Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN UMUM ARAH KIBLAT

A. Pengertian Arah Kiblat

Arah dalam bahasa arab disebut jihah, syathrah atau simt mengandung

makna daerah atau titik ke mana suatu benda menghadap. 1 Sedangkan kiblat

diambil dari kata ‫قبلة‬ yang merupakan bentuk masdar dari kata ‫قبلِّة يقب ِّل قبل‬,
(qabala-yaqbilu-qiblatan) berarti menghadap.2 Sedangkan berdasarkan

terminologi, kata kiblat memiliki arti suatu arah yang dituju kaum muslimin

dimanapun mereka berada ketika mengerjakan shalat fardu atau sunnah. Kiblat

yang dituju kaum muslimin adalah Kakbah yang terletak ditengah-tengah

Masjidil Haram Kota Mekkah.3

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kiblat diartikan sebagai arah

ke Kakbah yang terletak di Kota Makkah pada waktu shalat.4 Menurut

pandangan para ahli, definisi kiblat yaitu, diantaranya:5

a. Abdul Aziz Dahlan mendefinisikan kiblat sebagai bangunan

Ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam

melaksanakan sebagian ibadah.

b. Harun Nasution, mengartikan kiblat sebagai arah untuk

menghadap pada waktu shalat.


1
Roy Holland, Kamus Matematika (A Dictionary of Mathematics), Diterjemahkan Oleh
Naipospos Hutauruk, VI (Jakarta: Erlangga, 1999). 4.
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997). 1087-1088.
3
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, cet. I, vol. IV, hlm. 142
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008). 695.
5
Zainul Arifin, Ilmu Falak (Yogyakarta: Lukita, 2012). 15-16.
c. Mochtar Effendy mengartikan kiblat sebagai arah shalat, arah

Ka’bah di kota Makkah.

d. Slamet Hambali memberikan definisi arah kiblat yaitu arah

menuju Ka’bah (Makkah) lewat jalur terdekat yang mana setiap

muslim dalam mengerjakan shalat harus menghadap ke arah

tersebut.

e. Muhyiddin Khazin adalah arah atau jarak terdekat sepanjang

lingkaran besar yang melewati Ka’bah (Makkah) dengan tempat

kota yang bersangkutan.

f. Susiknan Azhari menyebut kiblat adalah arah yang dihadap

muslim ketika melaksanakan shalat, yakni arah menuju Ka’bah.

g. Nurman Nur, kiblat diartikan sebagai arah yang menuju ke

Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, dalam hal ini seorang

muslim wajib menghadapkan mukanya tatkala ia mendirikan

shalat atau saat jenazah dibaringkan di liang lahat.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa arah kiblat adalah

arah terdekat menuju Kakbah. Yang mana semua gerakan shalat baik itu berdiri,

ruku, i’tidal, sujud, duduk, dan lainya, menghadap ke arah terdekat dengan

Kakbah.6

6
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, Kajian Terhadap Metode- Metode Penentuan Arah Kiblat Dan Akurasinya, I
(Jakarta, 2012). 26-27.
B. Dasar Hukum Kiblat

1. Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan tentang kiblat

dan sikap orang Yahudi tentang masalah ini, yaitu pada surat Al-Baqarah

ayat 142-158, diantaranya:

a. QS. Al-Baqarah (2): 142-143.

‫ن ِق َلِتِه اَّليِت َك اُنوا َل اۚ ُقل ِّلَّلِه‬ ‫اَّل‬ ‫ِم‬


‫َع ْيَه‬ ‫َس َيُقوُل الُّسَف َه اُء َن الَّناِس َم ا َو ُه ْم َع ْب ُم‬
‫اْلَم ْش ِر ُق َو اْلَم ْغِر ُب ۚ َيْه ِدي َم ن َيَش ا ِإٰىَل ِص اٍط ُّم ْس َتِق يٍم‬
‫َر‬ ‫ُء‬

‫َو َك َٰذ ِلَك َجَعْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس ًطا ِّلَتُك وُنوا ُش َه َد اَء َعَلى الَّناِس َو َيُك وَن الَّر ُس وُل‬
‫َعَلْيُك ْم َش ِه يًد اۗ َو َم ا َجَعْلَنا اْلِق ْبَلَة اَّليِت ُك نَت َعَلْيَه ا ِإاَّل ِلَنْع َلَم َم ن َيَّتِبُع الَّر ُس وَل‬
‫َّمِمن َينَق ِلُب َعَلٰى َعِق َبْيِهۚ َو ِإن َك اَنْت َلَك ِبَريًة ِإاَّل َعَلى اَّلِذيَن َه َد ى الَّلُهۗ َو َم ا َك اَن‬
‫ِح‬ ‫ِب‬ ‫ِإ‬ ‫ِل ِض ِإ‬
‫الَّلُه ُي يَع َمياَنُك ْم ۚ َّن الَّلَه الَّناِس َلَرُءوٌف َّر يٌم‬
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar
Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS Al Baqarah (2):142 - 143)

b. QS. Al-Baqarah (2): 144


‫ِق‬
‫َقْد َنٰر ى َتَق ُّلَب َو ْج ِه َك ىِف الَّس َم ۤاِۚء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ْبَلًة َتْر ٰضىَه اۖ َفَو ِّل َو ْجَه َك‬
‫ُك ْط هٗۗ ِاَّن اَّلِذ‬ ‫ُّل‬ ‫ِج ِد ِم‬
‫َن‬‫ْي‬ ‫َش ْطَر اْلَمْس اَحْلَر ا ۗ َو َح ْيُث َم ا ُك ْنُتْم َفَو ْو ا ُوُجْو َه ْم َش َر َو‬
‫ُاْو ُتوا اْلِكٰت َب َلَيْع َلُمْو َن َاَّنُه اَحْلُّق ِم ْن َّر ِهِّبْم ۗ َو َم ا الّٰل ُه ِبَغاِفٍل َعَّم ا َيْع َم ُلْو َن‬

“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit,

maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka

hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau

berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-

orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan

kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah

terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah (2): 144)

c. QS. Al-Baqarah (2): 145

‫َو َلِئْن َأَتْيَت ٱَّلِذيَن ُأوُتو۟ا ٱْلِكَٰت َب ِبُك ِّل َءاَيٍة َّم ا َتِبُعو۟ا ِقْبَلَتَك ۚ َو َم ٓا َأنَت ِبَتاِبٍع‬

‫ِقْبَلَتُه ْم ۚ َو َم ا َبْع ُضُه م ِبَتاِبٍع ِقْبَلَة َبْع ٍض ۚ َو َلِئِن ٱَّتَبْعَت َأْه َو ٓاَءُه م ِّم ۢن َبْع ِد َم ا‬
‫ِم َّٰظِلِم‬ ‫ِم ِع‬
‫َج ٓاَءَك َن ٱْل ْلِم ۙ ِإَّنَك ِإًذا َّل َن ٱل َني‬

“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang


(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua
ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun
tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak
akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu -- kalau begitu -- termasuk golongan orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah (2): 145)

d. QS. Al-Baqarah (2): 149


‫ِج ِد‬
‫َو ِم ْن َح ْيُث َخ َر ْجَت َفَو ِّل َو ْجَه َك َش ْطَر ٱْلَمْس ٱَحْلَر اِم ۖ َو ِإَّنۥُه َلْلَح ُّق ِم ن َّرِّبَك‬
‫ۗ َو َم ا ٱلَّلُه ِبَٰغ ِف ٍل َعَّم ا َتْع َم ُلوَن‬
“Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-
benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah (2): 149)

Maksud dari ayat di atas adalah bahwasannya dari arah manapun arah

yang dituju dalam salat adalah Kabah, di Masjid al-Haram. Pada akhir

ayat pun ditutup dengan peringatan halus kepada siapapun, baik orang

Yahudi maupun munafik, bahwasannya Allah sekali-kali tidak lengah

dari apa yang mereka kerjakan.7

e. QS. Al-Baqarah (2): 150

‫ِج ِد ِم‬ ‫ِم‬


‫َو ْن َح ْيُث َخ َر ْجَت َفَو ِّل َو ْجَه َك َش ْطَر اْلَمْس اَحْلَر ا ۗ َو َح ْيُث َم ا ُك ْنُتْم‬
ٗ‫َفَو ُّلْو ا ُوُجْو َه ُك ْم َش ْطَر ه‬
“Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah

masjid al-haram. Dan di mana saja kalian berada, maka palingkanlah

wajahmu ke arahnya” (QS. Al-Baqarah (2): 150).

2. Hadist

Hadist yang berkaitan dengan arah kiblat, diantaranya:

a. Riwayat Muslim dari Barra’ bin ‘Azib ra.:

‫َص َّلْيُت َمَع الَّنِّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم ِإىَل َبْيِت اْلُم َق َّد ِس ِس َّتَة َعَش َر َش ْه ًر ا َح ىَّت‬
‫َنَز َلِت اآْل َيُة اَّليِت يِف اْلَبَق َر ِة َو َح ْيُثَم ا ُك نُتْم َفَو َّلْو ا ُوُجْو َه ُك ْم َش ْطَر ُهۚ َفَنَز َلْت َبْع َد َم ا‬

7
M. Quraish Shihab, Tafsir., h. 331-332.
‫ِب ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِه‬
‫َص َّلى الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم َفاْنَطَلَق َرُج ٌل َن اْلَق ْو َفَم َّر َناِس َن‬
‫َّل ا و و ِق ال ِت‬
‫ َفَح َّد َتُه ْم َفَو ْو ُج َه ُه ْم َبَل َبْي‬، ‫اَأْلْنَص اِر َو ُه ْم ُيَص ُّلوَن‬.
“Saya salat bersama Nabi saw menghadap Baitul Maqdis selama
enam belas bulan, sampai turunlah ayat dalam surat Al-Baqarah:
“dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya
(Masjidil Haram)” maka turunlah ayat tersebut setelah Nabi saw
salat. Maka beberapa orang dari kaum Anshar salat sambil
menghadap ke arah Masjidil Haram, dan mereka pun memalingkan
wajah mereka ke arahnya.” 8

b. Riwayat Muslim dari Anas ra.:

، ‫َأَّن َرُس وُل اهلل َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم َك اَن ُيَص ِّلى ْحَنَو َبْيِت اْلُم َق َّد ِس‬
‫َفَنَز َلْت َقْد َن ى َتَق ُّل َو ْج ِه َك يِف الَّس َم اِء َفَلُن ِلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَه ا َف ِّل‬
‫َو‬ ‫َو‬ ‫َب‬ ‫َر‬
‫َو ْجَه َك َش ْط اْلَمْس ِج ِد اَحْل اِم " َفَم َّر َرُج ِم ْن َبيِن َس ِلَم َة َو ُه ْم ُك وٌع يِف‬
‫ُر‬ ‫ٌل‬ ‫َر‬ ‫َر‬
‫ َفَم اُلْو ا‬، ‫ َأاَّل ِإَّن اْلِق ْبَلَة َقْد ُح ِّو َلْت‬:‫ َفَناَدى‬،‫َص اَل ِة اْلَف ْج ِر َو َقْد َص َّلْو ا َر ْك َعًة‬
‫َك َم ا ُه ْم ْحَنَو اْلِق ْبَلَة‬.
“Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw (pada suatu hari) sedang
salat dengan menghadap Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat
“Sesungguhnya Aku melihat wajahmu sering menengadah ke langit,
maka sungguh Kami palingkan wajahmu ke Kiblat yang kamu
kehendaki. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Kemudian ada seseorang dari bani Salamah bepergian, menjumpai
sekelompok sahabat sedang ruku‟ pada salat fajar, lalu ia menyeru
“Sesungguhnya Kiblat telah berubah.” Lalu mereka berpaling
seperti kelompok Nabi, yakni ke arah Kiblat.”9

c. Riwayat Muslim dari Anas bin Malik:

8
Imam Abu Husain Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburiyyi, Shahih Muslim, (Riyadh:
Daru’ Alamil Kutub, 1417 H/1996), h. 374.
9
Ibid, h. 375.
‫َل َة َثاِبٍت‬
‫َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأيب َش ْيَبَة َح َّد َثَنا َعَّفاُن َح َّد َثَنا َّمَحاُد ْبُن َس َم َعْن‬
‫ َك اَن ُيَص ِّلى ْحَنَو َبْيِت اْلَم ْق ِدِس َفَنَز َلْت َقْد ترى‬- ‫َعْن َأَنٍس َأَّن َرُس وَل الَّلِه‬
‫ِل‬ ‫ِء ِّل ِق‬ ‫ِه يِف‬
‫َتَق لَب َو ْج َك الَّس َم ا َفَلُنَو َيَّنَك ْبَلَة َتْر َض اَه ا َفَو َو ْجَه َك َش ْطَر‬
‫اْلَمْس ِج ِد اَحْلَر اِم َفَم َّر َرُج ٌل ِم ْن َبيِن َس ِلَم ٌة َو ُه ْم ُر ُك وٌع يِف َص اَل ِة اْلَف ْج ِر َو َقْد‬
‫ َف اُلوا َك ا ْحَن اْلِق َلِة‬. ‫ َّل ا ْك ًة َنا ى َأاَل ِإَّن اْلِق َلَة َقْد َل‬.
‫َم ُه ْم َو ْب‬ ‫ُح َو ْت َم‬ ‫ْب‬ ‫َص ْو َر َع َف َد‬
“Bahwa Nabi pada suatu hari sedang sholat dengan menghadap ke
Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat; sungguh kami sering melihat
mukamu menengadah ke langit (sambil berdoa agar turun wahyu
yang memerintahkan menghadap ke Masjidil Haram ) Sungguh kami
palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke Masjidil Haram. Kemudian seorang bertemu jamaah dari Bani
Salamah sedang mereka melakukan ruku pada rakaat kedua salat
shubuh. Lalu diserukan sesungguhnya kiblat telah dirubah, lalu
mereka berpaling kearah kiblat.”10

d. Riwayat Muslim dari Abu Hurairah

‫ِب ِق‬ ‫ِة ِب‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬


‫َذا ُقْم َت ىَل الَّصال َفَأْس ْع اْلُو ُضوَء َّمُث اْس َتْق ِل اْل ْبَلَة َفَك ِّبْر‬
"Bila kamu hendak salat maka sempurnakanlah wudlu lalu

menghadap kiblat kemudian bertak- birlah"

C. Kiblat Menurut Pandangan Para Ulama

Para ulama madzhab telah sepakat bahwa orang yang melakukan ibadah

shalat dengan melihat bangunan ka’bah, dia diwajibkan untuk menghadap ke

fisik ka’bah (ain al-ka’bah) tersebut. Sekarang permasalahannya, bagaimana

dengan orang yang berada jauh dari ka’bah dan tidak melihatnya.11 Dalam hal ini

para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut:

10
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 2, Maktabah Syamilah, h. 66.
11
Ahmad Izuddin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab – Rukyat Praktis dan Solusi
Permasalahannya, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h. 24.
1. Mazhab Hanafi

Seorang imam besar, gurunya para ulama Alauddin al-Kasani al-Hanafi

(w. 587 H) dalam kitabnya Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i berkata:

“Orang yang menjalankan shalat tidak lepas dari dua keadaan; pertama,

mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat, dan kedua,

melakukan shalat tetapi tidak mampu untuk menghadap kiblat”.12

Jika orang tersebut, mampu melakukannya (menghadap kiblat), maka ia

wajib shalat dengan menghadap kiblat. Jika ia termasuk orang yang dapat

melihat bangunan ka’bah, maka kiblatnya adalah fisik ka’bah itu sendiri, yakni

dari arah mana saja ia melihatnya. Sehingga berkonsekuensi seandainya ia

melenceng dari bangunan fisik ka’bah tanpa menghadap ke salah satu bagian

bangunan tersebut, maka shalatnya tidak sah secara hukum.

Selama masih ada kemampuan untuk menghadapkan wajah ke bangunan

ka’bah, ia diwajibkan melakukannya. Kemudian, jika seseorang tidak melihat

bangunan ka’bah, karena faktor jarak atau sebab yang lain, maka ia diwajibkan

menghadapkan tubuhnya sesuai dengan arah ka’bah (jihat al-ka’bah), yakni ke

dinding-dinding mihrab (tempat shalatnya) yang dibuat dengan tanda-tanda yang

mengarah ke arah ka’bah, bukan menghadap ke bangunan ka’bah. Dengan kata

lain, kiblat bagi orang yang tidak melihat bangunan ka’bah adalah arahnya

ka’bah, bukan bangunan ka’bah. Demikianlah sebagaimana disebutkan oleh al-

Kurkhi dan al-Razi, yang mana pendapat ini merupakan pendapat mayoritas

ulama Iraq.

12
Alauddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) dalam kitabnya Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-
Syara’i
Sebab, seandainya arah kiblat menjadi arah kiblatnya, tentunya ketika

seorang berijtihad dalam menentukan arah ka’bah kemudian ternyata keliru,

maka ia harus mengulangi shalatnya, karena ia merasa yakin bahwa ia telah

salah dalam berijtihat. Padahal menurut ulama madzhab Hanafi, tidak ada

perbedaan, ia tidak perlu mengulangi shalatnya. Maka hal ini menunjukkan

bahwa kiblatnya dalam kondisi ini adalah bangunan ka’bah yang ditentukan

dengan melalui ijtihad dan penelitian.

Dalam kitab tanwir al-abshar, Imam Muhammad bin Abdillah al-

Timirsani (w. 1004 H) berkata: “Bagi penduduk Makkah, kiblatnya adalah

bangunan Ka’bah (ain al-ka’bah).13 Sedangkan bagi penduduk di luar Makkah,

kiblatnya adalah arah Ka’bah (jihat al-ka’bah) (al-Timirsani, 1997: 108).

Maksudnya adalah bagi penduduk Makkah diwajibkan mengiblat ke bangunan

Ka’bah, sementara bagi penduduk di luar Makkah wajib menghadap ke arah di

mana Ka’bah itu berada.

Dari pemaparan di atas, ringkasnya adalah bahwa mayoritas ulama

madzhab Hanafi berpendapat bahwa kiblat shalat bagi orang yang tidak dapat

melihat bangunan Ka’bah adalah arah Ka’bah, bukan bangunannya.

2. Mazhab Maliki

Imam Ibnu Rusyd (w. 595 H) menyatakan bahwa seandainya menghadap

ke bangunan Ka’bah adalah suatu kewajiban, maka tentu hal itu akan sangat

menyulitkan. Alasan Ibnu Rusyd adalah bahwa menghadap ke bangunan Ka’bah

bagi daerah yang jauh dari Makkah merupakan hal yang memberatkan dan

13
Imam Muhammad bin Abdillah al-Timirsani (w. 1004 H) dalam kitab tanwir al-abshar.
memerlukan ijtihad dan penelitian yang seksama. Bagaimana mungkin hal ini

bisa dilakukan tanpa adanya sarana yang memadai, padahal kita tidak

diperintahkan untuk berijtihad dalam masalah ini (Ibnu Rusyd, 1993: 93).

Imam al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitabnya al-Jami’ li ahkam al-quran,

menafsirkan firman Allah swt.:

ٗ‫َو َح ْيُث َم ا ُك ْنُتْم َفَو ُّلْو ا ُوُجْو َه ُك ْم َش ْطَر ه‬

Artinya: “Dan di mana saja kalian berada, maka palingkanlah wajahmu

ke arahnya”.

Beliau mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat apakah orang

tidak bisa melihat bangunan Ka’bah diwajibkan menghadap ke bangunan

Ka’bah (ain al-ka’bah) ataukah ke arah Ka’bah (jihat al-ka’bah). Di antara

mereka ada yang menyatakan pilihan pertama, yakni menghadap ke bangunan

Ka’bah (al-Qurtubi, 1991: 144).14

Ibnu Arabi (w. 543 H) mengomentari pendapat al-Qurtubi, bahwa

pendapat ini tergolong lemah (dhaif), karena hal ini merupakan perintah (taklif)

yang sulit untuk dikerjakan. Sementara itu, para ulama lainnya mengatakan

bahwa kiblat untuk orang tersebut adalah arah Ka’bah (jihat al- ka’bah).

Pendapat ini dipandang paling mendekati kebenaran berdasarkan tiga alasan,

yakni; pertama, bahwa menghadap ke arah Ka’bah adalah taklif yang dapat

dilaksanakan. Kedua, hal ini merupakan implementasi dari perintah yang

termaktub dalam al-Quran: “...maka palingkanlah wajahmu ke arah masjid al-

haram. Dan di mana saja kalian berada...” (yakni di belahan bumi timur dan

14
Imam al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitabnya al-Jami’ li ahkam al-quran, (al-Qurtubi, 1991), h.
144.
barat), “... maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. Ketiga, para ulama

berargumentasi dengan sahnya shaf yang memanjang dalam shalat berjamaah,

yang dapat dipastikan melebihi beberapa kali lipat dari panjang bangunan

Ka’bah (al-Qurtubi, 1991: 363).15

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa mayoritas ulama

bermadzhab Maliki berpendapat orang yang tidak dapat melihat bangunan

Ka’bah, maka dalam shalatnya yang menjadi kiblat adalah arah Ka’bah, bukan

bangunannya.

3. Mazhab Syafi’i

Dalam mazhab Imam Syafi’i ra. terdapat dua pendapat besar dalam hal

ini, yakni; pertama, menghadap ke arah Ka’bah (jihat al-ka’bah), dan kedua,

menghadap ke bangunan Ka’bah (ain alKa’bah). Imam al-Syirazi (w. 476 H)

dalam kitabnya al-muhadzdzab menjelaskan bahwa apabila seseorang belum

memiliki petunjuk apapun ketika akan menentukan kiblat, maka dilihat dulu

permasalahannya. Jika ia termasuk orang mengetahui tanda-tanda atau petunjuk

kiblat, maka meskipun ia tidak bisa melihat bangunan Ka’bah, ia diwajibkan

berijtihad untuk menentukan kiblat baginya. Karena ia memiliki cara untuk

mengetahuinya melalui keberadaan matahari, bulan, maupun angin atau yang

lainnya.

Dengan demikian, ia memiliki hak untuk melakukan ijtihad dalam

menentukan letak Ka’bah seperti orang yang faham dengan fenomena alam.

Imam Muhammad bin Idris al-Syafii dalam kitab fenomenalnya, al-Umm,

mengatakan bahwa yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat

15
Imam al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitabnya al-Jami’ li ahkam al-quran, (al-Qurtubi, 1991), h.
363.
ke bangunan Ka’bah (ain al-Ka’bah). Kewajiban ini tidak membedakan apakan

seseorang bisa melihat banguna Ka’bah secara langsung, ataukan orang yang

berada jauh dari Ka’bah sehingga tidak bisa melihat wujud Ka’bah secara

langsung. 16

Kemudian Imam al-Muzanni (murid Imam Syafi’i) menyatakan hal yang

berbeda dari gurunya tersebut. Menurut al-Muzanni yang wajib adalah

menghadap ke arah Ka’bah (jihat al-ka’bah). Sebab, seandainya yang wajib itu

adalah menghadap kepada bangunan Ka’bah, maka shalat berjamaah yang

shafnya memanjang melebihi panjang atau pun lebar bangunan Ka’bah, maka

shalatnya orang-orang yang menghadap melebihi batas bangunan tersebut

dihukumi tidak sah.

Imam Yahya bin Syarof al-Nawawi menjelaskan bahwa dalil atau dasar

hukum yang digunakan sebagai hujah para ulama yang mengatakan kiblat adalah

bangunan Ka’bah adalah sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra. dan Usamah bin

Zaid, yaitu yang artinya: “Sesungguhnya Nabi saw. memasuki ka’bah kemudian

keluar lalu shalat dua rakaat (dengan menghadap ka’bah). Setelah itu, beliau

bersabda: inilah (bangunan ka’bah) kiblat”. (HR. Ahmad).17

Dalam penilaian Imam Nawawi, ketika menarjih (memilih pendapat

yang lebih kuat) antara dua pendapat mengenai kiblat ini, maka menurut beliau

pendapat yang paling mendekati kebenaran dalam madzhab Syafi’i adalah wajib

menghadap kepada bangunan Ka’bah (ain alKa’bah) dalam ibadah shalat.

Pendapat ini diikuti juga oleh sebagian ulama madzhab Maliki dan satu riwayat

dari Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang mengatakan
16
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dalam kitab fenomenalnya, al-Umm.
17
Imam Yahya bin Syarof al-Nawawi dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra. dan Usamah bin
Zaid
bahwa kiblat yang diperintahkan bagi orang yang tidak melihat bangunan

Ka’bah secara langsung adalah arah Ka’bah.

Dari kalangan ulama madzhab Syafi’i, selain Imam Nawawi, yang

mengatakan bahwa kewajiban dalam shalat adalah menghadap bangunan Ka’bah

(ain al-Ka’bah), adalah Syaikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah-nya.

Beliau mengomentari perkataan Syaikh Ibnu Qasim alGhuzzi : “menghadap

kiblat”; maksudnya adalah menghadap ke bangunan Ka’bah bukan kepada arah

bangunan tersebut. Hal ini adalah pendapat yang dipegang dalam madzhab kami,

dengan yakin melihat bangunan Ka’bah ketika dekat dengannya, dan dengan

perkiraan (dzan) bagi yang jauh darinya (Ibrahim, 1998: 147).

Di antara ulama Syafi’iyyah yang mengedepankan arah Ka’bah

dibanding bangunannya adalah Imam Khatib al-Syirbini. Beliau berpendapat

bahwa seandainya ada suatu penghalang yang bersifat alamiah antara seseorang

dan Makkah dan bangunan Ka’bah, seperti gunung-gunung atau bangunan-

bangunan baru, maka ia boleh berijtihad untuk menentukan kiblat, karena ada

kesulitan untuk melihat Ka’bah secara langsung (Khatib, 1996: I/336).

Kemudian lanjut beliau, bahwa tidak boleh berijtihad dalam menentukan

kiblat di mihrab Nabi saw. dan di masjid-masjid yang diketahui pernah

disinggahinya, dan beliau pernah melakukan shalat di dalamnya. Sebab, dalam

akidah ahlus sunnah wal jamaah Nabi Muhammad saw. adalah manusia

ma’shum yang tidak pernah memutuskan sesuatu yang keliru. Seandainya orang

paling cerdas sekali pun jika ingin mengoreksi keputusan Nabi, maka upayanya

tersebut akan batal. Maksud dari mihrab-mihrab Nabi saw di sini adalah tempet-
tempat yang pernah dijadikan oleh beliau sebagai tempat shalat, karena pada

zaman beliau belum ada istilah mihrab (Khatib, 1996: I/336).

4. Mazhab Hambali

Dalam kitab al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H)

menyatakan jika seseorang shalat dengan melihat Ka’bah secara langsung, maka

kiblatnya adalah menghadap kepada bangunan Ka’bah (ain al-Ka’bah). Dalam

hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Imam Ibnu Aqil melanjutkan; jika

sebagian tubuhnya melenceng keluar dari garis lurus ke Ka’bah, maka shalatnya

tidak sah.18 Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa keadaan orang-orang

dalam menghadap ke Ka’bah terbagi menjadi empat, yakni (Ibnu Qudamah,

1990: II/100-102):

Pertama, orang yang sangat yakin, yakni orang yang melihat langsung

bangunan Ka’bah, atau ia termasuk salah satu penduduk kota Makkah, atau ia

tinggal di Makkah tetapi berada di belakang penghalang buatan, seperti pagar.

Maka kiblatnya adalah menghadap ke bangunan Ka’bah secara yakin. Demikian

pula ketika ia shalat di dalam masjid Nabawi, ia harus yakin bahwa kiblat di

dalam masjid Nabawi tersebut adalah benar. Karena Nabi saw. tidak pernah

memutuskan sesuatu yang keliru. Usamah telah meriwayatkan yang artinya:

“Sesungguhnya Nabi saw. memasuki ka’bah kemudian keluar lalu shalat dua

rakaat (dengan menghadap ka’bah). Setelah itu, beliau bersabda: inilah

(bangunan ka’bah) kiblat”.

Kedua, orang yang mengetahui arah kiblat melalui kabar dari orang lain.

Ia berada di Makkah, namun bukan penduduk kota Makkah dan ia tidak dapat

melihat Ka’bah. Ia diberitahu orang lain tentang arah menghadap kiblat dengan
18
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni.
penuh keyakinan bahwa yang memberi informasi tersebut telah melihat Ka’bah

secara langsung. Misalnya, seseorang berada di tempat yang pandangannya

terhalang dari Ka’bah, kemudian ada orang yang memberitahukan arah kiblat

kepadanya. Atau ia adalah orang asing yang sedang singgah di kota Makkah,

kemudian penduduk kota tersebut memberitahukan arah kiblat kepadanya.

Demikian pula jika seseorang berada di sebuah kota atau desa yang

pandangannya tidak dapat menjangkau bangunan Ka’bah, maka ia wajib

menghadap ke arah mihrab atau kiblat yang sudah dibuat. Sebab mihrab tersebut

dibuat oleh orang yang ahli dan mengetahui arah Ka’bah. Maka kondisi

semacam ini sama dengan mengetahui kiblat melalui berita orang lain. Makanya

ia tidak perlu lagi berijtihad. Jika seorang yang mengetahui kiblat

menggambarkan kepadanya, baik orang itu penduduk asli ataupun tidak, maka ia

harus mengikuti kabar yang disampaikan orang itu, tanpa berijtihad untuk

menentukannya. Sebagaimana seorang hakim yang menerima berkas dakwaan

dari orang yang terpercaya, maka ia pun tidak boleh berijtihad dalam

menentukan status hukumnya.

Ketiga, orang harus melakukan ijtihad dalam menentukan kiblat. Ia

adalah orang yang tidak sama kondisinya dengan poin satu dan dua di atas.

Sementara ia adalah orang mampu untuk menentukan kiblat.

Keempat, orang yang wajib taqlid. Ia adalah orang yang buta dan orang

yang tidak mampu melakukan ijtihad. Ia adalah seseorang yang dalam kondisi

selain ketiga poin di atas, karenanya ia wajib taqlid kepada mujtahid.


Hal yang wajib dilakukan bagi orang dalam kondisi poin tiga dan empat

ini, serta bagi orang-orang yang berdomisili jauh dari Makkah adalah mencari

tahu arah Ka’bah, bukan mengenai bangunannya.

Imam Ahmad menegaskan bahwa “arah antara timur dan barat adalah

kiblat”. Karena itu, jika melenceng sedikit dari dari arah Ka’bah, maka shalatnya

harus diulang. Kendati begitu, ia ia harus seksama mengarahkan shalatnya ke

bagian tengah Ka’bah. pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.

Sementara Imam Syafii dalam salah satu dari dua pendapatnya adalah sama

dengan pendapat kami. Sedangkan pendapat lain dari Imam Syafii adalah wajib

menghadap ke bangunan Ka’bah, dengan mendasarkan ayat alQuran surat al-

Baqarah ayat 150. Karena ia wajib menghadapkan wajahnya ke Ka’bah, maka ia

wajib menghadap ke bangunan Ka’bah seperti halnyaorang yang melihat Ka’bah

secara langsung.

Adapun dalil sabda Nabi Muhammad saw. Yang artinya: “Arah antara

timur dan barat adalah kiblat”.

Secara jelas, hadits ini menunjukkan bahwa semua arah antara timur dan

barat adalah kiblat. Sebab seandainya kewajiban itu berupa menghadap ke

bangunan Ka’bah secara tepat, tentu shalat berjamaah dengan shaf yang panjang

melewati garis lurus ke Ka’bah adalah tidak sah. Begitu pula dua orang yang

berjauhan jaraknya, kemudian shalat dengan menghadap pada kiblat yang sama,

maka shalatnya pun tidak sah, karena menghadap ke bangunan Ka’bah tidak

dapat dilakukan oleh jamaah pada shaf yang panjang melebihi batas lebar

bangunan Ka’bah.
Jika ada yang mengatakan bahwa jarak yang berjauhan dapat

memperluas cakupan orang yang lurus dengannya, maka dapat dijawab bahwa

cakupan cakupan bangunan Ka’bah menjadi menjadi luas apabila shafnya dalam

posisi melengkung, sedangkan apabila shafnya lurus memanjang, maka

cakupannya tidak menjadi luas. Jadi, makna syatr al-bait adalah arah dan

hadapan Ka’bah (Ibnu Qudamah, 1990: 102).

Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa para ulama madzhab Hambali

sepakat atas wajibnya menghadap ke arah Ka’bah bagi orang yang tidak dapat

melihatnya, tidak menghadap ke bangunannya.

Anda mungkin juga menyukai