabah Syamilah, h. 66.
11
Ahmad Izuddin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab – Rukyat Praktis dan Solusi
Permasalahannya, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h. 24.
1. Mazhab Hanafi
“Orang yang menjalankan shalat tidak lepas dari dua keadaan; pertama,
wajib shalat dengan menghadap kiblat. Jika ia termasuk orang yang dapat
melihat bangunan ka’bah, maka kiblatnya adalah fisik ka’bah itu sendiri, yakni
melenceng dari bangunan fisik ka’bah tanpa menghadap ke salah satu bagian
bangunan ka’bah, karena faktor jarak atau sebab yang lain, maka ia diwajibkan
lain, kiblat bagi orang yang tidak melihat bangunan ka’bah adalah arahnya
Kurkhi dan al-Razi, yang mana pendapat ini merupakan pendapat mayoritas
ulama Iraq.
12
Alauddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) dalam kitabnya Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-
Syara’i
Sebab, seandainya arah kiblat menjadi arah kiblatnya, tentunya ketika
salah dalam berijtihat. Padahal menurut ulama madzhab Hanafi, tidak ada
bahwa kiblatnya dalam kondisi ini adalah bangunan ka’bah yang ditentukan
madzhab Hanafi berpendapat bahwa kiblat shalat bagi orang yang tidak dapat
2. Mazhab Maliki
ke bangunan Ka’bah adalah suatu kewajiban, maka tentu hal itu akan sangat
bagi daerah yang jauh dari Makkah merupakan hal yang memberatkan dan
13
Imam Muhammad bin Abdillah al-Timirsani (w. 1004 H) dalam kitab tanwir al-abshar.
memerlukan ijtihad dan penelitian yang seksama. Bagaimana mungkin hal ini
bisa dilakukan tanpa adanya sarana yang memadai, padahal kita tidak
diperintahkan untuk berijtihad dalam masalah ini (Ibnu Rusyd, 1993: 93).
ke arahnya”.
pendapat ini tergolong lemah (dhaif), karena hal ini merupakan perintah (taklif)
yang sulit untuk dikerjakan. Sementara itu, para ulama lainnya mengatakan
bahwa kiblat untuk orang tersebut adalah arah Ka’bah (jihat al- ka’bah).
yakni; pertama, bahwa menghadap ke arah Ka’bah adalah taklif yang dapat
haram. Dan di mana saja kalian berada...” (yakni di belahan bumi timur dan
14
Imam al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitabnya al-Jami’ li ahkam al-quran, (al-Qurtubi, 1991), h.
144.
barat), “... maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. Ketiga, para ulama
yang dapat dipastikan melebihi beberapa kali lipat dari panjang bangunan
Ka’bah, maka dalam shalatnya yang menjadi kiblat adalah arah Ka’bah, bukan
bangunannya.
3. Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Imam Syafi’i ra. terdapat dua pendapat besar dalam hal
ini, yakni; pertama, menghadap ke arah Ka’bah (jihat al-ka’bah), dan kedua,
memiliki petunjuk apapun ketika akan menentukan kiblat, maka dilihat dulu
lainnya.
menentukan letak Ka’bah seperti orang yang faham dengan fenomena alam.
mengatakan bahwa yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat
15
Imam al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitabnya al-Jami’ li ahkam al-quran, (al-Qurtubi, 1991), h.
363.
ke bangunan Ka’bah (ain al-Ka’bah). Kewajiban ini tidak membedakan apakan
seseorang bisa melihat banguna Ka’bah secara langsung, ataukan orang yang
berada jauh dari Ka’bah sehingga tidak bisa melihat wujud Ka’bah secara
langsung. 16
menghadap ke arah Ka’bah (jihat al-ka’bah). Sebab, seandainya yang wajib itu
shafnya memanjang melebihi panjang atau pun lebar bangunan Ka’bah, maka
Imam Yahya bin Syarof al-Nawawi menjelaskan bahwa dalil atau dasar
hukum yang digunakan sebagai hujah para ulama yang mengatakan kiblat adalah
bangunan Ka’bah adalah sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra. dan Usamah bin
Zaid, yaitu yang artinya: “Sesungguhnya Nabi saw. memasuki ka’bah kemudian
keluar lalu shalat dua rakaat (dengan menghadap ka’bah). Setelah itu, beliau
yang lebih kuat) antara dua pendapat mengenai kiblat ini, maka menurut beliau
pendapat yang paling mendekati kebenaran dalam madzhab Syafi’i adalah wajib
Pendapat ini diikuti juga oleh sebagian ulama madzhab Maliki dan satu riwayat
dari Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang mengatakan
16
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dalam kitab fenomenalnya, al-Umm.
17
Imam Yahya bin Syarof al-Nawawi dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra. dan Usamah bin
Zaid
bahwa kiblat yang diperintahkan bagi orang yang tidak melihat bangunan
bangunan tersebut. Hal ini adalah pendapat yang dipegang dalam madzhab kami,
dengan yakin melihat bangunan Ka’bah ketika dekat dengannya, dan dengan
bahwa seandainya ada suatu penghalang yang bersifat alamiah antara seseorang
bangunan baru, maka ia boleh berijtihad untuk menentukan kiblat, karena ada
akidah ahlus sunnah wal jamaah Nabi Muhammad saw. adalah manusia
ma’shum yang tidak pernah memutuskan sesuatu yang keliru. Seandainya orang
paling cerdas sekali pun jika ingin mengoreksi keputusan Nabi, maka upayanya
tersebut akan batal. Maksud dari mihrab-mihrab Nabi saw di sini adalah tempet-
tempat yang pernah dijadikan oleh beliau sebagai tempat shalat, karena pada
4. Mazhab Hambali
menyatakan jika seseorang shalat dengan melihat Ka’bah secara langsung, maka
hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Imam Ibnu Aqil melanjutkan; jika
sebagian tubuhnya melenceng keluar dari garis lurus ke Ka’bah, maka shalatnya
1990: II/100-102):
Pertama, orang yang sangat yakin, yakni orang yang melihat langsung
bangunan Ka’bah, atau ia termasuk salah satu penduduk kota Makkah, atau ia
pula ketika ia shalat di dalam masjid Nabawi, ia harus yakin bahwa kiblat di
dalam masjid Nabawi tersebut adalah benar. Karena Nabi saw. tidak pernah
“Sesungguhnya Nabi saw. memasuki ka’bah kemudian keluar lalu shalat dua
Kedua, orang yang mengetahui arah kiblat melalui kabar dari orang lain.
Ia berada di Makkah, namun bukan penduduk kota Makkah dan ia tidak dapat
melihat Ka’bah. Ia diberitahu orang lain tentang arah menghadap kiblat dengan
18
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni.
penuh keyakinan bahwa yang memberi informasi tersebut telah melihat Ka’bah
terhalang dari Ka’bah, kemudian ada orang yang memberitahukan arah kiblat
kepadanya. Atau ia adalah orang asing yang sedang singgah di kota Makkah,
Demikian pula jika seseorang berada di sebuah kota atau desa yang
menghadap ke arah mihrab atau kiblat yang sudah dibuat. Sebab mihrab tersebut
dibuat oleh orang yang ahli dan mengetahui arah Ka’bah. Maka kondisi
semacam ini sama dengan mengetahui kiblat melalui berita orang lain. Makanya
menggambarkan kepadanya, baik orang itu penduduk asli ataupun tidak, maka ia
harus mengikuti kabar yang disampaikan orang itu, tanpa berijtihad untuk
dari orang yang terpercaya, maka ia pun tidak boleh berijtihad dalam
adalah orang yang tidak sama kondisinya dengan poin satu dan dua di atas.
Keempat, orang yang wajib taqlid. Ia adalah orang yang buta dan orang
yang tidak mampu melakukan ijtihad. Ia adalah seseorang yang dalam kondisi
ini, serta bagi orang-orang yang berdomisili jauh dari Makkah adalah mencari
Imam Ahmad menegaskan bahwa “arah antara timur dan barat adalah
kiblat”. Karena itu, jika melenceng sedikit dari dari arah Ka’bah, maka shalatnya
bagian tengah Ka’bah. pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.
Sementara Imam Syafii dalam salah satu dari dua pendapatnya adalah sama
dengan pendapat kami. Sedangkan pendapat lain dari Imam Syafii adalah wajib
secara langsung.
Adapun dalil sabda Nabi Muhammad saw. Yang artinya: “Arah antara
Secara jelas, hadits ini menunjukkan bahwa semua arah antara timur dan
bangunan Ka’bah secara tepat, tentu shalat berjamaah dengan shaf yang panjang
melewati garis lurus ke Ka’bah adalah tidak sah. Begitu pula dua orang yang
berjauhan jaraknya, kemudian shalat dengan menghadap pada kiblat yang sama,
maka shalatnya pun tidak sah, karena menghadap ke bangunan Ka’bah tidak
dapat dilakukan oleh jamaah pada shaf yang panjang melebihi batas lebar
bangunan Ka’bah.
Jika ada yang mengatakan bahwa jarak yang berjauhan dapat
memperluas cakupan orang yang lurus dengannya, maka dapat dijawab bahwa
cakupan cakupan bangunan Ka’bah menjadi menjadi luas apabila shafnya dalam
cakupannya tidak menjadi luas. Jadi, makna syatr al-bait adalah arah dan
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa para ulama madzhab Hambali
sepakat atas wajibnya menghadap ke arah Ka’bah bagi orang yang tidak dapat