Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dalam berbagai kitab fiqh, para ulama telah bersepakat bahwa
mengahadap kiblat adalah salah satu syarat sah shalat. Kiblat yang
dimaksud dalam hal ini adalah Kakbah (Baitullah) di Makkah. Kakbah ini
merupakan satu arah yang menyatukan arah segenap umat Islam dalam
melaksanakan shalat.
Pada awal perkembangan Islam, penentuan arah kiblat tidak
menimbulkan masalah karena Rasulullah SAW. ada bersama-sama
sahabat dan baginda sendiri yang menunjukkan arah ke kiblat apabila
berada di luar kota Makkah. Walau bagaimanapun apabila para sahabat
mulai mengembara mengembangkan Islam, kaedah menentukan arah
kiblat menjadi semakin rumit. Mereka mulai merujuk pada kedudukan
bintang-bintang dan Matahari yang dapat memberi petunjuk arah kiblat.
Kiblat berdasarkan ijtihad para sahabat Rasulullah SAW. lebih dikenali
sebagai kiblah al-sahaba.
Di tanah Arab, bintang utama yang dijadikan rujukan dalam penentuan
arah ialah bintang Qutbi (bintang Utara), yaitu satu-satunya bintang yang
menunjuk ke arah utara Bumi. Berpandukan kepada bintang ini dan
beberapa buruj bintang lain, arah kiblat dapat ditentukan dengan
mudah. Usaha untuk menentukan kiblat setepat mungkin adalah di
antara aktifitas yang dilakukan oleh ahli falak Islam. Berbagai kaedah
telah digunakan untuk menentukan arah kiblat. Mengetahui arah kiblat
merupakan hal yang wajib bagi setiap umat Islam, sebab dalam
menjalankan ibadah shalat harus menghadap kiblat.
Kiblat adalah arah menuju Kakbah (Baitullah) melalui jalur paling
terdekat, dan menjadi keharusan bagi setiap orang muslim untuk
menghadap ke arah tersebut pada saat melaksanakan ibadah shalat, di
manapun berada di belahan dunia ini.
B.Rumusan Masalah
1. apa Pengertian Kiblat Dan Dasar Hukumnya ?
2.apa saja Dasar Hukum Dalam Menghadap Kiblat ?
3.Bagaimana Pendapat Para ulama Tentang Kiblat ?
BAB II
PEMBAHASAN

1.Pengertian Kiblat dan Dasar Hukumnya


Secara etimologi kata kiblat berasal dari bahasa Arab qiblah, yaitu salah satu bentuk
masdar (derivasi) dari qabala, yaqbalu, qiblah yang berarti menghadap(munawir,
1997:1078) atau berarti arah dan arah yang dimaksud adalah arah ke Ka’bah.4 Kiblat
yang mempunyai pengertian arah, identik dengan kata jihah dan syathrah, yang
dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah azimuth yang dalam ilmu Falak diartikan
sebagai arah yang posisinya diukur dari titik utara sepanjang lingkaran horizontal se
arah jarum jam.5
Secara terminologi, para ulama memberikan definisi yang variatif tentang arah kiblat,
di antaranya:
a.Muhyiddin Khazin mendefiniskan kiblat sebagai arah atau jarak terdekat sepanjang
lingkaran besar yang melewati kota Makah (Ka’bah) dengan tempat kota yang
bersangkutan.6
b.Moh. Murtadho mendefinisikan kiblat sebagai arah terdekat dari seseorang
menuju Ka’bah dan setip muslim wajib menghadap ke arahnya saat mengerjakan
shalat. Dengan kata lain, arah kiblat adalah suatu arah yang wajib dituju oleh umat
Islam ketika melakukan ibadah shalat dan ibadah-ibadah yang lain.
c.Abdul Aziz Dahlan mendefinisikan kiblat sebagai bangunan Ka’bah atau arah yang
dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagaian ibadah.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud kiblat adalah Ka’bah yang berada di
Masjidilharam kota Mekah Saudi Arabia, sebagaimana ditegaskan dalam QS al
Baqarah ayat 143, 144, 149, dan 150.Selain ayat al Qur’an juga terdapat dalam
hadits-hadits Rasulullah SAW, yang artinya:
“Bila kamu hendak shalat maka sempurnakanlah wudhu lalu menghadap kiblat
kemudian bertakbirlah” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di masjidilharam. Masjidil haram adalah
kiblat bagi penduduk tanah haram (Makah) dan tanah haram adalah kiblat bagi
semua umatku di bumi, baik di barat ataupun di timur (HR. al-Baihaqi dari Abu
Hurairah).

2.Kaidah Penetapan Arah Kiblat


Ulama Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali telah bersepakat bahwa mengahadap
kiblat salah satu syarat sahnya shalat. Atas dasar al Quran dan dan As Sunnah ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kiblat adalah ain al Ka’bah (Ka’bah-nya
sendiri). Oleh karena itu, orang yang akan melakukan shalat harus berusaha dengan
maksimal untuk mengetahui arah ain al ka’bah, baik berada di daerah yang terdekat
dengan Ka’bah maupun yang jauh dari Ka’bah. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat hanya bagi yang shala di Masjidilharam harus langsung menghadap ke
arah ain al ka’bah, sedangkan bagi yang jauh cukup mengahadap kea rah jihat al
ka’bah, alasannya menentukan arah ke ain al ka’bah bagi yang jauh dari Ka’bah
sangat sulit (masaqqah).10 Dengan demikian kaidah penetapan arah kiblat terdapat
tiga macam di antaranya: mengahadap Kiblat Yakin (qiblat yaqiin), mengahadap
kiblat perkiraan (qiblat dzan), dan mengahadap kiblat ijtihad (qiblat ijtihad).

2.Dasar Hukum Dalam Menghadap Kiblat


a.Dasar Hukum Dalam Quran
Q.S. Al Baqarah 144
ِِ ِ ‫السماۤ ۚ ِء َفلَنولِّين‬
‫ث َما ُكْنتُ ْم‬ ُ ‫ك َشطَْر الْ َم ْسجد احْلََر ِام ۗ َو َحْي‬ َ ‫ٰىها ۖ َف َو ِّل َو ْج َه‬ َ ‫َّك قْبلَةً َتْرض‬ َ َ َ ُ َ َّ ‫ك ىِف‬ َ ‫ب َو ْج ِه‬َ ُّ‫قَ ْد َن ٰرى َت َقل‬
‫ٰب لََي ْعلَ ُم ْو َن اَنَّهُ احْلَ ُّق ِم ْن َّرهِّبِ ْم ۗ َو َما ال ٰلّهُ بِغَافِ ٍل َع َّما َي ْع َملُ ْو َ!ن‬ ِ ِ َّ ِ ُّ
َ ‫َف َول ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َشطَْر ٗه ۗ َوا َّن الذيْ َن اُْوتُوا الْكت‬
Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami
palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah
Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan
sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan
kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang
mereka kerjakan.

“Penjelasan Dalam Q.S Al baqarah Ayat 144 Ialah Walaupun orang-orang Ahli Kitab
mengetahui tentang kebenaran pemindahan kiblat, mereka tetap tidak menerima kenyataan
tersebut karena kedengkian mereka terhadap Nabi Muhammad. Dan walaupun engkau, Nabi
Muhammad, memberikan semua ayat, yakni keterangan, kepada orang-orang yang diberi
Kitab itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat
mereka. Ahli Kitab akan terus bertahan pada kiblat masing-masing: orang Yahudi bertahan
dengan Baitulmakdis, dan orang Nasrani bertahan ke arah terbitnya matahari. Sebagian
mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Allah memperingatkan Rasulullah
agar tidak mengikuti keinginan mereka. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah
sampai ilmu kepadamu, niscaya engkau termasuk orang-orang zalim”

Q.S. AL Baqarah 148-149

‫ت بِ ُك ُم ال ٰلّهُ مَجِ ْي ًعا ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َع ٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْيٌر َوِم ْن‬ ِ ‫ت اَين ما تَ ُكونُوا يْأ‬ ۗ
َ ْ ْ َ َ ْ ِ ‫استَبِ ُقوا اخْلَْي ٰر‬
ِ
ْ َ‫َول ُك ٍّل ِّو ْج َهةٌ ُه َو ُم َولِّْي َها ف‬
‫ك ۗ َو َما ال ٰلّهُ بِغَافِ ٍل َع َّما َت ْع َملُ ْو َ!ن‬ ِ ِِ
َ ِّ‫ك َشطَْر الْ َم ْسجد احْلََر ِام ۗ َوانَّهٗ لَْل َح ُّق ِم ْن َّرب‬َ ‫ت َف َو ِّل َو ْج َه‬ َ ‫ث َخَر ْج‬ ُ ‫َحْي‬
Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-
lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan
mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.Dan dari
manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam,
sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa
yang kamu kerjakan.

Penjelasan Dalam Q.S Al baqarah Ayat 149 Ialah

Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Tidak ada kelebihan
satu kiblat atas lainnya, karena yang terpenting dalam beragama adalah kepatuhan kepada
Allah dan berbuat kebaikan terhadap orang lain. Maka berlomba-lombalah kamu dalam
kebaikan. Terhadap semua itu Allah akan memberikan perhitungan. Di mana saja kamu
berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu. Allah mengulangi lagi perintah untuk menghadap Masjidilharam. Dan dari
mana pun engkau keluar, wahai Nabi Muhammad, hadapkanlah wajahmu ke arah
Masjidilharam, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah
terhadap apa yang kamu kerjakan. Pengulangan ini penting karena peralihan kiblat
merupkan peristiwa nasakh (penghapusan hukum) yang pertama kali terjadi dalam Islam.
Dengan diulang maka hal ini akan tertanam dalam hati kaum mukmin sehingga mereka tidak
terpengaruh oleh hasutan orang Yahudi yang tidak rela kiblat mereka ditinggakan.

Q.S. Al baqarah 150

ِ ‫ث َما ُكْنتُ ْم َف َولُّْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َشطَْرهٗ ۙ لَِئاَّل يَ ُك ْو َن لِلن‬


‫َّاس‬ ِِ
ُ ‫ك َشطَْر الْ َم ْسجد احْلََر ِام ۗ َو َحْي‬ َ ‫ت َف َو ِّل َو ْج َه‬ َ ‫ث َخَر ْج‬ ُ ‫َوِم ْن َحْي‬
َ‫اخ َش ْويِن ْ َواِل ُمِتَّ نِ ْع َميِت ْ َعلَْي ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم َت ْهتَ ُد ْو ۙن‬ ِ ِ ِ
ْ ‫َعلَْي ُك ْم ُح َّجةٌ ااَّل الَّذيْ َن ظَلَ ُم ْوا مْن ُه ْم فَاَل خَت ْ َش ْو ُه ْم َو‬
Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah
Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu,
agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim
di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar
Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk.

Penjelaasan Tentang Q.S Al baqarah 150

Dan dari mana pun engkau keluar, wahai Nabi Muhammad, maka hadapkanlah wajahmu ke
arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, wahai umat Islam, maka hadapkanlah
wajahmu ke arah itu. Demikianlah, Allah mengalihkan kiblat agar tidak ada alasan bagi
manusia untuk menentangmu; agar orang Yahudi tidak bisa lagi berkata, “Mengapa
Muhammad menghadap Baitulmakdis, padahal disebutkan dalam kitab-kitab kami bahwa
dia menghadap Kakbah?” dan agar orang musyrik tidak bisa lagi berkata, “Mengapa
Muhammad menghadap ke Baitulmakdis dan meninggalkan Kakbah yang dibangun oleh
kakeknya sendiri?” Dengan pengalihan ini maka ucapan-ucapan itu terjawab, kecuali orang-
orang yang zalim di antara mereka. Mereka akan terus mendebat Nabi dan berkata,
"Muhammad menghadap Kakbah karena mencintai agama kaumnya dan tanah airnya.”
Terkait sikap orang-orang tersebut, Allah berkata kepada Nabi dan para sahabatnya,
“Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan
nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk.” Pengalihan kiblat ke Kakbah
adalah kenikmatan yang besar karena umat Islam mempunyai kiblat sendiri sampai akhir
zaman, dan dengan demikian mereka mendapatkan hidayah dari Allah dalam melaksanakan
perintah-perintah Allah.

2.Dasar Hukum Dari Hadist

Hadist Shohih Bukhori No.385


‫يم قَ َال َح َّدثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َأيِب َعْب ِد اللَّ ِه قَ َال َح َّدثَنَا حَيْىَي بْ ُن َأيِب َكثِ ٍري َع ْن حُمَ َّم ِد بْ ِن َعْب ِد الرَّمْح َ ِن‬ ِ ‫ِ ِإ‬
َ ‫َح َّدثَنَا ُم ْسل ُم بْ ُن ْبَراه‬
‫ت فَِإذَا ََأر َاد‬ْ ‫ث َت َو َّج َه‬ ُ ‫احلَتِ ِه َحْي‬
ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم يصلِّي علَى ر‬
َ َ َُ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِه قَ َال َكا َن َر ُس‬
َ‫اسَت ْقبَ َل الْ ِقْبلَة‬ َ ‫الْ َف ِر‬
ْ َ‫يضةَ َنَز َل ف‬

Artinya: “Bercerita Muslim, bercerita Hisyam, bercerita Yahya bin Abi Katsir dari
Muhammad bin Abdurrahman dari Jabir berkata: Ketika Rasulullah SAW shalat di atas
kendaraannya, beliau menghadap ke arah sekehendak kendaraannya, dan ketika beliau
hendak melakukan shalat fardhu beliau turun kemudian menghadap kiblat.” (HR.
Bukhari)

ُ ‫( َح ْي‬ke arah mana saja kendaraan itu menghadap) Hadits ini memberi
ْ‫ث تَ َو َّج َهت‬
keterangan tentang keharusan menghadap kiblat dalam shalat fardhu. Ini merupakan
ijma · ulama, akan tetapi ada keringanan pada saat kondisi menakutkan (khauf).

Tegasnya hadis ini menyatakan, bahwa kita boleh salat sunat di atas kendaraan di dalam
perjalanan, walaupun kendaraan itu menghadap kemana saja. Menurut suatu riwayat
dari Ahmad, Muslim dan al-Turmudzi menjelaskan bahwasannya pada suatu hari Nabi
SAW. sedang menuju ke Madinah dari Makkah dan ketika itu menghadap ke arah depan
binatang kendaraannya, maka turunlah ayat: “Allah mempunyai masyriq dan maghrib.
Maka kemana saja kamu menghadapkan mukamu, itulah tempat yangdiridhoi Allah. (QS.
2: 115).Akan tetapi ketika hendak melaksanakan shalat fardhu, Rasulullah SAW turun
dari kendaraan untuk menghadap kiblat menunjukkan bahwa menghadap kiblat menjadi
salah satu sarat sahnya shalat.

Hadist Shahih Muslim No 821

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ َ ‫َأن رس‬


َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫س‬
ٍ ِ‫ح َّد َثنَا َأبو ب ْك ِر بن َأيِب َشيبةَ ح َّد َثنَا عفَّا ُن ح َّد َثنَا مَحَّاد بن سلَمةَ عن ثَاب‬
ٍ َ‫ت َع ْن َأن‬ َْ َ َ ُْ ُ َ َ َ َْ ُْ َ ُ َ
ِ ‫السم ِاء َفلَنولِّين‬ ِ ِ ‫وسلَّم َكا َن يصلِّي حَنْو بي‬
‫اها َف َو ِّل‬
َ‫ض‬ َ َ َ ُ َ َّ ‫ك يِف‬
َ ‫َّك قْبلَةً َتْر‬ َ ‫ب َو ْج ِه‬
َ ُّ‫ت { قَ ْد َنَرى َت َقل‬ ْ َ‫ت الْ َم ْقد ِ!س َفَنَزل‬ َْ َ َ ُ َ ََ
ِ ِ ِ ِ ِِ
‫صلَّ ْوا َر ْك َعةً َفنَ َادى‬ َ ‫ك َشطَْر الْ َم ْسجد احْلََرام } فَ َمَّر َر ُج ٌل م ْن بَيِن َسل َمةَ َو ُه ْم ُر ُكوعٌ يِف‬
َ ‫صاَل ة الْ َف ْج ِر َوقَ ْد‬ َ ‫َو ْج َه‬
‫ت فَ َمالُوا َك َما ُه ْم حَنْ َو الْ ِقْبلَ ِة‬ ِ
ْ َ‫َأاَل ِإ َّن الْقْبلَةَ قَ ْد ُح ِّول‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan
kepada kami Affan telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari
Tsabit dari Anas "Bahwa Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam dahulu shalat
menghadap Baitul Maqdis, lalu turunlah ayat, 'Sungguh kami telah melihat
wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami palingkan wajahmu ke
kiblat yang kamu ridhai, maka palingkanlah wajahmu ke arah masjid al-Haram.'
(QS. Albaqarah 144), Lalu seorang laki-laki dari Bani Salimah berjalan, sedangkan
mereka dalam keadaan rukuk dalam shalat shubuh, dan mereka telah melakukan
shalat satu raka'at, lalu dia memanggil, 'Ketahuilah, sesungguhnya kiblat telah
diganti, maka mereka berpaling sebagaimana mereka menghadap kiblat

Penjelasan Dari Hadist Ini Ialah


Al-Hafiz dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa penggantian kiblat itu diterima
Nabi SAW. di kala salat zuhur. Tersiarnya berita ke seluruh kota Madinah di kala
telah masuk waktu asar, dan sampainya berita itu ke Quba (suatu kampung yang
jauhnya 3 mil dari Madinah), adalah pada salat subuh besoknya. Ubbad bin
Basyar dari bani Salamah, yang menyampaikan kepada penduduk Quba. Ubbad
berkata kepada mereka bahwannya ia telah salat beserta Nabi SAW. menghadap
ke arah Ka’bah, tidak lagi menghadap ke arah Bait al-Maqdis. Di kala orang yang
sedang salat itu, mendengar katanya, berpalinglah mereka ke arah Ka’bah

Hadist Jami’ At-Thirmidzi no 314 -Kitab Shalat

‫صو ٍ!ر َح َّدثَنَا َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن َج ْع َف ٍر الْ َم ْخَرِم ُّي َع ْن عُثْ َما َن بْ ِن‬ ُّ ‫َح َّدثَنَا احْلَ َس ُن بْ ُن بَ ْك ٍر الْ َم ْر َو ِز‬
ُ ‫ي َح َّدثَنَا الْ ُم َعلَّى بْ ُن َمْن‬
ِ ‫ي َعن َأيِب ُهر ْيرةَ َعن النَّيِب ِّ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه وسلَّم قَ َال ما بنْي َ الْم ْش ِر ِق والْم ْغ ِر‬ ٍِ ِ ٍ
‫ب‬ َ َ َ َ َ َ ََ َ ْ ََ ْ ِّ ِ‫اَأْلخنَس ِّي َع ْن َسعيد الْ َم ْقرُب‬ ْ ‫حُمَ َّمد‬
‫يل َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن َج ْع َف ٍر الْ َم ْخَرِم ُّي َأِلنَّهُ ِم ْن َولَ ِد الْ ِم ْس َو ِر بْ ِن‬ ِ ‫يث حسن ص ِح ِإمَّن‬
َ ‫يح َو َا ق‬ ٌ َ ٌ َ َ ٌ ‫يسى َه َذا َحد‬
ِ ِ
َ ‫قْبلَةٌ قَ َال َأبُو ع‬
ِ
‫ب قِْبلَةٌ ِمْن ُه ْم‬ ِ ‫اب النَّيِب ِّ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه وسلَّم ما بنْي َ الْم ْش ِر ِق والْم ْغ ِر‬
َ َ َ َ ََ ََ َ
ِ ‫َأصح‬ ٍِِ
َ ْ ‫ي َع ْن َغرْيِ َواحد م ْن‬ َ ‫خَمَْر َمةَ َوقَ ْد ُر ِو‬
‫ك َوالْ َم ْش ِر َق َع ْن‬ َ ِ‫ب َع ْن مَيِين‬ َ ‫ت الْ َم ْغ ِر‬َ ‫اس و قَ َال ابْ ُن عُ َمَر ِإذَا َج َع ْل‬ ٍ ِ‫اب و َعلِ ُّي بْن َأيِب طَال‬ ِ
ٍ َّ‫ب َوابْ ُن َعب‬ ُ َ َّ‫عُ َم ُر بْ ُن اخْلَط‬
‫َأِله ِل‬ ِ ِ ‫يسا ِر َك فَما بينهما قِبلَةٌ ِإ َذا است ْقب ْلت الْ ِقبلَةَ و قَ َال ابن الْمبار ِك ما ب الْم ْش ِر ِق والْم ْغ ِر‬
ْ ‫ب قْبلَةٌ َه َذا‬ َ َ َ َ ‫ْ ُ ُ َ َ َ َنْي‬ ْ َ َ َْ ْ َ ُ َ َْ َ ََ
ِ ِ ِ
‫َأِله ِل َم ْر ٍو‬
ْ ‫اسَر‬ ُ َ‫اختَ َار َعْب ُد اللَّه بْ ُن الْ ُمبَ َارك التَّي‬ ْ ‫الْ َم ْش ِرق َو‬

telah menceritakan kepada kami Al Hasan Bakr Al Marwazi berkata;


telah menceritakan kepada kami Al Mu'alla bin Manshur berkata;
telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja'far Al Makhzumi
dari Utsman bin Muhammad Al Akhnas dari Sa'id Al Maqburi dari
Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Antara
timur dan barat adalah arah kiblat." Abu Isa berkata; "Hadits ini
derajatnya hasan shahih. Ia disebut dengan Abdullah bin Ja'far Al
Makhzumi karena ia adalah anak dari Al Miswar bin Makhramah.
Telah diriwayatkan lebih dari seorang dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Antara timur
dan barat adalah arah kiblat." Di antara yang berpendapat seperti itu
adalah Umar bin Al Khaththab, Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas.
Ibnu Umar berkata; "Jika engkau jadikan arah barat pada sisi
kananmu dan arah timur pada sisi kirimu, maka antara keduanya
adalah arah kibat. Dan dengan begitu engkau telah menghadap ke
kiblat." Bin Al Mubarak berkata; "Antara timur dan barat adalah arah
kiblat, dan ini adalah untuk penduduk wilayah timur." Dan Abdullah
bin Bin Al Mubarak memilih arah kiri .

Secara jelas, hadis ini menunjukkan bahwa semua arah antara timur
dan barat adalah kiblat. Sebab, seandainya kewajiban itu berupa
menghadap ke bangunan Kakbah secara tepat, tentu shalat jamaah
dengan shaf yang panjang melewati garis yang lurus ke Kakbah
adalah tidak sah. Begitu pula dua orang yang berjauhan jaraknya,
kemudian shalat dengan menghadap pada kiblat yang sama, maka
shalatnya tidak sah, karena menghadap ke bangunan Kakbah tidap
dapat dilakukan oleh jamaah pada shaf yang panjang.

3. Pendapat Para Ulama Tentang Arah Kiblat

Pada awalnya, kiblat mengarah ke Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa


Jerussalem di Palestina. Namun, pada tahun 624 M ketika Nabi
Muhammad SAW hijrah ke Madinah, arah kiblat berpindah ke arah
Kakbah di Makkah hingga kini atas petunjuk wahyu dari Allah SWT.
Beberapa ulama berpendapat bahwa turunnya wahyu perpindahan
kiblat ini karena perselisihan Rasulullah SAW di Madinah.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa Kakbah adalah kiblat bagi
orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat
melihatnya Hanafi, Hanbali, Maliki dan sebagian kelompok dari
Imamiyah: kiblatnya orang yang jauh adalah arah dimana letaknya
Kakbah berada, bukan Kakbah itu sendiri.Menurut Imam Hanafi,
kiblat adalah ‘ain al-Ka’bah. Bagi yang berada di Makkah atau dekat
dengan Kakbah, maka sesungguhnya diwajibkanlah seseorang yang
hendak melaksanakan salat untuk menghadap ‘ain al-Ka’bah dengan
yakin, selagi itu memungkinkan.Akan tetapi, apabila hal tersebut
tidak memungkinkan, maka diwajibkan berijtihad untuk menghadap
ke ‘ain alKa’bah. Selama masih berada di Makkah, maka tidak
diperkenankan hanya menghadap jihat al-Ka’bah. Adapun apabila
seseorang yang bermukim jauh dari Makkah ia wajib menghadap
kiblat dengan jihat al Ka’bah tanpa harus ke ‘ain al-Ka’bah.

a. Menurut mazhab Syafii, wajib menghadap tepat ke substansi


fisik Ka'bah saat salat. Namun, seseorang tidak perlu sampai
tahap yakin bahwa ia benar-benar menghadap ke arah fisik
Ka’bah, ia hanya perlu meyakininya secara zhan (dugaan yang
kuat).

b. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, cukup menghadap ke arah


Ka'bah. Bagi masyarakat Indonesia, mereka cukup menghadap
ke arah Barat, meskipun tidak sampai tepat mengarah ke fisik
kiblatnya. Bagi para ulama Hanafiyah, yang dimaksud dengan
arah Ka’bah adalah posisi seseorang yang apabila ia menghadap
ke sana, maka ia sejajar dengan Ka’bah, baik posisinya tepat
atau pun hanya mendekati sejajar.

c. Menurut mazhab Hambali, jika wujud fisik Ka’bah terlihat


dengan mata atau posisinya dekat dengan diri kita, tapi
terhalang sesuatu (misalnya tembok), ia tetap wajib menghadap
tepat ke substansi fisik Ka’bah. Jika jaraknya jauh dan tidak
tampak, maka cukup menghadap ke arahnya.

Alasan Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat di antara para ulama muncul dari perbedaan


memahami firman Allah:

‫ك َشطَْر الْ َم ْس ِج ِد احْلََر ِام‬


َ ‫ت َف َو ِّل َو ْج َه‬ ُ ‫ۗ َو ِم ْن َح ْي‬
َ ‫ث َخَر ْج‬

Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah


wajahmu ke arah Masjidilharam (QS. Al-Baqarah [2]: 149).

ْ ‫ َش‬dengan arti
Para ulama mazhab Syafii, misalnya, memahami kata ‫ط َر‬
melihat fisik Ka'bah itu sendiri. Pendapat tersebut mereka kuatkan
dengan hadis Nabi Muhammad ‫ﷺ‬:

“ ُ‫َفلَ َّما َخَر َج َر َك َع َر ْك َعَتنْي ِ يِف ُقبُ ِل الْ َك ْعبَ ِة َوقَ َال ” َه ِذ ِه الْ ِقْبلَة‬

Beliau ‫ ﷺ‬lalu salat dua rakaat dengan memandang Ka'bah lalu


bersabda: “Inilah kiblat” (HR. Al-Bukhari no. 398).

Sedangkan ulama mazhab yang lain berpendapat bahwa kata ‫طر‬ ْ ‫َش‬
adalah ‫ نَحْ َو‬atau ‫ قِبَ َل‬yang artinya arah. Pendapat ini didasarkan pada
hadis Nabi Muhammad ‫ﷺ‬:

ٌ‫ب قِْبلَة‬
ِ ‫ما بنْي َ الْم ْش ِر ِق والْم ْغ ِر‬
َ َ َ َ َ

Sesuatu antara timur dan barat adalah kiblat (HR. At-Tirmidzi no.
342).

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-


Muwaththa' terdapat penambahan kalimat terkait hadis tersebut:
ِ ‫ب قِبلَةٌ ِإذَا تُو ِّجه قِبل الْبي‬ ِ
‫ت‬ َْ َ َ َ ُ ْ ِ ‫َما َبنْي َ الْ َم ْش ِرق َوالْ َم ْغ ِر‬

Sesuatu antara timur dan barat adalah kiblat jika seseorang (salat)
menghadap ke arah Baitullah (HR. Malik no. 465).

Sementara itu, menurut Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 1566 M), ulama
mazhab Syafii, dalam Tuhfah Al-Muhtaj, menyebut bahwa hadis di
atas ditujukan khusus untuk penduduk Madinah atau yang sejajar
dengan mereka.

Bagi mazhab selain Syafii, secara umum mereka berpendapat bahwa


seandainya yang diwajibkan adalah salat menghadap fisik Ka’bah,
maka secara otomatis salat jamaah yang lurus ke belakang tidak sah.

Ibnu Rusyd Al-Andalusi (w. 1198 M) juga berpendapat dalam Bidayah


Al-Mujtahid bahwa menghadap tepat ke fisik Ka'bah itu menyulitkan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

ِ
ٍ ۗ ‫َو َما َج َع َل َعلَْي ُك ْم ىِف الدِّيْ ِن م ْن َحَر‬
‫ج‬

dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama (QS. Al-
Hajj 22: 78)

Terkait apakah salat harus menghadap kiblat persis atau cukup


menghadap ke arah barat saja, sekali lagi perlu disampaikan bahwa
para ulama berbeda pendapat.

Mazhab Syafii menyatakan wajib menghadap substansi fisik Ka’bah


walaupun ia hanya meyakininya secara zhan (dugaan yang kuat).
Mazhab Hanafi dan Maliki cukup menghadap barat.

Sementara Mazhab Hambali wajib menghadap substansi Kiblat jika


itu tampak oleh mata atau jaraknya dekat meski terhalangi sesuatu
(tembok), tapi cukup menghadap barat jika jaraknya sangat jauh.
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,

ٌ‫ب قِْبلَة‬
ِ ‫ما بنْي َ الْم ْش ِر ِق والْم ْغ ِر‬
َ َ َ َ َ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no.
1011 dan Tirmidzi no. 342. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan
shohih[6]). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah
secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan
kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi
cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan
tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan


adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup
menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah
di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus
menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh ulama
Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam
Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.

Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang


dimaksud ayat,

َ ‫ث َما ُكْنتُ ْم َف َولُّوا ُو ُج‬


ُ‫وه ُك ْم َشطَْره‬ ُ ‫َو َحْي‬

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.”


(QS. Al Baqarah: 144), yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah
ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan
tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat
dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,

ُ‫َذ ِه الْ ِقْبلَة‬


ِ‫ه‬

“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330).
Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan,
sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu,
menurut pendapat kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud
dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis
ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang
namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah
menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah
bahasa Arab
PENUTUP

Keimpulan

1.Pengertian Kiblat dan Dasar Hukumnya Secara etimologi kata kiblat


berasal dari bahasa Arab qiblah, yaitu salah satu bentuk masdar
(derivasi) dari qabala, yaqbalu, qiblah yang berarti
menghadap(munawir, 1997:1078) atau berarti arah dan arah yang
dimaksud adalah arah ke Ka’bah.4 Kiblat yang mempunyai
pengertian arah, identik dengan kata jihah dan syathrah, yang dalam
bahasa Latin dikenal dengan istilah azimuth yang dalam ilmu Falak
diartikan sebagai arah yang posisinya diukur dari titik utara
sepanjang lingkaran horizontal se arah jarum jam.5 Secara
terminologi, para ulama memberikan definisi yang variatif tentang
arah kiblat, di antaranya: a.Muhyiddin Khazin mendefiniskan kiblat
sebagai arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang
melewati kota Makah (Ka’bah) dengan tempat kota yang
bersangkutan
Murtadho mendefinisikan kiblat sebagai arah terdekat dari seseorang
menuju Ka’bah dan setip muslim wajib menghadap ke arahnya saat
mengerjakan shalat.

Dengan kata lain, arah kiblat adalah suatu arah yang wajib dituju oleh
umat Islam ketika melakukan ibadah shalat dan ibadah-ibadah yang
lain.Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud kiblat adalah Ka’bah
yang berada di Masjidilharam kota Mekah Saudi Arabia, sebagaimana
ditegaskan dalam QS al Baqarah ayat 143, 144, 149, dan 150.Selain
ayat al Qur’an juga terdapat dalam hadits-hadits Rasulullah SAW,
yang artinya: “Bila kamu hendak shalat maka sempurnakanlah
wudhu lalu menghadap kiblat kemudian bertakbirlah” (HR Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah).

a. Menurut mazhab Syafii, wajib menghadap tepat ke substansi fisik


Ka'bah saat salat. Namun, seseorang tidak perlu sampai tahap yakin
bahwa ia benar-benar menghadap ke arah fisik Ka’bah, ia hanya
perlu meyakininya secara zhan (dugaan yang kuat).

b. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, cukup menghadap ke arah


Ka'bah. Bagi masyarakat Indonesia, mereka cukup menghadap ke
arah Barat, meskipun tidak sampai tepat mengarah ke fisik kiblatnya.
Bagi para ulama Hanafiyah, yang dimaksud dengan arah Ka’bah
adalah posisi seseorang yang apabila ia menghadap ke sana, maka ia
sejajar dengan Ka’bah, baik posisinya tepat atau pun hanya
mendekati sejajar.

c. Menurut mazhab Hambali, jika wujud fisik Ka’bah terlihat dengan


mata atau posisinya dekat dengan diri kita, tapi terhalang sesuatu
(misalnya tembok), ia tetap wajib menghadap tepat ke substansi fisik
Ka’bah. Jika jaraknya jauh dan tidak tampak, maka cukup menghadap
ke arahnya.

Saran

Segala puji bagi Allah SWT yang menguasai semesta alam, telah
melimpahkan rahmat kesehatan dan karunia kepada Kelompok 6
sehingga mampu untuk terus menuntut ilmu dengan melakukan
Tugas Makalah. Meskipun dalam pengerjaannya penulis telah
berupaya dengan optimal, akan tetapi masih ada kekurangan dan
kelemahan di dalamnya, baik dari satu sisi atau berbagai sisi, karena
hanya Allah lah Maha sempurna. Penulis berdoa semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
pembaca semua.

Kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis harapkan untuk


kemanfaatan ilmu dan pembelajaran agar menjadi lebih baik.
Semoga ridho Allah SWT senantiasa menyertai kita semua.

Daftar Pusaka

Anda mungkin juga menyukai