Kelompok, I
Burhanuddin : 19.11.0953
Muhammad Harun : 19.11.1026
Muhammad Hasan : 19.11.0984
Muhammad Hilman : 19.11.0985
Muhammad Nasih : 19.11.0991
Ahmad Taisir : 19.11.1025
FAKULTAS SYARIAH
MARTAPURA
2020-2021
2
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunianya, Sehingga penulis telah menyelesaikan makalah salah
satu tugas mata kuliah Hadits Ahkam, yang berjudul Tafsir Ayat Tentang Arah
Qiblat Surah Al-Baqarah Ayat 142-144, 148-150.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
bapak dosen Haya Zabidi, S.Ag, M.Ag dan semua pihak yang telah memberikan
bantuan dalam penyelesaian makalah ini. Atas segala bantuan dari segala pihak
semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda amin ya robbal
alamin. Tak lupa juga Kritik dan Saran sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah ini Semoga makalah ini bermanfa’at khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Penulis, Kelompok I
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDEHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 2
A. Pengertian Qiblat................................................................................ 2
B. Pengertian Hukum Menghadap Qiblat............................................... 4
C. Asbabun Nuzul................................................................................... 6
D. Tafsiran Ayat...................................................................................... 7
E. Sejarah Qiblat................................................................................... 11
A. Kesimpulan......................................................................................... 15
B. Saran-saran......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDEHULUAN
A. Kata Pengantar
Dalam kajian Tafsir Ahkam, dalam surat Albaqarah ayat 142 – 145 dan 150
membahas tentang qiblat dalam shalat. Dalam ayat ini Allah menceritakan
bagaimana siklus perjalanan waktu, dimana kiblat awal umat Islam adalah Baitul
Maqdis, hingga Allah menyuruh Nabi Muhammad saw. untuk beralih ke Masjidil
Haram.
Beralihnya kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram ini terjadi karena
beberapa sebab. Di antara sanggahan dari kaum yahudi terhadap kaum muslim
yang merasa ajaran mereka seolah-oleh diikuti oleh orang muslim padahal mereka
tahu kalau Islam telah menjelaskan bahwa agama yang mereka pakai sekarang
tidak benar, dan ada beberapa alasan lain mengapa adanya pengalihan ini.
Oleh karena itu, penulis ingin mengemukakan tafsiran dari ayat – ayat Allah
di atas serta di ikuti dengan sababun nuzul beserta hubungan antara ayat dengan
ayat.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Qiblat
2. Dasar Hukum Menghadap Qiblat
3. Asbabun Nuzul
4. Tafsiran Ayat
5. Sejarah Qiblat
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Qiblat?
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Menghadap Qiblat?
3. Untuk Mengetahui Asbabun Nuzul?
4. Untuk Mengetahui Tafsiran Ayat?
5. Untuk Mengetahui Sejarah Qiblat?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiblat
Wajib bagi umat Islam menghadapkan wajah-nya ke qiblat ketika
melakukan shalat, karena menghadap qiblat merupakan salah satu syarat sah-nya
shalat. Kata qiblat sendiri memiliki beberapa pungsi.
2
Ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau hanya menghadap ke Bait
al-Maqdis jika melaksanakan salat. Hal ini karena keadaannya berbeda
dengan di Mekah, beliau sangat sulit menentukan arah yang tepat dan lurus
dua qiblat tersebut. Nabi Muhammad Saw senantiasa menghadap ke Bait al-
Maqdis selama enam belas bulan. Kemudian, Allah memerintahkan kepada
Nabi Muhammad Saw untuk menghadap ke arah qiblat dari Bait al-Maqdis
ke Ka’bah. Arah tersebut kemudian dijadikan sebagai qiblatnya.6
6
Ahmad Musthofa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Juz II, Mesir: Musthofa al-Babi al- Halabi,
Hal 3.
7
Ibid, Hal 3
8
Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.
Ke-1, Hal. 944.
9
Harun Nasution, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Djambatan, Hal. 563.
3
Departemen Agama Republik Indonesia mendefinisikan qiblat yaitu suatu
arah tertentu kaum muslimin mengarahkan wajahnya dalam ibadah salat.10 Ahmad
Izzuddin mendefinisikan bahwa yang disebut arah qiblat adalah Ka’bah atau
paling tidak Masjid al-Haram dengan mempertimbangkan posisi lintang dan bujur
Ka’bah, dan juga mempertimbangkan posisi arah dan posisi terdekat dihitung dari
daerah yang kita kehendaki.11
10
Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Qiblat Praktis, Yogyakarta: Logung Pustaka, Hal 3.
11
Ahmad Izzuddin, Ibid, Hal 3
12
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan-nya, Hal 36
4
orang yang telah meninggal sebelum pemindahan qiblat (dari Bait al-
Maqdis ke Ka’bah), dan bagaimana pula tentang salat kami sebelum ini,
ketika kami menghadap ke Bait al-Maqdis?”. Turun ayat 143, yang
menegaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman mereka yang
beribadah menurut ketentuan pada waktu itu. Orang-orang yang berpikiran
kerdil di masa itu berkata: “Apa pula yang memalingkan mereka (kaum
muslimin) dari qiblat yang mereka hadapi selama ini (dari Bait al-Maqdis ke
Ka’bah)?”, maka Allah menurunkan ayat 142 sebagai penegasan bahwa
Allah-lah yang menetapkan arah qiblat itu.13
13
Qamaruddin Shaleh, et al. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat- ayat
Alquran: Bandung: Penerbit Diponengoro, Hal. 47.
14
Departemen Agama Republik Indonesia, Op-Cit, Hal 37
15
Qamaruddin Shaleh, Op-Cit, Hal 47
5
c. SURAT Albaqarah Ayat 142-145
Artinya: 142. Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia
akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?"
Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;
dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,
Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.
C. Asbabun Nuzul
1. Hadits Nabi dari Barra’ bin Azib berkata:
bahwa sesungguhnya Nabi saw, pertama kali tinggal di Madinah, ia tinggal
di (rumah) paman – pamannya (Barra’) dari sahabat Anshar, dan bahwasanya ia
shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan, sedang ia sangat
menginginkan kiblatnya (menghadap) ke Baitullah dan bahwasanya ia shalat
pertama kali menghadap ke Baitullah adalah shalat Anshar bersama orang banyak,
kemudian keluar seorang laki – laki yang baru saja shalat bersamanya lalu ia lewat
6
di hadapan jemaah masjid yang sedang ruku’ (shalat), lalu laki-laki itu berkata:
Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku baru saja selesai shalat bersama Nabi
saw menghadap ke arah Mekah, lalu mereka berputar menghadap ke arah
Baitullah, sedang orang yang telah meninggal sebelum dialihkannya kiblat ke
Baitullah, yaitu orang – orang yang terbunuh (dalam pertempuran), kami tidak
tahu apa yang kami katakan terhadap mereka itu. Kemudian turunlah ayat “dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”. (QS. Albaqarah: 143)
2. Dari Barra’ bin Azib:
Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. pernah shalat menghadap ke arah
Baitul Maqdis dan ia sering menengadah ke langit menanti keputusan dari Allah
SWT, kemudian turunlah ayat: “sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah kelangit: (QS Albaqarah : 144). Lalu berkatalah beberapa orang dari
kaum Muslimin: alangkah senangnya kalau seandainya kita mengetahui tanda
orang yang akan meninggal di antara kita sebelum dipindahkannya kiblat, dan
bagaimana gerangan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis ? kemudian
turunlah ayat “ Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan imanmu”
D. Tafsiran Ayat
Allah swt memberitahukan apa yang dikatakan orang-orang yang kurang
akalnya dari kaum Yahudi sebelum pindah kiblat, pemberitahuan ini adalah
mu’jizat Nabi saw. yang menujukkan kebenaran apa yang ia bawa. Sebab yang
beliau bawa ini merupakan perkara ghaib, sebagaimana ayat di atas mengandung
jawaban yang tepat atas hujjahnya lawan yang keras kepala.
Az Zamakhsyari berkata di dalam al Kasysyaf : jika engkau bertanya,
apakah faedahnya pemberitahuan tentang ucapan mereka (kaum yahudi) sebelum
hal itu terjadi ? kujawab: faedahnya yaitu bahwa terjadinya sesuatutang tidak
disukai secara mendadak adalah lebih berat, dan dengan mengetahuinya sebelum
terjadi, tentu akan mengurangi kegoncangan dalam jiwa mana kala hal itu benar –
benar terjadi lantaran adanya kesiapan mental, dan sebuah jawaban yang
mengenai sebelum saatnya yang diperlukan adalah lebih mematikan lawan.
Sanggahan Alquran terhadap orang yang kurang akal (yahudi, Musyrikin
dan munafiqin) dalam firman Allah: “Kepunyaan Allah-lah Timur dan
Barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki ke jalan yang
7
lurus” (Albaqarah:142). Bahwa sesungguhnya segala arah merupakan milik
Allah, tidak ada kelebihan suatu arah dan tidak ada hak bagi zat nya itu
sendiri untuk menjadi kiblat, tetapi ia dijadikan sebagai kiblat karena semata
– mata karena Allah yang menentukan. Maka tidaklah perlu sanggahan
dalam masalah perpindahan dari satu arah ke arah yang lain karena itu yang
dinilai di sini dalam hal menghadap kepada Allah SWT adalah hati serta
mengikuti perintah-Nya untuk menghadap ke arah mana saja.
Ungkapan dalam firman Allah طًاHHHHةً وسHHHHأم (umat yang adil) adalah
mengandung kelembutan yang mendalam, karena sebaik-baik perkara itu yang
adalah tengah-tengahnya, melampaui dari yang diperlukan itu berlebihan,
sedangkan mengurangi dari yang diperlukan itu suatu kelemahan dan kekurangan
masing-masing, baik itu yang bewrlebiha ataupun kelemahan adalah buruk dan
tercela. Maka yang dipilih ditengah-tengah dari keduanya.
Ibnu Jarir menceritakan keadaan tengah-tengahnya Kamum Muslimin dalam
beragama, tidak lemah seperti kaum Yahudi yang membunuh nabi- nabi dan
mengubah kitab Allah serta tidak sesat seperti kaum Nasrani yang menganggap
Isa bin Maryam anak Allah, tetapi kaum Muslimin dalam kesederhanaan dan
keadilan, karena Allah mensifati mereka “ummatan wasatan”.
Kesaksian umat Muhammad terhadap umat-umat lain pada hari kiamat nanti
adalah menjadi dalil yang nyata atas keutamaan umat nabi Muhammad.
Firman Allah “melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti
Rasul”. (albaqarah:143) itu, Ali bin Abi Thalib berkata: makna لِنعلَ َم
adalah لِنَ َري (agar kami mengetahui).
Ibnu Abbas berkata: makna “lina’lama” yaitu “agar Kami dapat
membedakan di antara mereka yang ragu – ragu dan yang Yakin” maka ia
menafsirkan “ilm” dengan “tamyiz” karena dengan ilmu lah pembedaan terhadap
sesuatu dapat dilakukan.
Firman Allah “dan siapa yang membelot ke belakang” (albaqarah:143), ini
adalah kiasan, yaitu orang yang murtad dari agamanya dimisalkan dengan
orang yang membelot ke belakang. Segi kesamaannya, orang yang
membelot ke belakang meningalkan apa yang ada di depannya dan ia
berpaling ke belakang, saat mereka meninggalkan agama mereka maka
8
mereka seperti orang yang berpaling ke belakang yang disifati “kemudian
dia berpaling dan menyombongkan diri”. (almudassir : 23)
Allah SWT menyebutkan shalat dengan iman dalam firman-Nya “Dan
tidaklah Allah akan menyia-nyiakan imanmu” (albaqarah:143), maksudnya
disini dengan iman yaitu shalatmu karena iman itu tidak akan menjadi
sempurna tanpa shalat dan karena shalat itu mencakup niat, ucapan dan
perbuatan.
Al Qurthubi berkata : Ulama sepakat bahwa ayat Albaqarah : 143 ini
diturunkan berkenaan dengan orang yang meninggal sedang ia masih berkiblat ke
Baitul Maqdis, karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ia berkata:
“tatkala Nabi saw. telah menghadap ke arah Ka’bah, mereka bertanya, Ya
Rasulullah, bagaimana gerangan kawan – kawan kami yang telah meninggal dunia
padahal mereka (dahulu) shalat menghadap ke Baitul Maqdis? Kemudian turun
ayat “Dan tidaklah Allah menyia-nyiakan imanmu”.
Imam Malik berpendapat bahwa ia membantah pendapat yang mengatakan
shalat itu tidak termasuk (kesempurnaan) iman
Az-Zamakhsyari berkata: Sesungguhnya قد dalam راءHHد نHHقbermakna ُربَّما
(sering-sering) yang artinya sering melihat ,
Abu Hayyan juga berpendapat dari kata tadi dalam arti قد رأينا karena Qad
menjadikan fi’il mudhari’ dalam arti madhi sebagaimana pendapat Ahli Nahwu
Menurut Ahli Tafsir dari firman Allah “ Sungguh Kami sering melihat
mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai” (albaqarah:144), dalam ayat ini ada suatu kelembutan
dari dalam akhlak Nabi dimana ia menanti wahyu dari Allah SWT, dan tidak
meminta kepada-Nya, dan sungguh Allah telah menghormati karena adabnya ini
dengan kiblat yang ia sukai, maka Allah berfirman “maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukainya” Adapun sebab Rasulullah
menghadap ke Masjidil Haram, diantaranya:
Supaya berbeda dengan kaum Yahudi yang mengatakan Muhammad
menyalahi kami tapi ia mengikuti kiblat kami, seandainya kami tidak ada
tentu ia tidak tahu ke arah mana ia bekiblat.
9
Bahwa sesungguhnya Ka’bah dahulu adalah kiblat datuknya yaitu Nabi
Ibrahim
Nabi saw menyukai dialihkannya kiblat karena ada harapan kecendrungan
Bangsa Arab untuk masuk Islam
Kedudukan Rasul saw di bumi aman (Mekah) yang disiu terdapat Masjdil
haram yang menjadi pusat bagi semua mesjid, maka ia menyukai kemuliaan
kedudukan masjid ini yang berada di negerinya dan tempat kedudukannya.16
16
http://majelispenulis.blogspot.com/2011/11/tafsir-ahkam-tentang-kiblat.html. Diakses pada hari
selasa tgl 13 Oktober 2020 jam 22:12 Wita
17
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Author, Juz II, Mesir: Musthofa al-
Babi al-Halabi, Hal 186-187.
10
Artinya: “Bercerita Muslim, bercerita Hisyam, bercerita Yahya bin Abi Kasir
dari Muhammad bin Abdurrahman dari Jabir berkata: Ketika
Rasulullah Saw salat di atas kendaraan (tunggangannya) beliau
menghadap ke arah sekehendak tunggangannya, dan ketika beliau
hendak melakukan salat fardu beliau turun kemudian menghadap
kiblat” (HR. Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bahwasanya Nabi Saw ketika salat sunnah di
atas tunggangan, maka beliau menghadap ke arah sekehendak
tunggangannya. Beliau tidak akan salat fardu (lima waktu) kecuali dengan
turun dan menghadap kiblat, karena menghadap kiblat merupakan salah satu
syarat yang menentukan sah tidaknya salat.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
menghadap kiblat merupakan suatu keharusan bagi orang yang
melaksanakan salat. Bila dalam keadaan bingung sehingga tidak mengetahui
arah kiblat, cukup menghadap ke mana saja yang diyakini bahwa arah yang
demikian itu adalah arah kiblat.18
E. Sejarah Qiblat
1. Ka’bah sebagai Kiblat Umat Muslimin
Ka’bah merupakan bangunan berbentuk kubus besar terbuat dari susunan
batu, terbungkus dengan kain hitam, berdiri di tengah Masjid al- Haram Mekah.
Pada salah satu sudut Ka’bah terdapat Hajar al-Aswad (batu hitam). 19 Bangunan
ini adalah monumen suci bagi umat Islam. Ka’bah merupakan bangunan yang
menjadi patokan arah kiblat dalam melaksanakan salat.
Nabi Adam as dianggap sebagai peletak dasar bangunan Ka’bah di Bumi
karena menurut Yaqut al-Hamawi (ahli sejarah dari Irak) menyatakan bahwa
bangunan Ka’bah berada di lokasi kemah Nabi Adam as setelah diturunkan
Allah swt dari surga ke Bumi.
Kemah Nabi Adam tetap berada pada tempatnya hingga Allah mengambil
roh Nabi Adam dan mengangkat kemah itu. Sebagian para periwayat mengatakan
18
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiyah, Hal 130-131
19
Cryil Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi
“Ensiklopedi Islam” cet 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Hal 91
11
bahwa Nabi Syis ibn Adam kemudian membangun suatu bangunan dari batu dan
tanah di tempat semula kemah berada. Bangunan tersebut terus-menerus
dikunjungi orang hingga masa Nabi Nuh as. Bangunan tersebut hancur tidak
tersisa tempatnya sampai Allah mengutus Nabi Ibrahim.20
Pada masa Nabi Ibrahim as dan puteranya Nabi Ismail as, lokasi itu
digunakan untuk membangun sebuah rumah ibadah. Bangunan Ka’bah ini
merupakan rumah ibadah pertama yang dibangun, berdasarkan ayat Al- Quran
surat Ali Imran ayat 96:
َى لِ ْلعالَ ِمين
ً اس لَلَّ ِذي بِبَ َّكةَ ُمبا َركا ً َوهُد
ِ َّض َع لِلن ٍ إِ َّن أَو ََّل بَ ْي
ِ ت ُو
Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat
beribadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS. Ali Imran:
96).21
Bangunan ini telah beberapa kali mengalami renovasi, di antaranya pada
masa Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, suku Quraisy, Abdullah bin Zubair
bin Awam (65 H), Al-Hajjaj bin Yusuf Atsaqafi (74 H), Sultan Murad Khan Al-
Utsmani (1040 H), Raja Fahd ibn Abdul Aziz (1417 H).
20
Ali Muhammad Muthawwi, Rahasia Kakbah dan Sains Modern, Bandung: Trigenda Karya, 1994, hal 38.
21
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan-nya, Hal 36
12
Setelah Rasulullah SAW menghadap Bait al-Maqdis selama 16-17 bulan,
ternyata harapan Rasulullah tidak terpenuhi. Orang-orang Yahudi di Madinah
berpaling dari ajakan beliau, bahkan mereka merintangi Islamisasi yang
dilakukan Nabi dan mereka telah bersepakat untuk menyakitinya dengan
menentang Nabi dan tetap berada pada kesesatan.22
Oleh karena itu Rasulullah SAW berulang kali berdoa memohon kepada
Allah SWT dengan menengadahkan tangannya ke langit mengharap agar
diperkenankan pindah kiblat salat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah lagi. Kemudian
turunlah QS. Al-Baqarah ayat 144 yang berisi perintah menghadap Baitullah
sebagai kiblat kaum muslimin.
Dengan turunnya ayat tersebut, keinginan Nabi saw untuk berpindah kiblat
ke arah Ka’bah dipenuhi oleh Allah swt. Sejak saat itu hingga seterusnya, kiblat
umat Islam dalam salat adalah Ka’bah yang ada di Mekah.
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa menjadikan Bait al-Maqdis sebagai
kiblat kemudian kembali lagi menjadikan Ka’bah sebagai kiblat bukanlah suatu
kekeliruan. Itu merupakan suatu isyarat bahwa perintah- perintah Allah khususnya
yang berkaitan ibadah mahdhah tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan
sebabnya. Orang harus percaya dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh
Allah. Namun demikian orang Islam diperbolehkan menganalisis apa sebabnya
karena di balik aturan Allah pasti ada hikmah yang menyertainya.23
3. Hikmah Perpindahan Arah Kiblat
Kiblat pertama orang muslim menuju ke arah Bait al-Maqdis. Akan tetapi,
karena orang-orang Yahudi menjadikannya sebagai bahan ejekan; “kaum
muslimin tidak memiliki agama yang tetap, oleh sebab itu kalian berdiri
menghadap kiblat kami.” Perpindahan kiblat ini merupakan upaya untuk
menghindari cemoohan dan ejekan Yahudi kepada umat Islam.
Pada dasarnya di antara Bait al-Maqdis dan Masjid al-Haram di Mekah
tidak ada perbedaan. Di sisi Allah keduanya sama-sama terdiri dari batu dan kapur
yang diambil dari Bumi Allah. Tujuan pertama adalah hati yaitu memohonkan
petunjuk yang lurus kepada Allah. Namun kalau sekiranya semua orang
menghadap kemana saja tempat yang disukainya, meskipun yang disembah adalah
22
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press) Hal 227.
23
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, Hal. 38.
13
satu, di saat itu juga mulailah ada perpecahan umat Islam. Maka dalam Islam
bukan saja cara menyembah Allah saja yang diajarkan, dalam waktu-waktu
tertentu, rukun dan syaratnya, tempat menghadapkan muka pun diatur jadi satu.
Peralihan kiblat bukanlah sebab, itu hanya sebagai akibat saja dalam hal
membangunkan umat yang baru, ummatan wasatan.24
24
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Cet I, Jakarta: Amzah, Hal 36-37.
25
Abdurrahman al Jaziri, Fiqh Madzahib al-Arba’ah Juz 1, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al- Araby, Hal 194.
14
kemelencengannya cuma sedikit, maka salat tidak batal akan tetapi wajib
berpaling ke arah kiblat.26
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kata qiblat berasal dari Bahasa Arab, yaitu قبلةsalah satu bentuk derivasi dari , قبل
قبلة, لH يقبyang berarti menghadap.27 Qibla secara bahasa berarti arah, sebagaimana yang
dimaksud adalah Ka’bah. Hal ini diungkapkan oleh Muhammad al-Katib al-Syarbini:
“Qiblat menurut bahasa berarti qiblat dan yang dimaksud disini adalah Ka’bah”.
Ka’bah merupakan bangunan berbentuk kubus besar terbuat dari susunan batu,
terbungkus dengan kain hitam, berdiri di tengah Masjid al- Haram Mekah. Pada salah
satu sudut Ka’bah terdapat Hajar al-Aswad (batu hitam). 28 Bangunan ini adalah
monumen suci bagi umat Islam. Ka’bah merupakan bangunan yang menjadi patokan
arah kiblat dalam melaksanakan salat.
Pada dasarnya di antara Bait al-Maqdis dan Masjid al-Haram di Mekah tidak ada
perbedaan. Di sisi Allah keduanya sama-sama terdiri dari batu dan kapur yang diambil
dari Bumi Allah. Tujuan pertama adalah hati yaitu memohonkan petunjuk yang lurus
kepada Allah. Namun kalau sekiranya semua orang menghadap kemana saja tempat yang
disukainya, meskipun yang disembah adalah satu, di saat itu juga mulailah ada
perpecahan umat Islam. Maka dalam Islam bukan saja cara menyembah Allah saja yang
diajarkan, dalam waktu-waktu tertentu, rukun dan syaratnya, tempat menghadapkan muka
pun diatur jadi satu. Peralihan kiblat bukanlah sebab, itu hanya sebagai akibat saja dalam
hal membangunkan umat yang baru, ummatan wasatan. 29
B. Saran
Demikian penjelasan mengenai “Ayat-ayat Qiblat” dalam mata kuliah Tafsir
Ahkam, semoga bisa bermenfaat bagi segenap pembaca. Kami mohon maaf
apabila ada kesalahan baik berupa penulisan maupun pembahasan di atas karena
keterbatasan-nya pengetahuan kami. Kiranya kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini. Atas
perhatian-nya kami ucapkan terima kasih.
26
Ibid, Abdurrahman al Jaziri, Hal 194
27
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawi Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif), Hal
606-607.
28
Cryil Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi
“Ensiklopedi Islam” cet 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Hal 91
29
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Cet I, Jakarta: Amzah, Hal 36-37.
15
16
Daftar Pustaka
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawi Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif 2020), Hal 606-607.
Selamet Hambali, Ilmu Falak 1 (Penentuan awal waktu shalat dan arah Qiblat
Seluruh Dunia), (Semarang: Program Pasca Serjana IAIN Walisongo
Semarang, 1999) cet I, Hal 167
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan-nya,
(Semarang: Kumudasmoro Grafind 1974 ), Hal 36
Ahmad Musthofa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Juz II,( Mesir: Musthofa al-
Babi al- Halabi, 1997) Hal 3.
Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, Cet. Ke-1, 1996) Hal. 944.
Harun Nasution, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Djambatan, 2001 )
Hal. 563.
Qamaruddin Shaleh, et al. Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat- ayat Alquran: (Bandung: Penerbit Diponengoro, 2010) Hal. 47.
Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Qiblat Praktis, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2010) Hal 3.
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Author, Juz II,
(Mesir: Musthofa al-Babi al-Halabi, 1999) Hal 186-187.
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1,
( Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2002) Hal 130-131
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000) Hal 227.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) Hal.
38.
http://majelispenulis.blogspot.com/2011/11/tafsir-ahkam-tentang-kiblat.html.
Diakses pada hari selasa tgl 13 Otober 2020 jam 22:12 Wita
17